Sabtu, 06 Maret 2010

Sogok


MAKIN kuat upaya pemberantasan korupsi, sogok kok tetap merajalela? Malah ada kecendrungan makin parah. Contoh merajalelanya praktik itu pada tiap kali mau ’hajatan’ pemilihan bupati/walikota atau gubernur. Baik di rezim dulu maupun sekarang.
Dulu, aturan undang-undang mengenai Pemerintah Daerah mengatur soal pemilihan bupati/walikota atau gubernur oleh DPRD (legislatif). Waktu itu praktik sogok hanya terjadi antara kandidat dengan anggota legislatif yang jumlahnya puluhan orang saja. Biasanya menjelang hari H pemilihan anggota DPRD itu ’dikarantina’ oleh calon kandidat yang menyogoknya. Tentu bukan di ’karantina’ yang mirip sel tahanan Imigrasi, tapi ’karantina’ di sebuah hotel mewah. Disebut di karantina karena ada yang tidak boleh berhubungan telepon, kuatir dimasuki oleh kandidat lainnya yang tentunya menyogok dengan tawaran yang lebih besar.
Misalnya saat pemilihan Gubernur Kaltim tahun 2004 antara Suwarna AF dan Awang Faroek Ishak, DPRD Kaltim sampai memberlakukan handphone tidak boleh masuk bilik pencoblosan. Mengapa sampai begitu? Ya karena handphone waktu itu sudah punya kamera yang bisa memotret kertas suara, sebagai bukti bahwa dia mencoblos si kandidat tersebut.
Nah, coba kita amati situasi sekarang. Yaitu sejak tahun 2005 setelah undang-undang mengatur tentang Pilkada alias pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Saya ingat, adanya perubahan undang-undang itu salah satu semangatnya adalah agar demokrasi lebih terjamin. Para pemikir kita di DPR RI menyadari sistim lama telah membuat praktik suap di kalangan legislatif dan mengira kalau pemilihan langsung oleh rakyat tidak mungkin menyogok rakyat.
Ternyata pemikiran itu salah. Karena yang terjadi kemudian rakyat benar-benar disogok agar memilih si kandidat. Besarannya juga tergantung dari seberapa besar potensi sumber daya alam yang dimiliki daerah itu, serta seberapa besar APBD-nya.
Di daerah berpenduduk di bawah 120 ribu pemilih misalnya, harga untuk satu suara bisa mencapai Rp1 – 3 Juta. Asumsinya adalah untuk menjadi pemenang Pilkada yang diikuti oleh minimal tiga pasang kandidat dibutuhkan suara 30 persen plus 1.
Nah, kalau jumlah pemilih 100 ribu jiwa, maka yang disogok cukup sebanyak 30 ribu jiwa. Jika dikalikan Rp1 Juta per suara, maka dibutuhkan Rp30 Miliar. Padahal, dalam tiap pemilihan selalu ada Golput di atas 20 persen dari jumlah pemilih yang berarti untuk mendapat 30 persen plus 1, lebih sedikit lagi.
Jangan bertanya bagaimana si kandidat mengembalikan uangnya, karena praktik menyogok rakyat ini sudah terjadi di mana-mana. Artinya kandidat penyogok sudah berhitung matang untuk meraih Rp30 Miliar di daerah itu adalah perkara mudah.
So, bagaimana anggota DPR RI yang baru bertugas di Senayan Jakarta melihat masalah ini dengan jernis. Harus ada yang dibenahi sistimnya, misalnya dengan mengaktifkan polisi khusus suap Pilkada. Supaya yang memberi dan menerima suap ditangkap dan diadili. *

Tidak ada komentar: