Rabu, 12 November 2008

Obama


SEPERTI halnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang telah menyampaikan ucapan selamat sekaligus harapan bangsa Indonesia atas terpilihnya Senator Illinois Barack Obama sebagai Presiden ke 44 Amerika Serikat, saya juga tidak mau ketinggalan untuk mengucapkan hal serupa.

Ya, saya dan juga lebih separuh manusia di planet ini menyambut kemenangan Obama yang digambarkan sebagai pembawa perubahan. Ada yang mengatakan, ia adalah keajaiban karena menjadi orang berkulit hitam pertama menjadi Presiden AS. Dan seperti kata Obama sendiri dalam pidato kemenangannya; “perubahan fundamental kini benar-benar terjadi di Amerika” dan “Amerika adalah benar-benar tanah harapan dan menjanjikan bagi siapa saja”.

Buat saya, euphoria kemenangnan terasa semakin lengkap ketika Khofifah Indar Parawansa yang berpasangan dengan Brigjen ( purn) Mujiono juga mendulang suara terbanyak – menurut versi quick count-- dalam Pilgub Jawa Timur (Walaupun akhirnya ternyata kalah tipis setelah KPUD melakukan penghitungan suara). Kedua kemenangan itu cukup mengobati karena jago saya pada Pilgub Kaltim, yakni ‘Achmad Amins – Hadi Mulyadi’ kalah.

Amerika dan Jawa Timur seakan memberikan jawaban; apapun bisa terjadi. Tidak ada lagi mitos minoritas versus mayoritas, di mana hanya politikus dari suku-suku, ras, dengan jumlah komunitas yang besar akan meraih suara kemenangan. Dalam survey kecendrungan pilihan perempuan pada calon Presiden AS, justru angkanya terbesar untuk Obama di banding Sarah Palin (calon Wakil Presiden kubu Partai Republik) yang notabene perempuan.

Di Jawa Timur yang punya banyak tokoh panutan religius dan sempat mempersoalkan perempuan sebagai ‘imam’ dalam jabatan politik, toh tidak berlaku lagi. Khofifah yang baru berusia 43 tahun, justru menjadi harapan rakyat Jawa Timur.

Tentu ini juga inspirasi bagi rakyat Indonesia yang ingin menjadi pemimpin. Terutama yang selama ini terhalangi oleh sudut pandang latar belakang minoritas, baik suku, agama, gender dan warna kulit. Ayo bersama-sama kita singkirkan kata-kata dan semangat ‘putra daerah’, karena itu adalah simbol kemunduran demokrasi kita. *

Bakrie


TIDAK terduga krisis global yang dimulai dari Negeri Paman Sam, merembet sampai Kalimantan Timur. Apa Anda tidak percaya?

Begini ceritanya. Sudah lebih dua pekan, gonjang-ganjing krisis global mempengaruhi bursa saham di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia yang ternyata cukup fatal menimpa perusahaan yang dipegang keluarga besar Aburizal Bakrie. Saat ini Grup Bakrie yang salah satunya memegang saham di PT Bumi Resoruces Tbk (BUMI), gelisah karena harus menutupi utang-utangnya. Jumlahnya mencapai angka US$ 1,192 miliar dan Rp 510,81 miliar, dengan tingkat suku bunga 8,5 persen sampai 20,75 persen.

Di Majalah Tempo disebutkan, seluruh pinjaman Bakrie Grup didapat dari serangkaian aksi gadai saham anak usaha Bakrie sepanjang April hingga September. Nilai kolateral saham yang dijaminkan menembus US$ 6 miliar. Tapi kini nilainya susut tinggal US$ 1,35 miliar. Nilai saham yang merosot hingga di bawah perjanjian gadai membuat Bakrie harus menutup kekurangannya.

Intinya, keluarga Bakrie lagi jatuh. Bahkan Nirwan Dermawan Bakrie sudah merelakan kalau akhirnya BUMI yang menjadi aset terbaiknya, berpindah tangan.

Nah, kalau BUMI berpindah tangan berarti PT Kaltim Prima Coal yang ada di Sengata Kaltim juga bakal punya pemilik baru alias manajemen baru. Sebab KPC saat ini adalah primadona usaha BUMI. Kalau pada akhirnya yang masuk membeli adalah pihak asing, itu artinya PT KPC kembali menjadi milik perusahaan asing seperti ketika dikelola oleh Rio Tinto Indonesia bersama BP (British Petroleum).

Pertanyaan muncul; bagaimana nasib gugatan divestasi 51 persen saham di lembaga arbitrase internasional yang dilancarkan pengacara Didi Darmawan bersama Pemerintah Kutai Timur? Bagaimana pula nasib konpensasi pencabutan perkara sebesar Rp 300 Miliar yang rencananya diberikan manajemen BUMI kepada Kaltim?

Rencananya, karena Pemprov telah mencabut surat kuasa kepada pengacara Didi Darmawan, maka BUMI memberikan Rp250 Miliar untuk APBD Pemprov Kaltim dan Rp50 Miliar untuk membantu organisasi nirlaba di daerah ini.

Dari posisi keuangan BUMI yang sekarang ini, rasanya sulit untuk memenuhi ’komitmen’ yang pernah tercetus. Bahkan kemuingkinan sangat sulit untuk mengalokasikan dana CSR (corporate social responsilibity) sebesar Rp50 Miliar per tahun seperti yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Akan sulit pula memenuhi keinginan membangun kampus Stiper di Sengata Kaltim.

Sebagai bagian dari rakyat Kaltim, tentu kita prihatin dengan persoalan yang dialami keluarga Bakrie. Sebab apapun ’kelakuan’ yang pernah mereka buat – mulai soal divestasi saham PT KPC sampai soal rencana pipanisasi gas Bontang-Semarang, grup ini adalah bagian pengusaha nasional. Kita lebih bangga sumber daya alam Kaltim dikelola pengusaha nasional, dari pada jatuh ke pengusaha asing. *

Achmad Amins


SORE hari pencoblosan Pilgub Kaltim 23 Oktober 2008, sudah mulai mengkristal opini bahwa pasangan Awang Faroek Ishak – Farid Wadjdy (AFI) yang unggul. Itu lantaran ada pengumuman hasil perhitungan cepat dua lembaga survey, yakni Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI).

Esok harinya, diskusi di warung-warung dan tempat berkumpul sudah semakin nyata menyebutkan kekalahan pasangan Achmad Amins – Hadi Mulyadi (AHAD) yang diusung PKS, Patriot, PKB, Pelopor, PDK dan PBR serta ditambah dua parpol besar Golkar dan PDI Perjuangan. Dua partai terakhir baru menjadi pengusung, setelah AHAD lolos ke putaran kedua.

So, banyak teman-teman Achmad Amins di Kota Samarinda menyampaikan kepada saya bahwa mereka ingin sekali bertemu untuk memberikan simpati agar berbesar hati dalam situasi yang tidak menyamankan itu. Sebab sudah menjadi kebiasaan sebagian dari kita, hanya mau care; bedapat ketika hati teman kita sedang senang. Tapi kalau hati teman itu sedang galau atau muha merangut, malah tidak ada yang mau mendekati.

Di antara perdebatan warung kopi mengenai bagaimana situasi hati Achmad Amins saat ini, tiba-tiba siang harinya sehari setelah pencoblosan, Wali Kota Samarinda itu membuka jumpa pers yang isinya sangat mengharukan. Amins dengan sportif mengakui keunggulan AFI dalam mendulang suara. Dalam bahasa yang disampaikan Amins bahwa ia ikhlas dan legowo.

Padahal, semua memahami hasil perhitungan suara belum lagi selesai. KPUD sebagai lembaga resmi juga belum punya data apa-apa. Tapi sikap Amins telah membuktikan bahwa ia adalah seorang pemimpin yang rasional. Bukan orang yang berusaha memaksakan kehendak untuk mendapatkan kekuasaan.

Kalau mau dirunut ke belakang, Amins adalah calon gubernur yang cukup banyak mengeluarkan keringat di banding cagub lain (semula ada empat cagub). Ia telah melintasi lautan, sungai, hutan dan ke pelosok-pelosok Kaltim untuk bersosialisasi dengan rakyat.

Perjuangan dari pintu-pintu politik yang harus dilalui sampai ia harus mengorbankan jabatan Ketua Partai Golkar Samarinda. Perjalanan melelahkan selama lebih dua tahun ke belakang dan diakhiri dalam semangat jiwa yang sportif. Seperti melepaskan beban dan esok kembali fresh dengan semangat baru yang tetap menggelora.

Ya, ikhlas dan legowo merupakan komitmen hati. Saatnya menghentikan perbedaan dan bahu membahu kembali membangun daerah ini. **

Dana Polisi


HATI ini menjadi tidak nyaman ketika melintas di depan Pengadilan Negeri Samarinda, pekan tadi. Waktu itu sedang berlangsung sidang putusan gugatan Awang Faroek Ishak – Farid Wadjdy. Polisi yang jumlahnya lebih 400 personel berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Ada juga mobil anti huru-hara dan pagar kawat berduri sepanjang jalan di depan gedung pengadilan.

Sepertinya bakal terjadi huru-hara. Sepertinya Kaltim tidak kondusif lagi. ”Ya, polisi sangat berlebihan dalam pengamanan persidangan,” kata seorang pengacara yang hadir di persidangan tersebut. Ia pun merasa terganggu dengan suasana yang dibuat ’mencekam’ itu.

Persidangan putusan gugatan AFI terhadap Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kaltim ketika itu berlangsung lancar. Majelis hakim tinggal membacakan berkas putusan yang tebal bergantian selama lebih lima jam. Begitu hakim menyatakan gugatan ditolak, ternyata tidak ada reaksi apa-apa. Konstituen AFI menerima walau mungkin hati sempat panas juga. Massa yang berdatangan pun pulang, begitu pula para polisi.

Memang suasananya hujan, sehingga massa yang berdatangan ke gedung pengadilan tidak bisa banyak bergerak. Mereka hanya membentuk kelompok kecil, sambil berteduh dan mendengar hakim membacakan putusan dari pengeras suara atau siaran langsung RRI (Radio Republik Indonesia).

Polisi berlebihan? Bisa ya dan bisa tidak. Sebab, siapa yang berani menanggung risiko kalau ternyata benar-benar terjadi chaos di sana. Polisi pasti disalahkan kalau sampai ada pertumpahan darah.

Saya jadi ingat rencana polisi mengajukan dana pengamanan Pilgub Putaran Kedua sebesar Rp33 Miliar. Proposalnya sudah masuk ke pemerintah dan kemudian dibahas bersama. Alhasil, disepakati dana pengamanan Pilgub sebesar Rp16 Miliar.

Sebelumnya, ada kabar mengejutkan bahwa Kapolda Kaltim Irjen Pol Andi Masmiyat ingin membentuk Polmas alias polisi masyarakat. Polmas ini kemudian yang ditempatkan di perusahaan-perusahaan besar swasta, sehingga menambah akses polisi di perusahaan-perusahaan bertambah luas.

Rencana itu mendapat pro dan kontra. Polisi dicurigai sedang berusaha menggaet dana perusahaan (CSR; corporate social responsbility) karena ujung-ujungnya polisi yang ditugaskan mengamankan perusahaan swasta, dibiayai atau mendapat fasilitas tambahan kesejahteraan dari perusahaan.

Dua kasus tersebut membuat kita bertanya-tanya; ”Lho kok polisi berusaha cari penghasilan tambahan dari aktivitasnya di masyarakat?”

Gubernurku


SEORANG pegawai Dinas Pertanian sebuah kabupaten di utara Kaltim mengeluh. “Kaltim itu tidak punya cetak biru pembangunan,” ujarnya. Cetak biru yang dimaksudkan adalah landasan, program perencanaan, agar kabupaten dan kota diseluruh Kaltim bisa menyesuaikan.

Akibat tidak adanya cetak biru itu, pembangunan di kabupaten dan kota menjadi amburadul. Terkesan sporadis, sehingga anggaran yang digelontorkan tidak membawa dampak pada perubahan ekonomi masyarakatnya. Pegawai tadi mencontohkan di sektor pertanian. Masing-masing daerah berlomba mengejar sektor unggulan pertanian atau perkebunan, tetapi ternyata di kabupaten dan kota lain juga sama unggulannya. Misalnya tanaman buah jeruk, kalau semua daerah memprogramnya malah membuat produksi booming dan akibatnya harga menjadi jatuh.

Keluhan pegawai tadi merupakan gambaran kondisi pemerintahan di Kaltim. Sepertinya ada jarak yang besar antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota. Masing-masing tingkatan pemerintah berjalan sendiri-sendiri dengan programnya.

Sejak otonomi daerah bergulir di Kalimantan Timur tahun 2001 silam, nampaknya memang ada yang salah dalam tata kelola pemerintahan itu. Kalau diurut awal kesalahan tersebut, dimulai ketika masa ’pancaroba’ kewenangan dari yang semula sentralisasi ke desentralisasi. Sebagian besar (ada 13) kewenangan pemerintah pusat diserahkan ke daerah.

Pada saat kewenangan sudah berada di daerah itulah kemudian mulai menjadi malapetaka di Kaltim. Gubernur yang waktu itu dijabat Suwarna Abdul Fatah ’berkelahi’ urat syaraf dengan bupati – khususnya Bupati Kukar Syaukani HR.

Masing-masing menunjukkan sikap arogansinya. Suwarna merasa sebagai gubernur punya lebih kewenangan dari pada bupati / walikota atau masih merasa sebagai atasan mereka, sementara para bupati dan walikota merasa telah berada di otonomi sendiri. Bukankah titik pelaksanaan otonomi daerah berada di kabupaten dan kota? Bukan lagi di provinsi.

Sikap pertentangan itu yang berpengaruh besar. Pemerintah provinsi melaksanakan sendiri programnya dan kabupaten / kota juga asyik dengan mengatur daerahnya sendiri. Mereka seperti berkompetisi memajukan daerah masing-masing, tapi akhirnya kompetisi bukan lagi dimainkan secara sportif.

Masing-masing daerah melupakan koordinasi antar kabupaten/kota atau dengan pemerintah provinsi. Sengketa perbatasan akhirnya banyak tidak bisa diselesaikan. Padahal, daerah – waktu itu – memerlukan gubernur yang bisa menjadi pengayom. Seperti seorang ayah yang menjaga anak-anaknya agar tidak saling berkompetisi secara tidak sehat. Membutuhkan seorang CEO (chief executive official) agar sumber daya alam bisa dikelola dengan berdaya guna.

Sayang, itu semua hanya menjadi impian. Ditambah oleh kasus sang gubernur yang terlibat korupsi sehingga tak bisa melaksanakan tugasnya, maka lengkap sudah Kaltim mengalami mimpi buruk itu selama lebih 7 tahun. Untuk itu, kita berdoa pada 23 Oktober 2008 ini rakyat Kaltim sudah punya gubernur lagi. Gubernur yang bisa menjadi ayah bagi rakyat Kaltim. **

Politik Idul Fitri


TIDAK dapat dipungkiri momentum Idul Fitri pada 1 dan 2 Oktober 2008 tak hanya menjadi ajang bermaaf-maafan. Ini juga bisa dimanfaatkan kalangan politisi untuk ‘tebar pesona’ kepada masyarakat di sekitar. Bersalam-salaman sambil mengabarkan; “Eh, saya maju sebagai calon legislatif nich. Mohon doanya”.

Sejak memasuki bulan ramadhan, nuansa politik sudah mulai semakin gencar. Di sudut-sudut kota bermunculan berbagai spanduk, baliho dalam ukuran besar serta poster-poster ucapan ‘selamat menjalankan ibadah puasa’. Terpampang pula foto pembuat baliho di sana dengan kapasitasnya sebagai calon anggota legislatif.

Tidak cukup itu, calon kandidat juga semakin sering melakukan acara buka puasa bersama di rumahnya. Secara bergiliran beberapa kelompok, kolega termasuk tetangga diundang, yang sebenarnya tidak pernah menjadi agenda tahunan pada waktu sebelumnya.

Tentu tidak ada yang salah. Idul Fitri adalah misi ‘kembali suci’ dan politik juga punya misi suci. Simak sejarah kelahiran politik (negara/state), yakni mengelola kehidupan publik melalui institusi negara. Idealnya; para politisi berlomba-lomba untuk misi suci itu.

Perjalanan sejarah pula yang merubah imej politik menjadi begitu keras dan bahkan berdarah. Ingat kata-kata ”politik itu kotor”. Menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan, sehingga pentas politik dihuni oleh politisi yang sebagian bermental rusak.

Ini jauh dari keinginan Plato yang mengidamkan orang yang berhak memegang kekuasaan negara adalah filsuf.

Silaturahmi politik pada Idul Fitri tentu juga membawa pesan-pesan pembaruan, karena kondisi negeri ini masih terseok-seok, rakyat miskin yang jumlahnya membesar dan kondisi lingkungan yang rusak karena para pemegang kekuasaan salah mengelola negara. Janji politik bakal ’berhamburan’ kembali seperti yang pernah terjadi pada tiap kali menjelang Pemilu.

Politisi ’tajir’ alias banyak uang pastilah akan merajai pentas-pentas silaturahmi selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Sedangkan yang tipis ’modal’ cukup berkeliling kampung sambil ’mendendangkan’ perubahan jika ia masuk dalam kelompok pengelola negeri.

Forum silaturahmi tentu merupakan ujian bagi publik untuk melihat, menyimak, seberapa kuat kemampuan, talenta para politisi itu untuk masuk menjadi kandidat pengelola negeri. Apakah cukup pantas dan mampu memperbaiki negeri ini?

Saran saya; jangan mudah tertipu dengan janji-janji para pengobral janji. *

Bukit Soeharto


Keserakahan telah menutup mata. Saat ini, setidaknya ada 20 perusahaan tambang mengepung Bukit Soeharto yang statusnya adalah Tahura alias Taman Hutan Raya.

Istilah Tahura untuk memberi gambaran bahwa di sana ada zona-zona yang dilindungi, seperti konservasi, pendidikan dan wisata alam. Kawasan itu juga sebagai bagian memberikan keseimbangan lingkungan, agar tidak semua kawasan sebuah daerah diolah terbuka.

Apa yang diharapkan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dengan memberikan izin Kuasa Pertambangan (KP) terhadap 20 perusahaan itu? Bukankah Kukar adalah daerah yang kaya raya dengan APBD di atas Rp6 Triliun per tahun?

Kalau yang diharapkan adalah PAD (Pendapatan Asli Daerah), maka itu hanya alasan yang dibuat-buat. Sebab jika dibuat kalkulasi mengenai berapa besar pendapatan Kukar dari sektor batubara berijin KP, maka sebenarnya tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang dibuatnya.

Sudah bukan rahasia bahwa tidak ada satupun perusahaan pemegang KP di daerah itu yang memenuhi standard lingkungan dalam menjalankan usahanya. Lobang-lobang eks tambang lebih banyak dibiarkan menganga, dari pada ditimbun kembali dan kemudian disuburkan. Lahan-lahan itu ditinggalkan dalam kondisi rusak parah.

Yang terjadi kemudian adalah pemerintah menggelontorkan uang untuk membenahi lingkungan yang rusak tersebut. Uang dari bagi hasil seperti royalti, tidaklah cukup untuk memulihkan lahan-lahan yang semula subur untuk tanaman tersebut.

Puluhan bahkan mungkin lebih seratus perusahaan tambang batubara di Kutai Kartanegara terbukti tak membuat masyarakat di daerah itu menjadi lebih meningkat taraf hidupnya. Sebab umumnya pengelola tambang adalah pengusaha dari luar daerah yang setelah mendapat untung berlimpah, membelanjakan uangnya di daerah mereka sendiri.

Kok, pemerintah memberi izin usaha yang didominasi untuk kepentingan pengusaha saja? Hal itu bisa terjadi karena adanya kongsi antara penguasa dan pengusaha. Kongsi ini adalah bentuk korupsi karena menguntungkan diri sendiri atau menguntungkan kelompok lainnya.

Pada gilirannya rakyat di sekitar tambang juga yang akhirnya menderita. Mereka tidak lagi bisa memanfaatkan lahan yang rusak untuk bercocok tanam, sementara setiap hari bermandi debu ketika musim panas dan becek pada musim hujan.

Kondisi memprihatinkan ini mestinya disadari oleh kalangan pejabat pemerintahan Kukar. Dengan APBD yang luar biasa besar, sudah cukup untuk mengelola sumber daya yang ada agar lebih arif terhadap lingkungan. Sumber daya mineral yang tersisa mestinya dibiarkan disimpan untuk generasi berikutnya. Jangan sampai generasi mendatang hanya disisakan bencana. *

Minggu, 21 September 2008

Krayan



Oleh: Charles Siahaan

Ini kali kedua saya menulis tentang Krayan, sebuah kecamatan paling ujung Kaltim yang berbatasan dengan Malaysia. Pekan lalu, warga di sana marah. Mereka menyandera sebuah pesawat regular Dirgantara Air Service (DAS) yang datang ke kampung mereka di daerah paling ujung Provinsi Kalimantan Timur.

Tak hanya itu, puncak kemarahan juga terlampiaskan di Bandara perintis Nunukan. Warga Krayan yang tidak terangkut dengan pesawat tersebut – setelah berbulan-bulan menunggu giliran terbang – menumpahkan emosinya dengan membakar fasilitas bandara tersebut.

Aksi mereka jadi perbincangan hangat. Sebab itulah perwujudan puncak kemarahan warga Krayan yang mayoritas berasal dari suku Dayak. Klimaks dari kekecewaan rakyat di sana karena pemerintah terkesan tak memperhatikan hidup mereka.

Keluhan rakyat di Krayan selalu dianggap sebagai persoalan klise. Pemerintah sepertinya hanya menerima keluh kesah, tanpa ada tindakan untuk mengatasi kondisi warga Indonesia di perbatasan itu.

Surat kabar telah berkali-kali mengingatkan akan adanya potensi bahaya akibat penderitaan warga Krayan. Bayangkan, walaupun letak geografis Krayan berada di Provinsi Kalimantan Timur, tapi sampai Indonesia Merdeka 63 tahun tidak juga ada jalan tembus darat tersambung ke kampung mereka. Alhasil, selama puluhan tahun itu, warga di sana lebih akrab dengan transportasi pesawat terbang kecil yang jadwal terbang dan jumlah penumpangnya sangat terbatas.

Rakyat Krayan telah mengalami masa-masa termarginalkan sangat lama. Kampung merkea, justru sudah tersambung jalan darat dengan daerah di Serawak Malaysia Timur. Dengan jalan darat itulah warga Krayan bisa memasarkan hasil pertanian dan peternakan ke negara tetangga itu. Hubungan mereka menjadi lebih dekat dengan warga Malaysia.

Tak heran, kalau publik di Kaltim sering mendengar ucapan emosi warga Krayan yang meneriakkan kata; Merdeka.

Lebih ironis lagi, karena warga Krayan hanya dijadikan objek untuk mendulang suara para politisi, baik legislatif maupun eksekutif. Tiap kali menjelang hajatan politik Pemilu dan Pilkada, maka beribu janji dilontarkan kepada warga Krayan. Terutama janji untuk membuka isolasi jalan darat. Tapi usai itu, mereka melupakan janji itu.

Sebenarnya, rakyat di Krayan juga banyak yang berhasil dalam dunia pendidikan maupun pejabat politik dan pemerintahan. Tapi, mereka pun sepertinya tidak kuasa melakukan perubahan. Entah, mengapa mereka tidak pernah bersatu menjadi kelompok penekan? **

Pejabat Lelah


Oleh: Charles Siahaan

SUATU hari saya ngobrol dengan seorang petinggi pemerintahan di Kutai Kartanegara. Inti cerita adalah situasi politik lokal yang belakangan jadi tidak karuan. Semua pejabat takut melaksanakan program yang berkaitan dengan anggaran. Ini karena sudah banyak pejabat dari Kalimantan Timur yang terpaksa masuk penjara karena terlibat korupsi.

Membahas lebih dalam persoalan itu, maka ada tuduhan semua itu terjadi karena orang di daerah saling becakut – istilahnya saling berkelahi. Ini dimulai sejak jaman Syaukani HR mulai berambisi merebut kursi Ketua Golkar Kaltim lewat Musdapat (Musyawarah Daerah Dipercepat).

Sejak itulah iklim politik terasa panas sekali. Syaukani bermusuhan dengan Suwarna AF, yaitu orang yang dibelanya habis-habisan dalam Musdapat Partai Golkar agar menjadi Gubernur Kaltim periode 2004 - 2009. Perkelahian Syaukani – Suwarna yang diistilahkan sebagai pertempuran dua gajah itu membuat suasana tegang di Bumi Etam. Apalagi masing-masing punya gerbong kekuatan yang bisa saja berbenturan fisik sewaktu-waktu. Syaukani dari sipil dan Suwarna dari militer berpangkat Mayor Jenderal Purnawirawan pula.

Dua-duanya akhirnya masuk penjara. Tidak ada yang menang atau kalah dalam pertempuran dua gajah tersebut. Tapi dampaknya bagaikan bius yang mempengaruhi seluruh pejabat pemerintahan, politisi, generasi muda dan aktivis-aktivis LSM. Mereka saling ’menerkam’ agar lawan politik terjungkal.

Politik yang terasa kejam itu yang dimaksud dalam cerita pejabat tadi, sehingga membuat dirinya dan juga rekan-rekan sejawatnya menjadi lelah. Terlalu lelah mengikuti para politisi yang bertengkar, terlalu lelah menyaksikan para politisi dan pejabat pemerintahan akhirnya masuk penjara.

Sepertinya semua semata-mata diukur oleh kekuasaan. Kerakusan untuk berkuasa yang telah menggelapkan mata. Tak ada lagi nurani persaudaraan, semua ’terbakar’ karena simbol-simbol kekuasaan.

Saya jadi teringat pula dengan sebuah iklan kampanye Pilgub Sumatera Selatan, yaitu tampilnya Tantowi Yahya menjadi model iklan seorang pasangan cagub – cawagub Alex Noerdin-Eddy Yusuf.

Tantowi barangkali sah-sah saja menjadi model iklan, tapi yang menjadi tidak nyaman karena dalam Pilgub itu ada kompetitor pasangan Syahrial Oesman yang berpasangan dengan Helmy Yahya, saudara kandung dari Tantowi Yahya. Ya, begitulah politik yang mampu membuat persaudaraan bisa terikut retak. *

Jumat, 29 Agustus 2008

Keluarga


Oleh: Charles Siahaan

MUSIM kampanye calon legislative sudah tiba. Seiring dengan dimulainya pendaftaran oleh 38 partai politik, spanduk, selebaran yang mencantumkan foto-foto kandidat caleg juga muncul bak jamur di musim hujan.

Surat kabar termasuk yang laris manis menjadi ajang promosi. Termasuk juga majalah dan radio yang dianggap menjadi media efektif untuk pencitraan seseorang. Pendek kata, saat ini jamannya sedang TP alias tebar pesona.

Saya ditanya oleh seseorang yang ingin melaju ke bursa caleg tingkat nasional. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya mencitrakan dirinya agar dikenal dan memiliki daya pikat di masyarakat.

Tentu ini bukan pekerjaan mudah. Walau saya tahu jawabannya adalah upgrade reputasi dan prestasi. Caranya bisa melalui media massa sebagai sarana yang paling efektif walau tak berbiaya murah.

Sebuah kegiatan bernama upgrade sendiri memerlukan kreatifitas yang tajam. Tidak cukup dengan cara selalu tampil berapi-api menentang program-program pemerintah atau dengan menunjukkan sikap sosial membantu sarana dan prasana di kampung-kampung seperti menyumbang semen untuk perbaikan jalan.

Saya jadi teringat bagaimana seorang Barack Obama melaju di penyisihan partai Demokrat dan akhirnya masuk medan konvensi mengalahkan Hillary Clinton. Obama yang berusia 46 tahun menjadi begitu digandrungi, bukan saja dari mereka yang berkulit hitam, tetapi juga kelompok kulit putih lainnya. Termasuk kalangan perempuan, anak-anak jalanan dan juga warga di seluruh dunia.

Barack Obama telah menjadi fenomenal. Ia hadir untuk menjawab keragu-raguan bangsa di seluruh dunia bahwa jangan pernah bermimpi melihat seorang kulit hitam menjadi presiden di Amerika Serikat. Jangan pernah mengira bahwa bangsa Amerika tidak menyukai tokoh kulit hitam.

Obama telah berhasil merebut hati para keluarga di Amerika dan seluruh dunia. Latar belakang keluarganya yang terpecah akibat perceraian perkawinan justru menjadi sumber kekuatan Obama sebagai seorang figur yang sangat memahami persoalan antarbangsa.

Persoalan keluarga ternyata memang mampu dikemas oleh Obama menjadi bagian yang membangkitkan simpati. Ia memulainya dari media online alias website yang menghadirkan dirinya bersama istri dan dua orang anaknya. Jelas sekali, begitu mengunjungi situs Obama, maka yang muncul adalah persepsi kita bahwa inilah keluarga yang bahagia.

Ya, keluarga. Itulah salah satu cara untuk mengupgrade seseorang agar dicintai oleh rakyatnya. Sama seperti untuk para caleg itu, alangkah indahnya kalau sejak dini popularitas dibangun dengan menunjukkan kepada publik bahwa caleg itu adalah seorang yang berhasil membangun keluarga bahagia. *

Merdeka

Oleh: Charles Siahaan

Selama lima tahun terakhir, saya selalu membuat catatan menyambut hari Kemerdekaan RI. Tahun ini pun - ketika bumi Nusantara merdeka berusia 63 tahun, sayang rasanya untuk tidak menumpahkan segala uneg-uneg yang sedang dialami bangsa ini.

Hari Kemerdekaan yang jatuh pada hari Minggu tadi bertepatan pula dengan dimulainya partai-partai politik mendaftarkan calon legislatif ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di daerah, hiruk pikuk juga terjadi mulai dari pengurusan administrasi surat keterangan kelakuan baik di kantor polisi sampai keterangan sehat.

Berbarengan dengan itu para politisi juga memulai kampanyenya, terutama mengenai program yang akan diperjuangkan kelak jika duduk sebagai anggota DPR. Umumnya para politisi itu mengangkat persoalan kemiskinan yang menurut sisi pandang mereka tak kunjung membaik.

Tema kemiskinan itu nyaris sama dengan keluhan saya lima tahun lalu. Bahkan sejak 20 tahun silam ketika Presiden Soeharto berkuasa. Di jaman Soekarno dan penjajahan Belanda atau Jepang, kondisinya lebih parah lagi.

Mengapa tema kemiskinan selalu diupdate? Saya jadi teringat dengan para artis yang rame-rame terjun ke politik. Ternyata umumnya para selebriti itu juga tertarik untuk mengatasi kemiskinan dengan visi yang diyakini para artis itu paling benar. Dari sebagian besar pernyataan para artis itu akhirnya memberi kesimpulan kalau isinya; kosong. Mereka sangat diragukan mampu membawa negeri ini menjadi lebih baik.

Kemiskinan telah menjadi komoditas politik. Alat retorika yang tak perlu dipertanggungjawabkan kelak ketika publik telah memilihnya ke kursi kekuasaan. Setiap perayaan hari Kemerdekaan, isu itu berulang dan biasanya disertai kalimat tambahan; itu bukti rakyat Indonesia belum merdeka.

Kemiskinan dan kemerdekaan seringkali dikait-kaitkan. Warga Indonesia yang tinggal di pedalaman selalu berkata kalau mereka belum merdeka. Mereka seperti hidup di pengasingan yang tak terjangkau akses jalan darat dan tidak ada alat-alat komunikasi. Itu sebabnya tiap merayakan hari kemerdekaan kita masih membicarakan kemiskinan. Kita memang belum benar-benar merdeka. *

Tokoh Muda

Oleh: Charles Siahaan

ACARA Musdalub Golkar, 3 Agustus 2008, di Hotel Blue Sky Balikpapan, diwarnai munculnya tokoh-tokoh baru, yang muda, berwawasan, berduit. Diantara sejumlah wajah para senior, anak-anak muda itu kentara sekali berusaha masuk ‘menguasai’ medan. Beberapa aktivis mahasiswa yang dulu sering demonstrasi di jalanan simpang Vorvo Samarinda dan Gedung DPRD Kaltim juga tidak malu-malu lagi mengenakan baju kebesaran Partai Golkar, kuning.

Tak bisa dipungkiri, itulah bukti adanya perjalanan waktu yang telah membentuk regenerasi. Sangat terasa laju generasi muda yang mengusung tema pembaharu semakin cepat gerakannya. Bahkan terkesan meletup-letup.


Pergolakan batin tengah terjadi di mana kelompok tua dianggap sebagai generasi yang gagal membangun negeri – terutama lantaran masih besarnya angka kemiskinan – tapi masih berusaha menjadi ‘nakhoda’ negeri. Sedangkan anak-anak muda merasa tiba waktunya untuk menggantikannya.

Pergolakan itu di mana-mana. Di pemilihan ketua RT, di perkumpulan-perkumpulan, di organisasi massa dan juga partai politik. Seperti yang terjadi di tubuh Golkar, adu kekuatan tokoh muda dan tua juga menjadi lebih terasa.

Di seluruh negeri, ketika rakyat sedang membicarakan siapa calon presiden pada tahun 2009, nyaris sedikit sekali wajah baru yang muncul. Yang ada adalah Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Jusuf Kalla, dlsb.

Fakta itu yang semakin membakar semangat generasi baru. Misalnya Rizal Mallarangeng dengan ikonnya "RM 09" dengan penuh percaya diri menyatakan niatnya untuk maju dalam pertarungan Pemilihan Presiden 2009 mendatang.

Adik kandung Andi Alfian Mallarangeng itu menumpahkan uneg-unegnya; bahwa latar belakang keinginannya untuk maju, karena sudah bosan dengan
tokoh-tokoh yang ada.
"Ya saya bicara bukan atas Rizal pribadi. Tapi
sebagai generasi. Saya menghormati, SBY, Megawati, Gus Dur, Sultan dan
Amien Rais. Tapi, ya jangan cuma mereka saja. Kalau negara lain bisa
memunculkan tokoh-tokoh baru, kenapa Indonesia tidak?
Setelah 10 tahun
kok Gus Dur, Amien Rais aja," kata Rizal.

Ya, partai Demokrat di Amerika Serikat bisa melahirkan tokoh muda Barack Obama, mengapa partai-partai di Indonesia masih berkutat dengan tokoh tua?

Lowongan Politisi

Oleh: Charles Siahaan

ADA lowongan pekerjaan. Namanya; politisi. Yaitu pekerja politik yang kalau mujur bisa duduk sebagai Bupati, Gubernur bahkan Presiden. Bagi pemula, ya coba-coba saja menjadi anggota DPRD Kota / kabupaten.

Seorang teman dengan antusias bercerita tentang bagaimana ia membangun partai. Duit, waktu dan perhatian terhadap keluarga menjadi berkurang karena seringnya menghadiri rapat-rapat partai sampai malam hari. Apalagi, partai yang dipimpinnya adalah baru.

“Waktu kami buka pendaftaran menjadi calon legislatif, wah luar biasa yang mendaftar,” ujar teman tadi. Digambarkannya sejumlah tokoh yang selama ini aktif di Parpol-parpol terkenal ikut masuk ke parpol baru itu.

Di era pemberantasan korupsi yang begitu keras – dengan ditangkapnya sejumlah politisi di negeri ini – ternyata lowongan pekerjaan menjadi politisi masih sangat diminati. Tidak sedikit para pengusaha, guru, dosen dan aktivis yang ingin beralih kerja dengan terjun langsung menjadi pekerja politik. Kebetulan, pendaftaran sedang dibuka karena ada 34 partai politik yang sedang mencari kandidat anggota DPRD pada Pemilu 2009 nanti.

Ada sejumlah alasan mengapa seseorang memilih bekerja politik. Salah satu yang paling paten adalah ingin mengabdikan diri kepada negara, rakyat. Ingin berbuat bagi negeri agar rakyat mendapat kesejahteraan, pendidikan memadai dan hidup makmur. Amin.

Begitu tinggi dan mulia pekerjaan seorang politisi, sehingga muncul pertanyaan apakah seorang pedagang bakso, buruh bangunan, pegawai perusahaan swasta, wartawan, merupakan pekerjaan mulia juga?

Tentu banyak yang setuju ada tingkatan kemuliaan yang lebih sehingga mengapa banyak yang memilih menjadi politisi. Sebab pekerjaan itu mendekatkan seseorang dengan kekuasaan. Dalam bahasa sehari-hari membuat seseorang berada di lingkaran tingkat atas, jetset, dlsb.

Lantaran berada di lingkaran kekuasaan, maka risiko pun semakin besar. Kekerasan dunia politik membuat seseorang dengan mudah melejit, tapi bisa dengan mudah terpeleset dan jatuh ke jurang. Lebih mengerikan lagi kalau pada akhirnya berbuntut pada tindakan penyalahgunaan wewenang yang masuk katagori korupsi. ”Kalau pengusaha menyalahgunakan wewenang tidak terkena kasus korupsi. Tapi kalau politisi yang menjadi pejabat negara, bisa ditangkap korupsi,” ujar teman tadi.

Karena bayangan kenyamanan dan kekerasan dunia politik itu, kini tidak semua para ketua partai mau mengejar posisi sebagai anggota DPRD atau bupati/walikota dan gubernur. Mereka lebih aman berada di jalur swasta, tapi tetap punya akses dan jaringan politik untuk menguatkan posisinya.

Ya, jaman sudah berubah, kini lowongan politisi tak harus memaksa seseorang masuk lebih dalam. Banyak diantara ketua partai kini mengabdi di partai saja tanpa harus memasuki jabatan publik di pemerintahan. *

Inlander

oleh: Charles Siahaan

AMIEN Rais marah dengan kondisi bangsa ini. Ia menumpahkannya dalam sebuah buku “Selamatkan Indonesia”. Dalam sebuah kalimat ia menyebut penderitaan berkepanjangan yang diderita bangsa ini, adalah akibat mentalitas inlander para elite politik dan pemerintahan kita.

Mentalitas inlander boleh diartikan sebagai sikap bangsa Indonesia yang menerima penjajahan oleh Belanda (asing). Mental rendah diri menghadapi orang asing yang datang menjajah dan menguasai sentra-sentra ekonomi. Termasuk juga mental melakukan korupsi, sehingga negeri ini kian terpuruk.

Saya jadi ingat para pendiri negeri ini ketika memberikan izin-izin pertambangan minyak dan gas serta batubara. Apakah waktu itu para stakeholder negeri ini memang seperti dituduhkan Amien Rais; bermental inlander. Sehingga para penguasa tak kuasa untuk menolak tawaran asing yang menginginkan sumber daya alam Indonesia dengan rayuan memajukan investasi Indonesia.

Bangsa Indonesia memang sudah masuk dalam jebakan bangsa asing. Hukum kita, undang-undang Indonesia tak lepas dari pengaruh kekuatan asing untuk menyelematkan investasi mereka di Indonesia. Saya setuju dengan Amien Rais bahwa pemimpin yang dibutuhkan pada 2009 nanti adalah pemimpin yang berani mendisain ulang kontrak-kontrak usaha kerja dengan perusahaan asing.

Kedaulatan Indonesia hanya sebuah cerita tentang kecintaan anak bangsa pada negerinya. Cerita tentang kegigihan perjuangan anak bangsa untuk membela negerinya. Di balik semua itu sesungguhnya kekuatan korporasi asing telah mendikte pemerintahan kita. Bukan saja perekonomian nasional, tetapi juga kebijakan politik dan pertahanan.

Mentalitas inlander juga terasa kuat di Kalimantan Timur. Sumber daya alam diberikan kepada kelompok-kelompok yang mendukung ketika pemilihan bupati atau walikota. Para penguasa tunduk kepada kemauan korporasi, sehingga meninggalkan kepentingan yang lebih besar; kesejahteraan rakyat. Para pemodal mengatur para penguasa.

Nyata sekali, mentalitas inlander telah turun menurun ke stakeholder di daerah. Warisan itu mengalir seiring perubahan sentralisasi kekuasaan ke otonomi daerah. Dalam skala yang lebih kecil, kekuatan korporasi dengan mudah dan murah menguasai elemen-elemen di daerah.

Semua sumber alam yang berada dalam jangkauan domain daerah, jatuh ke tangan para pengusaha yang berkongsi illegal dengan pejabat publik yang sedang berkuasa. Pertambangan batubara, perkebunan sawit, tambak, telah menjadi ‘dompet’ para politikus untuk menguatkan kekuasaannya.

Inilah persoalan kita. Rakyat patut berusaha merubahnya. Ayo bangkit!

Presiden

Oleh: Charles Siahaan

DINAMIKA Pemilu Presiden RI ke-7 sudah terasa walau hajatan itu baru dilaksanakan pada 9 April 2009 nanti. Siaran televisi mulai menampilkan bakal calon kandidat Presiden, mulai dari yang memang potensial karena sudah pasti bakal maju dan yang hanya memasang iklan.

Sebutlah nama Megawati Soekarnoputri yang nampaknya tidak kendur lagi untuk maju. Kemudian Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) serta Jusuf Kalla (JK). Yang belum jelas apakah SBY bakal maju bersama JK atau mereka memilih jalan sendiri-sendiri.

Amien Rais terlanjur bersuara kepada publik bahwa dari ia sudah terlalu tua, karena menurutnya era dirinya adalah pada Pemilu 2004. Meski demikian masih banyak orang Indonesia mengharapkan Amien Rais kembali ke medan pertarungan.

Yang menarik, para purnawiran perwira tinggi TNI juga bakal ambil bagian. Sebut saja Wiranto, mantan Pangab yang kini memimpin Partai Hanura, Sutiyoso (Bang Yos) yang masih bergerilya mendekati partai-partai politik dan juga Prabowo Subianto (mantan Pangkostrad) yang kini diusung Partai Gerindra. Dengan demikian, setidaknya ada empat Jenderal yang bakal meramaikan bursa kandidat Presiden RI ke-7.

Dari ruang yang lain, yakni jalur independen, nampaknya juga sudah mulai bermunculan nama-nama. Misalnya Rizal Mallerengeng yang kini kerap tampil membawa misi perubahan oleh orang muda. Kemudian di internet juga sudah muncul nama Budiman Sujatmiko, tokoh muda pergerakan yang bergabung di PDI Perjuangan. Kalau Budiman benar-benar ingin maju, nampaknya ia harus keluar dari PDI Perjuangan karena partai itu sudah mengusung sang ketua umum Megawati Soekarnoputri.

Kalau pada akhirnya PKS, PPP, PAN dan PBB juga mengusung calon presidennya, maka setidaknya sudah ada lebih 10 calon kandidat pada saat ini. Kemungkinan jumlah itu bakal semakin mengecil ketika partai-partai mengetahui jumlah perolehan suara pada Pemilu legislatif 9 April 2009.

Fenomena yang muncul adalah, semakin banyak rakyat Indonesia dari lintas generasi yang berani maju sebagai kandidat Presiden. Dunia politik kian seru karena banyak generasi bangsa ingin membuktikan bahwa mereka bisa mengatasi keterpurukan negeri ini dengan cara mereka.

SBY dalam masa kepemimpinan 2004-2009 sudah berbuat terutama membenahi pemerintahan menjadi lebih bersih. Kasus-kasus korupsi terbongkar dan banyak melibatkan sejumlah pejabat sipil maupun militer. Tapi ia terpuruk karena kebijakannya menaikkan harga BBM benar-benar membuat rakyat menjadi bertambah susah. Pondasi ekonomi mungkin sudah semakin membaik, tapi keadilan dalam distribusi hasil sumber daya alam masih jauh panggang dari api. Negara masih tak bergerak mengatasi keserakahan korporasi asing menggarap ladang-ladang minyak dan gas serta batubara di negeri ini. **

Tambang


Oleh: Charles Siahaan

SUATU kali saya membaca sebuah kalimat; ”tambang itu kutukan?” Kalau tidak salah kalimat itu berasal dari seorang pakar ekonomi penerima Nobel tahun 2001, Joseph Stiglitz, yang dikenal dengan karyanya ‘resource curse’ atau ‘kutukan sumberdaya alam’.

Kalimat itu memaksa saya berpikir apa benar demikian. Bukankah negeri-negeri yang menghasilkan tambang minyak di kawasan Timur Tengah misalnya adalah negeri yang makmur? Mereka mensejahterakan rakyatnya dari hasil menjual minyak dan gas ke seluruh dunia.

Barangkali cerita Stiglitz diilhami oleh fakta sejarah di mana kemilau tambang seperti emas, migas, batubara dan nikel lainnya telah membuat banyak manusia, negara saling berlomba mencarinya. Seperti kisah pada awal tahun 1500-an ketika Raja Ferdinand dari Spanyol menetapkan prioritas kepada para conquistador (penakluk) hambanya yang akan berangkat mencari ”dunia baru”; "Bawa pulanglah emas," perintah raja kepada mereka.. ”Kalau bisa, dapatkan semanusiawi mungkin, tapi apapun risikonya, bawalah emas."

Minyak juga telah menjadi sumber konflik dibeberapa negara. Negara super power seperti Amerika Serikat talah lama dicurigai mengintervensi Irak karena tergiur ingin mengelola dan memperoleh hak membeli minyak negeri itu.

Di Indonesia, lumpur Lapindo di Jawa Timur adalah salah satu contoh nyata bahwa migas telah menjadi kutukan. Belum lagi cerita rakyat sekitar tambang yang tidak pernah mendapatkan kenyamanan kehidupan, walau hasil bumi di sekitar mereka dikeruk habis. Cerita tentang kesengsaraan rakyat pasca tambang justru lebih sering terdengar dari pada pertumbuhan kualitas hidup rakyatnya.

Beberapa riset membuktikan sejak adanya pertambangan di suatu daerah, maka dampak yang sudah pasti selain kerusakan lingkungan adalah meningkatnya tindakan kriminal. Secara berurutan kasus-kasus terbesar yang muncul adalah penyiksaan, perkosaan, pembunuhan, penculikan, penangkapan secara tidak sah, pencarian dan intimidasi, diskriminasi dalam ketenagakerjaan, serta pelarangan beraktivitas.

Kemudian – menurut data Walhi – munculnya kasus pelanggaran terhadap hak penghidupan secara subsistem yang berasal dari perampasan dan penghancuran ribuan hektar hutan, termasuk wilayah berburu dan berkebun masyarakat, serta kontaminasi sumber air dan wilayah penangkapan ikan, pelanggaran terhadap hak budaya, termasuk penghancuran gunung dan tempat-tempat lain yang bersifat spiritual dan dianggap suci oleh masyarakat adat. Sedangkan hal lainnya adalah terjadinya pemindahan masyarakat secara paksa dan perusakan rumah-rumah, gereja, dan tempat-tempat tinggal lainnya.

Di Kalimantan Timur ’kutukan tambang’ itu juga sepertinya sudah terjadi. Kota Sanga-sanga Kukar yang lebih seratus tahun digarap minyaknya, tak juga membuat kawasan daerah itu maju. Begitu pula dengan kawasan batubara yang digarap PT Kaltim Prima Coal di Kutai Timur.

Yang terjadi, masyarakat hanya menjadi penonton. Dan celakanya, sebentar lagi ketika tambang sudah habis digarap, tinggal masyarakat sekitar tambang yang menanggung derita akibat kerusakan lingkungan di sana. *

Senin, 07 Juli 2008

Kemegahan Kaltim


Oleh: Charles Siahaan

MEGAH, mewah. Itu opini yang terbangun setelah menyaksikan upacara pembukaan PON XVII di Stadion Utama Palaran Samarinda, Sabtu (6/7) lalu. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama istri dan sejumlah Menteri ikut menjadi saksi mata kemegahan itu.

Di situasi harga minyak mentah telah melonjak mendekati angka US$ 150 per barel yang berarti semakin besar subsidi pemerintah, tapi ‘hari gene’ masih ada perhelatan super mewah di bumi Kalimantan Timur.Tercatat, setidaknya Rp4,5 triliun uang yang bersumber dari APBD Kaltim digelontorkan sejak persiapan mendirikan venues-venues sampai penyelenggaraan PON.

Sebuah kemegahan memang mahal harganya. Bahkan ada yang berpendapat untuk pesta PON, Kaltim wajib membuktikan sebagai yang terbaik; ’’biar tekor yang penting kesohor”. Tidak apa-apa dana APBD dihabiskan untuk itu, toh 50 tahun ke depan belum tentu daerah ini menyelenggarakan kembali even tersebut.

”Biar tekor asal kesohor” boleh jadi adalah sikap mental peninggalan era Orde Baru. Lantaran sistim sentralistik pemerintahan yang berakibat tidak meratanya pembangunan sarana dan prasarana di provinsi dan kabupaten / kota.

Dana-dana pembangunan dikonsentrasikan lebih dari 60 persen APBN untuk pembangunan fisik di Pulau Jawa. Itu sebabnya, tidak heran kalau daerah-daerah di sana menjadi daerah ’saudara tua’ yang lebih dulu berkembang, dengan hasil produksi juga mudah terdistribusi. Bandingkan dengan Kalimantan yang antar propinsi saja belum bisa tersambung semua, apalagi antar kabupaten dan kecamatan.

Orang-orang daerah benar-benar dahaga. Mereka ingin keluar dari lingkar kemiskinan dan menikmati kesetaraan dengan ’saudara tuanya’. Kemegahan dan kemewahan peradaban yang sudah dinikmati orang-orang kota, ingin pula dirasakan oleh warga di kabupaten/kota lainnya. Muncul hasrat, pemberontakan diri bahwa Indonesia itu bukan hanya Jakarta.

Jawaban itu ada di otonomi daerah. Kebijakan yang berpindah dari dominasi pemerintah pusat ke daerah. Euphoria itu yang pada akhirnya membuat keberanian rakyat di Palembang dan Kaltim mengangkat tangan sebagai tuan rumah PON. Keberanian yang tidak pernah terpikirkan di era Orde Baru.

Cukupkah dengan euphoria itu? Tentu tidak. Daerah-daerah kaya penghasil minyak patut bersatu padu untuk terus memantapkan hati, bahwa hasil bumi Kaltim memang sebesar-besarnya untuk rakyat Kaltim. Bukan untuk pembangunan Pulau Jawa lagi. *

PON


Oleh: Charles Siahaan

Setiba di Stasion Kereta Api Gambir Jakarta dari perjalanan malam Yogyakarta, saya merasa dipermalukan oleh seorang lelaki paruh baya. Ketika itu ia sedang melakukan reservasi hotel di sebuah konter.

”Dari Jakarta saya mau ke Kaltim. Ada hotel yang bagus nggak di sana,” kata lelaki itu kepada petugas di konter reservasi hotel.

Mendengar kalimat tersebut, spontan muncul emosi. Tapi saya cepat menutupi dengan menyapa ramah; ”oh, bapak mau ke Kaltim ya. Ke Balikpapan atau Samarinda Pak. Banyak kok hotel yang bagus di sana,” ucap saya sambil menyebut nama sejumlah hotel berbintang di kedua kota tersebut, sambil pula mengenalkan diri sebagai orang Kaltim.

Tiba-tiba lelaki itu nyerocos tentang persiapan Kaltim menjadi tuan rumah PON XVII yang menurut sisi pandangnya belum siap. Rupanya lelaki ini adalah salah seorang official dari kontingen Jawa Barat yang bakal mengecek semua keperluan akomodasi dan transportasi rombongan Jabar di Kaltim. ”Kaltim nggak siap. Itu stadionnya aja masih gersang,” ujarnya, seraya mengatakan walau belum pernah melihat langsung, tapi sudah mendengar kabar ketidaksiapan tersebut.

Entah kenapa tiba-tiba ada panggilan hati bahwa Kaltim tidak patut ’dipermalukan’ begitu. Walaupun dalam keseharian sebagai seorang jurnalis yang biasa melakukan kritik tentang belum siapnya Kaltim menyelenggarakan PON, tapi ketika orang dari Jawa Barat yang mengatakan ketidaksiapan tersebut, terasa membuat hati tidak menerimanya. Ada dorongan kuat untuk membela Kaltim.

Ini adalah bius olahraga. Bius yang mampu membangkitkan semangat setiap orang Kaltim untuk membela daerahnya. Semangat untuk menyatukan semua potensi kedaerahan yang sempat terpecah-pecah oleh kondidi politik dan sosial.

Ketika warga Kaltim berbicara politik lokal, kita boleh berwarna-warni, tapi bicara olahraga dalam PON, kita hanya punya satu kalimat kunci; ’Kaltim Harus Menang”.

Inilah saatnya melupakan sejenak perbedaan-perbedaan yang cenderung membuat orang Kaltim seperti konyol dan bodoh. Bayangkan, gara-gara perbedaan politik yang terlalu lama telah menciptakan dendam kesumat para politikusnya. Suwarna AF dan Syaukani HR masuk penjara gara-gara berseberangan politik yang berbuntut saling mengadukan kasus korupsi. Syaiful Teteng yang satu-satunya orang daerah dengan pangkat eselon I dan paling berhak menjadi Plt Gubernur, dijegal oleh DPRD Kaltim dan memilih pejabat yang didrop dari pusat.

Rakyat Kaltim membutuhkan penyegaran dan kesempatan itu datang dalam wujud even PON. Mari kita satukan kembali semangat persatuan, kobarkan semangat kejayaan Kaltim. Ayo bangkit!

PON


Oleh: Charles Siahaan

Setiba di Stasion Kereta Api Gambir Jakarta dari perjalanan malam Yogyakarta, saya merasa dipermalukan oleh seorang lelaki paruh baya. Ketika itu ia sedang melakukan reservasi hotel di sebuah konter.

”Dari Jakarta saya mau ke Kaltim. Ada hotel yang bagus nggak di sana,” kata lelaki itu kepada petugas di konter reservasi hotel.

Mendengar kalimat tersebut, spontan muncul emosi. Tapi saya cepat menutupi dengan menyapa ramah; ”oh, bapak mau ke Kaltim ya. Ke Balikpapan atau Samarinda Pak. Banyak kok hotel yang bagus di sana,” ucap saya sambil menyebut nama sejumlah hotel berbintang di kedua kota tersebut, sambil pula mengenalkan diri sebagai orang Kaltim.

Tiba-tiba lelaki itu nyerocos tentang persiapan Kaltim menjadi tuan rumah PON XVII yang menurut sisi pandangnya belum siap. Rupanya lelaki ini adalah salah seorang official dari kontingen Jawa Barat yang bakal mengecek semua keperluan akomodasi dan transportasi rombongan Jabar di Kaltim. ”Kaltim nggak siap. Itu stadionnya aja masih gersang,” ujarnya, seraya mengatakan walau belum pernah melihat langsung, tapi sudah mendengar kabar ketidaksiapan tersebut.

Entah kenapa tiba-tiba ada panggilan hati bahwa Kaltim tidak patut ’dipermalukan’ begitu. Walaupun dalam keseharian sebagai seorang jurnalis yang biasa melakukan kritik tentang belum siapnya Kaltim menyelenggarakan PON, tapi ketika orang dari Jawa Barat yang mengatakan ketidaksiapan tersebut, terasa membuat hati tidak menerimanya. Ada dorongan kuat untuk membela Kaltim.

Ini adalah bius olahraga. Bius yang mampu membangkitkan semangat setiap orang Kaltim untuk membela daerahnya. Semangat untuk menyatukan semua potensi kedaerahan yang sempat terpecah-pecah oleh kondidi politik dan sosial.

Ketika warga Kaltim berbicara politik lokal, kita boleh berwarna-warni, tapi bicara olahraga dalam PON, kita hanya punya satu kalimat kunci; ’Kaltim Harus Menang”.

Inilah saatnya melupakan sejenak perbedaan-perbedaan yang cenderung membuat orang Kaltim seperti konyol dan bodoh. Bayangkan, gara-gara perbedaan politik yang terlalu lama telah menciptakan dendam kesumat para politikusnya. Suwarna AF dan Syaukani HR masuk penjara gara-gara berseberangan politik yang berbuntut saling mengadukan kasus korupsi. Syaiful Teteng yang satu-satunya orang daerah dengan pangkat eselon I dan paling berhak menjadi Plt Gubernur, dijegal oleh DPRD Kaltim dan memilih pejabat yang didrop dari pusat.

Rakyat Kaltim membutuhkan penyegaran dan kesempatan itu datang dalam wujud even PON. Mari kita satukan kembali semangat persatuan, kobarkan semangat kejayaan Kaltim. Ayo bangkit!

Kodrat


Oleh: Charles Siahaan

Bali memang menawan. Hampir semua sudut, setiap jengkal tanah begitu berharga. Pantas saja para turis dari mancanegara tak pernah berhenti memuji. Mereka mempromosikan daerah itu di negerinya, sehingga Bali bisa lebih populer dari pada Jakarta, ibukota negara Indonesia.

Rakyat dan pemerintah Bali juga tak hanyut dengan tekanan arus globalisasi. Kuatnya permintaan ratusan ribu orang bule setiap tahun di sepanjang jalan pantai Kuta, Legian, Sanur dan Nusa Dua, tak membuat mereka ikut kebarat-baratan.

Suasana di daerah pantai Kuta boleh seperti kota internasional. Pria bertelanjang dada dan perempuan berambut pirang berbikini, tapi masyarakatnya tetap berpakaian adat. Setiap pagi – tiga kali sehari – masyarakat Hindu di sana tetap melaksanakan ritual agama, membuat sesaji dan syukuran di depan rumah mereka.

Kekuatan masyarakat juga didukung pemerintah. Setiap desa di Bali dilindungi oleh aturan adat. Dan, ternyata justru kekuatan adat istiadat Bali itulah yang menjadi salah satu daya tarik turis, selain keindahan pantai dan deburan ombaknya.

Akhirnya Bali menjadi provinsi yang mandiri. Kekuatan sumber daya lokal berhasil dieksploitasi, tanpa merubah apapun. Rumah-rumah penduduk yang berpagar tembok bisa menjadi daya tarik para turis. Perkampungan nelayan di Jimbaran yang dibiarkan apa adanya justru memancing orang-orang asing berdatangan. Masyarakat dan pemerintah sangat yakin dengan kodrat Bali yang diberikan sang maha pencipta. Kodrat sebagai Pulau Dewata.

Saya jadi membandingkan dengan Kalimantan Timur. Begitu besarnya anggaran yang telah diterima dari sektor Migas yang digarap para pengusaha asing, tapi begitu getolnya pula sebagian Bupati membangun sentra ekonomi baru dengan cara merubah alam. Hutan budidaya dirombak menjadi perkebunan. Hutan dijadikan lahan tambang batubara dan kemudian dibiarkan lobang galiannya menganga.

Begitu bernafsunya para pemimpin lokal membangun perkebunan kelapa sawit. Merubah kodrat hutan alam menjadi perkebunan dengan alasan ingin mendapatkan uang dari sektor itu. Padahal, rakyat banyak yang tahu gara-gara merombak hutan alam menjadi perkebunan sawit membuat Gubernur Kaltim Suwarna AF dipenjara karena tuduhan korupsi disektor itu.

Mengapa para pemimpin di Kaltim tidak percaya dengan kodrat daerahnya masing-masing? Mengapa mereka lebih percaya dengan tuntutan pasar bahwa minyak sawit lebih ekonomis dan menghasilkan banyak pendapatan daerah nantinya? Mengapa para pemimpin di Kaltim tak pernah berpikir bahwa kerusakan lingkungan yang bakal terjadi akan membuat manusia di seluruh bumi harus membayarnya?

Seperti Bali, saya yakin bahwa daerah punya kodratnya sendiri-sendiri. Kodrat itu yang pantas dieksploitasi tanpa merusak lingkungan yang ada. Keinginan membangun perkebunan sawit boleh saja terjadi, namun dengan memanfaatkan lahan-lahan yang telah rusak. Bukan dengan cara merubah hutan alam. *

Kodrat

Oleh: Charles Siahaan

Bali memang menawan. Hampir semua sudut, setiap jengkal tanah begitu berharga. Pantas saja para turis dari mancanegara tak pernah berhenti memuji. Mereka mempromosikan daerah itu di negerinya, sehingga Bali bisa lebih populer dari pada Jakarta, ibukota negara Indonesia.

Rakyat dan pemerintah Bali juga tak hanyut dengan tekanan arus globalisasi. Kuatnya permintaan ratusan ribu orang bule setiap tahun di sepanjang jalan pantai Kuta, Legian, Sanur dan Nusa Dua, tak membuat mereka ikut kebarat-baratan.

Suasana di daerah pantai Kuta boleh seperti kota internasional. Pria bertelanjang dada dan perempuan berambut pirang berbikini, tapi masyarakatnya tetap berpakaian adat. Setiap pagi – tiga kali sehari – masyarakat Hindu di sana tetap melaksanakan ritual agama, membuat sesaji dan syukuran di depan rumah mereka.

Kekuatan masyarakat juga didukung pemerintah. Setiap desa di Bali dilindungi oleh aturan adat. Dan, ternyata justru kekuatan adat istiadat Bali itulah yang menjadi salah satu daya tarik turis, selain keindahan pantai dan deburan ombaknya.

Akhirnya Bali menjadi provinsi yang mandiri. Kekuatan sumber daya lokal berhasil dieksploitasi, tanpa merubah apapun. Rumah-rumah penduduk yang berpagar tembok bisa menjadi daya tarik para turis. Perkampungan nelayan di Jimbaran yang dibiarkan apa adanya justru memancing orang-orang asing berdatangan. Masyarakat dan pemerintah sangat yakin dengan kodrat Bali yang diberikan sang maha pencipta. Kodrat sebagai Pulau Dewata.

Saya jadi membandingkan dengan Kalimantan Timur. Begitu besarnya anggaran yang telah diterima dari sektor Migas yang digarap para pengusaha asing, tapi begitu getolnya pula sebagian Bupati membangun sentra ekonomi baru dengan cara merubah alam. Hutan budidaya dirombak menjadi perkebunan. Hutan dijadikan lahan tambang batubara dan kemudian dibiarkan lobang galiannya menganga.

Begitu bernafsunya para pemimpin lokal membangun perkebunan kelapa sawit. Merubah kodrat hutan alam menjadi perkebunan dengan alasan ingin mendapatkan uang dari sektor itu. Padahal, rakyat banyak yang tahu gara-gara merombak hutan alam menjadi perkebunan sawit membuat Gubernur Kaltim Suwarna AF dipenjara karena tuduhan korupsi disektor itu.

Mengapa para pemimpin di Kaltim tidak percaya dengan kodrat daerahnya masing-masing? Mengapa mereka lebih percaya dengan tuntutan pasar bahwa minyak sawit lebih ekonomis dan menghasilkan banyak pendapatan daerah nantinya? Mengapa para pemimpin di Kaltim tak pernah berpikir bahwa kerusakan lingkungan yang bakal terjadi akan membuat manusia di seluruh bumi harus membayarnya?

Seperti Bali, saya yakin bahwa daerah punya kodratnya sendiri-sendiri. Kodrat itu yang pantas dieksploitasi tanpa merusak lingkungan yang ada. Keinginan membangun perkebunan sawit boleh saja terjadi, namun dengan memanfaatkan lahan-lahan yang telah rusak. Bukan dengan cara merubah hutan alam. *

Putra Daerah

Oleh: Charles Siahaan

Sebagian rakyat Kaltim masih dilanda kegelisahan. Bayangkan, penduduk yang sudah lebih 50 tahun tinggal dan mengabdi di bumi etam ini masih juga disebut pendatang. Itu lantaran kalau diusut dari sisi keturunan, bukan orang ‘pribumi’ asli Kaltim.

Kegelisahan itu yang sering menjadi penghambat setiap individu untuk mengaktualisasikan diri dalam politik. Selalu ada batasan; ’ini wilayahku, maka aku yang putra daerah yang boleh jadi penguasa”.

Pada perhelatan Pemilihan Gubernur Kaltim yang menyisakan dua kandidat Awang Faroek Ishak – Farid Wadjdy (AFI) dengan Achmad Amins – Hadi Mulyadi (AHAD), persoalan putra daerah dan bukan putra daerah mencuat tajam kembali. Walau kata-kata yang berbau sentimen etnis itu tidak menjadi bahan kampanye dan propaganda dari para kandidat, tetapi telah menjadi perbincangan yang sengit di masyarakat Kaltim. Pilih siapa; putra daerah atau bukan?

Tak bisa dipungkiri, AFI yang menempati unggulan teratas pada Pilgub putaran pertama adalah refresentasi putra daerah. Awang yang keturunan kerabat kesultanan di Kutai dan Farid yang walau asal-usulnya suku Banjar, tetapi orangtuanya telah menjadi tokoh di daerah ini.

Sementara pasangan Achmad Amins – Hadi Mulyadi yang pada Pilgub putaran pertama berada di urutan kedua merupakan perpaduan antara pendatang dan putra daerah. Amins dilahirkan di suatu daerah Sulawesi, namun telah menghabiskan waktu remaja dan sekolah sampai menjadi Wali kota Samarinda di daerah ini. Sedangkan Hadi Mulyadi adalah putra kelahiran Samarinda, yang nenek buyutnya masih ada keturunan suku Dayak.

Sejak otonomi daerah digulirkan, persoalan putra daerah dan bukan putra daerah ikut menggelinding membatasi pergerakan para pendatang yang telah tinggal di daerah ini berpuluh-puluh tahun.

Ditambah dengan tumbuhnya berbagai organisasi yang membangun sentimen etnis tertentu, membuat masyarakat kian terkotak-kotak. Seperti ciri-ciri kelompok etnis maupun agama lain – yang selalu menonjolkan bahwa dirinya paling benar – maka potensi konflik di Kalimantan Timur juga semakin besar.

Kelompok yang membangun kekuatan lokal ini nampaknya masih akan terus tumbuh. Belakangan mereka mulai memunculkan klaim bahwa keputusan adat merupakan hukum yang patut dipatuhi pula oleh kalangan pendatang. Ini mengingatkan kita; apa bedanya dengan kontroversi Front Pembela Islam (FPI) yang mengatasnamakan agama melakukan tindak kekerasan?

Apakah ini suatu kemajuan peradaban? Sungguh ini sesuatu yang sulit terjawab. Sebab, faktanya memang begitu banyak contoh di mana penduduk dari etnis-etnis lokal menjadi tersingkir di daerahnya sendiri dan adanya oknum pengusaha yang hanya mengeruk kekayaan di suatu daerah.

Kelompok nasionalis yang berpegang pada prinsip pluralisme, di mana berlaku tata krama saling menghormati perbedaan, maka mati-matian menolak tumbuhnya sentimen etnis lokal alias putra daerah ini. Sebab kita rakyat Indonesia yang telah dipersatukan dari ujung Sabang sampai Meruoke. Ayo bangkit!*

Kaltim, Restart Aja!

Oleh: Charles Siahaan

JUDUL di atas saya ambil dari sebuah catatan di sebuah millis internet. Sumber asalnya adalah BJ Habibie dan Onno W Purbo yang secara kebetulan di tempat berbeda sama-sama berbicara tentang membenahi negara ini, Indonesia. Habibie, mantan Presiden dan Onno (aktivis ITE) mengemukakan negara ini perlu di re-start.

Kata re-start tentu tidak asing bagi kalangan pengguna komputer. Kalau komputer kita sedang hang, cursor di layar tidak mau bergerak, maka langkah pintas adalah re-start. Pencet control, alt, del, selese. Beres.

Kalimantan Timur sedang menyelenggarakan pemilihan gubernur. Dari empat kandidat, ada dua kandidat yang lolos ke putaran kedua. Mereka adalah Achmad Amins dan Awang Faroek Ishak (AFI).

Datangnya pemimpin baru yang dijadwalkan bulan September 2008, tentu membuka peluang baru pula untuk membenahi daerah ini. Mumpung pemimpinnya orang baru yang segar, maka langkah membenahi daerah juga menjadi lebih bergairah. Ya, Kaltim patut di re-start aja.

Kondisi Kalimantan Timur setelah 63 tahun merdeka, tak bisa dipungkiri masih banyak ketertinggalan. Alasan itu pula yang membuat rakyat Kaltim diam saja ketika sumber daya alam dikeruk para pengusaha yang datang dari Jakarta dan mancanegara. Rakyat yang masih bodoh diam saja walau mendapat perlakuan tidak adil dari pengusaha-pengusaha itu.

Tidak semestinya rakyat Kaltim bergelut dengan kebodohan, mengingat besarnya sumber daya alam di daerah. Banyak yang sepakat itu semua gara-gara adanya salah urus dalam pemerintahan. Negara terlanjur membiarkan sumber saya alam dikuasai kelompok kapitalis. Bahkan pemerintah tak mampu menghentikannya.

Sistem yang terlanjur berjalan salah itu ibarat komputer yang hang. Tidak ada jalan lain untuk memperbaikinya kecuali dengan cara merestart seperti yang digagas secara guyon oleh BJ Habibie dan Onno W Purbo. Kaltim juga membutuhkan re-start agar ada perubahan mendasar untuk mencapai cita-cita kesejahteraan rakyat itu.

Harus kita akui, tak mudah memperbaiki Kaltim karena adanya keterkaitan aturan yang digagas pemerintah pusat. Misalnya dalam mengelola sumber daya alam, nyaris daerah hanya memiliki kapasitas izin lokasi, sedangkan perizinan strategis masih dipegang oleh pusat. Bagaimana kita bisa re-start kalau ’menu-menu’ yang tersaji masih dikuasai oleh pemerintah pusat?

Tapi, pemimpin Kaltim kelak tak boleh putus asa dengan kondisi yang demikian. Sebab itulah perjuangan hakiki yang harus dipikul bersama-sama dengan kekuatan rakyat. Kalau rakyat, pengusaha, profesional di seluruh Kaltim kompak, maka bukan tidak mungkin pemerintah pusat juga tergugah. Ayo bangkit!

Pemenang

Oleh: Charles Siahaan

BULAN Januari 1997 lalu, saya membuat prediksi kalau Achmad Amins dan Awang Faroek Ishak bakal bertarung sengit menuju kursi Gubernur Kaltim. Dan, pada 22 Mei 2008, prediksi itu terbukti. Keduanya sama kuat, menurut hasil sementara, tidak ada yang bisa menembus angka 30 persen + 1 seperti amanat UU No12 tahun 2008. Dengan demikian keduanya bakal tampil bersaing lagi di putaran kedua Pilgub ini.

Begitu sulitnya untuk mencari pemenang. Menyelenggarakan satu putaran Pilgub saja telah menelan biaya Rp 190,248 miliar. Berapa uang rakyat yang dihabiskan lagi untuk putaran kedua?

Para kandidat juga so pasti ngos-ngosan untuk memasuki tahap kedua. Sebab dipastikan tiap kandidat sudah menghabiskan anggaran puluhan miliar sejak masa persiapan, lamaran ke partai-partai sampai tahapan Pilgub oleh KPUD.

Pertanyaannya; betapa mahal sebuah proses demokrasi. Di Kaltim yang berpenduduk sekitar 2,8 juta jiwa, lebih dari Rp200 Miliar digelontorkan untuk mendapatkan gubernur pilihan rakyat.

Kalau ditanya kepada pada ahli politik, maka jawabnya demokrasi memang mahal. Bahkan di banyak negara, pertaruhan demokrasi bukan hanya uang, tapi pertumpahan darah. Wah!

Untuk memilih seorang Ketua RT dan RW saja, memerlukan perjuangan politik. Mulai dari bersosialisasi dan mengumpulkan tanda tangan dukungan. Bahkan ada trend di perkotaan calon ketua RT / RW sudah menggunakan baliho dan spanduk agar didukung warganya.

Padahal, apa yang diperoleh mereka ketika memegang kekuasaan itu? Jawabannya memang ’semu’. Yang umum tentu karena ’tahta’. Sebab tahta mampu memberikan kehormatan yang besar bagi dirinya dan juga keluarga. Kehormatan adalah bagian penting dari setiap orang, dan ada yang merasa dia menjadi terhormat kalau sudah memegang jabatan tertinggi di pemerintahan atau perusahaan.

Ketika ditanya kepada pendapat umum apakah benar tujuan utama para calon pemimpin untuk mensejahterakan rakyat, seperti tertera dalam visi dan misi mereka? Saya jadi tercengang karena rata-rata publik tidak percaya dengan janji-janji politik itu. ”Itu gombal”.

Jadi, untuk apa mencari pemenang kalau pada akhirnya hanya mendapat kata ’gombal’? Ayo bangkit! *

Gubernur

Oleh: Charles Siahaan

Tak terasa, tanggal 26 Mei 2008, rakyat Kaltim akan memilih calon gubernur dan wakil gubernur. Setelah lelah dengan berbagai kampanye dan strategi opini yang menguras tenaga, pikiran dan uang akhirnya tiba pada saat yang menentukan; apakah ’barang’ dagangan laku dan dibeli oleh publik?

Memang menarik untuk mencermati berbagai cara, gaya dan polah para calon gubernur itu. Ada yang ’mati-matian’ berjuang mendapatkan opini kalau dia tidak melakukan tindak korupsi, dan ada juga yang mencuri simpati dengan mengolah kepanikan masyarakat Kaltim yang sedang kekurangan listrik. Seakan-akan sang calon ini adalah mesin diesel yang siap menyalurkan listrik ke rumah-rumah.

Kandidat lainnya, ada pula yang pakai ilmu ’merista’ (kasihan). Menunggu bola muntah. Ketika banyak kandidat jor-joran dengan atribut spanduk dan kampanye terbuka mendatangkan massa dan artis ibukota, si calon ini dikesankan tidak punya cukup uang untuk foya-foya seperti itu. Pokoknya, dialah calon yang paling menjunjung tinggi kesederhanaan kalau tidak ingin disebut paling miskin.

Ada yang lebih fokus dengan program yang telah dilakukannnya.Prestasi kerja semasa menjadi pejabat publik dijualnya kembali kepada publik yang lebih besar. Tentu saja cara menjualnya memakai strategi ilmu pemasaran. Ya, seperti para pedagang lainnya juga. Ada tenaga sales walau dalam versi yang lain.

Persaingan menjadi gubernur ibarat perang dagang. Jual program yang mirip ’jual waluh’ terjadi di mana-mana. Semua hebat.

Persoalannya, rakyat wajib mendapatkan yang terbaik. Yang tak sekadar menjadi tumpuan harapan, tetapi memang mampu merealisasikan hidup menjadi lebih nyaman. Pijakannya adalah cerita klasik tentang kekayaan alam Kaltim yang berlimpah, tapi tak mampu membuat rakyat sejahtera.

Rakyat membutuhkan hal-hal yang paling mendasar. Air, listrik, rumah, makanan. Sudahkah pemerintah mampu berperan menyediakan semua kebutuhan itu? Sebab adalah sebuah ironi, di daerah yang luas ini ternyata sektor tanaman pangan kita kedodoran. Sayur-mayur, buah-buahan bahkan cabe dan bawang harus didatangkan dari provinsi lain. Karena didatangkan menggunakan kapal laut dan bahkan pesawat terbang, maka konsekwensinya harga menjadi lebih mahal.

Siapa yang memikirkan semua ini? Apakah gubernur-gubernur kita yang terdahulu memikirkannya? Dan, apakah gubernur Kaltim mendatang punya niatan membangun produksi rakyat itu? Ayo bangkit!

Golput

Oleh: Charles Siahaan

KADANG kita terkejut menyaksikan ada kelompok saling menyerang fisik seperti di Maluku dan Sulawesi Selatan usai pelaksanaan pemilihan gubernur. Massa yang melancarkan demo berdarah, membakar ban dan saling lempar batu.

Mengapa massa cenderung mudah beringas? Apakah mereka bersentuhan langsung kalau saja ’jagonya’ menang dalam Pilkada?

Mencari pokok masalah dari fenomena euphoria itu membuat kita merenung; ”oh sudah begini wajah Indonesiaku”. Kalau jagoku tidak menang, maka aku ’wajib’ marah. Apalagi kalau ada indikasi curang dalam pelaksanaan Pilgub.

Kalimantan Timur akan memilih pemimpin pada 26 Mei 2008. Rakyat mulai ditawari berbagai program oleh para kandidat. Rayuan dilancarkan dengan berbagai cara agar ikut dalam gerbongnya.

Rakyat Kaltim mulai terkotak-kotak. Kemarahan oknum, kelompok, mulai mudah memuncak manakala menyaksikan spanduk jagonya tenggelam diantara lautan spanduk jago lain. Apalagi kalau sampai spanduk jagonya tergeletak di tanah, walaupun sebenarnya bukan lantaran sengaja dijatuhkan oknum kandidat lain, tapi karena tertiup angin.

Euphoria reformasi, keinginan untuk perubahan bertalu-talu dan cenderung memekakkan telinga. Kandidat seperti punya kesempatan untuk membicarakan masalah-masalah pembangunan dalam versinya sendiri. Seolah-olah dia paling mampu membangun daerah ini.

Hebatnya, rakyat tidak punya pilihan alternatif lagi. Sudah ada empat kandidat yang mendapat nomor untuk ikut Pilgub dan mereka adalah yang terbaik versi partai-partai politik.

Tidak heran kalau akhirnya sistim rekrutmen oleh partai politik itu menghasilkan kekecewaan dari rakyat. Di Indonesia rata-rata angka golongan putih alias Golput alias mereka yang cuek dengan Pilgub selalu di atas 30 persen. Bahkan dibanyak daerah sebenarnya jumlah Golput yang terbesar dan layak dinobatkan menjadi ”pemenang” Pilgub.

Ini bentuk kegagalan pemerintah membangun iklim politik di negeri ini. Ketika sebagian besar rakyat tidak peduli terhadap berlangsungnya Pilpres, Pilgub, Pilbub dan Pilwalkot, atau pada proses politik, maka sesungguhnya itulah penghambat pembangunan bangsa ini. Ayo bangkit!

Calon Independen

Oleh: charles Siahaan

TEMAN saya menyodorkan secarik kertas isian nama dengan tanda tangan. Di situ tertera bahwa teman itu sedang berusaha mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) alias senator versi Indonesia.

Pengumpulan tanda tangan telah menjadi arena politik. Seandainya yang diperlukan 10 ribu tandatangan saja untuk memenuhi persyaratan menjadi calon angota DPD, maka so pasti puluhan bahkan ratusan juta rupiah yang perlu digulirkan.

Tidak ada yang mudah dan murah untuk masuk ke dunia politik. Begitu pula ketika aturan tentang calon independen sudah gol dan rencananya mulai bulan Juni sudah diberlakukan alias boleh bertarung di kancah pemilihan kepala daerah, tetap saja muncul pertanyaan apakah adanya calon independen benar-benar menjamin terbebas dari politik uang.

Selama ini, mekanisme partai politik dalam menjaring kandidat selalu dicurigai berlumur politik uang. Untuk bersedia menjadi calon sebuah partai saja, sudah harus menyetor segepok uang. Itu belum lagi kalau akhirnya harus mengikuti syarat partai untuk melakukan sosialisasi ke berbagai daerah sebelum diputuskan oleh partai tersebut.

Kursi kandidat telah menjadi arena lelang bagi pengurus partai. Tidak terkecuali di Kaltim yang tengah dalam proses tahapan Pilgub, sehingga tidak heran kalau pada akhirnya banyak calon kandidat yang kecewa mana kala tidak berhasil memenangkan ‘kursi’ kandidat, padahal uangnya sudah tersedot ke pengurus partai.

Kekecewaan dengan sistim partai politik, membuat euphoria di masyarakat yang mengidamkan kelanjutan reformasi. Calon independen adalah bagian reformasi sistim politik yang diyakini bisa membuat pilihan masyarakat lebih beragam, sehingga putusan memilih pemimpin juga bisa lebih baik.

Tapi, seandainya ada keharusan meraih tanda tangan 3% sampai 6,5% jumlah penduduk saja, maka sudah bisa dipastikan akan menguras uang yang besar pula. Misalnya untuk Kaltim yang berpenduduk 3 juta jiwa. Maka, kalau yang disyaratkan menjadi calon independen mengumpulkan tandatangan sebanyak 3 persen saja, maka sudah 90.000 tanda tangan plus KTP-nya.

Dalam hitungan 90.000 tandatangan, jika dihitung perlu dana Rp25 ribu saja per tanda tangan dan KTP, maka setidaknya si calon independen perlu mengalokasikan anggaran sebesar Rp2.225.000.000. Tentu ini bukan angka yang sedikit. Ini belum lagi menggaji tenaga relawan (voluntir) yang mengumpulkan tandatangan itu.


Angka-angka itu tentu tidak menyenangkan bagi seseorang yang ikut masuk ke dunia politik, tapi tidak punya uang. Bahkan menjadi penghambat orang-orang pintar untuk berkiprah dikancah politik. Alhasil, dunia politik nantinya tetap dikuasai oleh orang-orang berduit dan buntut-buntutnya berkiblat pada kekuatan kapitalisme.
Ayo bangkit!