Sabtu, 15 Agustus 2009

Merdeka

SAYA terkejut ketika pagi-pagi sekali membaca sebuah artikel bahwa ada sekitar 64 persen rakyat negeri ini masih berpenghasilan 2 Dolar AS per hari. Itu artinya, diusia Indonesia merdeka yang ke-64 tahun, telah menghasilkan sekitar 132 juta jiwa rakyat di bawah garis kemiskinan versi Bank Dunia.
Tentu saya tidak ikut mempersoalkan tingkat akurasi data itu sebagaimana sering dipertontonkan pemerintah yang berkuasa. Sebab itu tidak terlalu penting lagi kalau melihat realita bahwa masih banyak rakyat yang tidak punya tempat tinggal dan tidur di bawah kolong jembatan. Anak-anak bayi digendong orang dewasa sambil mengemis di simpang lampu merah. Dan ribuan rakyat yang antre tiap kali dibukanya loket untuk menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Angka-angka kemiskinan ini masih terus menghiasi dokumen negara. Pemerintah terus berusaha menekan mengarah perbaikan, tapi realitanya sepanjang tahun perbaikan yang telah dibuat terlalu rentan terpuruk kembali. Warga tergolong miskin terlalu sulit bangkit.
Pemerintah saat ini, sebenarnya sangat menyadari keterpurukan yang berkepanjangan ini disebabkan kecilnya perolehan negara dari sumber daya alam yang mengalami penghisapan dari konglomerasi asing. Tak mudah mewujudkan harapan sejumlah tokoh dan pakar ekonomi agar pemerintah merubah sistim kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing yang mendapat konsesi mengelola minyak dan gas serta hasil tambang lainnya.
Sebab yang terjadi saat ini, termasuk kemiskinan yang semakin besar itu, adalah buah dari sebuah ‘karya’ 64 tahun kemerdekaan itu. Para penguasa masa lalu telah terjebak dalam jargon kemerdekaan untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga terseret dengan irama politik barter, yakni meraih kemerdekaan dari penjajahan asing, dengan menyerahkan ‘kedaulatan’ sumber daya alam Indonesia yang melimpah kepada asing yang lain pula
Sumur-sumur minyak dan gas Indonesia, mengalir sangat jauh sampai ke negeri Paman Sam, tapi kita masih kekurangan bahan bakar untuk pembangkit listrik. Begitu pula batubara yang eksploitasinya terus makin ‘menggila’ kuantitasnya, setelah di era sebelumnya sumber daya hutan terkuras ke mancanegara.
Tak patut mencari kambing hitam lagi, karena kondisinya memang telah begitu. Yang ada sekarang adalah berpikir positif menyelamatkan kembali yang tersisa. Meraih kembali kedaulatan sumber daya alam Indonesia untuk kemakmuran anak negeri. Merdeka!!

HAM


KABAR datang dari Malaysia. Sekitar 20 ribu massa turun ke jalan-jalan di Kuala Lumpur, ibukota Malaysia. Mereka menuntut dihapuskannya undang-undang Keamanan Dalam Negeri, ISA, alias internal security act.
Menjadi kabar baik, tentu saja itu berlaku bagi kelompok pro demokrasi. Karena undang-undang ISA adalah bentuk pembelengguan demokrasi, di mana seorang warga negara Malaysia bisa dipenjara tanpa proses pengadilan. Singkat cerita, kalau penguasa tidak senang dengan seorang warga, dia bisa menangkap orang itu dengan alasan membahayakan keamanan negara. Penguasa bisa memenjarakan sekehendak hatinya, tanpa diadili apa kesalahannya.
ISA ini produk kolonial Inggris. Tahun 1948 saat tentara negeri itu menjajah Malaysia, muncul pergolakan politik dari Partai Komunis Malaysia, sehingga penguasa waktu itu mulai memberlakukan sebagai keadaan darurat. Tahun 1960, peraturan sementara itu dicabut karena partai komunis sudah dikalahkan.
Ketika transisi pemerintahan dari koloni Inggris ke Pemerintah Malaysia tahun 1960, ternyata penguasa transisi menghidupkan kembali ISA. Malah pemberlakuannya tak lagi sekedar dalam keadaan darurat, tapi malah menjadi undang-undang yang dipermanenkan.
Sudah berapa banyak warga sipil yang dipenjara dengan undang-undang itu? Sebuah tulisan di sebuah website tentang ISA menyebut kalau pada era 1960-an saja sedikitnya 4.000 warga sipil Malaysia yang dipenjarakan tanpa melalui pengadilan. Undang-undang itu telah membuat kalangan aktivis, mahasiswa, wartawan, tidak berani menyuarakan hal yang menentang kebijakan pemerintah.
Selain Malaysia, Singapura juga memiliki undang-undang sejenis ISA itu. Bahkan Indonesia hampir saja mengadopsi dengan adanya Kopkamtib pada tahun 1970-an. Di era Kopkamtib yang memberlakukan pemberantasan premanisme, telah menjurus pada pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) karena aparat negara melakukan penangkapan dan tembak mati terhadap para preman yang dianggap meresahkan masyarakat.
Pekan tadi, publik Indonesia menyaksikan bagaimana polisi bernama Densus 88 mengepung rumah yang diklaim sebagai tempat para teroris yang dipimpin Noordin M Top. Rumah di tengah sawah di Desa Beji Kabupaten Temanggung Jawa Tengah itu diberondong peluru bahkan diledakkan. Suasananya seperti perang dan disiarkan langsung oleh berbagai stasiun televisi. Dan, ternyata dalam rumah tersebut hanya ditemukan satu orang yang diklaim sebagai anggota teroris.
Publik tidak tahu apa dosa korban yang diklaim sebagai anggota teroris itu, karena dia sudah mati. Tidak pernah terlintas terpikir oleh pemimpin negeri ini untuk menangkap hidup-hidup pelaku dan biarkan pengadilan memvonis mati kalau memang terbukti dia pelaku terorisme di tanah air.
Akhirnya kita menyaksikan lagi kekerasan kekuasaan terhadap masyarakat sipil. Terlepas apakah benar pelaku yang mati tertembak itu anggota teroris, masyarakat Indonesia sudah disuguhi pelajaran bahwa atas nama negara, keamanan, aparat boleh melakukan pembunuhan. **

SBY-Soeharto


SEBUAH pesan datang ke ‘dinding’ facebook saya. Isinya adalah tanggapan tentang kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang fantastis, meraih suara di atas 60 persen dan menobatkannya sebagai Presiden RI kedua kali hanya pada satu putaran saja.
Kata si pembuat pesan itu; “lihat, lama-lama wajah SBY mirip Soeharto”.
Saya hanya tersenyum. Ada-ada saja pikiran orang menolak SBY, kata hati ini. Sebab saya adalah termasuk pendukung SBY dan di jari kelingking masih tersisa noda tinta gara-gara mencoblos SBY-Boediono.
Tapi di situasi yang lain ketika kebetulan berpas-pasan dengan foto SBY, kok jadi kepingin menyimak betul-betul wajah itu. Dan ternyata hati kecil membenarkan mulai ada kemiripan antara SBY dengan Soeharto.
Bukan bermaksud menyarankan pembaca untuk menyimak wajah kedua Presiden RI di era berbeda itu. Sebab kesamaan yang dirasakan ada pada begitu tingginya ’nilai’ seorang SBY, sehingga mengarah pada pengkultusan yang berlebihan. Sama ketika Soeharto berkuasa, semua mengarah pada satu titik ’budaya’ saja; ”mohon petunjuk Bapak?”
Soeharto telah menjadi pemegang dominasi kebijakan, yang mengecilkan peran legislatif, menjauhkan aspirasi rakyat. Itu sebab ia mendapat julukan penguasa otoriter di negeri Pancasila.
Penyebab semua itu adalah terjadinya pengkultusan di luar kelaziman, akibat sistim politik yang ada. Sistim politik tiga partai telah menempatkan Golkar sebagai single majority (mayoritas tunggal), sehingga partai lainnya PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) meskipun jumlah suara mereka digabung hanya ada sekitar 20-30 persen. Sedangkan Golkar berkuasa dengan angka di atas 70 persen.
Golkar adalah Soeharto, sehingga tak ada kekuatan lain yang bisa mengalahkannya melalui Pemilu. Ia baru turun tahta ketika rakyat berusaha menurunkan, yakni ketika mahasiswa berdemonstrasi dan mengepung Gedung DPR RI tahun 1997 silam.
SBY juga menang Pilpres dengan angka di atas 60 persen dengan pesertanya tiga pasang kandidat juga yaitu Megawati-Prabowo, SBY-Boediono dan JK-Wiranto. Ia menjadi pemegang mandat ’mayoritas tunggal’ juga walau dalam era yang berbeda.
Saat bersama dengan Jusuf Kalla, kepemimpinan SBY memang tidak terlihat ’mayoritas tunggal’ karena Jusuf Kalla tak mau hanya sekedar menjadi ’ban serep’. Ia melejit dengan gaya dan caranya yang ceplas-ceplos dan cepat, sehingga banyak yang menyebut pasangan ini sebagai ‘dwi tunggal’. Saking agresifnya Jusuf Kalla, banyak yang memperkirakan kalau pasangan itu sebenarnya tidak harmonis di dalam Istana Kepresidenan.
Bagaimana saat SBY dengan Boediono yang kalem?
Tidak elok memang untuk berpikir negatif atas pasangan yang belum dilantik dan belum bekerja ini. Walau muncul kekuatiran bangkitnya budaya pengkultuasan berlebihan di era Soeharto, serta tumbuhnya lagi budaya ’mohon petunjuk bapak’, tugas rakyat adalah sebatas bersama-sama mengingatkan agar sejarah buruk masa lalu tidak terjadi lagi. Amin... **

Listrik


MANTAN Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Bambang Harry Murti, menantang wartawan di Kalimantan Timur. Kali ini bukan ‘tantangan’ soal jurnalistik, tapi bagaimana wartawan berperan agar listrik tidak byarpet lagi pada tahun 2010. “Bulan Juli tahun 2010, saya ke sini lagi dan kita lihat apakah persoalan listrik sudah selesai,” kata Bambang dalam suatu acara dengan para wartawan.
Sebelumnya anggota Dewan Pers itu mencibir tentang besarnya sumber daya alam yang dimiliki daerah ini, tapi masih mengalami krisis energi listrik. Wartawan lokal, menurut Bambang, bisa berperan mendorong dan berjuang untuk meluruskan kebijakan bidang energi itu.
Pertanyaannya; mengapa kebijakan energi listik perlu diluruskan dan mengapa wartawan dianggap berperan?
Sebenarnya, ini persoalan sederhana. Kalau saja kebijakan bidang energi seperti minyak dan gas tidak jor-joran diekspor untuk memenuhi kebutuhan orang asing. Begitupula batubara dan jaman sebelumnya adalah kayu tegakkan di hutan. Logisnya, penuhi dulu kebutuhan dalam negeri dan baru sisanya dijual ke asing.
Tapi pemerintah Indonesia tak mematuhi persoalan sederhana ini. Sejak jaman Orde Baru, pemerintah pusat cenderung memanfaatkan kekuasaannya untuk ’menjajah’ orang daerah secara pemikiran. Orang daerah tidak pernah diajak merundingkan untuk apa sumber daya alam yang ada di perut bumi itu.
Yang berpikir normal dan rasional pasti geli; punya hutan yang luas, tapi hampir diseluruh kabupaten / kota masyarakatnya sulit mendapat bahan baku kayu untuk membangun rumah sendiri. Punya kilang Migas dan batubara yang sangat besar, tapi tidak digunakan untuk pembangkit listrik sehingga masyarakatnya hidup dalam kegelapan.
Ini salah urus, karena model demokrasi masa lampau yang tidak memberikan kesempatan orang daerah - sebagai stakeholder atas segala sumber daya alam - berpikir tentang kebutuhannya. Pemerintahan yang waktu itu cenderung otoriter menjadikan semua sistim bernegara menjadi sentralistis. Daerah didikte pusat.
Memasuki era reformasi, daerah baru menyadari kalau semua sumber daya alam yang ada di perut bumi suatu daerah ternyata sebagian besar sudah ”diberikan” pengelolaannya kepada para pengusaha asing. Kontrak yang panjang tak bisa diputus di tengah jalan. Hasilnya; masyarakat marah karena tinggal di negeri kaya sumber daya alam, tapi menderita kekurangan energi.
Kesalahan tak boleh diulangi dan wartawan bisa menjadi pendorong perbaikan dari kebijakan masa lampau itu. Meluruskan kembali kebijakan bidang energi demi kepentingan rakyat Kaltim. Ayo!!*

Partai Tua


AKHIRNYA Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presidenku kedua kalinya. Berganti pasangan dari Jusuf Kalla kepada Boediono, tak berpengaruh banyak. Benar sinyalemen para pengamat, siapapun pasangannya SBY tetap menang.
Kemenangan SBY-Boediono – walau masih sebatas quick count karena real count masih menunggu pengumuman KPU (Komisi Pemilihan Umum) – memberikan keyakinan sudah berakhirnya kekuasaan partai-partai tua. Sejak kelahiran Golkar 20 Oktober 1964 atau sejak 45 tahun silam, Golkar yang awalnya berupa Sekretariat Bersama (Sekber) 97 organisasi yang berafiliasi, selalu dimanjakan oleh kekuasaan. Tidak pernah lepas dari pemerintahan. Pemilu tahun 2004 adalah masa terakhir partai Orde Baru era Presiden Soeharto ini tampil jadi pemenang.
PDI Perjuangan tak tergolong partai tua memang. Tapi berdirinya partai itu merupakan pembaruan atau pecahan dari partai tua Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang selalu bersama-sama Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak dimulainya Orde Baru. PDI Perjuangan berdiri setelah peristiwa 27 Juli 1996 dan menang Pemilu pada 1999.
Zaman sudah berubah, adanya pembaruan dalam undang-undang mengenai Pemilu telah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasi politik dengan banyak pilihan. Dan kesempatan itu sudah diberikan kepada Partai Demokrat yang menang dalam Pemilu legislatif tahun 2009. Rakyat sudah bergerak meninggalkan partai-partai tua.
Begitu pentingnya peranan partai dalam menentukan kehidupan masyarakat. Bahkan semua kondisi yang terjadi saat ini, misalnya menyangkut besarnya angka kemiskinan, tingginya jumlah pengangguran, utang luar negeri yang terus membengkak dan tergadaikannya sumber daya alam untuk asing, adalah akibat salah urus dari pemerintah yang berkuasa. Dalam sistim kita, pemimpin tertinggi pemerintahan adalah pejabat politik yang diutus partai pemenang Pemilu.
Hadirnya Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009, merupakan amanat rakyat yang tak boleh disia-siakan. Sebab tugas teramat berat, yakni membenahi warisan kekuasaan sebelumnya yang sudah terlanjur salah urus. Pesta sudah selesai dan pekerjaan sudah menumpuk di depan mata.
Adalah tepat untuk mereview kembali Indonesia, terutama dari sisi ekonominya. Kekuatan sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah dan kesalahan kebijakan masa lampau dari pengelolanya.
Rakyat membutuhkan tempat tinggal yang layak, biaya kesehatan dan pendidikan gratis sehingga tak ada lagi anak-anak terlantar di bawah kolong jalan tol kota Metropolitan. Saatnya mengembalikan kedaulatan SDA untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Bagi partai-partai tua, sebaiknya memang menjadi oposisi. Menjadi ’penggonggong’ jika ternyata kebijakan pemerintahan yang baru menghasilkan kondisi lebih buruk ketika mereka menjadi penguasa. **

Presiden


TANGGAL 8 Juli 2009 rakyat Indonesia memilih Presiden dan Wakil Presiden di bilik suara dengan cara mencontreng. Sore hari itu juga, hasilnya sudah bisa disaksikan melalui penghitungan cepat (quick count) yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga survei. Sudah terbukti, tingkat kesalahan quick count di berbagai Pilkada gubernur, walikota dan bupati, kecil sekali.
Dalam tulisan ini, saya tidak membicarakan soal akurasi quick count itu. Tapi lebih menyangkut apa pilihan rakyat yang sesungguhnya. Sebab, jika ditinjau dari kemampuan, popularitas, rasanya semua sama saja. Hanya gaya masing-masing calon presiden dan cawapres yang berbeda-beda.
Dari debat Capres dan Cawapres yang dilaksanakan ’berseri’ dan disiarkan stasiun televisi, dalam sudut pandang saya, masing-masing punya keunggulan. Hampir semua harapan saya agar Indonesia lebih baik juga terwakili. Hanya sayangnya, tak ada yang terwakili semuanya pada satu kontestan, tapi ketiganya.
Saya tertarik dengan pasangan Megawati-Prabowo, ketika Prabowo mengungkit sentimentil kerapuhan pertahanan ekonomi Indonesia, dengan membiarkan sumber daya alam dikuasai oleh korporasi asing. Prabowo yang anak begawan ekonomi Sumitro Djoyohadikusumo percaya harga diri bangsa Indonesia menjadi rapuh, karena rakyatnya miskin. Prabowo membawa wacana baru tentang porsi pembangunan selama ini yang tidak memihak petani dan nelayan.
Dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono, saya memperoleh keyakinan kalau pasangan ini bertekad meneruskan ’pemerintahan bersih’. SBY menonjol sekali dalam hal pemberantasan korupsi dan hal itu sudah terbukti. Rakyat Indonesia juga percaya, korupsi adalah penyakit bangsa yang menjadi salah satu sumber terjadinya kemiskinan di negeri ini.
Apa yang ’terwakili’ dari pasangan Jusuf Kalla – Wiranto?
”Kemandirian” telah menjadi ”barang jualan’ andalan JK-Win. Mulai dari aksi buka sepatu bermerek JK collection di stasiun televisi sampai dengan tekadnya membawa kemandirian dengan cara mencintai produk Indonesia. Kalla optimistis dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih 270 Juta jiwa adalah pasar yang prospektif. Tinggal dibarengi dengan kebijakan yang menahan laju masuknya barang impor dan memberikan suntikan ’vitamin’ pada produk negeri sendiri.
Tiga pasangan dengan tiga konsep. Jika saja semua pasangan sepakat mengadopsi masing-masing konsep jika nanti tampil menjadi pemenang, barangkali semua terwakili. Bukankah ujung-ujungnya dari semua konsep itu adalah kemakmuran dan kesejahteraan rakyat?
Tetapi faktanya, para pemimpin negeri ini tak semua mau menerima ’konsep-konsep’ dari luar - apalagi bersumber dari musuh politiknya -- ketika telah menjadi pemenang dan berkuasa. Lebih celaka lagi kalau para calon pemimpin yang bertanding ini saling bermusuhan, tidak mau bersalaman dan menerima kekalahan sepanjang era kepemimpinan. Semoga pemimpin kita yang akan datang tidak lagi bermental seperti itu. **

Produk Lokal


CINTAI produksi dalam negeri. Itulah yang berkumandang saat krisis ekonomi melanda seluruh dunia. Masing-masing negeri, berusaha mengencangkan ‘ikat pinggang’ dan membangkitkan kecintaan terhadap produksi dalam negeri.
Di negeri sendiri yang kebetulan segera menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, gaung cintai produksi dalam negeri juga membahana. Tidak ada calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak setuju soal ini. Bahkan sampai ke tingkat provinsi, kabupaten dan kota serta ke pelosok desa. Semua secara serentak berkata; ”ayo pakai produksi dalam negeri”.
Ini momentum luar biasa untuk membangkitkan rasa kebangsaan, sekaligus kebanggaan atas karya anak bangsa sendiri. Mulai soal kebutuhan pakaian, sepatu, makanan, sampai kebutuhan elektronik yang baru sebatas bisa dirakit di negeri sendiri.
Bukankah Indonesia termasuk negeri yang punya market luar biasa besarnya. Dengan penduduk sekitar 270 Juta jiwa, barang produk lokal (mestinya) punya masa depan cerah. Bisa menjadi tuan di negeri sendiri.
Saatnya mengatakan tidak kepada produk-produk luar negeri. Mulai dari makanan cepat saji yang ternyata tak lebih nikmat dari makanan lokal - yang bumbunya dikerjakan oleh tangan sendiri, sampai dengan barang-barang komsumsi sehari-hari lainnya.
Pejabat pemerintah juga tak cukup hanya memberi contoh memakai produksi dalam negeri serta menguraikan dengan kata-kata imbauan saja. Tapi lebih jauh dari itu, yakni keberanian dengan memunculkan kebijakan yang mendukung semua itu. Apalah artinya imbauan, jika kebijakan tak senafas dengannya.
Inilah sebenarnya kebijakan yang pro rakyat. Yang sering dibicarakan para calon presiden ketika berkampanye tentang membangkitkan ekonomi kerakyatan. Paham yang sering dikait-kaitkan sebagai lawan dari faham neoliberal.
Apapun pahamnya, sebenarnya cinta produk dalam negeri sudah mesti dilakukan sejak rezim Soeharto berkuasa. Tapi kran ’pasar bebas’ terburu-buru dibuka, sehingga karya anak bangsa tenggelam oleh barang-barang impor, sekaligus juga mematikan imajinasi para pengrajin dan pengusaha produk lokal. Kebijakan Indonesia waktu itu memihak sekali masuknya barang-barang dari luar negeri.
Kebijakan apa yang diperlukan untuk membangkitkan industri lokal? Salah satunya bisa dicoba dengan menetapkan pakaian dinas para PNS dan juga pegawai kantoran swasta. Misalnya di Kaltim dengan menerapkan memakai baju batik Kaltim, bila perlu selama tiga atau empat hari kerja. Kita bisa menghitung dampaknya bagi industri kerajinan batik lokal, karena tingginya permintaan.
Begitu pula dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Perlu perenungan dari para pemimpin negeri untuk membatasi pengiriman ke luar negeri SDA yang ada seperti batubara dan hasil tambang lainnya. Bahkan perlu pengkajian lagi mengapa kita harus menghancurkan hutan untuk dibangun kebun sawit agar bisa mengekspor crude plam oil (CPO). **

Kelalaian Kita


BERGERILYA lagi ke situs-situs dan berbagai milis (mailing list) yang lama saya tinggalkan sejak gandrung dengan facebook, ternyata menjadi kegiatan menyenangkan. Saya memperoleh lagi informasi yang tengah terjadi di negeri ini. Tentu yang dimaksud adalah informasi yang tidak ada dalam berita-berita media massa.
Manohara dan Prita Mulyasari paling banyak jadi topik bahasan. Ada pula soal “Blok Ambalat” yang menimbulkan ketegangan orang-orang Indonesia kepada Malaysia. Yang menarik adalah bahasan Chappy Hakim, mantan Kepala Staf TNI AL. Sejak pensiun dengan pangkat terakhir Marsekal, ia fokus menulis diberbagai blog internet dan websitenya sendiri; chappyhakim.com.
Chappy membuat judul tulisannya; Ambalat? Terima Kasih Malaysia! Ini sungguh berbeda dengan reaksi berlebihan sebagian publik Indonesia yang menyerukan perang. Inti pendapatnya adalah Indonesia harus berterima kasih kepada Malaysia yang telah memprovokasi tentara Angkatan Laut (AL) kita. Berterima kasih karena diingatkan untuk membangun Angkata Perang yang kuat, dengan kelengkapan Alutsista (Alat Utama Sistim Senjata).
Saya tidak ingin terlalu jauh mengungkit soal Angkatan Perang RI yang tidak pernah ditambah powernya agar gagah perkasa, tapi lebih suka membahas kelalaian para pemimpin negeri ini ketika mengambil kebijakan dan membuat undang-undang.
Dua persoalan yang mengesankan pemerintah lalai. Yakni soal kebijakan militer yang membuat tentara kita mudah diprovokasi oleh Tentara Diraja Malaysia seperti saat ini dan kasus Prita Mulyasari yang mengekang kebebasan mengeluarkan pendapat.
Untuk urusan militer sering dikritisi mengapa kekuatan terbesar ada di TNI AD, bukan di TNI AL padahal jelas-jelas Indonesia ini negara maritim dan ancaman terbesar dari negeri tetangga.
Kelalaian kedua menyangkut Prita Mulyasari, yang dituduh melanggar UU ITE Nomor 11 tahun 2008. Pada Pasal 27 ayat (3) disebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Prita mengirim email tentang keluhan yang dialaminya terhadap pelayanan RS Omni Internasional Alam Sutera Bintaro Tangerang kepada temannya. Itu artinya dia berhak berkeluh kesah. Mestinya yang ditangkap – sesuai pasal itu – adalah orang lain yang tidak berhak mendistribusikan.
Pemerintah lalai membiarkan UU ITE ini menjadi alat mengekang kebebasan berpendapat, terutama konsumen yang merasa dirugikan oleh kekuatan korporasi (pengusaha). Tak salah kalau UU itu disebut-sebut sebagai perpanjangan tangan sistim kapitalistik. Meski sistim kita Pancasila, praktiknya masih kapitalis. **

Cinta


TIGA perempuan bikin heboh republik ini. Pertama; Rani Juliani (22), caddy lapangan golf yang menjadi saksi kunci ditangkapnya Antasari Azhar atas tuduhan sebagai pelaku intelektual pembunuhan pengusaha farmasi, Nazaruddin. Rani diduga terlibat cinta segitiga dengan Antasari dan Nazaruddin.
Kedua Manohara Odelia Pinot (17) yang lari setelah merasa disekap dan disiksa oleh suaminya yang seorang pangeran Kesultanan Kelantan Malaysia Barat. Ini adalah kisah cinta pula, yaitu dua sejoli yang berbeda bangsa dan status, sampai akhirnya retak karena ada kekerasan dalam rumah tangga.
Sedangkan perempuan ketiga Prita Mulyasari (32). Nama terakhir ini sedang berjuang di Pengadilan Negeri Tangerang akibat sebuah email yang dikirimnya dianggap menjelek-jelekkan sebuah rumah sakit di Jakarta.
Ketiga perempuan itu telah hinggap di hati publik dengan masing-masing karakter. Yang ironis adalah Rani Juliani. Mahasiswi yang dikabarkan sedang hamil itu tak pernah muncul di depan umum. Padahal semua media massa mengkaitkan dirinya dalam kasus cinta segitiga yang berakhir pembunuhan suaminya itu.
Seorang wartawan dari Jakarta mengatakan kepada saya; kalau saja Rani Juliani mau, maka ia bisa kaya raya. Yaitu dengan menggugat semua media massa yang memberitakan tentang dirinya, namun tidak pernah mendapat konfirmasi untuk keseimbangan berita. Keseimbangan adalah kewajiban sebuah pemberitaan dan Rani bakal menang di pengadilan. Simak, berapa ribu media yang memberitakan dirinya dengan tuduhan-tuduhan yang menjelekkan nama baiknya? Tiap media didenda Rp1 juta saja, maka Rani bisa mengantungi miliaran rupiah.
Bagaimana dengan Manohara, perempuan yang sedang berada di puncak popularitas di negeri ini? Ia adalah orang beruntung karena diperistri seorang pangeran dari Kesultanan Kelantan Malaysia Barat. Kehormatan, status sosial, materi, dia bisa miliki secara instan. Hanya saja ia terlalu muda untuk menikmati semua itu, sehingga diusia perkawinan yang tak sampai setahun sudah terancam bubar.
Prita Mulyasari adalah perempuan yang berbeda dengan Rani maupun Manohara yang menjadi populer karena terkait kisah cinta. Nasib Prita, ibu muda ini, menggugah simpati karena menjadi tahanan dan disidang oleh pengadilan usai berkeluh kesah tentang pelayanan sebuah rumah sakit melalui internet.
Tidak heran kalau kasus Prita lebih menyentuh segenap petinggi di negeri ini. Karena siapa saja bisa mengalami nasib serupa ketika menuliskan opini atau pendapat di media internet. Prita tengah berjuang untuk mencapai kebebasannya. Kalau saja ia dibebaskan, maka tentu menjadi yurisprudensi bagi puluhan juta rakyat Indonesia yang biasa menulis di dunia maya.
Lantaran itu tak mengherankan kalau Prita lebih bertabur ’cinta’, terutama dari publik yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat di negeri ini. Semoga ’cinta’ itu pula yang menjadi kekuatan membebaskannya. **

Minggu, 31 Mei 2009

Neolib


SEORANG teman yang tinggal di Bogor datang ke Samarinda. Di tengah perjalanan Balikpapan – Samarinda ia merasa heran sekaligus takjub dengan sebuah tempat persinggahan bernama ”Tahu Sumedang”. Tepatnya di dekat areal Tahura Bukit Soeharto.
Ia takjub karena ’di tempat nun jauh’ ini bisa merasakan makanan yang berasal dari daerah yang satu bahasa dengannya, Sunda. Tapi sekaligus heran, sebab ia tidak menemukan makanan lokal. Kalau terus menerus dibiarkan, makanan asli orang Kaltim bakal semakin langka dan mungkin hilang.
Tak hanya makanan dari Sumedang yang intervensi ke lidah orang-orang yang berada di Kaltim. Bahkan berbagai franchise, sebut saja Kentucky Fried Chicken (KFC), Mac Donald, Pizza Hut, sampai Wong Solo, ”Ayam Cianjur”, dlsb.
Saya jadi ingat isu neoliberal alias neolib yang santer dihembuskan para pemerhati politik di negeri ini. Adakah kaitan isu neoliberal dengan masuknya ’Tahu Sumedang’ di Kaltim?
Waktu mencari jawabnya, saya berusaha mencari berbagai artikel mengenai bersatunya Jerman Timur dan Jerman Barat pada 3 Oktober 1990. Ternyata perkiraan saya sungguh tepat, yakni penyatuan dua negeri itu ditandai pula dengan dimulainya sejarah masuknya produk-produk Amerika Serikat ke Berlin yang menjadi ibukota Jerman Timur. Warganya sampai mengantre panjang di restoran KFC dan Mac Donald. Penyatuan itu membuka kesempatan masuknya Coca Cola, Marlboro bahkan kartu kredit Amec.
Jerman Timur menjadi gambaran jelas bagaimana ia berusaha mempertahankan nilai-nilai lokal karena pengaruh faham yang dianut negeri itu, sosialis-komunis. Perbedaan itu ternyata menghasilkan dua kemajuan berbeda, yakni Jerman Barat yang pro pasar sangat maju dan Jerman Timur yang sosialis-komunis sangat tertinggal.
Masuknya ’Tahu Sumedang’ juga akibat pengaruh pro pasar. Sistim yang menjadi ciri-ciri neoliberal. Karena pemerintah lokal tak punya akses untuk membatasi masuknya produk-produk dari luar daerah, maka sesuai hukum pasar bahwa yang kuat akan menindas yang lemah.
Produk-produk lokal Kaltim juga sudah menerima dampaknya. Dengan susah payah pemerintah lokal mengangkat karya-karya orang daerah, toh hasilnya kalah laris dengan produk-produk dari luar daerah dan negara. Saya tidak pernah melihat warga kita antre untuk membeli ”gangan ikan patin pais”. Tapi coba tengok di KFC nyaris tiap sore dipenuhi pembeli.
Bagaimana pemerintah Kaltim melihat masalah ini? Membiarkan nilai-nilai lokal terus tergerus dan menghilang, atau masih berniat mempertahankan? *

Gubernur


GUBERNUR Kalimantan Tengah Teras Narang punya gaya hidup yang mirip dengan Barack Obama, Presiden Amerika Serikat. Terutama dalam soal dunia gadget alias piranti komunikasi yang sehari-hari berada di genggaman tangan. Sang gubernur mengakui kalau ia memakai BB singkatan dari blackberry. Ini adalah jenis handphone canggih yang bisa langsung internetan.
Dari BB itu ia berinteraksi dengan rakyat, kawan lama, para aktifis, wartawan, famili dan siapa saja yang bergabung di dunia maya itu. Di sebuah halaman facebook (jejaring sosial) ia mengaku mengoperasikan sendiri BB. Tidak pakai ajudan.
Suatu saat, dengan rendah hati Teras Narang menulis dengan kalimat meminta maaf bahwa ia tidak bisa mengoperasikan piranti genggamnya karena sedang berada di daerah blank spot, yakni kawasan yang tidak bisa menangkap sinyal telepon. Tersirat ada nada kecewa karena masih ada masyarakatnya yang tidak tersentuh teknologi telepon, apalagi internet.
Mengamati gaya hidup Teras Narang yang pernah menjadi Ketua Panitia Anggaran (Panggar) DPR RI ini, saya respek sekali. Di era global ini yang dibutuhkan adalah pemimpin yang dekat dengan rakyatnya. Yang bisa membuka ruang komunikasi dengan media apa saja.
Sayapun iseng mengirim pesan kepada sang gubernur; ”saya warga Kaltim, saya salut dengan bapak yang masih bersedia membuka fb. Harapan saya, seluruh gubernur se Kalimantan berpikir regional, memberdayakan sumber daya alam untuk kepentingan langsung masyarakatnya. Jauhkan kebijakan pro pasar”.
Eh, tak sampai berselang 30 menit sudah ada jawaban. Begini tulisan utuhnya; “Terima kasih atas pengertiannya, semoga Kalimantan mampu utk mensejahterakan rakyatnya sendiri, tentu dengan semangat kebersamaan dan terus dgn kerja keras meningkatkan Sumber Daya Manusianya dengan tdk hanya mengirim sumber daya alamnya saja, tapi juga memproduknya sbg barang yg punya nilai tambah. 94 % batubara utk menghidupkan PLTU yg berada di luar Kalimantan. Menggunakan batubara dari Kalimantan, tapi sampai sekarang 4 Kalimantan masih kekurangan listrik. Ayoooo.....oooo kita berjuang dan berbuat yg terbaik bagi Kalimantan, yg pd akhirnya juga utk kejayaan NKRI”.
Saya pun tambah kagum. Terbayang para pemimpin Indonesia yang jor-joran mengeluarkan kebijakan izin tambang, dengan orientasi mendapat uang dari hasil penjualan. Akhirnya memang daerah ini banyak uang , tapi listrik di rumah-rumah masih sering padam. Anak-anak sekolah menjadi terganggu belajar.
Teringat pula cerita dizaman kejayaan kayu, ketika warga desa mendapat uang fee dari penebangan yang dilakukan perusahaan. Dengan uangnya warga desa membeli kulkas, tapi karena tidak ada listrik akhirnya kulkas menjadi lemari baju saja.
Itu kesalahan kebijakan yang pro pasar. Teras Narang telah memberi inspirasi tentang pemimpin yang berpikir cerdas dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Semoga bukan hanya kata-kata untuk menyenangkan. **

Facebook


BEBERAPA waktu lalu saya mampir di ‘google search’ dan mengetik kata facebook. Tidak lama setelah di-enter keluar data yang salah satunya dari wikipedia bahasa Indonesia. Saya baru tahu kalau facebook yang terkenal itu pertamakali diperkenalkan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard. Dari universitas paling ‘keren’ di Amerika itu pula komunitas jejaring sosial ini dimulai pada 4 Februari 2004.
Tentu saja saya patut ikut berterima kasih kepada Zuckerberg, sebab hampir setahun ini saya ikut-ikutan tersihir dengan kenikmatan ber-facebook. Saya menemukan banyak teman yang sudah sejak berpuluh tahun tidak pernah saling tegur sapa, karena berada berbeda pulau bahkan negara. Saya pun bisa bercengkrama dengan teman-teman baru yang seide.
Barack Obama sebelum menjadi Presiden Amerika Serikat juga menggunakan jaringan facebook sebagai bagian kampanye diinternet. Terbukti, Obama tertinggi popularitasnya dikalangan pengguna internet.
Lantaran kesuksesan Obama pula membuat sejumlah politisi mengikuti jejaknya. Memasang foto dan profilnya di jejaring sosial tersebut. Mulai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, sampai dengan Rizal Ramli dan Rizal Malarangeng. Begitu pula sejumlah ketua partai dan politikus, sepertinya mereka tak menyia-nyiakan fasilitas facebook untuk sekadar berbasa-basi di dunia maya.
Sejumlah pejabat dan politisi lokal di Kalimantan Timur pun tak mau ketinggalan. Ada Syaharie Jaang dan Nursyiwan Ismail yang nampaknya sudah pasang kuda-kuda untuk maju menjadi calon Walikota Samarinda. Kemudian ada Rita Widyasari yang difacebook menggunakan nama Rita Tatawidi, yang kemungkinan bakal meramaikan bursa calon Bupati Kutai Kartanegara.
Rita termasuk yang aktif bercengkrama di dunia maya, karena ia menghubungkan fasilitas facebook dengan handphonenya. Tiap kali ada yang menyapa, secepat itu pula ia membalasnya. Plt Kabab Humas Pemkot Samarinda HM Faisal juga termasuk yang tiap pagi menyapa dengan cara memperbarui statusnya. Bahkan Faisal rajin mengirim foto-foto tentang sesuatu yang khas hanya ada di Samarinda. Misalnya jenis kue-kue dan juga kerajinan tangan.
Dunia facebook memang membuat jarak bukan lagi masalah. Bahkan sebuah penelitian menyebutkan ada peningkatan gairah kerja lantaran di kantornya tersambung internet. Para karyawan bisa bekerja sambil sesekali memeriksa ’dinding’ facebooknya. Asal jangan menjadi candu dan maniak, karena ada kejadian seseorang merampas notebook orang lain hanya karena ingin membuka halaman facebooknya. Wah. *

Asing

SEORANG teman menggebu-gebu datang kepada saya dan mengatakan bahwa ada investor dari China ingin menanamkan uangnya di bidang batubara. Kata dia, ‘si China’ mau membiayai semua operasional dan izin, asalkan ada jaminan dapat memboyong 200 ribu Metrik Ton per bulan ke negeri Tirai Bambu itu. Semua biaya akan diperhitungkan dengan nilai beli.
Si teman saya itupun beraksi, telpon kesana-sini mencari dokumen areal batubara dari teman-temannya. Hanya dalam tempo tidak sampai satu jam, sudah diperolehnya tiga dokumen dengan lokasi daerah yang berbeda-beda. Luar biasa.
Mendengar kata ‘investor asing’ tak hanya teman saya itu yang langsung bersemangat. Pejabat pemerintah pun selalu berapi-api seakan itu adalah sebuah prestasi yang bakal mendapat pujian dari rakyat. Padahal, karena mental seperti itulah membuat utang rakyat Indonesia terhadap lembaga keuangan asing terus membesar. Membuat sumber daya alam (SDA) yang kita miliki secara sengaja ’tersandera’ sebagai jaminan, agar hak membeli jatuh pada investor asing tertentu itu.
Lantaran semangat itu pula membuat lahan di Kaltim saat ini sudah terpetak-petak, dikuasai para pemodal. Ada yang memang Indonesia dan putra daerah, tapi ujung-ujungnya ada asing pula yang ’memerintah’ kapan dan berapa banyak SDA dieksploitasi. Kalau dulu harga penjualan kayu kita didikte oleh negara-negara pengimpor seperti China, Korea, Jepang dan beberapa negara Eropa, kini – setelah kebijakan ketat kehutanan di rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – beralih ke hasil tambang batubara, setelah lebih dulu ada kebijakan minyak dan gas yang nyaris tak bisa diutak-atik dari genggaman para pemodal Francis dan Amerika.
Pemerintah tidak pernah memahami kalau buntut-buntutnya sumber ekonomi rakyat Kaltim (baca Indonesia) telah jatuh ke tangan para pemodal asing. Bahkan hutan telah berubah jadi kebun sawit yang ujung-ujungnya juga adalah untuk memenuhi selera bangsa asing yang gemar menggunakan produk ilir kelapa sawit. Bayangkan kehancuran hutan kita hanya karena tuntutan sebuah lifestyle (gaya hidup) bangsa asing.
Seperti yang dilakukan teman saya tadi, kalau berhasil usahanya menghubungkan pemilik areal tambang batubara dengan si investor dari China, maka setidaknya 2,4 Juta Metrik Ton dalam setahun batubara Kaltim dikuasai si investor. Kalau ikatannya 10 tahun, 20 tahun, maka sama saja asing sudah ’berdaulat’ di sumber ekonomi Kaltim. Dan itu mirip ’penjajahan’ ekonomi.
Sedangkan yang akan mendapat keuntungan, hanya sedikit sekali, yakni pemilik tambang dan teman saya yang jadi ’makelar’ tadi. Lalu pekerja tambang yang jaminan hidupnya tertolong sesaat, yakni selama masih ada hasil tambang.
Kalau saya ditanya; apa yang mesti dilakukan pemerintah untuk melindungi sumber daya alam (SDA). Maka otomatis saya mengatakan save saja dulu. Pemerintah bisa mengatur ulang berapa banyak yang patut dijual untuk kepentingan kemakmuran rakyat Kaltim. Salam. ***

Banjir

TOPIK obrolan publik di Kota Samarinda, pekan ini, adalah banjir. Mulai di warung kopi, media massa sampai jaringan facebook obrolannya lebih ’meluap-luap’ dari pada air yang naik perlahan menuju pinggang di kawasan simpang Lembuswana, Jalan Pemuda, Cendrawasih, Remaja, Bengkuring dan sekitarnya.
Pendek cerita, rakyat yang kena banjir sedang marah. Mahasiswa pun demonstrasi dan menuntut Walikota dan Wawali Samarinda Achmad Amins – Syaharie Jaang mundur dari jabatannya. ”Pokoknya ini dosa walikota”. Mengapa daerah bukit diratakan? Mengapa rawa-rawa penampung air diurug? Mengapa eksploitasi tambang batubara diberi izin?
Banjir bulan April 2009 ini diistilahkan sebagai ”yang terburuk” dalam 10 tahun belakangan. Dua bulan lalu, juga ada istilah bahwa banjir besar yang terjadi kala itu adalah siklus delapan tahunan, karena pada delapan tahun silam juga terjadi banjir hebat. Entah istilah apa lagi yang muncul kalau pada bulan Mei 2009 – seperti diperkirakan BMG (Badan Meterologi dan Geofisika) – terjadi banjir susulan.
Pemerintah Kota Samarinda juga seperti kehabisan kata-kata menghadapi ’kemarahan’ warga. Semua kebijakan jadi serba salah, karena toh hasilnya puluhan ribu jiwa warga kota menderita.
Saya jadi terusik; apa sudah tepat masyarakat menumpahkan kemarahannya kepada walikota?
Lucunya, ketika mencoba mencari jawaban, yang didapat adalah ’tampiasan’ dari orang-orang yang sedang marah pula. Pikiran rasional, pencerahan menjadi tak berlaku di sini.
Dan anehnya, para pemerhati lingkungan di daerah itu sama sekali tidak berusaha menjernihkan suasana. Mereka yang paham dengan lingkungan justru cenderung membiarkan opini masyarakat bergerilya di tempat yang mungkin sesat.
Bahwa pemerintah dengan berbagai kebijakannya menambah beban kerusakan lingkungan, itu memang benar. Bahwa pemerintah pemberi ’sumbangan’ hancurnya hutan, rusaknya lapisan tanah, terjadinya erosi, pencemaran, tidak bisa disangkal. Tapi menumpahkan kemarahan hanya kepada walikota, saya kira itu juga salah.
Banjir Kota Samarinda, dari sudut pandang saya, adalah konsekwensi geografis karena kota itu letaknya di muara Sungai Mahakam yang panjangnya 920 Kilometer. Ada ribuan anak sungai yang mengalirkan air dan lumpur ke Sungai Mahakam dan ujungnya adalah Kota Samarinda.
Pendek cerita, air hujan dari Kutai Barat, Kutai Kartanegara bahkan dari wilayah perbatasan Kalimantan Tengah tumpah ke sungai yang menjadi kebanggaan orang Kaltim ini. Sebagian air itu tertampung di ’folder-folder’ alam Danau Semayang, Danau Melintang dan lainnya, sebagian lagi memasuki daerah rendah yang mengakibatkan banjir besar di Kutai Barat dan Kutai Kartanegara. Dari cerita orang-orang tua di kota Samarinda bahwa sejak jaman baheula banjir memang sudah biasa terjadi.
Persoalannya adalah mengapa perubahan iklim ini terlalu cepat dahsyat?

Drakula


PASCA 9 April 2009, obrolan publik didominasi soal calon legislative (Caleg) yang gagal masuk parlemen. Menjadi tambah seru karena media-media – lokal dan nasional – memblow-up tingkah laku caleg-caleg yang gagal itu. Ada yang stress, bunuh diri, masuk rumah sakit jiwa bahkan meninggal dunia karena jantungan. “Tuh di Palaran sudah ada caleg gagal yang buka-buka baju sambil keluyuran,” tulis seorang teman anggota jaringan facebook. Palaran adalah sebuah kecamatan di ujung Kota Samarinda.
Pemilu Indonesia 2009 memang menjadi peristiwa terbesar sejagad raya. Bayangkan ada 43 partai (Kaltim 38 partai) yang ikut bertanding, dengan jumlah calon anggota legislative yang ikut kompetisi di seluruh Indonesia – mulai DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten, sekitar 1,7 Juta jiwa.
Asumsinya, dengan jumlah pemilih sekitar 170 Juta jiwa, maka pada tiap 100 warga negara terwakili satu menjadi caleg alias 100 : 1. Seorang teman yang tahu tentang Malaysia menyebutkan di negeri Jiran rasionya 10.000 : 1.
Begitu bersemangatnya putra-putri Indonesia terjun ke dunia politik. Terutama di level “Hak Dipilih”. Sampai-sampai mereka rela mengorbankan apa saja untuk mencapai tujuannya. Tidak hanya bersaing dengan para kandidat partai lain, tetapi juga ‘saling terkam’ sesama caleg di internal partai sendiri. Mengorbankan rasa persaudaraan, persatuan, loyalitas. Gara-gara nafsu meraih predikat ‘anggota dewan yang terhormat’, mereka tak sungkan-sungkan menjatuhkan kandidat lain dengan cara tidak terpuji.
Ini berbanding terbalik dengan tingkat partisipasi warga yang menggunakan “Hak Memilih”. Kabar menyebutkan warga yang tidak menggunakan hak pilihnya di atas 30 persen atau sekitar 51 Juta orang. Mereka adalah yang cuek, sengaja Golput dan warga yang tidak terdaftar atau tidak menerima undangan ke TPS (Tempat Pemungutsan Suara).
Jelas ini fenomena baru. Iklim politik ’suara terbanyak’ yang menjadi pemenang, berhasil memunculkan nafsu luar biasa di masyarakat. Mereka efhoria, seakan ada lowongan kerja baru di dunia politik. Lowongan menjadi anggota dewan yang terhormat.
Lantaran itu banyak diantara mereka yang berusaha menyogok rakyat. Sebelum hari pencontrengan, kandidat membagi-bagi uang alias money politic. Jumlah uang yang dihambur juga tidak sedikit, karena ada yang sampai di atas Rp5 Miliar untuk menjadi anggota DPRD Kaltim saja.
Bisa dibayangkan, apa jadinya kalau parlemen kita berisi para politisi yang mendapatkan dukungan karena menyogok rakyat. Apa bedanya politisi itu dengan ‘drakula’? Mereka bakal mencari uang pengganti selama berada di lingkungan kekuasaan. Mulai dengan cara normal sampai ‘menghisap’ apa saja yang ada di anggaran pemerintahan (APBD). Halal dan tidak halal menjadi semakin tipis bedanya. **

Batubara

KETIKA PT Kaltim Prima Coal (KPC) mengumumkan rencana peningkatan produksi batubara dari 48 Juta ke 70 Juta Metrik Ton (MT) per tahun, sejumlah kalangan bereaksi. Dan seperti biasanya, para aktivis lingkungan menolak.
Kalau rencana PT KPC direalisasikan, maka Kaltim bakal menembus angka spektakuler dalam eksploitasi batubara. Yakni 125 Juta MT dari produksi saat ini yang sudah mendekati angka 100 Juta MT per tahun. Dan itu berarti ada uang dari pembeli batubara yang (mestinya) masuk ke Kaltim sekitar Rp8.750.000.000.000 (dengan asumsi harga batubara Rp70.000 per ton).
Hebatnya, dari angka Rp8,75 Triliun itu lebih 50 persen ada di PT Kaltim Prima Coal yang menambang di kawasan Sengata dan Bengalon Kutai Timur. Inilah perusahaan raksasa batubara kelas dunia yang sahamnya pernah dikuasai Grup Bakrie. Perusahaan yang juga punya track record tertinggi dalam tingkat konflik antara pemilik, penguasa dan rakyat.
Tambang memang sumber konflik. Bahkan di negeri manapun, sumber energi selalu menjadi biang perselisihan antarnegara. Para penambang, biasanya, berlomba-lomba untuk mencari pengaruh di tubuh kekuasaan. Dengan ‘uang’-nya pengusaha tambang umumnya berniat menguasai oknum-oknum pemerintahan.
Tidak heran kalau ada konflik perusahaan – masyarakat, maka suara pemerintah lebih condong kepada pengusaha. Bahkan para pengusaha itu bisa ‘mengatur’ pemerintahan seperti yang diinginkannya.
Bagaimana dengan ulah pengusaha tambang dalam upaya mempengaruhi pemerintahan di Kaltim?
Bukan lagi cerita baru bahwa di zaman sulit korupsi ini, banyak pejabat-pejabat pemerintahan bersandar pada pengusaha batubara. Mulai dari tingkat lokal sampai nasional. “Kalau pejabat Kaltim ke Jakarta, sekarang yang kasih servis itu para pengusaha batubara,” begitu ceritanya.
Tiap kali Pilkada, para calon kandidat berusaha mencari sponsor dari kalangan pengusaha. Dan yang sekarang sedang trend - karena dianggap paling banyak uang - adalah pengusaha batubara. Alhasil sejumlah pemenang Pilkada saat inipun terindikasi punya hubungan spesial dengan beberapa pengusaha batubara kelas kakap. Sudah menjadi rahasia umum.
Perilaku hubungan pengusaha – penguasa ini sebenarnya hanya bentuk ’migrasi’. Kalau dulu antara pengusaha kayu dengan oknum pemerintah, tapi sekarang antara pengusaha tambang dengan oknum pemerintah.
Masa kejayaan kayu sudah nyaris berakhir seiring dengan semakin langkanya kayu tegakan di hutan yang tersisa. Sekarang adalah kejayaan batubara yang oleh Dinas Pertambangan Kaltim diprediksi tidak bakal habis dieksploitasi sampai 90 tahun ke depan.
Sangat jelas, ini adalah masa-masa menguatirkan karena pengusaha pertambangan bakal semakin merajalela di pemerintahan. Harus ada solusi. **

Patriot


CERITA legendaris Robin Hood tak pernah lekang oleh zaman. Anak-anak di era digital pun masih tertarik dengan ketokohan dalam cerita rakyat Inggris itu. Ia adalah seorang bangsawan yang menjadi musuh Sheriff of Nottingham atau Prince John, melawan pejabat yang korupsi untuk kepentingan rakyat. Ia memimpin 140 orang yang disebut "Merry Men".
Kelak, bagian cerita adalah bagaimana Robin Hood dan rombongannya merampok harta para orang kaya yang tamak, yang mendapat hartanya dari korupsi, untuk membantu rakyat miskin.
Cerita tentang orang miskin pun tak pernah lekang dari seluruh peradaban manusia. Siapapun pemimpin negeri tak pernah ada yang mampu menuntaskan kemiskinan itu, termasuk para pemimpin Indonesia.
Tapi, coba simak kampanye calon-calon pemimpin itu. Mulai dari tokoh-tokoh nasional sampai ke daerah, semua tidak malu menyuarakan kesejahteraan rakyat. Ingin melepaskan rakyat dari kemiskinan.
Ketika merasa yakin bahwa sumber kemiskinan adalah korupsi yang merajalela dan pendidikan rakyat yang masih rendah, sebenarnya yang dibutuhkan adalah para patriot negeri yang berani konsen dikedua sektor ini. Tentu bukan lagi sekedar ’peduli’ tanpa tindakan seperti yang dilakukan tokoh-tokoh masa kini. Tapi barangkali kepedulian dan keberanian sekelas Robin Hood. Merampok si kaya untuk membangun si miskin.
Kata ’merampok’ pastilah menjadi perbuatan pidana yang melanggar hukum. Itu sudah tidak bisa dilakukan lagi, karena peradaban negeri telah berubah; tak mungkin mengatasi penyakit negeri dengan cara melanggar hukum.
Tapi para patriot negeri masih punya cara lain. So, misalnya Presiden Barack Obama yang meluncurkan kebijakan pengenaan pajak 95 persen untuk pesangon para eksekutif perusahaan yang bangkrut akibat krisis global. Sangat ironi memang ketika negara / rakyat mengalami masalah ekonomi global, sementara perusahaan-perusahaan besar yang terpaksa mem-PHK para eksekutif dan karyawannya memperoleh pesangon yang sangat luar biasa besar. Apalagi, dana yang digulirkan kepada para eksekutif itu bersumber dari luncuran bantuan pemerintah. Dengan luncuran kebijakan pajak khusus oleh Obama, otomatis uang pesangon super besar bakal kembali ke negara.
Adakah cara para pengelola negeri ini untuk mengutak-atik harta kekayaan para konglomerat untuk membantu si negara memerangi si miskin?
Kini saatnya rakyat memilah-milah, partai apa dan siapa yang pantas diangkat sebagai patriot sejati untuk menerima amanah. Tanggal 9 April 2009, rakyat jangan salah pilih. Teliti sebelum membeli. Semoga. **

Pondasi


SAMPAI pertengahan bulan Maret 2009, atau menjelang berakhirnya 100 hari kerja Gubernur dan Wagub Kaltim Awang Faroek Ishak – Farid Wadjdy, nyaris belum terlihat apa prestasi mereka. Mau bangun jalan tol masih sebatas mimpi, bangun rel kereta api baru sekadar bayangan dan membenahi kelangkaan setrum listrik dengan merekomendasi PLN memperoleh pinjaman Rp2 Triliun dari Bank Kaltim, sangat-sangat diragukan karena tidak feasible.
Mau konsen ke pertahanan pangan seperti janji Gubernur Faroek, juga tidak muncul tanda-tandanya. Hasrat menjadikan kawasan perbatasan negara sebagai beranda Indonesia, baru sebatas wacana dan membangun jutaan hektar kebun sawit terasa mengendor setelah krisis global melanda.
Memang, dalam tempo waktu tiga bulan tak banyak yang bisa diharapkan dari seorang pemimpin setingkat gubernur. Pada masa-masa itu, Faroek baru sebatas menyelaraskan para pemangku kepentingan dalam pembangunan. Misalnya menyusun ‘kabinet’ dengan melakukan mutasi, berdialog dengan tokoh-tokoh masyarakat dan juga membangun komunikasi aktif dengan bupati dan walikota.
Tak heran, kesan selama tiga bulan perjalanan pemerintahan Faroek, yang terbaca di surat-surat kabar adalah sejumlah acara seremonial (peresmian). Ada juga road show ke sejumlah menteri kabinet Indonesia Bersatu, dengan harapan seluruh program pemerintah pusat lebih fokus ke Kalimantan Timur.
Anehnya, masih miskinnya prestasi ini tak diimbangi dengan meletakkan pondasi yang benar agar kokoh dalam perjalanan lima tahun ke depan. Buktinya, baru pada awal bulan Maret 2009 ini Gubernur bersama seluruh bupati/walikota diundang khusus untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009-2014.
Padahal, RJPM hukumnya wajib sesuai UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005. Itu perencanaan strategis yang orientasinya pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1-5 tahun. Sebelumnya, Kaltim memakai RPJM zaman Gubernur Suwarna.
Lebih ironi lagi, pemerintahan Faroek masih harus berkutat dengan perjuangan menggolkan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) Kaltim. Pekan tadi, Faroek bersama dengan beberapa bupati / walikota di Kaltim mendatangi sejumlah menteri kabinet Indonesia Bersatu dengan tujuan mendesak disahkannya RTRW itu.
Tanpa RJPM dan RTRW, sudah pasti mematikan minat investor untuk menanamkan modalnya di Kaltim. Karena tidak adanya kepastian hukum, maka kepercayaan pemodal juga lemah karena merasa investasinya tidak aman. Gubernur Faroek mestinya memulai dengan membangun pundi-pundi pondasi ini. Selamat bekerja. **

Rabu, 18 Maret 2009

Utang Faroek

SEPERTINYA, persoalan kelangkaan listrik di seluruh Kalimantan Timur hanya bisa diselesaikan dengan cara utang. Begitulah berita yang menghangat pekan tadi. Gubernur Awang Faroek Ishak mengumumkan kesediaan Bank Kaltim – dulu Bank Pembangungan Daerah (BPD) -- memberikan pinjaman sebesar Rp2 Triliun kepada PLN (Perusahaan Listrik Negara).

Sekilas, langkah Gubernur Faroek berkesan brilian. Sekali dayung dua pulau terlampaui. BPD yang sahamnya dimiliki pemerintah kabupaten dan kota se-Kaltim dapat rejeki nomplok bisa menggelontorkan uang nasabah (pihak ketiga) dan memperoleh bunga, berikutnya krisis listrik sekitar 2 X 100 MW (megawatt) bisa tertangani.

Bank untung, listrik swasembada. Begitulah gambaran masa depan Kaltim pada tahun 2011 nanti. Tidak ada byarpet lagi dan investor berdatangan karena tidak pusing lagi pasokan listrik.

Soal listrik, rakyat Kaltim pasti setuju apapun yang ditempuh pemerintah agar mampu menyediakan pasokan setrum ke rumah-rumah. Sudah terlalu lama pemerintah tak fokus ke masalah ini, sehingga membuat rakyat menderita. Pertumbuhan ekonomi juga ikut tersendat, terutama industri, perumahan atau properti yang membutuhkan pasokan listrik agar laku dibeli konsumen.

Persoalannya, mengapa Gubernur Faroek memilih langkah utang sebagai jalan pintas mengatasi kelangkaan listrik? Seperti tidak ada lagi kemampuan mencari solusi yang lebih baik selain menggunakan manajemen utang. Sebab yang namanya utang, tetap saja buntut-buntutnya adalah membebani rakyat. Pertama, mengurangi ’jatah’ kredit untuk rakyat dari bank tersebut, karena dana yang dipinjam sudah melampaui limit bank yang boleh dipinjam. Kedua, kemungkinan PLN bakal menaikkan tarif dasar listrik yang membebani konsumen agar bisa membayar utang plus bunganya.

Langkah Faroek, sebenarnya tidak bisa dikatakan brilian. Ia mudah diterka, karena pada saat menjadi Bupati Kutai Timur, ia juga menempuh manajemen utang untuk membangun kawasan perkantoran Bukit Pelangi di Sengata. Faroek meminjam Rp270, 5 Miliar yang kemudian dilunasi dari APBD hingga beberapa tahun. Celakanya, zaman Faroek yang mengutang, tapi yang bayar adalah penggantinya sebagai bupati.

Nah, apakah Faroek juga akan mewarisi utang ketika berakhir masa jabatannya sebagai gubernur tahun 2013 nanti? Jawabannya sudah pasti, ya. Mengingat angka utang Rp2 Triliun bukanlah jumlah yang sedikit dan pembayaran pengembaliannya juga dipastikan memakan tempo di atas 10 tahun.

Sejauh ini memang belum ada yang pasti bagaimana model pengelolaan uang pinjaman itu. Apakah langsung dipegang oleh PLN atau melibatkan pihak ketiga. Yang publik tahu, model kerjasama dengan PLN yang terjalin selama ini adalah investor memproduksi setrum dan PLN membelinya untuk disalurkan kepada konsumen.

Kalau masih memakai model tersebut berarti ada pihak ketiga yang menerima pinjaman sebesar Rp2 Triliun itu. Ayo kita intip siapa orang itu? **

Dibunguli Arab

HAMPIR saja saya menulis; ‘selamat datang rel kereta api’, ketika Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak - di sela-sela Forum Ekonomi Islam Sedunia di Jakarta -- mengumumkan tertariknya investor asing menanamkan modalnya sekitar 900 juta dolar AS di sektor infrastruktur itu. Tapi begitu mengetahui kalau investor yang dimaksud berasal dari negeri padang Arafah, tepatnya dari Ras Al-Khaimah (RAK) Emirate, salah satu negara federasi Uni Emirat Arab, saya jadi tertegun bertanya-tanya; “apa iya?”

Menjelajah lebih dalam tentang kota asal calon investor itu di internet, jawaban yang muncul ternyata tidak menunjukkan kalau mereka ahli dalam perkeretapian. Bahkan mode transportasi utama di daerah yang berbatasan dengan Oman itu adalah mobil pribadi, taksi dan bus. Ada juga pelabuhan laut dan bandara, tapi tak disebut ada kereta api.

So, saya ingat lelucon yang dibawakan pelawak ‘Warkop’ jaman dulu, yakni tentang orang Arab menjual kain dengan tulisan di depan dagangannya; “dijamin tidak luntur”. Karena dalam bahasa Arab selalu dibaca terbalik dari belakang, maka maknanya adalah; “luntur tidak dijamin”.

Jangan-jangan investor orang-orang Arab itu justru tertarik ingin punya transportasi kereta api di negerinya, karena daerah mereka terhubung daratan dengan emirate lainnya seperti Dubai, Sharjah, Ajman, Umm Al Quwain dan Fujairah. Mereka jauh-jauh datang ke Indonesia untuk mengajak kerjasama membangun rel kereta api di negeri mereka.

Otak kiri saya berharap mimpi Gubernur Faroek agar terbangunnya rel kereta api dari dari Muara Wahau, Maloy, hingga Lubuk Tutung Kutai Timur sejauh 200 Kilometer bisa terealisasi, tapi otak kanan saya menganalisa; “kok kayanya nggak masuk akal sehat”.

Selain orang-orang Arab tak cakap membangun rel kereta api, keraguan muncul karena saat ini nyaris tak ada investor di belahan dunia ini yang mau menginvestasikan uangnya di luar negeri. Krisis global telah membuat para investor berjaga-jaga agar modalnya tidak makin mengecil akibat aktifitas ekonomi dunia yang gonjang-ganjing.

Menurut berita-berita tentang negeri Arab, dalam empat bulan terakhir krisis finansial dunia Arab telah merugi sangat besar. Bahkan 60 persen proyek pembangunan terpaksa ditunda dan dibatalkan.

Di warung-warung kopi yang ada di Samarinda, obrolan tentang keberhasilan Gubernur Faroek meneken naskah kerjasama dengan investor Arab pun jadi bahan lelucon. “Wah, kita dibunguli (dibohongi-red) Arab”.

Golput

BIKIN partai Golput saja, pasti kita menang. Begitu joke di masyarakat ketika semakin dekat Pemilu legislatif yang berlangsung 9 April 2009.

Jumlah golongan putih alias yang tidak peduli dengan pesta demokrasi itu, menurut data lembaga-lembaga survei, bisa di atas 50 persen. Ini merupakan fenomena tersendiri, karena terbukti semakin banyak jumlah partai yang berkompetisi, tapi semakin banyak juga yang tidak peduli.

Apakah penyebab Golput karena bingung jumlah partai yang begitu banyak? Barangkali alasan itu ada benarnya. Bayangkan, ada 34 partai yang bertanding. Di mana-mana terpampang foto Caleg. Mulai gang-gang kecil sampai sarana publik yang menghias wajah kota.

Nanti, ketika berada di bilik suara, tiap warga yang terdaftar sebagai pemilih mendapatkan empat kertas suara yang dibuka. Pada setiap kertas kita jatuhkan pilihan kita. Pilihan pertama adalah siapa jago kita menjadi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang kantornya nanti di Gedung DPR RI Jakarta, lalu siapa yang kita usung agar menjadi wakil kita ke DPR RI, DPRD Kaltim dan DPRD Kabupaten / kota.

Kalau dihitung-hitung, sejak keluar dari rumah menuju TPS (tempat pemungutan suara) dan masih pula mengantri menunggu giliran, maka setidaknya diperlukan waktu satu jam untuk semua agenda kegiatan politik tersebut. Itupun kalau tidak ada hujan, becek, tidak ada ojek, capek dech.

Nah, dari waktu satu jam berpartisipasi politik tersebut, kita gantungkan harapan agar Indonesia lebih baik. Agar jalan-jalan rusak segera diperbaiki, agar harga-harga tidak mahal, agar ada perubahan yang besar di negeri yang makmur ini.
Tapi pengalaman beberapa kali Pemilu, Indonesia ternyata tak jauh berubah. Angka kemiskinan, pengangguran masih besar. Jadi, apa artinya mencontreng pada pemilu nanti?

Kalau sudah dihinggapi pesimistis seperti itu, maka tak boleh disalahkan kalau pilihannya adalah Golput. ”Ngapain capek-capek, yang naik jadi anggota dewan juga bukan siapa-siapa. Bikin caleg kegirangan saja”.

Fenomena malas berpolitik ini menjadi tantangan bagi pemerintah. Terutama penyelenggaran pemilu, yaitu Komisi Peemilihan Umum (KPU). Semakin sedikit yang ikut berpartisipasi, maka semakin kecil nilai Pemilu itu. Bahkan para caleg yang terpilih nanti bisa dianggap bukan representasi mayoritas masyarakat.

Harus ada pemikiran cerdas mengatasi fenomena Golput itu. Apakah memang sudah saatnya menghapus model partai sentralistis dan menggantikannya dengan partai lokal sebagaimana halnya di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Kita patut menyimak secara detil apakah dengan partai lokal di Aceh, bisa memangkas angka Golput itu. Kita tunggu saja. *

Transparansi

INI zamannya orang menuntut transparansi. Mulai manajemen rumah tangga, usaha swasta, lebih-lebih pemerintah yang memakai uang rakyat. Coba saja kalau soal keuangan di rumah main umpet-umpetan, pasti - kalau sampai ketahuan istri atau suami - bakal terjadi perseteruan besar. Anak-anak yang beranjak dewasa pun tidak suka kalau ada sesuatu disembunyikan orangtua mereka.

Karyawan di perusahaan-perusahaan swasta juga menuntut adanya transparansi manajemen itu. Mulai soal keuangan, keuntungan dan sistim manajemen. Walaupun sebenarnya soal manajemen adalah haknya pemilik modal, tapi kalau memakai sistim tertutup membuat para karyawan tidak lagi sepenuh hati bekerja. Dengan keterbukaan – biasanya – membuat tanggungjawab karyawan kepada pekerjaan semakin besar.

Bagaimana dengan di pemerintahan? Tentu, itu adalah wilayah publik di mana transparansi menjadi wajib hukumnya. DPR RI sendiri telah menggodok RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sebagai kata lain dari tranparansi. Hanya saja sampai penghujung tahun 2008 lalu, tak ada lagi kabar beritanya.

Walau ‘wajib’ hukumnya, tapi tak semua pejabat pemerintah mau menerapkannya. Seorang kepala seksi atau kepala bidang merasa tidak wajib membeberkan data pekerjaannya ke publik, karena merasa bukan dari bagian tupoksi-nya. Tupoksi adalah tugas pokok dan fungsi. Ia hanya tunduk pada atasannya.

Di zaman Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, ia juga berjanji untuk menerapkan transparansi itu. Hanya saja sampai memasuki dua bulan kepemimpinannya, tanda-tanda model transparansi yang bagaimana bakal diterapkan, belum ada. Apakah yang dimaksud transparansi versi gubernur Faroek adalah soal rencana-rencana besarnya saja?

Dari catatan hitam perjalanan pemerintahan yang telah lalu, yang ditandai dengan ditangkapnya Gubernur Kaltim Suwarna AF serta bupati dan wakil bupati Kutai Kartanegara karena terlibat korupsi, patut diusulkan agar ada Perda Tranparansi di Pemprov Kaltim. Sedangkan untuk Pemkab Kutai Kartanegara sudah lebih dulu melangkah dan tinggal ketuk palu DPRD saja.

Perda Transparansi adalah salah satu elemen alias infrastruktur perjalanan pemerintahan. Sehingga masyarakat dapat mengontrol dan mengakses secara langsung apa saja yang dikerjakan pemerintah dengan uang APBD-nya. Jika ada kontrol yang sehat, pemerintah juga terbantu karena bakal lebih banyak informasi yang cepat dicerna publik.

Gubernur Faroek mestinya bisa membuktikan diawal pemerintahannya bahwa ia pro dengan keinginan rakyat yang ingin bisa mengakses setiap informasi dari pemerintahan. Entah itu medianya adalah di koran atau dalam bentuk digital pada internet. Lantaran itu tak ada salahnya kalau niat baiknya kita dorong bersama kepada gubernur Faroek. Ayo!

Kriminalisasi Pers

TANGGAL 9 Februari 2009 benar-benar dimanfaatkan tokoh-tokoh pers untuk mereview kembali perjalanan semua infrastruktur dunia pers. Mulai soal undang-undang Pers, kode etik sampai dengan benturan yang muncul karena adanya undang-undang lain (Kitab Undang-undang Hukum Pidana- KUHP) yang bisa lebih unggul dari pada UU Pers No 40 tahun 1999.

Kalau wartawan memeras, menipu, memakai narkoba, silakan polisi menangkap dan gunakan pasal-pasal KUHP. Tapi kalau ia menulis sebuah berita dan telah melewati prosedural, tapi kemudian menimbulkan sengketa, maka mestinya itu menjadi wilayah Undang-undang Pers.

Seminar tentang kriminalisasi pers dalam rangka Hari Pers Nasional di Hotel Atlet Century Jakarta (8 Februari 2009), muncul juga pernyataan masih tingginya ego dari penyidik yang tidak mempedulikan adanya UU Pers. Lebih ironis lagi sikap ego itu makin menguat karena pihak yang diberitakan adalah konglomerat atau penguasa yang ‘ringan tangan’ memberikan bantuan dana. Maka, semakin terpojoklah wartawan yang menulis berita karena disamakan dengan pelaku kriminal.

Keinginan para wartawan, penyidik wajib menyarankan kepada pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan untuk menempuh mekanisme penyelesaian sengketa berita seperti tercantum dalam UU Pers. Salah satunya penggunaan hak jawab. Kata dibalas dengan kata, tulisan dibalas dengan tulisan.

Sebenarnya sudah ada keseragaman pemikiran di kalangan elit, yakni antara Dewan Pers, Kapolri, Kejagung dan pemerintah untuk menggunakan UU Pers saja dalam hal sengketa berita. Itu sebabnya Aburizal Bakrie yang juga Menko Kesra, memilih mengadukan majalah Tempo yang memberitakannya ke Dewan Pers dari pada ke polisi.

Yang dicari Ical – panggilan akrab Aburizal Bakrie – adalah bahwa tulisan, artikel, berita yang disampaikan majalah itu tidak benar, sekaligus membersihkan dirinya dari semua tuduhan. Kalau pada akhirnya Dewan Pers menyatakan Tempo bersalah, maka itu adalah pukulan telak bagi brand media yang berjuang keras menjadi kepercayaan pembaca.

Lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun pernah memilih menggunakan hak jawab di dua surat kabar nasional, karena ada pemberitaan yang dinilai tidak tepat dan berpotensi memunculkan opini publik yang keliru.

Di negeri yang demokratis, kemerdekaan pers sangat diperlukan untuk mengawasi jalannya pemerintahan, penyelenggaraan negara. Karena Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sendiri telah memberikan ruang pada hak rakyat akan informasi dan kemerdekaan pers. Jadi, sebaiknya kita tolak kriminalisasi pers. **

Pers

SELAMAT merayakan Hari Pers Nasional (HPN) 2009 dan selamat ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-63. Diantara suasana suka cita itu, insan pers masih menyimpan duka.

Pertama, yang terpenting tentunya, soal kesejahteraan para insan pers. Seringkali karena lembaga pers dianggap sebagai pabriknya para idealis, para pemodal memperlakukan semena-mena pendapatan para wartawannya. Yang paling getol memperjuangkan gaji para wartawan ini nampaknya baru dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), salah satu organisasi pers berpengaruh di negeri ini.

Soal gaji para wartawan, mestinya memang muncul dari komitmen kolektif semua yang terlibat dalam penerbitan pers itu. Sebab tidak semua media massa dilahirkan dalam kondisi langsung punya uang yang dimodali konglomerat. Ada media yang benar-benar merambat dari bawah. Dilahirkan secara bersama oleh para wartawan, lengkap dengan suka dan dukanya. Karena perjuangan bersama, maka konsekwensinya adalah semua yang terlibat ‘wajib’ mendapat saham di perusahaan tersebut.

Duka yang kedua, para wartawan masih dicekam ancaman pasal-pasal kriminal di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Setidaknya ada dua pasal yang menghantui, yakni perbuatan tidak menyenangkan berupa penistaan melalui tulisan serta pencemaran nama baik, seperti dalam pasal 310 (2) KUHP. Kedua pasal ini sepertinya mengalahkan Undang-undang Pers Nomor 40 yang telah diundangkan sejak 23 September 1999.

Adalah perjuangan kalangan pers agar undang-undang itu tidak hanya menjadi pajangan saja. Tiap kasus sengketa pers yang ditangani petugas kepolisian, wajib menggunakan undang-undang tersebut. Kalau penyidik memaksa menggunakan KUHP, kemungkinan juga bakal mentul di kejaksaan dan hakim.

Tapi persoalan tidak sederhana begitu. Penyidik atas nama undang-undang bisa ngotot dengan KUHP-nya. Apalagi kalau ada ’roket pendorong’ di balik itu. Misalnya saja dari pihak-pihak yang diberitakan. Nah, kalau yang diberitakan adalah aparat pemerintahan yang terlibat korupsi, atau pengusaha culas yang main politik, maka sudah pasti persengkongkolan yang muncul. Pemerintah atau pengusaha bersama polisi bersatu padu menggencet insan pers.

Seberapa tahan wartawan bisa diperlakukan situasi itu? Apalagi bagi wartawan yang bertugas jauh di daerah perbatasan dan pedalaman. Pada momentum Hari Pers Nasional (HPN), sepatutnya kita perjuangkan lagi agar UU Pers dihormati para penyidik. **

Kritisi Kaltim

LIMA tahun lalu Suwarna AF yang baru menjabat Gubernur Kaltim kedua kali bersemangat sekali mengkampanyekan PON, Islamic Center dan sejuta hektar sawit. Sasarannya adalah memfokuskan penggunaan APBD untuk membangun sarana dan prasarana olahraga kelas internasional.

Kini, Awang Faroek Ishak yang baru sebulan menjadi Gubernur Kaltim juga bersemangat untuk mewacanakan berbagai program pembangunan. Mulai jalan tol, pelabuhan ekspor kelapa sawit ‘Maloy’ di Kutai Timur, Kaltim Airline, kawasan industri, agrobisnis, tahun wisata Kaltim, dll, dll.

Dua Gubernur ini nyaris tidak ada bedanya dalam soal orientasi pembangunan fisik, agar terkesan monumental. Sangat beda dengan zaman Gubernur Kaltim HM Ardans SH (Alm) atau zamannya H Soewandi (alm) yang belum ‘melimpahnya’ anggaran. Rezim waktu itu lebih berorientasi menggali sumber daya hutan.

Di zaman Suwarna dan Faroek yang dimulai era otonomi daerah tahun 2001 silam, anggaran untuk Kaltim memang meningkat tajam. Saking semangat punya uang, muncul nafsu membangun yang besar-besar pula. Semua kantor kabupaten dan kota dibangun mewah, pakai lift walaupun krisis listrik tiap hari. Bangun stadion megah walaupun yang pergi berolahraga di situ hanya beberapa gelintir orang saja.

Yang terparah, limpahan kebijakan sektor tambang skala kecil dari pusat ke daerah. Ketika pemerintah pusat menghentikan kejayaan sektor kayu, tapi sektor tambang malah menggila. Pelakunya seperti orang ganti baju, dari main kayu jadi main batubara. Sama-sama merusak alam.

Bersyukur Gubernur Kaltim yang baru Faroek sudah punya niatan menjadikan ‘Kaltim Hijau’. Artinya, kalau dia betul serius – bukan lips service – maka idealnya semua kebijakan pembangunan diarahkan agar bernafaskan kepedulian pada lingkungan. Izin tambang batubara dari bupati dan walikota bisa ditinjau ulang gubernur dengan alasan perusahaan tidak ada program lingkungan. Bukankah regulasi soal lingkungan tak bisa hanya milik Pemkot dan Pemkab, karena kerusakan alam adalah masalah global. Tapi, cukup berani kah Awang?

Rezim memang kejam. Hutan sudah habis dan kini tambang batubara, lima tahun ke depan di zaman Faroek apalagi yang digerus untuk diubah menjadi bangunan monumental?
Semua sumber daya alam yang ada di Kaltim tak niscaya bakal berganti dengan fulus alias uang. Seberapa rakus rezim itu menguras kekayaan alam, hal itulah yang patut dikawal oleh kalangan kritisi di daerah ini.

Saya berterima kasih kepada Pak Gubernur, karena saat acara bertemu dengan pimpinan media massa dia meminta supaya kebijakannya dikritisi. Supaya pemerintahan yang dipimpinnya tidak terlena dan malah jatuh ke jurang. Itu sebabnya sejak awal pemerintahannya saya pun berjanji dalam hati; ayo kita kritisi dia! *

Pers

MOMENTUM edisi ke-100 Majalah Berita Mingguan (MBM) BONGKAR! dibuat menjadi semacam refleksi pers di Kalimantan Timur. Sebab dalam perjalanan sejarah pers di Benua Etam, belum pernah ada jenis majalah berita mingguan yang secara rutin terbit sampai edisi ke-100.

Memang sedikit aneh, sebab biasanya sebuah ‘hajatan’ perusahaan majalah, Koran, mengacu pada hari ulang tahun berdirinya lembaga itu setiap tahun. Tapi, MBM BONGKAR! mencoba melawan tradisi itu.

Ya, semua sah-sah saja. Mau bikin ‘hajatan’ dengan momentum edisi ke-100, 120, 150 atau 300, tidak ada larangannya. Media bikin hajatan setahun lima kali juga tidak bakal ada yang menyoal. Publik hanya melihat bahwa kini Kaltim telah memasuki sejarah pers yang baru. Yakni tidak lagi didominasi oleh koran-koran harian.

Sejarah pers di Kaltim memang sudah dimulai sejak pasca kemerdekaan. Lahirnya koran-koran di era tokoh pers Oemar Dahlan (alm), Hiefnie Effendi (Alm), Saleh Jaya (Alm), Syahrumsyah Idris (Alm), sampai jamannya Dahlan Iskan yang mendirikan harian Kaltim Post dan kelompok Kompas yang mendirikan harian Tribun Kaltim.

Sejak itu bermunculan koran-koran harian lain meramaikan benak publik. Orientasi masyarakat pun hanya mengenal koran harian, sedangkan media massa lain seperti majalah, tabloid, dipandang sebelah mata.

Sisi pandang publik yang sebelah mata kepada penerbitan majalah dan tabloid, tidak bisa disalahkan. Karena memang belum ada media yang terbangun dengan cara yang benar. Pemodal hanya tertarik membuat koran harian, sedangkan majalah dan tabloid biasanya dibangun dengan modal yang sangat pas-pasan.

Akibatnya, penerbitan majalah dan tabloid tidak teratur penerbitannya. Dan, yang menyedihkan kadang hanya diterbitkan sekali dalam setahun, yakni hanya untuk saat-saat menjelang Hari Raya Idul Fitri lantaran banyak mendapat iklan ucapan selamat dari instansi pemerintah maupun swasta.

Pejabat-pejabat pemerintah juga beranggapan kalau majalah dan tabloid adalah media-media yang kelas dua. Tidak sama dengan koran harian. Maka, dalam hal pengalokasian anggaran sampai undangan acara jumpa pers, kelompok penerbitan majalah dan tabloid tidak ikut dilibatkan.

Akhirnya muncul tudingan dari para pengelola majalah dan tabloid bahwa mereka adalah kelompok media yang dianak tirikan. Pemerintah hanya memihak pada koran harian yang dibangun oleh para konglomerat pers.

Dari sisi yang tidak menyenangkan ini, para pengelola majalah dan tabloid terus berjuang untuk mendapat tempat di hati publik. Sampai akhirnya mulai muncul MBM BONGKAR! Dengan keyakinan bahwa masih ada ruang untuk merubah dominasi imej ’koran harian’. Selamat merayakan penerbitan edisi ke-100. **

Selasa, 03 Maret 2009

Gagasan Awang

PADA momentum HUT Provinsi Kaltim ke-52 tanggal 9 Januari 2009, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mulai menunjukkan gaya khasnya; ‘kaya gagasan’. Mulai soal wacana pembangunan jalan tol dari Balikpapan – Samarinda – Bontang – Sengata yang dirancang menjadi pelabuhan hasil sawit dan pertanian, sampai pembangunan bandara di seluruh kabupaten dan kota.
Tak kalah seru, mantan anggota DPR RI dua periode itu juga mencanangkan slogan baru; ‘Membangun Kaltim untuk Semua’ sebagai pengganti slogan “Bangga Membangun Kaltim” yang dirancang Gubernur Kaltim sebelumnya. Dengan slogan baru itu -- tentu yang diharapkan – menciptakan spirit bagi rakyat Kaltim.
Lalu, ada lagi program Awang yang disebut Cemerlang yang merupakan singkatan dan kata Cerdas Merata Prestasi Gemilang. Masih dalam tataran wacana Awang pula, muncul keinginan menjadikan Kaltim sebagau provinsi hijau dan kemudian pencanangan tahun 2009 sebagai tahun kunjungan wisata Kaltim.
Sebagai orang yang sudah 24 tahun tinggal di Kaltim dan telah menjadi ‘bapaknya putra daerah’ (karena saya memperistri perempuan kelahiran Bulungan dan dua anak saya lahir di Samarinda), terus terang, gagasan-gagasan itu membuat saya jadi bingung, mengerutkan kening. “Ah, banyak kali idenya,” kata saya dalam hati.
Jalan tol, jelas saya bukan termasuk yang setuju. Karena dalam sudut pandang saya program itu untuk para orang kaya yang punya mobil saja. Sedangkan rakyat yang menumpang bis dari Balikpapan ke Samarinda atau ke Bontang dan Sengata, pasti akan dibebani tambahan ongkos akibat bis juga wajib membayar tol.
Lebih ironi lagi kalau untuk membangun jalan tol, pemerintahan Awang Faroek Ishak menempuh pola kebijakan politik, yakni ’menjual’ sumber daya alam Kaltim pada kelompok pengusaha kakap dengan memberi konsesi pengelolaan SDA selama 50 tahun. Apa bedanya dengan Alm Soeharto (mantan Presiden RI ke-2) yang telah ’menjual’ Jayapura kepada PT Freport atau pemberian konsesi sejumlah ladang minyak di Indonesia kepada para kapitalis asing.
Akhirnya, orang Papua (dulu Irian Jaya) menjadi asing di negerinya. Kekayaan negeri hanya membuat tebal kantong para konglomerat – dan tentu saja – juga menyenangkan para pemberi konsesi dengan berbagai fasilitas dan mungkin sampai saham goodwill.
Dari banyak gagasan Awang, toh memang saya belum melihat kalau programnya kelak bakal mensejahterakan rakyat Kaltim. Ia punya mimpi menjadikan kebun sawit di Kutai Timur, tapi tak dipikirkannya ketika suatu saat krisis global datang dan harga sawit jatuh yang membuat petani menangis pedih.
Awang pun mencanangkan tahun 2009 sebagai tahun wisata Kaltim, tapi tak dipikirkannya bahwa tahun ini adalah masanya mengencangkan ikat pinggang, karena di seluruh dunia sedang mengalami krisis finansial. Wisatawan lokal dan mancanegara tak bakal terpikirkan untuk melancong wisata ke Indonesia, karena sebagian besar sedang berusaha menyehatkan keuangannya. Kita lihat saja! *

Perang

ISRAEL sepertinya memang betul ’ditakdirkan’ untuk selalu berperang. Penghujung 2008 lalu, serangan tentara Israel di Jalur Gaza yang dikuasai Palestina, telah membumihanguskan benteng para pejuang Palestina dan juga rumah-rumah sipil. Sampai tanggal 6 Desember 2009, menurut data sebuah koran harian, serangan Israel mengakibatkan 375 tewas dan 1.400 luka-luka.
So, masyarakat dunia pun mengecam Israel. Solidaritas bermunculan dengan berbagai bentuk dan gaya. Ada yang hanya mampu memberikan rasa solidaritas dengan menitikkan air mata ketika menyaksikan mortir menewaskan anak-anak kecil dan menghanguskan Mesjid. Ada juga yang rela menyumbang uang untuk membantu para korban sipil.
Di Indonesia, aksi solidaritas terhadap Palestina berbuah “kemarahan“ yang memuncak. Ada yang rela menjadi ’pejuang’ dadakan untuk membalas kekejaman Israel.
Sepanjang hari, nyaris tak ada opini yang mencitrakan Israel sebagai negara yang bermartabat. Semua orang mengeluarkan ’kemarahan’ pula dengan mengutuk Israel sebagai zionis, laknat, biadab.
Saya jadi ikut terkesima menyaksikan kemarahan orang Indonesia yang tereksploitasi di media-media massa. Mereka beraksi demonstrasi, membakar bendera Israel dan juga Amerika Serikat yang selalu dituduh berada di belakang Yahudi Israel.
Mengapa di awal tahun 2009 ini otak kepala kita dicekoki oleh informasi yang mengundang ’kemarahan’ yang luar biasa? Sampai membuat segelintir orang menjadi nekat untuk membalas dendam serangan Israel?
Waktu kecil saya sering mendapat kalimat bijak dari orangtua yang mengutip ajaran religi; “..jika ada yang menampar pipi kananmu, berikan pula pipi kirimu”.
Tapi kenapa kekejaman Israel disambut dengan aksi balas dendam? Bukankah itu berarti bahwa sebenarnya kita lebih kejam dari tentara Israel itu sendiri? Mengapa mengatasi pelanggar hukum dengan cara melanggar hukum pula? Mengapa kita ingin membunuh tentara Israel hanya gara-gara mereka lebih dulu menjadi pembunuh?
Bangsa Indonesia yang pluralis, sering kali terjebak dalam arus simbol-simbol yang dimainkan para pelaku politik. Kekejaman, kebaikan adalah ’instrumen’ yang selalu menjadi lahan politik, termasuk juga kekejaman Israel di Jalur Gaza. Simak saja bagaimana kelompok politik tertentu di Indonesia berusaha mengeksploitasi kekejaman Israel itu menjadi jalan menuju simpati warga terhadap mereka.
Kita sedih, menangis menyaksikan anak-anak di Jalur Gaza terbunuh. Tapi itu sebenarnya risiko dari perang. Yang bisa kita lakukan sekarang dan sampai kapanpun, janganlah kita munculkan kata perang untuk membalas sebuah perang. *

Pokoknya Tol!

POKOKNYA, Tol! Dua kata itu mengingatkan saya kepada anak bungsu laki-laki yang berusia empat tahun. Tiap kali jalan bersama ia hampir pasti ngotot dibelikan mainan. Hanya ada dua pilihan mainan yang disukainya, mobil-mobilan atau refliika superman, batman, spiderman serta asesorisnya. Tak peduli di mana belinya. Beli di pedagang pinggir jalan atau di toko mainan. Di Mal atau pasar tradisional; ”Pokoknya... harus ada mainan”.
Rupanya, kata ”pokoknya..” sedang menjadi trend di mana-mana. Bukan hanya mengilhami anak-anak untuk menekan orangtuanya agar dikabulkan permintaannya, tapi juga orang dewasa. Tentu saja dalam perspektif yang lebih besar dan jumlah uang yang duperlukan sangat besar pula.
Jelang tutup tahun 2008 - usai Awang Faroek Ishak (AFI) dilantik menjadi Gubernur Kaltim, kalimat ’pokoknya...’ muncul dalam wacana pembangunan jalan Tol di Kaltim. ”pokoknya tol”.
Padahal, wacana itu telah menjadi polemik liar sejak beberapa tahun silam. Ide awalnya memang dari Awang Faroek Ishak (AFI) yang patut diduga saat itu dilontarkannya sebagai bagian strategi pribadi untuk meraih simpati publik. Jalan tol yang disebut-sebut itu adalah Balikpapan – Samarinda – Kutim - Bontang.
Rupanya, wacana itu mengendur ketika AFI benar-benar dipilih rakyat menjadi gubernur. Selain bukan pekerjaan mudah, memerlukan biaya sangat luar biasa besar karena dipastikan berada di atas angka Rp3 Triliun Kalau mengukur masa jabatan AFI yang lima tahun, maka setidaknya alokasi anggaran APBD Kaltim pada proyek ‘pokoknya tol’ di atas Rp600 Miliar per tahun.
Tak hilang akal, AFI pun memunculkan wacana baru; Jalan Tol Tenggarong – Samarinda. Ini sebagai pengganti kekecewaan warga sekitar Loa Kulu Kukar, karena pembangunan Bandara Sultan Kutai Berjaya (SKB) yang digagas Syaukani HR dulu dibatalkan Awang. SKB dianggap tidak etis karena berdekatan dengan calon Bandara Samarinda Baru Sungai Siring Samarinda.
Ibarat bermain bola, Awang terlihat piawai ’meliuk-liuk’ agar tujuan ”pokoknya tol” Balikpapan – Samarinda – Kutim – Bontang tercapai tanpa ada kontraversi. Toh, jalan tol Tenggarong – Samarinda hanya sekitar 30 kilometer, sehingga bisa cepat dirampungkan dalam tempo kerja 1 atau 2 tahun.
Siapa setuju ide itu? Kalangan pengusaha, pasti menyambut karena jalan tol adalah bagian dari kelancaran bisnis. Sedangkan bagi masyarakat, terutama yang berada di perbatasan dan pedalaman, proyek jalan tol melukai hati mereka. Bayangkan, jangankan jalan tol yang mulus dan bersih, sarana jalan yang terhubung di kampung mereka saja belum ada. Sebagian besar warga di pedalaman pasti kecewa, karena selama ini aspirasi mereka tidak diperhatikan. **

Tokoh Iklan

SEPANJANG jalan kota-kota di Kaltim mulai membuat sumpek. Sudut-sudut kota penuh dengan poster, baliho, spanduk iklan. Gambar-gambar orang dengan berbagai gaya dan kata-kata.
Publik disuguhkan iklan-iklan politik tanpa bobot. Figur yang ingin ’bekerja’ sebagai anggota DPRD dan DPR berdampingan fotonya dengan tokoh-tokoh nasional sekelas Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo, dll. Sedangkan calon ’pekerja’ DPD alias Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tampil tunggal dengan isu-isu kegemaran mereka.
Dari banyak foto-foto yang ada di berbagai baliho, spanduk dan poster, rasanya sedikit sekali yang benar-benar tokoh masyarakat yang dikenal konsisten dengan perjuangannya membela rakyat. Terbanyak, malahan, adalah tokoh tidak dikenal.
Nama calon pekerja politik itu tiba-tiba muncul. Seolah-olah mereka sudah menjadi tokoh masyarakat yang punya talenta. Seolah-olah mereka yang paling pantas mewakili rakyat.
Yang patut dipuji dari para tokoh ’iklan’ dadakan itu adalah keberanian mereka untuk tampil dan memohon kepada rakyat agar dipilih pada Pemilu nanti. Padahal, yang bersangkutan ada yang sama sekali tidak pernah berjuang untuk kepentingan rakyat. Bahkan ada yang tidak dikenal sama sekali, karena domisilinya pun bukan di Kaltim.
Sepertinya ketokohan seseorang bisa dibangun dengan iklan. Mereka terjebak dalam budaya instan. Langsung main di atas, tanpa melalui proses integritas diri dari bawah. Modalnya adalah duit untuk pasang iklan di televisi dan radio, surat kabar serta banner-banner di baliho, spanduk dan poster.
Kondisi saat ini, publik tak mudah tertarik dengan gambar-gambar para kandidat yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Mereka akan memilih figur yang dikenal secara langsung, dan dikenal sehari-hari karena telah memberikan kesan yang bagus dalam berbagai pertemuan. Sangat tak masuk akal kalau akhirnya ada calon droping dari Jakarta, tapi akhirnya duduk menjadi anggota DPR RI mewakili rakyat Kaltim.
Karena modal politik yang begitu mahal, maka para kandidat berupaya menggandeng investor yang ujung-ujungnya adalah kompromi mencari jalan korupsi, ketika kandidat itu gol masuk menjadi anggota dewan.
Apakah kandidat seperti itu yang diingingkan rakyat?
Untuk itu, publik juga perlu ’diboboti’ agar pilihan mereka lebih rasional. Agar ada perubahan yang lebih baik. Saatnya untuk mengabaikan pertautan tali saudara, suku dan agama. Karena akibat dari hubungan emosional dalam politik seperti itu telah memposisikan Indonesia seperti sekarang ini. Memposisikan kemiskinan yang angkanya terus membesar. **

Asa Gubernur Baru

JELANG tutup tahun 2008, warga Kalimantan Timur dihadapkan pada asa baru yang original. Maklum, memasuki tahun 2009 daerah yang terkenal kaya sumber daya alam ini sudah punya seorang gubernur dan wakil yang baru pula. Yaitu Awang Faroek Ishak – Farid Wadjdy.
Harapan (asa) rakyat, so pasti ada perubahan. Rakyat yang hidupnya sudah mapan dan makmur, ingin bertahan dalam suasana aman dan tenang dan yang masih berada di garis kemiskinan ingin keluar dari penderitaan. ’Permainannya’ terasa amat sederhana.
Sebab hanya ada dua kelompok sosial yang menjadi fokus perhatian pemerintah yang baru. Teorinya, kelompok mapan dengan kemampuan kapitalnya didorong untuk menghidupkan pasar yang menyerap tenaga kerja, sedangkan kelompok sosial miskin didorong untuk punya semangat mandiri. Beres.
Tiap pemimpin pasti punya teori yang normatif seperti itu. Tinggal bagaimana terapannya. Apakah fokus terbesar menolong kelompok miskin atau kelompok mapan? Agar yang mapan semakin kaya dan pada akhirnya dapat berguna untuk mempertahankan kedigdayaan kekuasaan pada suksesi lima tahun mendatang.
Awang Faroek Ishak juga bukan anak kemarin sore untuk urusan pemerintahan yang mensejahterakan rakyat. Ia sudah malang melintang sangat jauh, mulai dari Unmul sebagai dosen, anggota DPR RI selama 10 tahun, Kabiro Bappedalda Kantor Gubernur, Bupati Kutai Timur dan sekarang Gubernur Kaltim.
Ia pernah mendapat julukan CEO (Chief Executive Office) alias pejabat eksekutif tertinggi untuk kepeloporannya membangun Kutai Timur. Julukan itu untuk menggambarkan bagaimana pemikiran sang Bupati yang konfrehensif dalam membangun. Yang menggerakkan sektor-sektor swasta agar daerahnya cepat maju.
Tapi embel-embel yang menghimungi seperti itu tidaklah begitu berguna lagi untuk membangkitkan rakyat Kaltim. Sebab dampak program masa lalu sudah menguras APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk sektor perbaikan lingkungan. Bencana banjir, erosi yang memutus jalan-jalan provinsi dan kabupaten, dan pemanasan global yang mau tidak mau kian menyesakkan hidup kelompok sosial miskin.
Program mensawitkan hutan Kaltim juga bagian dari sumbangan pemanasan global. Begitu pula pertambangan batubara yang tidak mempedulikan reklamasi areal paska tambang. Selalu ada jalan di mana ada kemauan. Begitu kata Rizal Mallarangeng ketika mencoba menjadi calon Presiden RI. Gubernur Kaltim yang baru pun tak perlu pesimistis dengan situasi yang terlanjur hancur. Justru inilah saatnya berkarya, memberikan yang terbaik untuk rakyat Kaltim. *

Bupati Paser

PEKAN tadi saya berkunjung ke Kabupaten Paser. Perjalanan dari Kota Samarinda lumayan jauh – sekitar 260 Kilometer. Karena pakai mobil sendiri, nyetir sendiri, ditemani dua rekan kerja, perjalanan melintas tiga daerah Balikpapan – Penajam Paser Utara (PPU) dan Paser, terasa enjoy saja.
Mulai Balikpapan saya merasakan romantisme politis. Seperti kita tahu, Balikpapan punya Imdaad Hamid – Rizal Effendi sebagai walikota dan wakilnya. Mereka adalah pasangan yang diusung oleh PDI Perjuangan pada Pilwali pertama pada 28 Maret 2006.
Walau PDI Perjuangan sebagai pemenang, saya tak merasakan ada yang berlebihan atau ephoria partai atas kemenangan itu. Misalnya di jaman Orba ketika Golkar berkuasa, nyaris warna kuning – warna partai - mendominasi wajah kota.
Begitu pula ketika kami tiba di Penajam Paser Utara. Kita semua tahu kalau di kabupaten itu Partai Golkar pada Pilbup 26 Mei 2008 berhasil menang mengusung Bupati Andi Harahap dan wakilnya Mustaqiem. Walau menang, Golkar di sana belum ’bergaya’ menguningkan kabupaten tersebut.
Yang agak beda adalah ketika kami memasuki wilayah di Kabupaten Paser. Daerah ujung Kaltim itu kini dikuasai oleh PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang pada Pilkada 29 Juni 2005, rakyatnya memilih pasangan Bupati dan wakil, Ridwan Suwidi – Hatta Garit.
Ada romantisme politik di kawasan yang terkenal dengan perkebunan sawit itu. Sejak memasuki desa-desa di kabupaten tersebut, nyaris semua fasilitas publik berwarna hijau. Masjid-masjid, mushola, gedung sekolah, jembatan besi, gedung instansi, dan lainnya, secara sengaja dicat dengan warna hijau yang identik dengan warna kebesaran PPP.
Saya cukup mengenal Ridwan Suwidi karena lebih 20 tahun ia menjadi anggota DPRD Kaltim di Samarinda. Ia termasuk politisi yang gigih ketika memperjuangkan anggaran untuk konstituennya di Kabupaten Pasir. Perjuangannya tidak pernah ’terbungkus’ agenda lain, apalagi untuk kepentingan pribadi. Maka, tidak terlalu mengejutkan lagi kalau akhirnya Ridwan yang waktu itu usianya sudah 70 tahun (sekarang 73 tahun) dipilih rakyat Kabupaten Pasir (sekarang bernama Paser) lewat pemilihan secara langsung.
Yang mengejutkan karena dijaman pemerintahannya justru keluar kebijakan menyeragamkan sarana-sarana publik itu dengan warna hijau. Pemkab Paser membungkusnya dengan program Hijau Berbunga Bersih Sehat (HBBS), yang diluncurkan sejak tahun 2007.
Ya, sebagian orang – barangkali - mengatakan apa arti sebuah warna. Tapi sebenarnya warna sudah menjadi simbol demokrasi, di mana rakyat yang multipartai, plural, menjadi kian terkotak-kotak dibuatnya. Ketika saya bertanya dengan sejumlah politisi, umumnya mereka seide tidak suka dengan keseragaman yang cendrung menguatkan PPP itu. *

Banjir dan Tambang


BULAN November 2008 lalu, dua kali sudah Kota Samarinda dilanda banjir. Ada sekitar 50 ribu jiwa yang harus meratap sedih, karena rumah dan lingkungan sekitar nyaris tenggelam.
Banjir tahun ini tergolong parah, dan orang cenderung mencari-cari alasan dengan mengkaitkan peristiwa banjir tahun 1998 yang juga cukup dahsyat. Karena rentang waktu berselisih 10 tahun, maka enak menganalogikan bahwa banjir tahun 2008 sebagai; bencana 10 tahunan.
Saya hanya mampu tersenyum ketika membaca surat kabar yang memberitakan pejabat pemerintahan yang memberikan alasan itu. Terbersit dalam hati; kalau peristiwa banjir besar ini terjadi tahun 2010, maka pasti pejabat juga beralasan kalau banjir tersebut sebagai gejala alam ’siklus duabelas tahunan’.
Tiba-tiba saja semua orang; pejabat, pengusaha, pedagang soto, ibu-ibu jadi ’tukang’ analis banjir. Mereka berteori tentang sumber banjir, membahas meteorologi dan yang paling sering adalah mencari ’kambing hitam’ terjadinya bencana lingkungan itu. Nah, kalau sudah bicara lingkungan, maka yang kena tuding adalah eksploitasi tambang batubara yang memang menggila di Kaltim.
Bayangkan, saat ini sudah ada 750 perusahaan yang berusaha batubara di Kaltim. Mulai dari yang kecil-kecil berizin Kuasa Pertambangan (KP), sampai yang izinnya dari Pemerintah Pusat yaitu PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Untuk KP yang izin dari Bupati dan Walikota ada sekitar 200 perusahaan yang eksploitasi.
”Pokoknya pertambangan harus ditutup,” kata seseorang. Kemudian dari sebelah lainnya juga mengomel; ”Izin tambang harus dievaluasi”. ”Izin perusahaan tambang bernuansa KKN,” kata suara lainnya.
Rakyat Kaltim sudah lama gelisah dengan sistim pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dulu, rakyat digelisahkan oleh begitu bersemangatnya pemerintah memberikan izin menebang hutan, sekarang di sektor tambang. Kedua sektor ini adalah sumber penyebab banjir dan bencana lingkungan jika tidak dikelola dengan benar.
Banjir yang sedang melanda Kota Samarinda dan juga beberapa daerah di Indonsia, momentum yang bagus untuk ’mengaudit’ kembali lingkungan, sekaligus mengevaluasi pemberian izin pertambangan batubara di Kaltim.
Para bupati dan walikota harus bisa ngerem nafsu memberikan izin pertambangan, karena kontribusi kerusakan lingkungan ternyata lebih besar dari pada aspek keuntungan daerah. Karena aspek kerusakan lingkugan lebih besar dari keuntungan, maka izin mengelola sumber daya alam tidak bisa hanya dari stakeholder lokal atau bupati dan walikota saja. Logisnya, izin mengelola sumber daya alam harus melewati pintu multi stakeholder, dimulai dari tingkat lokal, regional dan nasional. Ayo, selamatkan bumi Kaltim!