Rabu, 18 Maret 2009

Utang Faroek

SEPERTINYA, persoalan kelangkaan listrik di seluruh Kalimantan Timur hanya bisa diselesaikan dengan cara utang. Begitulah berita yang menghangat pekan tadi. Gubernur Awang Faroek Ishak mengumumkan kesediaan Bank Kaltim – dulu Bank Pembangungan Daerah (BPD) -- memberikan pinjaman sebesar Rp2 Triliun kepada PLN (Perusahaan Listrik Negara).

Sekilas, langkah Gubernur Faroek berkesan brilian. Sekali dayung dua pulau terlampaui. BPD yang sahamnya dimiliki pemerintah kabupaten dan kota se-Kaltim dapat rejeki nomplok bisa menggelontorkan uang nasabah (pihak ketiga) dan memperoleh bunga, berikutnya krisis listrik sekitar 2 X 100 MW (megawatt) bisa tertangani.

Bank untung, listrik swasembada. Begitulah gambaran masa depan Kaltim pada tahun 2011 nanti. Tidak ada byarpet lagi dan investor berdatangan karena tidak pusing lagi pasokan listrik.

Soal listrik, rakyat Kaltim pasti setuju apapun yang ditempuh pemerintah agar mampu menyediakan pasokan setrum ke rumah-rumah. Sudah terlalu lama pemerintah tak fokus ke masalah ini, sehingga membuat rakyat menderita. Pertumbuhan ekonomi juga ikut tersendat, terutama industri, perumahan atau properti yang membutuhkan pasokan listrik agar laku dibeli konsumen.

Persoalannya, mengapa Gubernur Faroek memilih langkah utang sebagai jalan pintas mengatasi kelangkaan listrik? Seperti tidak ada lagi kemampuan mencari solusi yang lebih baik selain menggunakan manajemen utang. Sebab yang namanya utang, tetap saja buntut-buntutnya adalah membebani rakyat. Pertama, mengurangi ’jatah’ kredit untuk rakyat dari bank tersebut, karena dana yang dipinjam sudah melampaui limit bank yang boleh dipinjam. Kedua, kemungkinan PLN bakal menaikkan tarif dasar listrik yang membebani konsumen agar bisa membayar utang plus bunganya.

Langkah Faroek, sebenarnya tidak bisa dikatakan brilian. Ia mudah diterka, karena pada saat menjadi Bupati Kutai Timur, ia juga menempuh manajemen utang untuk membangun kawasan perkantoran Bukit Pelangi di Sengata. Faroek meminjam Rp270, 5 Miliar yang kemudian dilunasi dari APBD hingga beberapa tahun. Celakanya, zaman Faroek yang mengutang, tapi yang bayar adalah penggantinya sebagai bupati.

Nah, apakah Faroek juga akan mewarisi utang ketika berakhir masa jabatannya sebagai gubernur tahun 2013 nanti? Jawabannya sudah pasti, ya. Mengingat angka utang Rp2 Triliun bukanlah jumlah yang sedikit dan pembayaran pengembaliannya juga dipastikan memakan tempo di atas 10 tahun.

Sejauh ini memang belum ada yang pasti bagaimana model pengelolaan uang pinjaman itu. Apakah langsung dipegang oleh PLN atau melibatkan pihak ketiga. Yang publik tahu, model kerjasama dengan PLN yang terjalin selama ini adalah investor memproduksi setrum dan PLN membelinya untuk disalurkan kepada konsumen.

Kalau masih memakai model tersebut berarti ada pihak ketiga yang menerima pinjaman sebesar Rp2 Triliun itu. Ayo kita intip siapa orang itu? **

Dibunguli Arab

HAMPIR saja saya menulis; ‘selamat datang rel kereta api’, ketika Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak - di sela-sela Forum Ekonomi Islam Sedunia di Jakarta -- mengumumkan tertariknya investor asing menanamkan modalnya sekitar 900 juta dolar AS di sektor infrastruktur itu. Tapi begitu mengetahui kalau investor yang dimaksud berasal dari negeri padang Arafah, tepatnya dari Ras Al-Khaimah (RAK) Emirate, salah satu negara federasi Uni Emirat Arab, saya jadi tertegun bertanya-tanya; “apa iya?”

Menjelajah lebih dalam tentang kota asal calon investor itu di internet, jawaban yang muncul ternyata tidak menunjukkan kalau mereka ahli dalam perkeretapian. Bahkan mode transportasi utama di daerah yang berbatasan dengan Oman itu adalah mobil pribadi, taksi dan bus. Ada juga pelabuhan laut dan bandara, tapi tak disebut ada kereta api.

So, saya ingat lelucon yang dibawakan pelawak ‘Warkop’ jaman dulu, yakni tentang orang Arab menjual kain dengan tulisan di depan dagangannya; “dijamin tidak luntur”. Karena dalam bahasa Arab selalu dibaca terbalik dari belakang, maka maknanya adalah; “luntur tidak dijamin”.

Jangan-jangan investor orang-orang Arab itu justru tertarik ingin punya transportasi kereta api di negerinya, karena daerah mereka terhubung daratan dengan emirate lainnya seperti Dubai, Sharjah, Ajman, Umm Al Quwain dan Fujairah. Mereka jauh-jauh datang ke Indonesia untuk mengajak kerjasama membangun rel kereta api di negeri mereka.

Otak kiri saya berharap mimpi Gubernur Faroek agar terbangunnya rel kereta api dari dari Muara Wahau, Maloy, hingga Lubuk Tutung Kutai Timur sejauh 200 Kilometer bisa terealisasi, tapi otak kanan saya menganalisa; “kok kayanya nggak masuk akal sehat”.

Selain orang-orang Arab tak cakap membangun rel kereta api, keraguan muncul karena saat ini nyaris tak ada investor di belahan dunia ini yang mau menginvestasikan uangnya di luar negeri. Krisis global telah membuat para investor berjaga-jaga agar modalnya tidak makin mengecil akibat aktifitas ekonomi dunia yang gonjang-ganjing.

Menurut berita-berita tentang negeri Arab, dalam empat bulan terakhir krisis finansial dunia Arab telah merugi sangat besar. Bahkan 60 persen proyek pembangunan terpaksa ditunda dan dibatalkan.

Di warung-warung kopi yang ada di Samarinda, obrolan tentang keberhasilan Gubernur Faroek meneken naskah kerjasama dengan investor Arab pun jadi bahan lelucon. “Wah, kita dibunguli (dibohongi-red) Arab”.

Golput

BIKIN partai Golput saja, pasti kita menang. Begitu joke di masyarakat ketika semakin dekat Pemilu legislatif yang berlangsung 9 April 2009.

Jumlah golongan putih alias yang tidak peduli dengan pesta demokrasi itu, menurut data lembaga-lembaga survei, bisa di atas 50 persen. Ini merupakan fenomena tersendiri, karena terbukti semakin banyak jumlah partai yang berkompetisi, tapi semakin banyak juga yang tidak peduli.

Apakah penyebab Golput karena bingung jumlah partai yang begitu banyak? Barangkali alasan itu ada benarnya. Bayangkan, ada 34 partai yang bertanding. Di mana-mana terpampang foto Caleg. Mulai gang-gang kecil sampai sarana publik yang menghias wajah kota.

Nanti, ketika berada di bilik suara, tiap warga yang terdaftar sebagai pemilih mendapatkan empat kertas suara yang dibuka. Pada setiap kertas kita jatuhkan pilihan kita. Pilihan pertama adalah siapa jago kita menjadi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang kantornya nanti di Gedung DPR RI Jakarta, lalu siapa yang kita usung agar menjadi wakil kita ke DPR RI, DPRD Kaltim dan DPRD Kabupaten / kota.

Kalau dihitung-hitung, sejak keluar dari rumah menuju TPS (tempat pemungutan suara) dan masih pula mengantri menunggu giliran, maka setidaknya diperlukan waktu satu jam untuk semua agenda kegiatan politik tersebut. Itupun kalau tidak ada hujan, becek, tidak ada ojek, capek dech.

Nah, dari waktu satu jam berpartisipasi politik tersebut, kita gantungkan harapan agar Indonesia lebih baik. Agar jalan-jalan rusak segera diperbaiki, agar harga-harga tidak mahal, agar ada perubahan yang besar di negeri yang makmur ini.
Tapi pengalaman beberapa kali Pemilu, Indonesia ternyata tak jauh berubah. Angka kemiskinan, pengangguran masih besar. Jadi, apa artinya mencontreng pada pemilu nanti?

Kalau sudah dihinggapi pesimistis seperti itu, maka tak boleh disalahkan kalau pilihannya adalah Golput. ”Ngapain capek-capek, yang naik jadi anggota dewan juga bukan siapa-siapa. Bikin caleg kegirangan saja”.

Fenomena malas berpolitik ini menjadi tantangan bagi pemerintah. Terutama penyelenggaran pemilu, yaitu Komisi Peemilihan Umum (KPU). Semakin sedikit yang ikut berpartisipasi, maka semakin kecil nilai Pemilu itu. Bahkan para caleg yang terpilih nanti bisa dianggap bukan representasi mayoritas masyarakat.

Harus ada pemikiran cerdas mengatasi fenomena Golput itu. Apakah memang sudah saatnya menghapus model partai sentralistis dan menggantikannya dengan partai lokal sebagaimana halnya di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Kita patut menyimak secara detil apakah dengan partai lokal di Aceh, bisa memangkas angka Golput itu. Kita tunggu saja. *

Transparansi

INI zamannya orang menuntut transparansi. Mulai manajemen rumah tangga, usaha swasta, lebih-lebih pemerintah yang memakai uang rakyat. Coba saja kalau soal keuangan di rumah main umpet-umpetan, pasti - kalau sampai ketahuan istri atau suami - bakal terjadi perseteruan besar. Anak-anak yang beranjak dewasa pun tidak suka kalau ada sesuatu disembunyikan orangtua mereka.

Karyawan di perusahaan-perusahaan swasta juga menuntut adanya transparansi manajemen itu. Mulai soal keuangan, keuntungan dan sistim manajemen. Walaupun sebenarnya soal manajemen adalah haknya pemilik modal, tapi kalau memakai sistim tertutup membuat para karyawan tidak lagi sepenuh hati bekerja. Dengan keterbukaan – biasanya – membuat tanggungjawab karyawan kepada pekerjaan semakin besar.

Bagaimana dengan di pemerintahan? Tentu, itu adalah wilayah publik di mana transparansi menjadi wajib hukumnya. DPR RI sendiri telah menggodok RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sebagai kata lain dari tranparansi. Hanya saja sampai penghujung tahun 2008 lalu, tak ada lagi kabar beritanya.

Walau ‘wajib’ hukumnya, tapi tak semua pejabat pemerintah mau menerapkannya. Seorang kepala seksi atau kepala bidang merasa tidak wajib membeberkan data pekerjaannya ke publik, karena merasa bukan dari bagian tupoksi-nya. Tupoksi adalah tugas pokok dan fungsi. Ia hanya tunduk pada atasannya.

Di zaman Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, ia juga berjanji untuk menerapkan transparansi itu. Hanya saja sampai memasuki dua bulan kepemimpinannya, tanda-tanda model transparansi yang bagaimana bakal diterapkan, belum ada. Apakah yang dimaksud transparansi versi gubernur Faroek adalah soal rencana-rencana besarnya saja?

Dari catatan hitam perjalanan pemerintahan yang telah lalu, yang ditandai dengan ditangkapnya Gubernur Kaltim Suwarna AF serta bupati dan wakil bupati Kutai Kartanegara karena terlibat korupsi, patut diusulkan agar ada Perda Tranparansi di Pemprov Kaltim. Sedangkan untuk Pemkab Kutai Kartanegara sudah lebih dulu melangkah dan tinggal ketuk palu DPRD saja.

Perda Transparansi adalah salah satu elemen alias infrastruktur perjalanan pemerintahan. Sehingga masyarakat dapat mengontrol dan mengakses secara langsung apa saja yang dikerjakan pemerintah dengan uang APBD-nya. Jika ada kontrol yang sehat, pemerintah juga terbantu karena bakal lebih banyak informasi yang cepat dicerna publik.

Gubernur Faroek mestinya bisa membuktikan diawal pemerintahannya bahwa ia pro dengan keinginan rakyat yang ingin bisa mengakses setiap informasi dari pemerintahan. Entah itu medianya adalah di koran atau dalam bentuk digital pada internet. Lantaran itu tak ada salahnya kalau niat baiknya kita dorong bersama kepada gubernur Faroek. Ayo!

Kriminalisasi Pers

TANGGAL 9 Februari 2009 benar-benar dimanfaatkan tokoh-tokoh pers untuk mereview kembali perjalanan semua infrastruktur dunia pers. Mulai soal undang-undang Pers, kode etik sampai dengan benturan yang muncul karena adanya undang-undang lain (Kitab Undang-undang Hukum Pidana- KUHP) yang bisa lebih unggul dari pada UU Pers No 40 tahun 1999.

Kalau wartawan memeras, menipu, memakai narkoba, silakan polisi menangkap dan gunakan pasal-pasal KUHP. Tapi kalau ia menulis sebuah berita dan telah melewati prosedural, tapi kemudian menimbulkan sengketa, maka mestinya itu menjadi wilayah Undang-undang Pers.

Seminar tentang kriminalisasi pers dalam rangka Hari Pers Nasional di Hotel Atlet Century Jakarta (8 Februari 2009), muncul juga pernyataan masih tingginya ego dari penyidik yang tidak mempedulikan adanya UU Pers. Lebih ironis lagi sikap ego itu makin menguat karena pihak yang diberitakan adalah konglomerat atau penguasa yang ‘ringan tangan’ memberikan bantuan dana. Maka, semakin terpojoklah wartawan yang menulis berita karena disamakan dengan pelaku kriminal.

Keinginan para wartawan, penyidik wajib menyarankan kepada pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan untuk menempuh mekanisme penyelesaian sengketa berita seperti tercantum dalam UU Pers. Salah satunya penggunaan hak jawab. Kata dibalas dengan kata, tulisan dibalas dengan tulisan.

Sebenarnya sudah ada keseragaman pemikiran di kalangan elit, yakni antara Dewan Pers, Kapolri, Kejagung dan pemerintah untuk menggunakan UU Pers saja dalam hal sengketa berita. Itu sebabnya Aburizal Bakrie yang juga Menko Kesra, memilih mengadukan majalah Tempo yang memberitakannya ke Dewan Pers dari pada ke polisi.

Yang dicari Ical – panggilan akrab Aburizal Bakrie – adalah bahwa tulisan, artikel, berita yang disampaikan majalah itu tidak benar, sekaligus membersihkan dirinya dari semua tuduhan. Kalau pada akhirnya Dewan Pers menyatakan Tempo bersalah, maka itu adalah pukulan telak bagi brand media yang berjuang keras menjadi kepercayaan pembaca.

Lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun pernah memilih menggunakan hak jawab di dua surat kabar nasional, karena ada pemberitaan yang dinilai tidak tepat dan berpotensi memunculkan opini publik yang keliru.

Di negeri yang demokratis, kemerdekaan pers sangat diperlukan untuk mengawasi jalannya pemerintahan, penyelenggaraan negara. Karena Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sendiri telah memberikan ruang pada hak rakyat akan informasi dan kemerdekaan pers. Jadi, sebaiknya kita tolak kriminalisasi pers. **

Pers

SELAMAT merayakan Hari Pers Nasional (HPN) 2009 dan selamat ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-63. Diantara suasana suka cita itu, insan pers masih menyimpan duka.

Pertama, yang terpenting tentunya, soal kesejahteraan para insan pers. Seringkali karena lembaga pers dianggap sebagai pabriknya para idealis, para pemodal memperlakukan semena-mena pendapatan para wartawannya. Yang paling getol memperjuangkan gaji para wartawan ini nampaknya baru dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), salah satu organisasi pers berpengaruh di negeri ini.

Soal gaji para wartawan, mestinya memang muncul dari komitmen kolektif semua yang terlibat dalam penerbitan pers itu. Sebab tidak semua media massa dilahirkan dalam kondisi langsung punya uang yang dimodali konglomerat. Ada media yang benar-benar merambat dari bawah. Dilahirkan secara bersama oleh para wartawan, lengkap dengan suka dan dukanya. Karena perjuangan bersama, maka konsekwensinya adalah semua yang terlibat ‘wajib’ mendapat saham di perusahaan tersebut.

Duka yang kedua, para wartawan masih dicekam ancaman pasal-pasal kriminal di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Setidaknya ada dua pasal yang menghantui, yakni perbuatan tidak menyenangkan berupa penistaan melalui tulisan serta pencemaran nama baik, seperti dalam pasal 310 (2) KUHP. Kedua pasal ini sepertinya mengalahkan Undang-undang Pers Nomor 40 yang telah diundangkan sejak 23 September 1999.

Adalah perjuangan kalangan pers agar undang-undang itu tidak hanya menjadi pajangan saja. Tiap kasus sengketa pers yang ditangani petugas kepolisian, wajib menggunakan undang-undang tersebut. Kalau penyidik memaksa menggunakan KUHP, kemungkinan juga bakal mentul di kejaksaan dan hakim.

Tapi persoalan tidak sederhana begitu. Penyidik atas nama undang-undang bisa ngotot dengan KUHP-nya. Apalagi kalau ada ’roket pendorong’ di balik itu. Misalnya saja dari pihak-pihak yang diberitakan. Nah, kalau yang diberitakan adalah aparat pemerintahan yang terlibat korupsi, atau pengusaha culas yang main politik, maka sudah pasti persengkongkolan yang muncul. Pemerintah atau pengusaha bersama polisi bersatu padu menggencet insan pers.

Seberapa tahan wartawan bisa diperlakukan situasi itu? Apalagi bagi wartawan yang bertugas jauh di daerah perbatasan dan pedalaman. Pada momentum Hari Pers Nasional (HPN), sepatutnya kita perjuangkan lagi agar UU Pers dihormati para penyidik. **

Kritisi Kaltim

LIMA tahun lalu Suwarna AF yang baru menjabat Gubernur Kaltim kedua kali bersemangat sekali mengkampanyekan PON, Islamic Center dan sejuta hektar sawit. Sasarannya adalah memfokuskan penggunaan APBD untuk membangun sarana dan prasarana olahraga kelas internasional.

Kini, Awang Faroek Ishak yang baru sebulan menjadi Gubernur Kaltim juga bersemangat untuk mewacanakan berbagai program pembangunan. Mulai jalan tol, pelabuhan ekspor kelapa sawit ‘Maloy’ di Kutai Timur, Kaltim Airline, kawasan industri, agrobisnis, tahun wisata Kaltim, dll, dll.

Dua Gubernur ini nyaris tidak ada bedanya dalam soal orientasi pembangunan fisik, agar terkesan monumental. Sangat beda dengan zaman Gubernur Kaltim HM Ardans SH (Alm) atau zamannya H Soewandi (alm) yang belum ‘melimpahnya’ anggaran. Rezim waktu itu lebih berorientasi menggali sumber daya hutan.

Di zaman Suwarna dan Faroek yang dimulai era otonomi daerah tahun 2001 silam, anggaran untuk Kaltim memang meningkat tajam. Saking semangat punya uang, muncul nafsu membangun yang besar-besar pula. Semua kantor kabupaten dan kota dibangun mewah, pakai lift walaupun krisis listrik tiap hari. Bangun stadion megah walaupun yang pergi berolahraga di situ hanya beberapa gelintir orang saja.

Yang terparah, limpahan kebijakan sektor tambang skala kecil dari pusat ke daerah. Ketika pemerintah pusat menghentikan kejayaan sektor kayu, tapi sektor tambang malah menggila. Pelakunya seperti orang ganti baju, dari main kayu jadi main batubara. Sama-sama merusak alam.

Bersyukur Gubernur Kaltim yang baru Faroek sudah punya niatan menjadikan ‘Kaltim Hijau’. Artinya, kalau dia betul serius – bukan lips service – maka idealnya semua kebijakan pembangunan diarahkan agar bernafaskan kepedulian pada lingkungan. Izin tambang batubara dari bupati dan walikota bisa ditinjau ulang gubernur dengan alasan perusahaan tidak ada program lingkungan. Bukankah regulasi soal lingkungan tak bisa hanya milik Pemkot dan Pemkab, karena kerusakan alam adalah masalah global. Tapi, cukup berani kah Awang?

Rezim memang kejam. Hutan sudah habis dan kini tambang batubara, lima tahun ke depan di zaman Faroek apalagi yang digerus untuk diubah menjadi bangunan monumental?
Semua sumber daya alam yang ada di Kaltim tak niscaya bakal berganti dengan fulus alias uang. Seberapa rakus rezim itu menguras kekayaan alam, hal itulah yang patut dikawal oleh kalangan kritisi di daerah ini.

Saya berterima kasih kepada Pak Gubernur, karena saat acara bertemu dengan pimpinan media massa dia meminta supaya kebijakannya dikritisi. Supaya pemerintahan yang dipimpinnya tidak terlena dan malah jatuh ke jurang. Itu sebabnya sejak awal pemerintahannya saya pun berjanji dalam hati; ayo kita kritisi dia! *

Pers

MOMENTUM edisi ke-100 Majalah Berita Mingguan (MBM) BONGKAR! dibuat menjadi semacam refleksi pers di Kalimantan Timur. Sebab dalam perjalanan sejarah pers di Benua Etam, belum pernah ada jenis majalah berita mingguan yang secara rutin terbit sampai edisi ke-100.

Memang sedikit aneh, sebab biasanya sebuah ‘hajatan’ perusahaan majalah, Koran, mengacu pada hari ulang tahun berdirinya lembaga itu setiap tahun. Tapi, MBM BONGKAR! mencoba melawan tradisi itu.

Ya, semua sah-sah saja. Mau bikin ‘hajatan’ dengan momentum edisi ke-100, 120, 150 atau 300, tidak ada larangannya. Media bikin hajatan setahun lima kali juga tidak bakal ada yang menyoal. Publik hanya melihat bahwa kini Kaltim telah memasuki sejarah pers yang baru. Yakni tidak lagi didominasi oleh koran-koran harian.

Sejarah pers di Kaltim memang sudah dimulai sejak pasca kemerdekaan. Lahirnya koran-koran di era tokoh pers Oemar Dahlan (alm), Hiefnie Effendi (Alm), Saleh Jaya (Alm), Syahrumsyah Idris (Alm), sampai jamannya Dahlan Iskan yang mendirikan harian Kaltim Post dan kelompok Kompas yang mendirikan harian Tribun Kaltim.

Sejak itu bermunculan koran-koran harian lain meramaikan benak publik. Orientasi masyarakat pun hanya mengenal koran harian, sedangkan media massa lain seperti majalah, tabloid, dipandang sebelah mata.

Sisi pandang publik yang sebelah mata kepada penerbitan majalah dan tabloid, tidak bisa disalahkan. Karena memang belum ada media yang terbangun dengan cara yang benar. Pemodal hanya tertarik membuat koran harian, sedangkan majalah dan tabloid biasanya dibangun dengan modal yang sangat pas-pasan.

Akibatnya, penerbitan majalah dan tabloid tidak teratur penerbitannya. Dan, yang menyedihkan kadang hanya diterbitkan sekali dalam setahun, yakni hanya untuk saat-saat menjelang Hari Raya Idul Fitri lantaran banyak mendapat iklan ucapan selamat dari instansi pemerintah maupun swasta.

Pejabat-pejabat pemerintah juga beranggapan kalau majalah dan tabloid adalah media-media yang kelas dua. Tidak sama dengan koran harian. Maka, dalam hal pengalokasian anggaran sampai undangan acara jumpa pers, kelompok penerbitan majalah dan tabloid tidak ikut dilibatkan.

Akhirnya muncul tudingan dari para pengelola majalah dan tabloid bahwa mereka adalah kelompok media yang dianak tirikan. Pemerintah hanya memihak pada koran harian yang dibangun oleh para konglomerat pers.

Dari sisi yang tidak menyenangkan ini, para pengelola majalah dan tabloid terus berjuang untuk mendapat tempat di hati publik. Sampai akhirnya mulai muncul MBM BONGKAR! Dengan keyakinan bahwa masih ada ruang untuk merubah dominasi imej ’koran harian’. Selamat merayakan penerbitan edisi ke-100. **

Selasa, 03 Maret 2009

Gagasan Awang

PADA momentum HUT Provinsi Kaltim ke-52 tanggal 9 Januari 2009, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mulai menunjukkan gaya khasnya; ‘kaya gagasan’. Mulai soal wacana pembangunan jalan tol dari Balikpapan – Samarinda – Bontang – Sengata yang dirancang menjadi pelabuhan hasil sawit dan pertanian, sampai pembangunan bandara di seluruh kabupaten dan kota.
Tak kalah seru, mantan anggota DPR RI dua periode itu juga mencanangkan slogan baru; ‘Membangun Kaltim untuk Semua’ sebagai pengganti slogan “Bangga Membangun Kaltim” yang dirancang Gubernur Kaltim sebelumnya. Dengan slogan baru itu -- tentu yang diharapkan – menciptakan spirit bagi rakyat Kaltim.
Lalu, ada lagi program Awang yang disebut Cemerlang yang merupakan singkatan dan kata Cerdas Merata Prestasi Gemilang. Masih dalam tataran wacana Awang pula, muncul keinginan menjadikan Kaltim sebagau provinsi hijau dan kemudian pencanangan tahun 2009 sebagai tahun kunjungan wisata Kaltim.
Sebagai orang yang sudah 24 tahun tinggal di Kaltim dan telah menjadi ‘bapaknya putra daerah’ (karena saya memperistri perempuan kelahiran Bulungan dan dua anak saya lahir di Samarinda), terus terang, gagasan-gagasan itu membuat saya jadi bingung, mengerutkan kening. “Ah, banyak kali idenya,” kata saya dalam hati.
Jalan tol, jelas saya bukan termasuk yang setuju. Karena dalam sudut pandang saya program itu untuk para orang kaya yang punya mobil saja. Sedangkan rakyat yang menumpang bis dari Balikpapan ke Samarinda atau ke Bontang dan Sengata, pasti akan dibebani tambahan ongkos akibat bis juga wajib membayar tol.
Lebih ironi lagi kalau untuk membangun jalan tol, pemerintahan Awang Faroek Ishak menempuh pola kebijakan politik, yakni ’menjual’ sumber daya alam Kaltim pada kelompok pengusaha kakap dengan memberi konsesi pengelolaan SDA selama 50 tahun. Apa bedanya dengan Alm Soeharto (mantan Presiden RI ke-2) yang telah ’menjual’ Jayapura kepada PT Freport atau pemberian konsesi sejumlah ladang minyak di Indonesia kepada para kapitalis asing.
Akhirnya, orang Papua (dulu Irian Jaya) menjadi asing di negerinya. Kekayaan negeri hanya membuat tebal kantong para konglomerat – dan tentu saja – juga menyenangkan para pemberi konsesi dengan berbagai fasilitas dan mungkin sampai saham goodwill.
Dari banyak gagasan Awang, toh memang saya belum melihat kalau programnya kelak bakal mensejahterakan rakyat Kaltim. Ia punya mimpi menjadikan kebun sawit di Kutai Timur, tapi tak dipikirkannya ketika suatu saat krisis global datang dan harga sawit jatuh yang membuat petani menangis pedih.
Awang pun mencanangkan tahun 2009 sebagai tahun wisata Kaltim, tapi tak dipikirkannya bahwa tahun ini adalah masanya mengencangkan ikat pinggang, karena di seluruh dunia sedang mengalami krisis finansial. Wisatawan lokal dan mancanegara tak bakal terpikirkan untuk melancong wisata ke Indonesia, karena sebagian besar sedang berusaha menyehatkan keuangannya. Kita lihat saja! *

Perang

ISRAEL sepertinya memang betul ’ditakdirkan’ untuk selalu berperang. Penghujung 2008 lalu, serangan tentara Israel di Jalur Gaza yang dikuasai Palestina, telah membumihanguskan benteng para pejuang Palestina dan juga rumah-rumah sipil. Sampai tanggal 6 Desember 2009, menurut data sebuah koran harian, serangan Israel mengakibatkan 375 tewas dan 1.400 luka-luka.
So, masyarakat dunia pun mengecam Israel. Solidaritas bermunculan dengan berbagai bentuk dan gaya. Ada yang hanya mampu memberikan rasa solidaritas dengan menitikkan air mata ketika menyaksikan mortir menewaskan anak-anak kecil dan menghanguskan Mesjid. Ada juga yang rela menyumbang uang untuk membantu para korban sipil.
Di Indonesia, aksi solidaritas terhadap Palestina berbuah “kemarahan“ yang memuncak. Ada yang rela menjadi ’pejuang’ dadakan untuk membalas kekejaman Israel.
Sepanjang hari, nyaris tak ada opini yang mencitrakan Israel sebagai negara yang bermartabat. Semua orang mengeluarkan ’kemarahan’ pula dengan mengutuk Israel sebagai zionis, laknat, biadab.
Saya jadi ikut terkesima menyaksikan kemarahan orang Indonesia yang tereksploitasi di media-media massa. Mereka beraksi demonstrasi, membakar bendera Israel dan juga Amerika Serikat yang selalu dituduh berada di belakang Yahudi Israel.
Mengapa di awal tahun 2009 ini otak kepala kita dicekoki oleh informasi yang mengundang ’kemarahan’ yang luar biasa? Sampai membuat segelintir orang menjadi nekat untuk membalas dendam serangan Israel?
Waktu kecil saya sering mendapat kalimat bijak dari orangtua yang mengutip ajaran religi; “..jika ada yang menampar pipi kananmu, berikan pula pipi kirimu”.
Tapi kenapa kekejaman Israel disambut dengan aksi balas dendam? Bukankah itu berarti bahwa sebenarnya kita lebih kejam dari tentara Israel itu sendiri? Mengapa mengatasi pelanggar hukum dengan cara melanggar hukum pula? Mengapa kita ingin membunuh tentara Israel hanya gara-gara mereka lebih dulu menjadi pembunuh?
Bangsa Indonesia yang pluralis, sering kali terjebak dalam arus simbol-simbol yang dimainkan para pelaku politik. Kekejaman, kebaikan adalah ’instrumen’ yang selalu menjadi lahan politik, termasuk juga kekejaman Israel di Jalur Gaza. Simak saja bagaimana kelompok politik tertentu di Indonesia berusaha mengeksploitasi kekejaman Israel itu menjadi jalan menuju simpati warga terhadap mereka.
Kita sedih, menangis menyaksikan anak-anak di Jalur Gaza terbunuh. Tapi itu sebenarnya risiko dari perang. Yang bisa kita lakukan sekarang dan sampai kapanpun, janganlah kita munculkan kata perang untuk membalas sebuah perang. *

Pokoknya Tol!

POKOKNYA, Tol! Dua kata itu mengingatkan saya kepada anak bungsu laki-laki yang berusia empat tahun. Tiap kali jalan bersama ia hampir pasti ngotot dibelikan mainan. Hanya ada dua pilihan mainan yang disukainya, mobil-mobilan atau refliika superman, batman, spiderman serta asesorisnya. Tak peduli di mana belinya. Beli di pedagang pinggir jalan atau di toko mainan. Di Mal atau pasar tradisional; ”Pokoknya... harus ada mainan”.
Rupanya, kata ”pokoknya..” sedang menjadi trend di mana-mana. Bukan hanya mengilhami anak-anak untuk menekan orangtuanya agar dikabulkan permintaannya, tapi juga orang dewasa. Tentu saja dalam perspektif yang lebih besar dan jumlah uang yang duperlukan sangat besar pula.
Jelang tutup tahun 2008 - usai Awang Faroek Ishak (AFI) dilantik menjadi Gubernur Kaltim, kalimat ’pokoknya...’ muncul dalam wacana pembangunan jalan Tol di Kaltim. ”pokoknya tol”.
Padahal, wacana itu telah menjadi polemik liar sejak beberapa tahun silam. Ide awalnya memang dari Awang Faroek Ishak (AFI) yang patut diduga saat itu dilontarkannya sebagai bagian strategi pribadi untuk meraih simpati publik. Jalan tol yang disebut-sebut itu adalah Balikpapan – Samarinda – Kutim - Bontang.
Rupanya, wacana itu mengendur ketika AFI benar-benar dipilih rakyat menjadi gubernur. Selain bukan pekerjaan mudah, memerlukan biaya sangat luar biasa besar karena dipastikan berada di atas angka Rp3 Triliun Kalau mengukur masa jabatan AFI yang lima tahun, maka setidaknya alokasi anggaran APBD Kaltim pada proyek ‘pokoknya tol’ di atas Rp600 Miliar per tahun.
Tak hilang akal, AFI pun memunculkan wacana baru; Jalan Tol Tenggarong – Samarinda. Ini sebagai pengganti kekecewaan warga sekitar Loa Kulu Kukar, karena pembangunan Bandara Sultan Kutai Berjaya (SKB) yang digagas Syaukani HR dulu dibatalkan Awang. SKB dianggap tidak etis karena berdekatan dengan calon Bandara Samarinda Baru Sungai Siring Samarinda.
Ibarat bermain bola, Awang terlihat piawai ’meliuk-liuk’ agar tujuan ”pokoknya tol” Balikpapan – Samarinda – Kutim – Bontang tercapai tanpa ada kontraversi. Toh, jalan tol Tenggarong – Samarinda hanya sekitar 30 kilometer, sehingga bisa cepat dirampungkan dalam tempo kerja 1 atau 2 tahun.
Siapa setuju ide itu? Kalangan pengusaha, pasti menyambut karena jalan tol adalah bagian dari kelancaran bisnis. Sedangkan bagi masyarakat, terutama yang berada di perbatasan dan pedalaman, proyek jalan tol melukai hati mereka. Bayangkan, jangankan jalan tol yang mulus dan bersih, sarana jalan yang terhubung di kampung mereka saja belum ada. Sebagian besar warga di pedalaman pasti kecewa, karena selama ini aspirasi mereka tidak diperhatikan. **

Tokoh Iklan

SEPANJANG jalan kota-kota di Kaltim mulai membuat sumpek. Sudut-sudut kota penuh dengan poster, baliho, spanduk iklan. Gambar-gambar orang dengan berbagai gaya dan kata-kata.
Publik disuguhkan iklan-iklan politik tanpa bobot. Figur yang ingin ’bekerja’ sebagai anggota DPRD dan DPR berdampingan fotonya dengan tokoh-tokoh nasional sekelas Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo, dll. Sedangkan calon ’pekerja’ DPD alias Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tampil tunggal dengan isu-isu kegemaran mereka.
Dari banyak foto-foto yang ada di berbagai baliho, spanduk dan poster, rasanya sedikit sekali yang benar-benar tokoh masyarakat yang dikenal konsisten dengan perjuangannya membela rakyat. Terbanyak, malahan, adalah tokoh tidak dikenal.
Nama calon pekerja politik itu tiba-tiba muncul. Seolah-olah mereka sudah menjadi tokoh masyarakat yang punya talenta. Seolah-olah mereka yang paling pantas mewakili rakyat.
Yang patut dipuji dari para tokoh ’iklan’ dadakan itu adalah keberanian mereka untuk tampil dan memohon kepada rakyat agar dipilih pada Pemilu nanti. Padahal, yang bersangkutan ada yang sama sekali tidak pernah berjuang untuk kepentingan rakyat. Bahkan ada yang tidak dikenal sama sekali, karena domisilinya pun bukan di Kaltim.
Sepertinya ketokohan seseorang bisa dibangun dengan iklan. Mereka terjebak dalam budaya instan. Langsung main di atas, tanpa melalui proses integritas diri dari bawah. Modalnya adalah duit untuk pasang iklan di televisi dan radio, surat kabar serta banner-banner di baliho, spanduk dan poster.
Kondisi saat ini, publik tak mudah tertarik dengan gambar-gambar para kandidat yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Mereka akan memilih figur yang dikenal secara langsung, dan dikenal sehari-hari karena telah memberikan kesan yang bagus dalam berbagai pertemuan. Sangat tak masuk akal kalau akhirnya ada calon droping dari Jakarta, tapi akhirnya duduk menjadi anggota DPR RI mewakili rakyat Kaltim.
Karena modal politik yang begitu mahal, maka para kandidat berupaya menggandeng investor yang ujung-ujungnya adalah kompromi mencari jalan korupsi, ketika kandidat itu gol masuk menjadi anggota dewan.
Apakah kandidat seperti itu yang diingingkan rakyat?
Untuk itu, publik juga perlu ’diboboti’ agar pilihan mereka lebih rasional. Agar ada perubahan yang lebih baik. Saatnya untuk mengabaikan pertautan tali saudara, suku dan agama. Karena akibat dari hubungan emosional dalam politik seperti itu telah memposisikan Indonesia seperti sekarang ini. Memposisikan kemiskinan yang angkanya terus membesar. **

Asa Gubernur Baru

JELANG tutup tahun 2008, warga Kalimantan Timur dihadapkan pada asa baru yang original. Maklum, memasuki tahun 2009 daerah yang terkenal kaya sumber daya alam ini sudah punya seorang gubernur dan wakil yang baru pula. Yaitu Awang Faroek Ishak – Farid Wadjdy.
Harapan (asa) rakyat, so pasti ada perubahan. Rakyat yang hidupnya sudah mapan dan makmur, ingin bertahan dalam suasana aman dan tenang dan yang masih berada di garis kemiskinan ingin keluar dari penderitaan. ’Permainannya’ terasa amat sederhana.
Sebab hanya ada dua kelompok sosial yang menjadi fokus perhatian pemerintah yang baru. Teorinya, kelompok mapan dengan kemampuan kapitalnya didorong untuk menghidupkan pasar yang menyerap tenaga kerja, sedangkan kelompok sosial miskin didorong untuk punya semangat mandiri. Beres.
Tiap pemimpin pasti punya teori yang normatif seperti itu. Tinggal bagaimana terapannya. Apakah fokus terbesar menolong kelompok miskin atau kelompok mapan? Agar yang mapan semakin kaya dan pada akhirnya dapat berguna untuk mempertahankan kedigdayaan kekuasaan pada suksesi lima tahun mendatang.
Awang Faroek Ishak juga bukan anak kemarin sore untuk urusan pemerintahan yang mensejahterakan rakyat. Ia sudah malang melintang sangat jauh, mulai dari Unmul sebagai dosen, anggota DPR RI selama 10 tahun, Kabiro Bappedalda Kantor Gubernur, Bupati Kutai Timur dan sekarang Gubernur Kaltim.
Ia pernah mendapat julukan CEO (Chief Executive Office) alias pejabat eksekutif tertinggi untuk kepeloporannya membangun Kutai Timur. Julukan itu untuk menggambarkan bagaimana pemikiran sang Bupati yang konfrehensif dalam membangun. Yang menggerakkan sektor-sektor swasta agar daerahnya cepat maju.
Tapi embel-embel yang menghimungi seperti itu tidaklah begitu berguna lagi untuk membangkitkan rakyat Kaltim. Sebab dampak program masa lalu sudah menguras APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk sektor perbaikan lingkungan. Bencana banjir, erosi yang memutus jalan-jalan provinsi dan kabupaten, dan pemanasan global yang mau tidak mau kian menyesakkan hidup kelompok sosial miskin.
Program mensawitkan hutan Kaltim juga bagian dari sumbangan pemanasan global. Begitu pula pertambangan batubara yang tidak mempedulikan reklamasi areal paska tambang. Selalu ada jalan di mana ada kemauan. Begitu kata Rizal Mallarangeng ketika mencoba menjadi calon Presiden RI. Gubernur Kaltim yang baru pun tak perlu pesimistis dengan situasi yang terlanjur hancur. Justru inilah saatnya berkarya, memberikan yang terbaik untuk rakyat Kaltim. *

Bupati Paser

PEKAN tadi saya berkunjung ke Kabupaten Paser. Perjalanan dari Kota Samarinda lumayan jauh – sekitar 260 Kilometer. Karena pakai mobil sendiri, nyetir sendiri, ditemani dua rekan kerja, perjalanan melintas tiga daerah Balikpapan – Penajam Paser Utara (PPU) dan Paser, terasa enjoy saja.
Mulai Balikpapan saya merasakan romantisme politis. Seperti kita tahu, Balikpapan punya Imdaad Hamid – Rizal Effendi sebagai walikota dan wakilnya. Mereka adalah pasangan yang diusung oleh PDI Perjuangan pada Pilwali pertama pada 28 Maret 2006.
Walau PDI Perjuangan sebagai pemenang, saya tak merasakan ada yang berlebihan atau ephoria partai atas kemenangan itu. Misalnya di jaman Orba ketika Golkar berkuasa, nyaris warna kuning – warna partai - mendominasi wajah kota.
Begitu pula ketika kami tiba di Penajam Paser Utara. Kita semua tahu kalau di kabupaten itu Partai Golkar pada Pilbup 26 Mei 2008 berhasil menang mengusung Bupati Andi Harahap dan wakilnya Mustaqiem. Walau menang, Golkar di sana belum ’bergaya’ menguningkan kabupaten tersebut.
Yang agak beda adalah ketika kami memasuki wilayah di Kabupaten Paser. Daerah ujung Kaltim itu kini dikuasai oleh PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang pada Pilkada 29 Juni 2005, rakyatnya memilih pasangan Bupati dan wakil, Ridwan Suwidi – Hatta Garit.
Ada romantisme politik di kawasan yang terkenal dengan perkebunan sawit itu. Sejak memasuki desa-desa di kabupaten tersebut, nyaris semua fasilitas publik berwarna hijau. Masjid-masjid, mushola, gedung sekolah, jembatan besi, gedung instansi, dan lainnya, secara sengaja dicat dengan warna hijau yang identik dengan warna kebesaran PPP.
Saya cukup mengenal Ridwan Suwidi karena lebih 20 tahun ia menjadi anggota DPRD Kaltim di Samarinda. Ia termasuk politisi yang gigih ketika memperjuangkan anggaran untuk konstituennya di Kabupaten Pasir. Perjuangannya tidak pernah ’terbungkus’ agenda lain, apalagi untuk kepentingan pribadi. Maka, tidak terlalu mengejutkan lagi kalau akhirnya Ridwan yang waktu itu usianya sudah 70 tahun (sekarang 73 tahun) dipilih rakyat Kabupaten Pasir (sekarang bernama Paser) lewat pemilihan secara langsung.
Yang mengejutkan karena dijaman pemerintahannya justru keluar kebijakan menyeragamkan sarana-sarana publik itu dengan warna hijau. Pemkab Paser membungkusnya dengan program Hijau Berbunga Bersih Sehat (HBBS), yang diluncurkan sejak tahun 2007.
Ya, sebagian orang – barangkali - mengatakan apa arti sebuah warna. Tapi sebenarnya warna sudah menjadi simbol demokrasi, di mana rakyat yang multipartai, plural, menjadi kian terkotak-kotak dibuatnya. Ketika saya bertanya dengan sejumlah politisi, umumnya mereka seide tidak suka dengan keseragaman yang cendrung menguatkan PPP itu. *

Banjir dan Tambang


BULAN November 2008 lalu, dua kali sudah Kota Samarinda dilanda banjir. Ada sekitar 50 ribu jiwa yang harus meratap sedih, karena rumah dan lingkungan sekitar nyaris tenggelam.
Banjir tahun ini tergolong parah, dan orang cenderung mencari-cari alasan dengan mengkaitkan peristiwa banjir tahun 1998 yang juga cukup dahsyat. Karena rentang waktu berselisih 10 tahun, maka enak menganalogikan bahwa banjir tahun 2008 sebagai; bencana 10 tahunan.
Saya hanya mampu tersenyum ketika membaca surat kabar yang memberitakan pejabat pemerintahan yang memberikan alasan itu. Terbersit dalam hati; kalau peristiwa banjir besar ini terjadi tahun 2010, maka pasti pejabat juga beralasan kalau banjir tersebut sebagai gejala alam ’siklus duabelas tahunan’.
Tiba-tiba saja semua orang; pejabat, pengusaha, pedagang soto, ibu-ibu jadi ’tukang’ analis banjir. Mereka berteori tentang sumber banjir, membahas meteorologi dan yang paling sering adalah mencari ’kambing hitam’ terjadinya bencana lingkungan itu. Nah, kalau sudah bicara lingkungan, maka yang kena tuding adalah eksploitasi tambang batubara yang memang menggila di Kaltim.
Bayangkan, saat ini sudah ada 750 perusahaan yang berusaha batubara di Kaltim. Mulai dari yang kecil-kecil berizin Kuasa Pertambangan (KP), sampai yang izinnya dari Pemerintah Pusat yaitu PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Untuk KP yang izin dari Bupati dan Walikota ada sekitar 200 perusahaan yang eksploitasi.
”Pokoknya pertambangan harus ditutup,” kata seseorang. Kemudian dari sebelah lainnya juga mengomel; ”Izin tambang harus dievaluasi”. ”Izin perusahaan tambang bernuansa KKN,” kata suara lainnya.
Rakyat Kaltim sudah lama gelisah dengan sistim pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dulu, rakyat digelisahkan oleh begitu bersemangatnya pemerintah memberikan izin menebang hutan, sekarang di sektor tambang. Kedua sektor ini adalah sumber penyebab banjir dan bencana lingkungan jika tidak dikelola dengan benar.
Banjir yang sedang melanda Kota Samarinda dan juga beberapa daerah di Indonsia, momentum yang bagus untuk ’mengaudit’ kembali lingkungan, sekaligus mengevaluasi pemberian izin pertambangan batubara di Kaltim.
Para bupati dan walikota harus bisa ngerem nafsu memberikan izin pertambangan, karena kontribusi kerusakan lingkungan ternyata lebih besar dari pada aspek keuntungan daerah. Karena aspek kerusakan lingkugan lebih besar dari keuntungan, maka izin mengelola sumber daya alam tidak bisa hanya dari stakeholder lokal atau bupati dan walikota saja. Logisnya, izin mengelola sumber daya alam harus melewati pintu multi stakeholder, dimulai dari tingkat lokal, regional dan nasional. Ayo, selamatkan bumi Kaltim!

Banjir dan Tambang

BULAN November 2008 lalu, dua kali sudah Kota Samarinda dilanda banjir. Ada sekitar 50 ribu jiwa yang harus meratap sedih, karena rumah dan lingkungan sekitar nyaris tenggelam.
Banjir tahun ini tergolong parah, dan orang cenderung mencari-cari alasan dengan mengkaitkan peristiwa banjir tahun 1998 yang juga cukup dahsyat. Karena rentang waktu berselisih 10 tahun, maka enak menganalogikan bahwa banjir tahun 2008 sebagai; bencana 10 tahunan.
Saya hanya mampu tersenyum ketika membaca surat kabar yang memberitakan pejabat pemerintahan yang memberikan alasan itu. Terbersit dalam hati; kalau peristiwa banjir besar ini terjadi tahun 2010, maka pasti pejabat juga beralasan kalau banjir tersebut sebagai gejala alam ’siklus duabelas tahunan’.
Tiba-tiba saja semua orang; pejabat, pengusaha, pedagang soto, ibu-ibu jadi ’tukang’ analis banjir. Mereka berteori tentang sumber banjir, membahas meteorologi dan yang paling sering adalah mencari ’kambing hitam’ terjadinya bencana lingkungan itu. Nah, kalau sudah bicara lingkungan, maka yang kena tuding adalah eksploitasi tambang batubara yang memang menggila di Kaltim.
Bayangkan, saat ini sudah ada 750 perusahaan yang berusaha batubara di Kaltim. Mulai dari yang kecil-kecil berizin Kuasa Pertambangan (KP), sampai yang izinnya dari Pemerintah Pusat yaitu PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Untuk KP yang izin dari Bupati dan Walikota ada sekitar 200 perusahaan yang eksploitasi.
”Pokoknya pertambangan harus ditutup,” kata seseorang. Kemudian dari sebelah lainnya juga mengomel; ”Izin tambang harus dievaluasi”. ”Izin perusahaan tambang bernuansa KKN,” kata suara lainnya.
Rakyat Kaltim sudah lama gelisah dengan sistim pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dulu, rakyat digelisahkan oleh begitu bersemangatnya pemerintah memberikan izin menebang hutan, sekarang di sektor tambang. Kedua sektor ini adalah sumber penyebab banjir dan bencana lingkungan jika tidak dikelola dengan benar.
Banjir yang sedang melanda Kota Samarinda dan juga beberapa daerah di Indonsia, momentum yang bagus untuk ’mengaudit’ kembali lingkungan, sekaligus mengevaluasi pemberian izin pertambangan batubara di Kaltim.
Para bupati dan walikota harus bisa ngerem nafsu memberikan izin pertambangan, karena kontribusi kerusakan lingkungan ternyata lebih besar dari pada aspek keuntungan daerah. Karena aspek kerusakan lingkugan lebih besar dari keuntungan, maka izin mengelola sumber daya alam tidak bisa hanya dari stakeholder lokal atau bupati dan walikota saja. Logisnya, izin mengelola sumber daya alam harus melewati pintu multi stakeholder, dimulai dari tingkat lokal, regional dan nasional. Ayo, selamatkan bumi Kaltim!

Ngatijan-Hafid

DUA tokoh ini punya peranan penting membangun Kabupaten Nunukan. Ngatijan Ahmadi sebagai Ketua DPRD dan Hafid (HA Hafid Achmad) menjadi bupatinya. Dalam Undang-undang tentang Pemerintah Daerah keduanya menyandang predikat pejabat politik pemerintahan. Sedangkan dalam istilah trias politika, Ngatijan adalah agen legislatif dan Hafid agen eksekutif.
Begitu pentingnya peranan kedua tokoh ini, sampai-sampai (mestinya) tidak satupun item anggaran pembangunan bisa terlaksanakan tanpa melalui persetujuan kedua tokoh ini. Hafid yang mengusulkan, Ngatijan yang menggolkan – tentu setelah berunding dengan komisi-komisi di DPRD.
Dengan pertautan jabatan yang amat penting itu, logisnya keduanya saling bahu membahu membangun daerah. Menyingkirkan kepentingan pribadi dan golongan, serta menjadi panutan rakyat yang memberikan amanat.
Sayangnya tidak semua yang ideal itu bisa terwujudkan. Hubungan eksekutif – legislatif yang mestinya saling menghormati, justru kerap memunculkan ego kekuasaan. Saling bersikap sebagai penguasa, bukan berbagi dalam kesetaraan kekuasaan.
Implementasi terjadinya ’ego kekuasaan’ itu tercermin dalam pembangunan Kabupaten Nunukan. Seperti yang saya baca dalam pemberitaan media massa, misalnya anggota dewan yang terkejut dengan proyek ’siluman’ karena secara tiba-tiba muncul tanpa pernah dibahas anggarannya oleh dewan.
Lalu, kegiatan proyek di lahan hutan yang belum mendapat ijin alih fungsi, serta lemahnya dewan atau ’tidak bergiginya’ legislatif melakukan fungsi pengawasan.
Fungsi pengawasan hanya dianggap menjadi bagian ritual kegiatan belaka, tanpa ada konsekwensi yang diberikan legislatif terhadap pemerintah.
Padahal, DPRD bisa saja memberikan ganjaran konsekwensi dengan cara ’memainkan’ instrumen APBD, bahkan mencoret berbagai item proyek dan kegiatan pemerintah kalau dalam analisanya hanya menjadi kegiatan mubajir.
Dalam kepemimpinan Ngatijan-Hafid sebenarnya adalah kesempatan untuk memulai memberikan dinamika itu. ’Dwi politika’ ini harus membuktikan berbeda dengan masa sebelumnya di mana waktu itu peran DPRD hanya sebatas ’tukang’ leges APBD saja.
DPRD saat ini punya kesempatan untuk memainkan isu tertangkapnya sejumlah pejabat sebagai bagian kelemahan pemerintahan. Kelemahan pemerintahan itu membuat kebocoran anggaran dan akhirnya rakyat yang dirugikan. Sementara eksekutif juga patut bercermin diri, tidak perlu lagi mengedepankan ego kekuasaan. **

Track Record

PEKAN tadi saya mendapat kabar kalau Rizal Malarangeng mundur dari niatnya mencalonkan diri sebagai Presiden RI. Setelah sejak bulan Juli berkampanye melalui iklan televisi dan baliho, media internet dan radio serta berbagai surat kabar, Rizal merasa dirinya masih belum mendapat tempat di masyarakat.
Mundurnya Rizal setelah melihat dengan jelas bahwa hasil polling berbagai lembaga riset, tidak juga mendongkrak namanya menyamai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati, Jusuf Kalla, Prabowo, Sultan Hamengkubuwono, Wiranto dan Amien Rais. Nama-nama tokoh jadul alias jaman dulu masih paling populer.
Buat saya, Rizal telah membuktikan dirinya sebagai tokoh muda yang rasional. Ia tidak memaksakan kehendak ketika rakyat – sesuai bukti ilmiah poling – tidak memberikan dukungan terhadapnya. Lebih baik mundur dari sekarang.
Tapi pertanyaannya adalah mengapa rakyat Indonesia tidak tertarik dengan Rizal? Justru masih memilih calon pemimpin yang jadul? Apakah fenomena Barack Obama yang terpilih menjadi Presiden ke-44 Amerika di usia 46 tahun tak berhasil mempengaruhi rakyat Indonesia tentang perlunya tokoh muda sebagai pemimpin?
Mencari jawaban itu, akhirnya saya sampai pada sebuah kesimpulan; bahwa seorang pemimpin bukan ditentukan issue tua atau mudanya calon itu. Tetapi masyarakat melihat dari talenta, track record atau rekam jejak dan keberpihakan kepada rakyat.
Tokoh-tokoh tua bukan mucul begitu saja. Mereka telah merintis karir politik itu sejak lama dan menunjukkan komitmen mereka terhadap kepentingan rakyat. Sedangkan Rizal baru memulainya – setidaknya baru dikenal publik - ketika ia tampil sebagai seorang pengamat di televisi dan juga sebagai penulis. Bahkan ia kalah populer dari kakak kandungnya sendiri Andi Alfian Malarangeng. Ia terlalu berani untuk bermain di domain RI 1 – istilah untuk jabatan Presiden.
Saya jadi terbayang dengan calon-calon legislative yang bakal bertarung dalam Pemilu bulan April 2009 nanti. Di kota saya – Samarinda – sudah terpampang berbagai poster, baliho dan juga spanduk yang memajang foto-foto calon tersebut. Ada calon untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD), calon DPR RI, DPRD Kaltim dan calon DPRD Kota Samarinda. Anehnya, sebagian besar calon yang fotonya terpajang itu belum saya kenal. Saya tidak tahu apa track record dan karya nyata calon-calon itu di masyarakat.
Di beberapa partai, saya juga menyaksikan munculnya calon legislatif yang sebagian besar adalah anggota keluarga dari sang ketua partai. Ada istri, anak, keponakan dan mantu. Semua dipasang di nomor jadi atau nomor satu dari daerah yang berbeda-beda. Artinya kalau ‘usaha’ ketua partai itu berhasil, maka di lembaga legislative itu ada kekuasaan sebuah keluarga. Wah!

Track Record

PEKAN tadi saya mendapat kabar kalau Rizal Malarangeng mundur dari niatnya mencalonkan diri sebagai Presiden RI. Setelah sejak bulan Juli berkampanye melalui iklan televisi dan baliho, media internet dan radio serta berbagai surat kabar, Rizal merasa dirinya masih belum mendapat tempat di masyarakat.

Mundurnya Rizal setelah melihat dengan jelas bahwa hasil polling berbagai lembaga riset, tidak juga mendongkrak namanya menyamai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati, Jusuf Kalla, Prabowo, Sultan Hamengkubuwono, Wiranto dan Amien Rais. Nama-nama tokoh jadul alias jaman dulu masih paling populer.

Buat saya, Rizal telah membuktikan dirinya sebagai tokoh muda yang rasional. Ia tidak memaksakan kehendak ketika rakyat – sesuai bukti ilmiah poling – tidak memberikan dukungan terhadapnya. Lebih baik mundur dari sekarang.

Tapi pertanyaannya adalah mengapa rakyat Indonesia tidak tertarik dengan Rizal? Justru masih memilih calon pemimpin yang jadul? Apakah fenomena Barack Obama yang terpilih menjadi Presiden ke-44 Amerika di usia 46 tahun tak berhasil mempengaruhi rakyat Indonesia tentang perlunya tokoh muda sebagai pemimpin?

Mencari jawaban itu, akhirnya saya sampai pada sebuah kesimpulan; bahwa seorang pemimpin bukan ditentukan issue tua atau mudanya calon itu. Tetapi masyarakat melihat dari talenta, track record atau rekam jejak dan keberpihakan kepada rakyat.

Tokoh-tokoh tua bukan mucul begitu saja. Mereka telah merintis karir politik itu sejak lama dan menunjukkan komitmen mereka terhadap kepentingan rakyat. Sedangkan Rizal baru memulainya – setidaknya baru dikenal publik - ketika ia tampil sebagai seorang pengamat di televisi dan juga sebagai penulis. Bahkan ia kalah populer dari kakak kandungnya sendiri Andi Alfian Malarangeng. Ia terlalu berani untuk bermain di domain RI 1 – istilah untuk jabatan Presiden.

Saya jadi terbayang dengan calon-calon legislative yang bakal bertarung dalam Pemilu bulan April 2009 nanti. Di kota saya – Samarinda – sudah terpampang berbagai poster, baliho dan juga spanduk yang memajang foto-foto calon tersebut. Ada calon untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD), calon DPR RI, DPRD Kaltim dan calon DPRD Kota Samarinda. Anehnya, sebagian besar calon yang fotonya terpajang itu belum saya kenal. Saya tidak tahu apa track record dan karya nyata calon-calon itu di masyarakat.

Di beberapa partai, saya juga menyaksikan munculnya calon legislatif yang sebagian besar adalah anggota keluarga dari sang ketua partai. Ada istri, anak, keponakan dan mantu. Semua dipasang di nomor jadi atau nomor satu dari daerah yang berbeda-beda. Artinya kalau ‘usaha’ ketua partai itu berhasil, maka di lembaga legislative itu ada kekuasaan sebuah keluarga. Wah!