Minggu, 25 September 2011

Jejak Tanah Kesultanan Kutai

Kesultanan Kutai Kartanegara berkuasa sejak abad 13, sampai akhirnya bergabung dengan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Peristiwa penggabungan itu ternyata menghapus seluruh ‘kekuasaan’, termasuk atas tanah-tanah kerajaan.
Peristiwa 22 September 2001, patut dicatat sebagai sejarah bagi rakyat Kalimantan Timur. Pada tanggal itu, putra mahkota H Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat ditabalkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II.
Adalah Syaukani HR yang berusaha menghidupkan lagi lembaga kesultanan setelah lenyap sejak tahun 1959. Ia tidak ingin identitas ‘darah biru’ Kutai yang terbangun sejak tahun 1300 Masehi, lenyap begitu saja. Catatan sejarah, matinya kekuasaan kesultanan justru setelah adanya gaung kemerdekaan Indonesia. Tepatnya tahun 1949 ketika Dewan Kesultanan yang terdiri dari Sultan Kutai, Sultan Bulungan, Sultan Gunung Tabur, Sultan
Sambaliun dan Sultan Paser bergabung dengan Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejak itu, pelan-pelan kekuasaan kesultanan “dipreteli” sampai akhirnya tahun 1959 benar-benar habis karena pemerintah RI – lewat parlemen Orde Lama - menjadikan Kutai sebagai daerah istimewa (DI).
Syaukani HR yang waktu itu menjadi Bupati Kukar memang memperistri seorang putri dari kalangan kerabat kesultanan. Tapi, bukan karena motivasi itu ia dengan gigih membawa idenya ke Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). Ada hal lebih besar; mengembalikan identitas kesultanan sebagai kekuatan lokal yang tumbuh bersama masyarakat Kutai sejak beratus tahun lamanya.
Identitas budaya kesultanan tidak patut lenyap apalagi dilenyapkan. Meski harus dengan konsekuensi Pemerintah Kukar harus membangun Kedaton dan perangkat kesultanan lain yang selama ini terlanjur sudah masuk gudang. Syaukani melihat potensi luar biasa dari hidupnya lagi kesultanan. Banyak warisan sejarah yang belum tergali, tapi sedikit pejabat yang menaruh rasa peduli. “Sejarah kesultanan Kutai Kartanegara adalah sejarah bangsa, sejarah rakyat Kaltim yang besar,” kata Djohansyah Balham, Budayawan Kaltim.
Sejarah yang terputus membuat luka yang dalam bagi kalangan kesultanan. Apalagi, diketahui kemudian bahwa Kesultanan tidak memiliki apa-apa. Bukan kekuasaan saja yang hilang, tapi juga tanah-tanah yang dulu menjadi wilayah kedaulatan sultan.
“Kami memang kehilangan segala-galanya. Sejak bergabungnya Kerajaan Kutai ke Republik Indonesia. seluruh tanah Kutai yang dulunya masuk dalam kekuasaan kerajaan Kutai tidak jelas penyerahannya. Kita tidak tahu tanah mana saja yang diserahkan kepada pemerintah dan tanah mana yang dikelola Kerajaan Kutai,” ungkap Aji Wiwing, kerabat Kesultanan yang juga keponakan dari Adji Mohamad Sultan Salehoedin II.
Sengketa tanah yang mengatasnamakan hibah (grant) Kesultanan Kutai merebak di mana-mana. Mulai dari Balikpapan, Samarinda sampai Sangatta dan Bengalon Kutai Timur. Tanah-tanah itu sudah jadi pusat kota yang harganya mahal, sampai menjadi lokasi tambang PT KPC (Kaltim Prima Coal) yang produksinya terbesar di Indonesia. # =====================================================================
Sengketa di Tanah Makmur
Sejak berintegrasi dengan Republik Indonesia, Kesultanan Kutai Kartanegara yang pernah berjaya di zamannya kehilangan tanah-tanahnya. Upaya menggugatpun selalu kandas.
Ibnu Arifuddin, Ch Siahaan
Siapa mengira kalau tanah eks kerajaan Kutai Kartanegara yang terbentang mulai sebagian Kabupaten Paser, Balikpapan sampai Bontang dan Kutai Timur adalah daerah kaya raya. Daerah yang kini bernama Provinsi Kalimantan Timur itu kini menjadi andalan devisa Indonesia, karena memproduksi minyak dan gas, batubara dan sumber daya alam lain. Data resmi pemerintah menyebutkan, tahun 2010 PDRB (product domestik regional bruto) Kaltim mencapai Rp359,98 triliun.
Begitu berlimpahnya hasil bumi eks kesultanan, tidak berarti menetes kepada kerabat kerajaan yang pernah berkuasa di daerah itu. “Kami tidak menerima royalty sepeserpun,” ucap putra mahkota H Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat. Bahkan sampai usia ke-87 tahun pada 24 Oktober nanti, Sultan mengaku masih berdiam di rumah warisan mertua.
Tanah-tanah eks kesultanan memang tidak jelas lagi bagaimana serah terimanya dengan pemerintah RI. Sejak bergabung dengan RIS tahun 1949, satu persatu kekuasaan yang membuat para bangsawan itu jaya terpreteli. Malah, setelah tahun 1959 sistim negara berubah kembali menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), status kesultanan nyaris habis sama sekali. Pemerintah menetapkan daerah itu menjadi DI (Daerah Istimewa) Kutai. Tapi itupun hanya beberapa tahun, sampai akhirnya statusnya sama dengan daerah otonom lainnya.
Tidak heran kalau akhirnya gugatan merebak di mana-mana. Kalangan kerabat kesultanan melakukan gugatan hukum ke pengadilan. Misal di Balikpapan, Mahkamah Agung (MA) menurunkan Surat Keputusan (SK) Kasasi bernomor 2204.K/Pdt/2007 tertanggal 31 Agustus 2009 yang memenangkan Aji Bachrun dkk – kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara, dalam perkara sengketa tanah seluas 25.650 meter persegi di Komplek Pertokoan Cemara Rindang dengan Wali Kota Balikpapan dkk. Sedikitnya ada 190 ruko rencananya akan dieksekusi oleh PN (Pengadilan Negeri) Balikpapan.
Sultan Kutai Kartanegara juga menggugat PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 22 Juli 2003. Di era Bupati Syaukani HR itu, pihak kesultanan mengklaim tanah seluas 447.000 hektar yang membentang dari Sangatta sampai Bengalon adalah milik kesultanan. PT Kaltim Prima Coal dituding menyerobot seluas 33.385 hektar untuk operasi tambang, perkantoran dan pemukiman karyawan.
Kesultanan Kukar menuntut KPC ke Pengadilan Negeri Tenggarong dengan ganti rugi sebesar USA $453.530, setara Rp3.383.500.000. Ada dokumen dari pemerintahan Hindia Belanda yang mendukung siapa yang memiliki tanah itu. Tapi gugatan itu kandas di Pengadilan Negeri Tenggarong maupun di Pengadilan Tinggi. Kemudian pihak kesultanan ingin berdamai dengan perusahaan dan mengajukan ganti rugi Rp1,3 miliar, tapi itu juga ditolak oleh manajemen KPC.
Kasus lain yang menyebut-nyebut tanah eks kesultanan, juga terjadi di Gunung Lipan Samarinda. Tanah yang kini menjadi perumahan mewah Pesona Mahakam, Lipan Hill, Pom Bensin (SPBU) milik Sayid Sjafran, mantan Sekdaprov Kaltim yang juga mantan Bupati Kutai, sampai tanah kampus Politeknik dan ratusan rumah penduduk, diklaim sebagai milik Johariyah. Total tanahnya diklaim sebesar 61 hektar.
Dayang Johariyah mengaku turunan langsung Sultan Sulaiman, yang pernah berkuasa di Kerajaan Kutai. Johariyah adalah cucu dari Aji Raden Botoh, salah seorang anak lelaki Sultan Sulaiman.
Sejak Johariyah tampil beraksi untuk menguasai tanah-tanah yang telah dikuasai banyak pihak tersebut, ketegangan terjadi. Mereka bertekad melawan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mempersoalkan surat bukti Hak Waris yang menjadi modal Johariyah. Mereka menuding palsu, karena menemukan data berbeda bahwa Sultan Sulaiman – menurut data mereka – telah wafat pada tahun 1899, sedangkan surat waris dari Sultan kepada kakeknya Johariyah tertera tahun 1909 alias 10 tahun setelah Sultan mangkat.
Tidak cukup sampai di situ, tanah di jantung kota Kelurahan Panji Tenggarong yang sekarang berdiri Kedaton sampai ke kawasan monumen juga diklaim sebagai tanah perwatasan milik almarhum Adji Gao atau Adji Pangeran Ratu yang pernah jadi Menteri Kesultanan Kutai Ing Martadipura. Keturunan Adji Gao kini mempersoalkan pemerintah yang menguasai tanah-tanah itu tanpa adanya ganti rugi.
Keturunan Adji Gao mengklaim tanah di situ milik mereka sesuai surat akte kepemilikan tanah tahun 1907 yang dibuat dalam bahasa Belanda dan sudah dilengkapi dengan salinan terjemahan bahasa Indonesia. Berdasarkan akte surat tanah itu disebutkan lokasi tanah perwatasan yang luasnya mencapai kurang lebih 4 hektar, dulunya berada di samping rumah sakit, sekarang lokasi itu sudah berubah menjadi bangunan Mesjid Agung, Monumen Pancasila yang dulu adalah lapangan sepakbola dan Bioskop lama sekarang gedung Dharma Wanita serta bangunan Kedaton sekarang.
Pihak kesultanan sendiri tidak berdaya dengan banyaknya gugatan yang muncul. Karena diakui memang ada tanah-tanah yang dihibahkan oleh sultan, khususnya pada zaman Sultan Sulaiman tahun 1850-an, namun soal tanah hibah itu sudah dianulir sekitar tahun 1931, ketika kerajaan Kutai dipegang oleh Sultan AM Parikesit.
“Tanah rakyat ini memang dihibahkan yang mulia paduka raja Sultan Sulaiman kepada masyarakat kala itu dengan tidak memandang suku apapun,” jelas Aji Wiwing, salah seorang kerabat kesultanan. Dengan aturan menarik kembali tanah-tanah yang telah dihibahkan (grant), itu berarti seluruh tanah dikuasai kembali oleh kesultanan. Aturan ini dibuat langsung oleh Sultan AM Parikesit dengan tujuan mengatur dan menyelesaikan kasus-kasus tanah yang timbul dalam masyarakat ketika itu. # ================================================================== Jelang 87 Tahun Usia Sultan
Sultan Kutai Ing Martadipura di Tenggarong, H Adji Muhammad Salehuddin II, pada 24 Oktober 2011 nanti berusia 87 tahun. Fahran, Ibnu Arifuddin
Tak banyak yang berubah dari Sultan Kutai Ing Martadipura H Adji Muhammad Salehuddin II. Raut wajah tuanya masih memancarkan sinar yang seakan menunjukkan optimistis. Ia sangat sederhana dan sesekali hadir dalam acara yang digelar pemerintah.
Salehuddin II ditabalkan menjadi Sultan secara utuh pada 22 September 2001. Penobatannya sendiri diakui oleh seluruh kerabat Kesultanan Kutai ing Martadipura dan Pemkab Kutai Kartanegara. Malah, ketika Pemkab Kukar di era pemerintahan Syaukani HR, ia pun dibangunkan sebuah keraton (kedaton) senilai Rp 11 miliar lebih. Letaknya persis di belakang museum Mulawarman, Tenggarong, bekas istana atau pusat kerajaan tempo dulu.
Sultan pun diminta meninggali kedaton yang tergolong mewah itu. Sebuah tempat tinggal orang terpandang yang memang representatif, berhawa sejuk, berperabotan serba mengkilap dan berbagai fasilitas menggiurkan lainnya. Namun, Sultan Salehuddin II agaknya lain dari yang lain. Ia malah menolak dengan alasan merasa trauma tinggal di tempat yang bernama dan bernuansa istana.
Sultan menceritakan masa lalunya. Ia trauma kalau mengingat kejadian saat ayahandanya Sultan Adji Muhammad Parikesit mangkat. Ada semacam kenangan pahit dan menyedihkan yang seakan sukar dilupakannya.
Tanggal 27 Oktober nanti, Pangeran Prabu berusia 87 tahun. Tapi sampai setua itu ia mengaku tidak pernah menerima royalti dari usaha-usaha pertambangan maupun eksploitasi hutan. “Satu rupiah pun saya tidak pernah memperoleh royalti seperti itu,” jawabnya pada suatu hari kepada wartawan Bmagazine.
Sultan pun bercerita, tanah-tanah warisan kesultanan pun ia tidak tahu. Sudah dijadikan bangunan apa dan siapa pula tuannya. Sultan Salehuddin II ini mengaku tidak memikirkannya lagi, kecuali ia berpikir menjalani masa tuanya bersama istri tercinta, sang permaisuri Hj Adji Ratu Aida. Putra putrinya pun sudah berkeluarga semua dan hidup mandiri.
Hiburan satu-satunya yang ia sukai bila putra-putrinya datang menengok dengan cucu-cucunya yang jumlahnya setengah lusinan. Dan, salah satu putranya, HA Ali Zain Faisal pernah menyatakan kalau ayahandanya (Sultan Salehuddin II) sampai setua itu masih belum memiliki rumah pribadi.
Benarkah begitu? Sultan sendiri membenarkannya. “Rumah tua yang aku diami bersama istri ini adalah rumah mertua. Saya mendiami rumah ini sejak berumah tangga sampai hari tua seperti sekarang. Yang penting, saya sudah menjalankan kewajiban membesarkan anak-anak dan memberikan pendidikan hingga lima anak-anak dapat hidup mandiri dan membina rumah tangga,” aku Sultan Salehuddin.
Di rumah tua itu sendiri ada aktivitas Sultan Salehuddin yang mungkin belum banyak diketahui publik. Sultan Salehuddin II ini ternyata memiliki kelebihan atau kemampuan menyembuhkan anak-anak balita yang menderita sakit. Misalnya seperti demam panas dan bermacam-macam penyakit yang menyerang anak balita pada umumnya.#

Kaki Tangan KPC

Adakah orang yang merasa ‘berdosa’ atas gagalnya Pemerintah Provinsi Kaltim memperoleh hak beli saham dari aksi divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) tahun 2002 lalu? Atau adakah oknum-oknum di Kaltim yang ikut merasa bersalah karena akhirnya perusahaan batubara itu membatalkan janjinya memberikan konpensasi sebesar Rp285 miliar?
Topik mengenai PT KPC seperti tak pernah surut bagi publik Kaltim. Simak sejak berdiri tahun 1982 dan beroperasi tahun 1992, sepak terjang perusahaan batubara itu ibarat bara yang selalu menyala. Bahkan membakar seluruh komponen masyarakat, tak hanya di sekitar tambang tapi meluas ke seluruh penjuru. Tak hanya di dalam negeri, tapi isunya sampai luar negeri.
Harap maklum, karena inilah pertambangan terbesar di Indonesia. Pemerintah RI memberikan areal konsesi PT KPC di Sangatta dan Bengalon Kutai Timur seluas 90.960 hektar dengan durasi izin sampai tahun 2021. Sejak tahun 2010 silam, perusahaan ini merancang produksi sebesar 70 juta Metrik Ton per tahun. Inilah angka produksi paling spektakuler yang boleh diusulkan masuk MURI (Museum Rekor Indonesia).
Pemilik awal PT KPC adalah para kampiun tambang internasional, Conzinc Rio Tinto of Australia dan British Petroleum (BP). Mereka meletakkan saham 50-50 persen dan pada 2003 silam – untuk alasan kewajiban divestasi saham - dialihkan ke perusahaan, Sangatta Holding Ltd dan Kalimantan Coal Ltd.
Hiruk pikuk tentang KPC kian berkobar-kobar ketika diketahui ada untung besar para pemegang konsesi di tambang itu. Apalagi PT KPC sebagai pemegang izin PKP2B (Perjanjian Kontrak Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) generasi pertama, wajib melakukan divestasi.
Inilah awal munculnya oknum-oknum yang berusaha tampil bak ‘pejuang’ daerah. Tidak hanya di masyarakat, tapi juga para politisi dan profesi lainnya. Begitu menyentuh persoalan PT KPC, langsung saja ada yang tersengat. Apalagi setelah akhirnya pada tahun 2003, BUMI alias Bumi Resources berhasil mengakuisisi PT KPC. BUMI adalah perusahaan nasional yang di dalamnya terdapat Aburizal Bakrie dan keluarganya.
Menangnya BUMI segera membentuk kelompok anti dan pembela. Karena ada nama Aburizal Bakrie yang Ketua Umum Partai Golkar, segera pula PT KPC seolah telah berwarna kuning. Apalagi, tiba-tiba di dalam jajaran komisaris muncul nama H Abdulah Popo Parulian. Publik Kaltim yang selama lebih sepuluh tahun dilanda kemarahan karena menganggap PT KPC tidak member manfaat, seakan terobati. Popo Parulian adalah mantan Ketua Kadin Kaltim dan cukup dikenal.
Popo Parulian diharapkan menjadi jembatan aspirasi rakyat Kaltim untuk membuat kebijakan dewan direksi PT KPC yang benar-benar tepat. Selama ini pemerintah maupun komponen masyarakat merasa sangat sulit mengakses dewan direksi PT KPC, karena semua pimpinan pengambil keputusan ada di Jakarta.
Sayangnya, harapan agar Popo menjadi jembatan rakyat Kaltim tidak berjalan sesuai harapan. Ketika muncul persengketaan antara warga Kaltim yang menggugat ke arbitrase ICSID (International Center for Settlement of Investment Disputes), janji memberikan konpensasi sebesar Rp285 miliar asal gugatan dicabut, malah dibatalkan.
Anehnya, para politisi dan pemerintah tidak ada yang begitu mempersoalkan pembatalan pemberian konpensasi sebesar Rp285 miliar itu. Hanya Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kaltim yang dalam pandangan umumnya, pekan tadi, mencuatkan lagi soal dana konpensasi itu. Benarkah itu semua karena ada banyak uang yang beredar di DPRD Kaltim agar jadi pembela, kaki tangan KPC? # ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Kecewa Dengan Popo Parulian
Nama Popo Parulian tercantum dalam jajaran Komisaris PT Kaltim Prima Coal (KPC) sejak PT Bumi Resources mengambilalih saham tahun 2003 silam.
Sedikit warga Kalimantan Timur yang mengetahui, bahwa dalam jajaran direksi PT Kaltim Prima Coal (KPC) terdapat nama H Abdulah Popo Parulian. Dia adalah mantan Ketua Kadinda Kaltim, alumni Fakultas Hukum Untag Samarinda dan pernah jaya dalam bisnis kayu di bawah bendera PT Kelawit Wana Lestari.
Jabatan Popo di PT KPC sebagai salah seorang komisaris, bersama Rosan P Roeslani dan Nalinkant A Rathod (Presiden Komisaris). Belum diketahui pasti apakah masuknya nama Popo terkait kepemilikan saham pribadi di perusahaan batubara terbesar di Indonesia itu atau mewakili masyarakat Kaltim dan Kutai Timur melalui Perusda PT Kutai Timur Energi yang semula memiliki saham 5 persen.
Rosan adalah bos perusahaan investasi PT Recapital Advisory. Hubungannya dengan BUMI, induk perusahaan PT KPC semakin mengikat, apalagi setelah BUMI berniat menyuntik dana kepada Recapital untuk membeli 90 persen saham PT Berau Coal dari PT Armadian Tritunggal.
Sementara Nalinkant A Rathod diketahui adalah ahli finansial berkewarganegaraan India. Ia bergabung dalam Grup Bakrie tahun 1987 dan terlibat dalam proses pembelian saham PT KPC dari Rio Tinto dan British Petroleum.
Saat ini Popo tinggal di Jakarta, ia berkantor di Bakrie Tower Senopati dengan bendera beberapa perusahaan bidang transportasi laut yang melayani pengangkutan tambang, termasuk batubara. Saat Bmagazine menyambangi di Lantai 9 gedung megah itu, Popo nampak tidak begitu menyukai menceritakan bagaimana keterlibatannya hingga menjadi komisaris di PT KPC.
Kedekatan Popo Parulian dengan Aburizal Bakrie sudah terjalin sejak keduanya masih menjadi Ketua Kadin. Aburizal sebagai Ketua Umum Kadin pusat, Popo menjadi Ketua Kadin Kaltim. Ketika mulai ribut-ribut soal divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC), Popo memang termasuk pengusaha yang ikut bersemangat di daerah. Sejumlah gerakan dilakukan termasuk di antaranya mengerahkan potensi pemuda untuk mengkampanyekan permusuhan kepada para pemegang saham pertama PT KPC.
“Banyak yang terlibat dalam aksi idealisme itu, karena rakyat Kaltim benar-benar menginginkan divestasi saham PT KPC bisa dimiliki oleh pengusaha atau Perusda asal Kaltim,” kenang Redy Zamzam, Ketua Komite Hak Rakyat Kaltim.
Momentum reformasi turut mendorong masyarakat untuk mendapat porsi yang lebih dari perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Kaltim. Mulai dari soal rekrutmen karyawan sampai penyertaan saham daerah. Popo Parulian, kata Redy, ternyata punya agenda tersendiri yang belakangan baru kita ketahui membawa misi Aburizal Bakrie dengan BUMI-nya.
Padahal, waktu itu ada juga agenda Gubernur Kaltim Suwarna AF dengan menggandeng PT Intan Bumi Inti Pradana sebagai calon pembeli saham PT KPC yang bakal didivestasi. Perusahaan yang digandeng Suwarna ini disebut-sebut milik Salim Grup.
Pada akhirnya BUMI memang tampil sebagai pemenang. Setelah melewati manuver komponen daerah Kaltim dan Kutai Timur, muncul kesepakatan dari Bupati Kutai Timur Mahyudin, dengan syarat Perusda juga diberikan hak istimewa untuk membeli saham. Dari 18,5 persen saham yang ditawarkan, ternyata Perusda tidak punya uang untuk membeli sehingga diserahkan kembali kepada BUMI dengan harga yang sama ketika membeli 18,5 persen. Dengan demikian Perusda yang diwakili PT Kutai Timur Energi tetap memiliki 5 persen saham. Setelah dijual kembali harga 5 persen saham PT KPC tersebut senilai Rp576 miliar.
Teka-teki masuknya nama Popo Parulian dalam jajaran komisaris PT KPC diduga karena adanya unsur Kalimantan Timur yang melekat. Apalagi mengenai divestasi saham itu, kata Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim, disebuah media, sudah ada kesepakatan mengenai siapa yang berhak membelinya pada sidang kabinet terbatas tanggal 31 Juli 2002. Presiden Megawati waktu itu menyepakati calon pembeli 51 persen saham yang didivestasi adalah 20 persen saham diberiikan hak istimewa kepada pemerintah pusat melalui BUMN PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (Persero) untuk membelinya, dan sisanya 31 persen dibagi menjadi hak istimewa Perusda Melati Bhakti Satya (Pemprov Kaltim) sebesar 12,4 persen dan Perusda PT Kutai Timur Energi sebesar 18,6 persen.
“Ternyata hak istimewa yang diketahui publik itu kan hanya untuk PT Kutai Timur Energi. Jadi hak istimewa untuk Perusda Melati Bhakti Satya Pemprov Kaltim itu siapa yang mengambil. Saya mencurigai di situ Popo Parulian masuk, sehingga bisa jadi komisaris,” ujar Redy.
Tadinya, publik Kaltim cukup terwakili dengan masuknya nama Popo sebagai komisaris. Sebab sebagai tokoh pengusaha di Kaltim, setidaknya bisa menjadi jembatan antara keinginan masyarakat daerah ini kepada perusahaan yang cenderung tersentral di Jakarta dan tidak tersentuh.
“Dulu, ketika KPC masih dimiiki Rio Tinto dan BP, masyarakat Kaltim masih mudah berhubungan dengan Pak Noke Kiroyan sebagai Presdir Rio Tinto Indonesia. Sekarang setelah sahamnya dikuasai BUMI malah sulit sekali,” ujarnya.
Popo Parulian tidak berpihak pada keinginan masyarakat Kaltim, tapi justru jadi pelindung perusahaan. Redy mencontohkan tentang janji konpensasi Rp285 miliar kalau warga Kaltim mencabut gugatan di arbitrase ICSID (International Centre for the Settlement of Investment Disputes) Singapura. “Mestinya Popo yang menjembatani supaya janji itu dipenuhi. Eh, sekarang malah seenaknya dibatalkan dengan berbagai alasan,” ujarnya. # Susunan Direksi PT KPC Nalinkant A. Rathod (Presiden Komisaris) Abdullah Popo Parulian (Komisaris) Ari Saptari Hudaya (Presiden Direktur) Kenneth Patrick Farrel (Direktur) Hanibal S. Anwar (Direktur) Rosan Perkasa Roeslani (Komisaris) --=----------------------------------------------------- Biodata H Abdullah Popo Parulian Nama Asal: Ngui Tjing Po Lahir: 28 Oktober 1961 Sekolah Terakhir: Fakultas Hukum Untag Samarinda Ketua Kadinda Kaltim periode 2007 – 2012 Bendahara Umum DPP Pemuda Pancasila 2009-2013 Bendahara Pengurus Besar Taekwondo Indonesia Email: popoparulian@yahoo.com -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Mengejar Saham yang Tersisa
Hak rakyat Kaltim bukan hanya dari janji konpensasi PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar Rp285 miliar, tapi masih ada hak istimewa untuk membeli saham sebesar 12,4 persen. Charles Siahaan, Muhammad Idris
Putus asa. Itu yang terasa di Gedung DPRD Kaltim Karang Paci Samarinda jika membincangkan kemelut di PT Kaltim Prima Coal (KPC). Padahal, inilah satu-satunya lembaga yang menjadi harapan rakyat agar hak-hak daerah di perusahaan seperti KPC bisa diraih kembali.
“Ya, praktis cuma DPRD yang bisa diandalkan rakyat. Karena mereka punya akses dan power ke pemerintah di daerah maupun pusat. Kalau anggota DPRD sudah melempem, masuk angin, ya mau apa lagi. Biar rakyat yang mengadili,” ujar Redy Zamzam, Ketua Komite Hak Rakyat Kaltim.
Karena masih mempercayai DPRD Kaltim, pekan tadi, Redy bersama tim menemui beberapa anggota legislative di sana. Misalnya Darlis Patolongi (Ketua PAN Kaltim), Rusman Yakub (Ketua PPP Kaltim), Syaifuddin DJ (Gerindra) dan Andi Harun (Partai Patriot).
“Kami menyampaikan kepada mereka bahwa harus ada lembaga yang konsen terhadap perjuangan merebut hak-hak Kaltim yang terabaikan. Misalnya dalam hal divestasi saham perusahaan pertambangan batubara generasi pertama, kemudian soal 285 miliar rupiah yang dijanjikan PT KPC,” cerita Redy kepada Bmagazine.
Darlis Patolongi, kata Redy, menyambut baik gagasan itu. Bahkan ia menyarankan agar persoalan divestasi perusahaan tambang berizin PKP2B generasi pertama supaya difasilitasi agar divestasinya bisa dirasakan oleh masyarakat Kaltim melalui Perusda. “Kan bukan cuma KPC yang wajib divestasi, masih ada Berau Coal, Kideco dan lainnya. Coba dicermati lagi supaya daerah kebagian,” kata Darlis kepada Redy.
Dalam persoalan divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC), Iwan Lolang, salah seorang anggota DPRD Kaltim dari Partai Gerindra, setuju masuk menyisakan persoalan bahkan bisa dikatagorikan belum dilaksanakan. Kalaupun pemilik PT KPC sekarang mengklaim sudah melaksanakan divestasi, bisa disoal itu illegal karena tahapan dan proseduralnya tidak dilakukan.
“Bukan hanya kemiskinan yang punya lingkaran setan, ternyata proses divestasi sama. Propinsi menuntut, kabupaten menolak. Saat kabupaten menuntut, propinsi diam . Percuma bentuk tim, kalau ada penyusup dan pengabar berita 'data'. Toh akhirnya diputuskan oleh orang-orang di luar tim,” keluh Iwan menjawab status Charles Siahaan dalam akun facebook.
Ruang untuk membuka lagi persoalan divestasi itu kian terbuka, dikaitkan statemen Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak soal adanya keputusan sidang kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Megawati tahun 2002.
Waktu itu sudah ditetapkan siapa saja yang punya hak istimewa membeli 51 persen saham PT KPC yang wajib didivestasi.
Sebanyak 20 persen adalah hak PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) mewakili pemerintah pusat, dan kemudian 31 persen lainnya dibagi menjadi hak istimewa Perusda Melati Bhakti Satya (Pemprov Kaltim) sebesar 12,4 persen dan Perusda PT Kutai Timur Energi sebesar 18,6 persen.
“Kuncinya, gubernur dan DPRD bersatu. Jangan terpecah-pecah atau mau dipecah-pecah oleh oknum KPC,” ujar Redy.
Rusman Yakub, anggota legislatif yang juga Ketua PPP Kaltim memandang perlunya kesadaran bersama agar tidak lagi hak-hak Kaltim dikalahkan oleh kepentingan korporasi. “Masa lalu itu cukup jadi pelajaran,” ujarnya .
Bagaimana dengan Andi Harun dari Partai Patriot. Ketika Redy Zamzam melontarkan harapannya agar tersambung dengan Popo Parulian, salah seorang komisaris PT KPC, dengan tangkas Andi mengakui bahwa keinginan seperti itu sangat sulit. “Aku nelpon saja tidak diangkat,” ujar Andi.
Di DPRD Kaltim, yang terlihat konsisten memperjuangkan dana konpensasi Rp285 miliar atas pencabutan perkara di arbitrase ICSID Singapura adalah Fraksi PDI Perjuangan. Lewat jurubicaranya, Sudarno, dalam pandangan umum atas nota keuangan APBD Perubahan, pekan tadi, ia menyampaikan kepada pemerintah agar mengambil sikap. Sikap ini sama ketika masalah janji itu mencuat tahun lalu.
Beredar kabar, DPRD Kaltim memang terpecah ketika ada usulan untuk membentuk Pansus PT KPC. Ada yang mengisukan beredar sejumlah uang untuk menggagalkan upaya membuka lagi persoalan divestasi dan masalah lain di perusahaan tersebut.
Hatta Zainal, Ketua Fraksi Partai Golkar, mengakui ada persoalan dilematis ketika berbicara dana konpensasi Rp285 miliar itu. Karena perolehan seperti itu bisa saja dianggap menjadi gratifikasi dan melanggar hukum. “Kita mengalami dilema di situ,” kilah Hatta dalam perbincangan dengan Bmagazine di kafe KopiLuwak Atrium Senen Jakarta, beberapa waktu lalu.
Rakyat Kaltim sudah merasakan kekecewaan yang dalam dengan PT KPC. Perusahaan ini mulai menakutkan para politikus, karena adanya nama Aburizal Bakrie di dalam perusahaan induk BUMI (Bumi Resources). Aburizal memiliki jaringan kuat di semua partai yang tersentral di Jakarta, sehingga muncul anggapan kalau mengganggu perusahaan PT KPC, maka berisiko dalam karir di partai sendiri. Bukan hanya untuk kader Partai Golkar, tapi partai-partai lainnya. # ======================================================================================== -Saifuddin Dj, Anggota DPRD Kaltim KPC Harus Beritikat Baik
Seharusnya KPC memiliki itikad baik terhadap Kaltim untuk membayar dana konpensasi Rp285 miliar tersebut. Sekarang ini kan terasa mereka ini angkuh. Padahal, mereka kan melakukan eksploitasi secara besar-besaran di bumi Kaltim. Kalau sudah dijanjikan, itu kewajiban, jangan malah menghindar.
Kami di DPRD bersama pemerintah akan tetap menagih pembayaran tersebut. Saya kita perlu membentuk tim kembali bersama pemerintah. Ya, DPRD dan pemerintah harus bekerjasama dalam hal ini.
Saya juga menyesalkan sikap Popo Parulian sebagai komisaris PT KPC, tetapi tidak berusaha untuk menggolkan kewajiban konpensasi itu. Sebagai warga Kaltim yang berada di dewan komisaris, mestinya dia ikut memperjuangkan. Jangan malah mendiamkan.
Menyangkut divestasi saham, kami juga setuju agar perusahaan tambang batubar berizin PKP2B generasi pertama supaya diselesaikan persoalan divestasinya. Kan ada Berau Coal, Kideco dan Indominco. #M Idris =

Babak Seleksi Pesaing Faroek

Masa jabatan Awang Faroek Ishak sebagai Gubernur Kaltim, baru berakhir 17 Desember 2013. Atau setidaknya masih tersisa 28 bulan. Itu sebabnya partai-partai politik mulai mencari-cari figur yang bakal diusung.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menjadi satu-satunya yang lebih awal mengumumkan nama bakal calonnya. Ada tiga nama yang disepakati dalam Rakerda partai moncong putih itu, yaitu Emir Moeis (Ketua Umum PDIP Kaltim), Awang Faroek Ishak (Gubernur Kaltim) dan Isran Noor (Ketua Partai Demokrat Kaltim). Beberapa lembaga survei juga sudah mulai mengutak-atik para calon potensial. Bmagazine misalnya sudah menjaring 22 dari target 50 nama calon, sebelum dikerucutkan lagi berdasar pilihan pembaca. Nama Faroek, Isran dan Emir Moeis termasuk yang ikut terjaring (lihat table).
Dari wawancara beberapa kalangan menyebutkan, sulit mencari tandingan Awang Faroek Ishak dalam situasi sekarang. Tidak ada figur menonjol yang levelnya bisa disetarakan dengan mantan anggota DPR RI dan mantan Bupati Kutai Timur itu. Entah kenapa ada muncul pelabelan ‘hebat’ itu?
Padahal, kalau diikuti prestasi Faroek semasa menjadi Gubernur Kaltim sejak tahun 2008, tidak ada yang patut dibanggakan. Dia cuma mengadopsi rencana Gubernur Kaltim sebelumnya, Suwarna AF, membangun jalan Tol Balikpapan – Samarinda. Kemudian juga meneruskan membangun Pelabuhan internasional Maloy Kutai Timur yang memang digagasnya ketika menjadi Bupati Kutai Timur.
Dua program ‘raksasa’ itu sendiri tak jelas progress pembiayaanya, karena janji Faroek bakal melibatkan pendanaan swasta, tapi sampai hari ini hanya membebani APBD saja.
Ada memang yang patut mendapat pujian publik. Yaitu konsistensi pada penganggaran 20 persen APBD untuk dunia pendidikan. Dari penggelontoran dana itu ia bisa memberi beasiswa kepada ribuan mahasiswa tiap tahun.
Faroek juga dianggap punya gebrakan dalam mendirikan perusahaan penerbangan lokal bernama ‘Kaltim Air’. Walau masih sangat prematur untuk dipuji, karena sejauh ini prospeknya juga meragukan. Apalagi disebut-sebut, para pesaham yang berkongsi dengan Perusda Melati itu mulai ada yang mengundurkan diri.
Ya, apapun yang terjadi di lapangan, faktanya seorang incumbent selalu ditempatkan pada posisi yang terkuat dalam tiap pemilihan umum secara langsung. Karena begitu besar fasilitas negara yang menyertai, sehingga para incumbent bisa mendompleng untuk meninggikan popularitasnya. Begitu juga Faroek yang mulai digadang-gadang punya kans besar menjadi gubernur dua kali.
Benarkah Kaltim krisis pemimpin muda untuk menggantikan kemahsyuran Faroek?
Sebenarnya tidak juga. Partai-partai politik memiliki sejumlah kader yang siap bersaing. Partai Golkar misalnya punya kader-kader berintegritas dan berprestasi seperti Makmur HAPK (Bupati Berau), Mahyudin (anggota DPR RI) dan Hetifah (anggota DPR RI).
Partai Demokrat yang menjadi nomor dua di Kaltim dalam Pemilu lalu juga punya Isran Noor (Bupati Kutim) dan Syaharie Jaang (Wali Kota Samarinda). PKS punya Hadi Mulyadi dan PPP ada Rusman Yakub.
Mengapa kader-kader muda tidak begitu menonjol di mata publik, lantaran umumnya mereka punya rasa sungkan untuk berdebat mengenai konsep-konsep Awang Faroek Ishak. Politisi muda membiarkan jalan pikiran Faroek mempengaruhi publik, bahkan merealisasi dalam APBD tanpa adanya ‘perlawanan’.
“Saya siap beradu konsep dengan Awang Faroek Ishak,” ujar Rendi S Ismail, salah seorang tokoh muda yang kini Ketua Kadin Balikpapan. Ia juga siap maju dalam Pemilukada Kaltim jika muncul dukungan publik. #