Selasa, 12 Februari 2013

Sang “Ratu” Stres



Akhirnya  Rita Widyasari mengakui, ia  stres dengan peristiwa beruntun yang menimpa rakyat di daerah yang dipimpinnya. “Kita harus membangun dari awal lagi,” ujar Rita kepada Bmagazine di Tenggarong Kukar.
Tanggal 30 Juni 2010, Rita bersama HM Ghufron Yusup dilantik menjadi bupati dan Wakil  Bupati Kutai Kartanegara. Ada tiga isu yang mesti diberesi pasangan ini, yang pertama soal pemerintahan bersih (clean governance), karena birokrat  dan politisi daerah itu sudah cemar dengan kasus korupsi. Puluhan pejabatnya, dimulai dari bupati sebelumnya, Syaukani HR, yang  juga ayahanda Rita, masuk penjara karena kasus korupsi.
Persoalan kedua, memberesi tambang batubara yang ruwet dengan tumpang tindih izin lahan dan juga pemberian izin yang kolutif. Banyak ‘tangan-tangan’ besar yang terlibat dalam izin-izin tambang tersebut, seperti adanya oknum-oknum jenderal.
Belum lagi tuntutan masyarakat yang menginginkan pemekaran seperti di Kutai Pantai dan Kutai Hulu. Pemekaran yang dilematis, karena bakal terlepasnya daerah-daerah penghasil minyak dan gas yang beroperasi di sebelah pantai, sementara  ibu kota Tenggarong dan daerah sebelah hulu belum punya sumber pendapatan daerah.
Saat semua itu sedang ditata, tiba-tiba cobaan itu datang satu per satu. Ada tiga masalah yang mengusik sampai-sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dibuat repot.
Peristiwa terakhir  adalah ambruknya jembatan yang menjadi kebanggaan masyarakat eks kerajaan Mulawarman dan Kutai KartanegaraIng Martadipura itu.  SBY sampai mengadakan rapat kabinet terbatas secara mendadak, di sela-sela resepsi pernikahan anaknya Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dengan Aliya Rajasa.
Dua peristiwa sebelumnya menyangkut pembantaian satwa dilindungi orangutan di Desa Puan Cepak Muara Kaman Kukar dan vonis bebas atas 15 anggota DPRD Kukar dari sidang korupsi di pengadilan Tipikor Samarinda.
Kasus pembantaian orangutan sepertinya tak begitu mengusik pemerintahan Rita Widyasari. Tetapi sesungguhnya kasus itu memberikan gambaran bagaimana pemerintah tidak bisa memberikan perlindungan terhadap ‘rumah-rumah’ mahluk Tuhan  yang dilindungi itu. Pukulan telak datang dari dunia internasional, yang datangnya mirip gelombang ombak menyentuh kebijakan SBY sampai pemerintah tingkat kabupaten, kecamatan dan pemerintah desa.  Di mata internasional, Pemerintah Indonesia tidak dapat  memberikan perlindungan hukum. Lebih ngeri  lagi kita masih dicap sebagai bangsa barbar.
Kasus ketiga yang buntutnya menekan Kutai Kartanegara adalah bebasnya 15 anggota DPRD Kukar yang didakwa melakukan korupsi oleh Pengadilan Tipikor di Samarinda. Kasus ini menjadi sorotan nasional sampai adanya wacana membubarkan pengadilan Tipikor di seluruh Indonesia.
Memang kasusnya tak menjadi tanggungjawab Bupati Rita Widyasari, tetapi opini yang berkembang menempatkan posisi good governance yang sedang diperjuangkan jadi melemah lagi. Sudah menjadi opini seakan-akan pembebasan itu karena ada suap dari anggota DPRD Kukar.
 “Saya stress,” kata Rita. Tapi semua itu tak sampai membuatnya jatuh sakit. Kini, kosentrasinya cuma satu; membangun lagi jembatan yang ambruk itu. #
==
====================================================================

Runtuhnya Jembatan Kaning

Jembatan simbol kemegahan Kabupaten Kutai Kartanegara yang dioperasikan sejak dimulainya otonomi daerah tahun 2001, ambruk, hanya dalam hitungan 30 detik.

Ch Siahaan, Hardin, Ibnu Arifuddin

Sore hari itu, Sabtu 26 November 2011, langit yang terik mulai berganti lembut. Seorang lelaki, M Iskandar bersama istrinya, Ema dan juga anaknya yang berusia 5 tahun, Cinta, memilih mengisi waktu weekend ke Samarinda. Mereka mengunjungi pusat perbelanjaan Mal Lembuswana.
Sepulangnya, Iskandar yang akrab dipanggil kondoy, memacu pelan sepeda motornya pulang ke Tenggarong. Mereka bertiga menikmati cerahnya hari , sampai akhirnya memasuki jembatan megah yang dulu – dizaman Syaukani menjadi bupati - dinamakan jembatan Gerbang Dayaku.
Tidak ada firasat apa-apa. Semua mengalir dalam keceriaan ketika musibah itu datang. Jembatan yang nampak kokoh ambruk seketika. Tercebur ke Sungai Mahakam yang dalamnya sekitar 40 meter.
Iskandar yang bekerja sebagai manager umum surat kabar harian Koran Kaltim terlempar bersama motornya. Istri dan anaknya juga terpisah. Dalam kekalutan dan shok berat, Iskandar yang mengenakan helm masih sempat menolong istrinya. Membantu memapahnya agar berpegangan di besi-besi jembatan yang telah menyentuh air sungai.
Iskandar yang panik tidak melihat tubuh anaknya, memutuskan untuk menyelam. Mencari dan mencari buah hatinya. Ia tidak peduli dengan arus deras di dasar sungai, ia tak sempat berpikir bahwa jembatan yang runtuh di dalam air masih bergerak labil menuju dasar sungai.  Semua demi Cinta, si buah hati.
Sang Maha Kuasa berkehendak lain, penggemar warna orange itu tidak muncul-muncul lagi ke permukaan. Istrinya berhasil diselamatkan sebuah perahu yang segera datang memberikan pertolongan. Iskandar dan anaknya, hilang. Sampai akhirnya pada hari Minggu malam, sekitar pukul 21.15 Wita, jasad lelaki itu ditemukan mengapung di Sungai Mahakam. Sedang jasad anaknya belum ditemukan.
Kisah  Iskandar bersama Ema istrinya dan Cinta anaknya, merupakan potongan cerita-cerita pilu para korban ambruknya jembatan. Diduga, masih ada lebih 30 korban yang terperangkap di dasar sungai, bersama mobil dan motor yang mereka tumpangi  saat di atas jembatan.
Kawasan wisata di seberang Pulau Kumala yang penuh bunga itu kini jadi raungan isak tangis sanak keluarga korban. Warga sekitar yang mendengar suara gemuruh langsung berdatangan. “Allahuakbar..,” ucap Ruyi, warga di Desa Perjiwa Tenggarong Seberang. Hanya dalam waktu 30 detik, jembatan yang kerap disebut sebagai jembatan Syaukani itu lenyap dari pandangan mata. Mengubahnya menjadi sebuah kata; noltalgia.
Tak dapat dipungkiri walaupun perencanaan pembangunan jembatan itu sudah dimulai sejak era Bupati HAM Sulaiman (1995-2000), tapi penyelesaiannya setelah Bupati Syaukani menjabat (2000-2005). Pekerjaan proyek jembatan sepanjang 700 meter dilaksanakan oleh sebuah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) PT Hutama Karya dengan menggandeng beberapa kontraktor lainnya.
Masyarakat Tenggarong lebih suka menyebut “jembatan Kaning”. Sebutan ‘kaning’ itu adalah nama akrab Syaukani HR. Belum ada data terang berapa anggaran membangun jembatan yang diinspirasi dari Golden Gate San Fransisco Amerika Serikat itu. Ada yang menyebut Rp150 miliar, tapi ada juga Rp980 miliar.
Suara gemuruh ambruknya jembatan megah itu segera menggema ke seantero negeri. Rita Widyasari, Bupati Kukar yang berada dalam mobil menuju tempat pernikahan Baskoro Yudhoyono  - Aliya Radjasa di JCC (Jakarta Convention Center) Senayan, mengaku menerima kabar dari sebuah SMS yang masuk ke handphonenya. “Massyaallah, jembatanku,” ucap Rita, lirih.
Spontan ia memutuskan tak jadi menghadiri pernikahan putra Presiden SBY dengan putri Menko Perekonomian Hatta Radjasa. Tubuhnya tersandar di jok mobil, pikirannya dipenuhi beragam pertanyaan; ada apa lagi dengan Kutai Kartanegara.
Di antara sesaknya nafas, Rita meminta kepada sopir membelokkan arah menuju Bandara Soekarno Hatta. Putri kedua Syaukani itu ingin segera terbang sampai di jembatan yang sehari-hari telah menjadi sarana vital perekomian itu.
Dari dalam mobil ia segera melakukan koordinasi dengan para stafnya yang berada di Tenggarong. Dari ujung  telepon genggamnya, suara Rita terasa berat tidak seperti biasanya. Perempuan yang masa mudanya aktif sebagai model ini meminta  stafnya menyiapkan apa saja yang diperlukan untuk kelancaran evakuasi korban.
Di dalam Jakarta Convention Center, resepsi pernikahan Ibas-Aliya sedang berlangsung. Sejumlah petinggi negara memberikan ucapan selamat dengan sumringah. Presiden SBY dan istrinya, Ani, membalas ucapan itu dengan suka cita. Sampai pada suatu titik – sekitar 30 menit setelah tragedy jatuhnya jembatan Mahakam, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi terpaksa membawa kabar buruk itu.
Senyum lebar SBY pun terhenti. Hanya dalam hitungan menit, SBY beranjak menuju ruangan khusus. Memanggil sejumlah menterinya. Rapat kabinet darurat.
Keputusannya, sore itu juga Menteri PU (Pekerjaan Umum) Djoko Kirmanto dan Menko Kesra Agung Laksono berangkat ke Tenggarong. Kemudian esoknya disusul Menteri Kesehatan Endang Rahayu Setyaningsih.
Djoko Kirmanto dan Agung Laksono juga segera berangkat ke Bandara Soekarno Hatta. Di sana akhirnya bertemua dengan Rita. “Saya satu pesawat dengan Pak Menteri,” cerita Rita kepada Bmagazine.
Malam itu juga, sekitar jam 21.00 Wib, pesawat menuju Sepinggan Balikpapan. Rombongan Menteri dan juga Bupati Rita Widyasari tanpa membuang waktu langsung menempuh jalan darat ke tempat kejadian perkara (TKP). Lewat dini hari rombongan baru tiba. Rita cuma mampu tertegun. Diam. #

Jalan Tolol



Banyak yang gregetan dengan ulah Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak yang sangat ngotot membangun jalan tol Balikpapan – Samarinda sejauh 99 kilometer. Alasannya, karena terlalu banyak uang pembangunan yang dikuras. Pada tahap awal saja sudah disiapkan APBD Kaltim Rp2 dari Rp6,2 Triliun.
Keluhan para penentang kebijakan itu, karena banyak jalan kota dan antar kabupaten / provinsi belum juga selesai. Sementara jalan tol, hanya untuk pengendara mobil. Pengendara motor yang jumlahnya jauh lebih besar dari pemilik mobil, tetap saja pakai jalan Soekarno – Hatta yang sekarang digunakan ini.
Faroek punya alasan mengapa ngotot jalan tol harus direalisasi. Berkali-kali ia sampaikan bahwa jalan tol merupakan kebutuhan rakyat, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan terakhir bahwa jalan itu telah disetujui oleh pemerintah pusat. Terintegrasi dengan MP3EI (Master Plan Percepatan dan pertumbuhan Ekonomi Indonesia).
Saya tahu, banyak warga yang terkesima dengan manuver Faroek di jalan tol itu. Sebab masih segar diingat ketika pertamakali menyampaikan gagasan tahun 2009, ia meyakinkan publik bahwa ada investor yang tertarik membangun jalan tersebut. Toh, yang disebut investor tidak  pernah muncul. Sampai akhirnya dengan berat hati rakyat Kaltim merelakan APBD-nya disedot sebesar Rp2 triliun.
Di media-media sosial, banyak warga yang geram. Sampai memplesetkan kata jalan tol menjadi “Jalan Tolol”. Apalagi ketika Faroek dengan suka cita menyampaikan kalau ia berhasil menjerat pemerintah pusat agar manambah utang LN (luar negeri) untuk membiayai proyek yang mengabadikan namanya tersebut.
Kata Faroek, dana asing (kemungkinan dari ADB – Asian Development Bank) bakal masuk Rp2,4 triliun untuk jalan bergengsi tersebut. Pengembaliannya; tanggungjawab APBN. Dengan demikian, sudah tersedia Rp4,4 triliun dan diperkirakan sisanya tinggal Rp1,8 triliun.
Jerat utang di depan mata. Gubernur Faroek justru sedang girang menyambut utang. Hanya kalangan aktivis dan sebagian warga yang memahami skema utang menaruh sikap prihatin. Mereka berdoa semoga sang gubernur  tidak meneruskan ‘tariannya’ yang kini merasa jadi pemenang.
Saya sempat merenung; kenapa mereka menyebut “jalan tolol”? Padahal, Gubernur Faroek termasuk tokoh lokal yang selalu punya gagasan pintar.
Pertama, saya memahami  bahwa ungkapan itu sekedar umpat kemarahan. Kekecewaan warga yang berpikir jalan tol belum perlu, menghabiskan anggaran dan beraroma mengejar prestise. Kedua, ada yang berpikir bahwa membangun infrastruktur seperti itu justru bakal mempercepat eksploitasi sumber daya alam, pembukaan lahan untuk perkebunan secara besar-besaran dan tambang batubara.  Kemudian juga merusak hutan lindung Manggar dan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto.
Tapi belakangan saya baru mengerti, bahwa ternyata sejumlah masalah menghadang pembangunan jalan tol. Mulai tidak ada izin penggunaan lain (IPL) dari Menteri Kehutanan terhadap hutan lindung dan Tahura Bukit Soeharto, juga ada benturan dengan sekitar 25 pemegang konsesi pertambangan karena lintasan jalan tol melewati lahan tambang.
Oh, itu rupanya yang dimaksud ‘Jalan Tolol”. Karena dari awal tidak melalui perencanaan matang. Bahkan tidak ada feasibility studi (FS). #

Branding Buruk KPC


PT Kaltim Prima Coal (KPC) perusahaan batubara terbesar Indonesia yang beroperasi di Sangatta Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Namanya saja sudah terbesar, mestinya menjadi kebanggaan masyarakat di sekitarnya. Seperti warga Kudus yang bangga dengan pabrik rokok Djarum, atau masyarakat Banten yang bangga di daerahnya ada pabrik baja Cilegon.
Warga Bontang juga senang ada Pupuk Kaltim, warga Balikpapan cukup antusias dengan Pertamina. Begitu yang logisnya.  Tapi, KPC seperti berada di menara gading yang tidak tersentuh.  Warga Sangatta Kutai Timur justru banyak yang tidak bangga ada perusahaan besar batubara itu di kampung mereka. Kecuali para karyawan dan keluarga tentunya, yang hidupnya tergantung dari keberadaan perusahaan itu.
Kalau ditanya kepada warga Kutai Timur tentang KPC, justru sebagian yang muncul adalah keluhan a sampai z. Mulai janji bikin gedung Stipper, bea siswa, penyerapan tenaga kerja lokal, dan sebagainya.
Di level Kalimantan Timur, branding KPC juga buruk. Mereka mendapat cap perusahaan pengeruk yang rakus. Perusahaan yang hanya ingin mengambil hasil alam, tanpa peduli bagaimana masa depan rakyatnya setelah tak ada lagi tambang.
Padahal, KPC sudah berusaha ramah. Mereka memasang advertorial di media massa tentang kegiatan sosial perusahaan, juga prestasi-prestasi perusahaan. Mereka juga mengeluarkan dana CSR (corporate social responsibility) tidak kurang USD5 juta per tahun.
Kenapa KPC memunculkan opini buruk di mata publik Kaltim? Tidak terlepas dari berbagai peristiwa mengenai perusahaan ini di media-media. Masalah paling fenomenal adalah divestasi saham, yang sejak tahun 2001 silam sudah harus dilakukan perusahaan sebesar 51 persen.
Kenyataannya, divestasi yang ditunggu-tunggu publik Kaltim bakal melibatkan tangan pemerintah di Kaltim maupun Kutai Timur, terlewat begitu saja. Publik menyaksikan begitu banyak siasat, penghianatan, sampai akhirnya perjuangan lebih 15 tahun kandas. Para pemegang saham KPC, yang lama maupun baru, terbukti; memang hanya mau ambil untung dari eksploitasi batubara. Tidak ada urusan dengan kesejahteraan masyarakat sekitar, atau masa depan daerah pasca tambang.
Tak ada yang salah dengan gaya KPC di menara gading. Mereka punya izin PKP2B (Perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara). Ini izin dari pemerintah pusat yang tidak boleh diganggu secuilpun oleh pemerintah daerah.
Situasi seperti ini yang penting ditata lagi oleh pemerintah pusat. Akibat kebijakan seperti itu membuat rakyat cepat marah. Sudah banyak contoh, perlawanan masyarakat terhadap perusahaan pertambangan di seluruh Indonesia.
Ketika ada usul dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan renegosiasi perusahaan kontrak karya, beberapa waktu lalu, saya berpikir inilah saatnya rakyat daerah berperan mengusulkan, bagaimana mestinya perusahaan tambang dengan rakyat lokal. #

Ketidakadilan Itu



Catatan tahun 2011
 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berada di konferensi tingkat tinggi (KTT) APEC 2011 di Honolulu, Hawaii, pekan ini. Di balik agenda perdagangan Asia Pasifik, rakyat Indonesia berharap SBY menyampaikan rencana renegosiasi kontrak karya dengan Presiden Amerika Barack Obama. Tentu yang dimaksud adalah renegosiasi PT Freport Mc Moran di Papua. Karena Amerika sangat berkepentingan di perusahaan itu.
Kabar baik dari Amerika tentang Freeport, ditunggu-tunggu juga oleh rakyat  di tanah bekas kerajaan Kutai Kartanegara. Karena ada 32 perusahaan berstatus PKP2B (Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara) di Kaltim. Kalau semua direnegosiasi, mestinya bakal menjadi rejeki nomplok bagi  rakyat daerah ini.
Mengapa penting melakukan renegosiasi?
Tahun 2011, Kaltim diprediksi memproduksi batubara mendekati angka 140 juta metrik ton. Dengan harga batubara FOB rata-rata Rp900 ribu per metrik ton saja, itu berarti omzet penjualan keruk batubara mencapai Rp126 triliun.
Jika digabungkan dengan penjualan Migas dari Kaltim, bisa jadi tahun ini PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) mendekati Rp400 triliun.
Tapi simak ongkos pembangunan yang ditransfer pemerintah pusat ke daerah dalam bentuk APBD? Anggaran yang selalu dikejar-kejar pejabat dan rakyat itu, baik untuk mengisi kas provinsi bersama 14 kabupaten dan kota, total jenderal hanya sekitar Rp30 triliun. Ditambah proyek-proyek pusat yang total nilainya tak melebihi Rp5 triliun. Ya, total yang kembali ke daerah ini cuma Rp35 triliun dari PDRB sekitar Rp400 triliun.
Jumlah terbesar jatuh kepada pemilik modal. Mereka yang punya saham di perusahaan. Tahun 2011 adalah masa emas alias booming para penambang. Mereka sedang berlomba menjadi orang nomor satu terkaya di Indonesia. Ada nama Aburizal Bakrie, Kiki Barki, Edwin Soeryadjaya, yang dompetnya menebal secara otomatis dari mesin-mesin pengeruk batubara.
Selama ini, mata publik hanya berontak melihat angka-angka 'kecil' APBD. Bukan berontak pada terjadinya ketidakadilan dalam bisnis tambang. Bisnis yang mentahbiskan pengusaha menjadi konglomerat, walau tidak banyak berkeringat.
Para konglomerat itu sedang menciptakan surga di rumahnya, sekaligus juga menciptakan "neraka" di tanah-tanah yang telah digalinya. Simak air-air sungai di seluruh daerah ini, masih adakah yang tak tercemar limbah batubara?
Lebih celaka lagi, karena posisi pemerintah di Kaltim tidak berdaya menghadapi raksasa-raksasa bisnis ini. Pemimpin di daerah yang umumnya berasal dari partai politik, ketakutan juga berhadapan dengan para ‘raksasa’ yang umumnya juga terkoneksi dengan para pimpinan partai di tingkat pusat.
 Mereka (pemimpin di Kaltim) adalah bidak-bidak catur yang langkahnya mudah dihentikan. Mereka bukan saja mudah kehilangan singgasana kekuasaan, tapi juga bisa terjerambab masuk penjara. #

Kaltim Siaga Satu


Bumi Kaltim sedang memikul beban berat. Pasca zaman banjir kap yang menghancurkan hutan-hutan alam nan besar itu, kini lahan-lahan subur dikeruk untuk dieksploitasi tambang batubaranya. Tidak hanya itu, sejumlah program raksasa berbungkus ‘untuk kesejahteraan rakyat’ mengintai lagi.
Simak program MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia) yang telah dilaunching Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bulan Mei 2011. Kaltim bakal diguyur investasi ratusan triliun, untuk menambah produksi minyak dan gas, batubara, serta investasi bidang transportasi rel kereta api untuk mengangkut hasil bumi.
Belum lagi rencana-rencana besar daerah yang  menjadikan klutser ekonomi dan mewujudkan visi Kaltim sebagai pusat agroindustri dan energi terkemuka di dunia. Sejumlah rencana digulirkan, pembangunan jalan tol Balikpapan – Samarinda yang bakal bersambung ke Bontang dan Sangatta dan pelabuhan Maloy di Kutai Timur yang diproyeksikan jadi pelabuhan internasional.
Belakangan muncul lagi program Food Estate. Kalimantan Timur ditawarkan mengambilalih program Menteri Pertanian Suswono yang sebelumnya diproyeksikan di Papua bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Ancer-ancernya, lahan untuk food estate di Kaltim seluas 200 ribu hektar.
Para pembuat program raksasa itu berusaha meyakinkan para pihak inilah jalan kemajuan ekonomi di Kaltim. Tapi para pemerhati lingkungan justru melihat inilah sumber masalah yang menimbulkan kesengsaraan panjang rakyat daerah ini.
“Kerusakan lingkungan di Kaltim sudah parah sekali. Masyarakat harus membayar mahal. Contoh saja, tidak ada lagi masyarakat bisa mengambil air minum secara gratis di sungai, karena airnya sudah tercemar. Masyarakat harus mengeluarkan uang membeli air minum,” ujar Bernaulus Saragih, Kepala Puslit Sumber Daya Alam Universitas Mulawarman,
Pemerintah bukan tidak menyadari adanya kerusakan lingkungan yang kian parah ini. Gubernur Awang Faroek Ishak misalnya, selalu mengemukakan angka lahan kritis seluas 6,4 juta hektar.  Tapi tetap saja mengeluarkan kebikan-kebijakan seperti pembukaan lahan untuk kebun sawit yang diprogram pemerintah menuju 3 juta hektar. Kemudian izin usaha batubara seperti di Kota Samarinda dan Kutai Kartanegara  yang jumlah perusahaannya mencapai ratusan dan memakan areal mencapai 50 persen dari total luas daerah itu.
Produksi batubara dari Kalimantan Timur sedang menuju 130 juta Metrik Ton per tahun. Sebanyak 70 Juta Metrik Ton adalah produksi PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Sangatta. Ada sekitar 20-an perusahaan berstatus izin PKP2B (Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara) alias izin dari Menteri ESDM, dan ada ratusan lagi izin KP (Kuasa Pertambangan) oleh bupati dan wali kota. Padahal, tahun 2004 silam, angka produksi batubara Kaltim hanya sekitar 70 juta Metrik Ton.
Sektor minyak dan gas bumi, pertama kali digarap sejak 10 Februari 1897 oleh Belanda yang mendapat izin konsesi dari Kesultanan Kutai. Bayangkan, sudah berapa besar produksi migas dari daerah ini, tapi hasilnya tak juga mampu memakmurkan rakyat lokal.
Air sungai yang tercemar, hutan yang porak-poranda, lahan eks batubara yang menjelma jadi danau-danau, banjir  dan hujan yang tak lagi taat siklus, kian mengkuaitirkan masyarakat Kaltim. Sebab diyakini kerusakan alam itu juga berpengaruh pada iklim yang ekstrim. Jika hujan warga kuatir banjir, jika kemarau kuatir hutan terbakar.  Jadi, apa bahasa paling tepat menggambarkan situasi ini? “Kaltim Siaga Satu,” kata Bernaulus. Wah. #


Iklim Tak Menentu

Sebanyak 27 titik api mengancam kebakaran hutan di musim kemarau bulan Agustus – Oktober 2011. Tapi warga sudah terbiasa, malah nyaris tidak berpatokan pada siklus musim hujan dan musim kemarau.

Muhammad Idris

Barangkali, sudah lebih sepuluh tahun warga Kota Samarinda tak lagi begitu yakin dengan ramalan cuaca. Sebab, meski di media-media memuat kondisi cuaca di kota itu, seringkali lebih banyak  tidak cocok , malah membuat hati kesal karena mengira hari akan hujan, ternyata cerah oleh terik matahari.
Para pemerhati lingkungan mengakui memang ada pengaruh akibat rusaknya hutan pada siklus musim panas dan musim hujan di Indonesia. Bayangkan dengan kondisi lahan kritis sekitar 6,4 juta hektar di Kaltim, ditambah lagi pembukaan tambang batubara yang mencemarkan air sungai, pembukaan kebun sawit menuju 3 juta hektar, semua itu sudah cukup  mengubah fenomena alam tidak lagi taat pada siklus hujan dan panas yang semestinya.
“Ya, sebenarnya ini peringatan bagi kita semua. Kerusakan lingkungan menyebabkan tidak menentunya pola perubahan iklim,” ujar Isal Wardhana, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kaltim.
Pada bulan Agustus 2011 ini misalnya, BMG (Badan Metereoligi dan Geofisika) Kota Samarinda menurunkan perkiraan bahwa Agustus sampai Oktober  di bagian Kaltim Tengah dan Selatan sudah memasuki masa kemarau. Dalam bulan Agustus itu sudah sekitar 10 hari tidak turun hujan.
Kepala  BMG Samarinda Raden Ishak mengatakan, angin yang berhembus sudah masuk angin Selatan dan itu pastinya akan menimbulkan gelombang mencapai sekitar 3 meter  tepatnya di Selat Makassar atau di perairan Balikpapan.
Hujan yang turun saat ini masih di bawah normal sekitar 80 sampai 140, namun saat ini masih bisa dikatakan belum terlalu kering karena hujan akan tetap turun walaupun hanya sesaat dan itu pun bisa dikatakan hanya hujan shower atau lokal saja.
Cuaca pada saat ini masih batas cerah berawan angin sepoi  dan bisa juga terjadi hujan di siang hari, panas yang terjadi saat bulan Agustus sampai Oktober nantinya tidak menutup akan terjadinya kekeringan lahan pertanian serta meningkatnya kebakaran hutan yang ada di Kalimantan Timur.
Pendek cerita, ini adalah masa siklus musim kemarau. Ancaman kebakaran hutan sedang menanti. Tapi faktanya di Tarakan, Bulungan, Malinau, di bulan Agustus hampir tiap hari turun hujan. Walaupun cuma sebentar. Di Kota Samarinda yang kondisi lingkungannya sudah mengerikan, musim kemarau memang mulai terasa. Tapi, dalam sepekan biasanya ada saja turun hujan, walau tidak lebat dan mengakibatkan banjir.
Meski iklim tidak menentu lagi, jajaran Departemen Kehutanan tidak tinggal diam. Mereka tetap patuh pada siklus yang menyajikan data-data telah tiba waktunya musim kemarau.  Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Tukimin HR mengatakan, pihaknya telah mengantisipasi kemarau Agustus – Oktober ini dengan menurunkan anggota ke lahan-lahan rawan kebakaran hutan.
Menurut Tukimin,  titik –titik api yang  sudah terdeteksi saat ini ada 27 titik api. Dengan cuaca yang sangat panas pastinya akan tidak menutup kemungkinan juga akan terjadinya kebakaran. Namun kondisi saat ini masih dalam keadaan aman dalam pantauan yang berada di lapangan.
Satelit yang digunakan untuk melakukanpemantauan adaah satelit NOAA Indonesia 18 yang melintasi daerah Kalimantan Timur sebanyak  empat kali dalam sehari , satelit tersebut mencakup permukaan bumi sebesar 2700 km  dari ketinggian  860 km.
Daerah yang saat ini memiliki titik Hot Spot  di  bulan Agustus ada sembilan daerah yang terletak di Kalimantan Timur. Perubahan titik api akan terjadi setiap harinya sesuai dengan tingkat panas yang terjadi bisa menambah atau malah berkurang tergantung dengan cuaca yang ada.
Sejauh ini lahan yang menimbulkan asap, kata Tukimin,  dikarenakan oleh banyaknya para petani lahan yang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan banyaknya petani yang lahannya  berpindah – pindah.
Selain lahan yang berpindah –pindah, kata Tukimin, ada juga yang disebabkan oleh banyaknya lahan tambang batubara yang ada, sehingga lebih cepat prosenya untuk bisa terbakar dengan cuaca yang sangat panas. #


Sembilan Daerah Titik Api

  1. Berau dengan titik api ada 6
  2. Bulungan belum ada titik apai
  3. Kutai Barat ada 3 titik api
  4. Kukar  3 titik api
  5. Kutim 6 titik api
  6. Malinau tidak ada titik api
  7.  Nunukan 2 titik api
  8. Paser 6 titik api
  9.  PPU 1 titik api



Masyarakat Bayar Kerusakan

Program investasi yang dilancarkan pemerintah di Kalimantan Timur bukan untuk mensejahterakan rakyat, tapi sebagai upaya perencanaan kerusakan lingkungan secara sistimik. Sekarang masyarakat sudah membayar terjadinya kerusakan itu, karena tidak lagi bisa memanfaatkan air sungai untuk minum dan keperluan memasak. Hampir semua sungai, sampai di daerah pedalaman mengalami pencemaran air luar biasa. Akibat penambangan batubara dan perambahan hutan.
“Air Sungai Mahakam saja sudah tidak ada yang berani meminum, apalagi air Sungai Karang Mumus,” kata Bernaulus Saragih, Kepala Puslit Sumber Daya Alam Unmul.
Akibat kegiatan pencucian batubara misalnya, air sungai di sekitar mengalami pencemaran mengandung belerang ( b), Merkuri (Hg), Asam Slarida (Hcn), Mangan Asam sulfat (H2sO4), dan Pb. Hg dan Pb merupakan logam berat menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti kanker kulit.
Padahal, semua perusahaan mengandalkan air sungai untuk mencuci batubara agar mendapatkan kualitas tertentu. “Sumber air bersih PDAM untuk minum warga Samarinda juga dari sungai-sungai yang telah tercemar batubara,” ujar Bernaulus.
Akhirnya memang kerusakan lingkungan mengakibatkan meningkatnya biaya hidup. Tingkat konsumerisme, karena soal air yang sebenarnya dianugerahi oleh Tuhan dengan berlimpah, tidak bisa lagi ‘dijamah’ dan menimbulkan penyakit kalau terkena kulit.
Belum lagi terjadinya perubahan bentang alam, karena pemotong bukit bahkan penutupan sungai-sungai kecil untuk keperluan eksploitasi tambang. Banjir semakin tidak terkendali dan ketika musim panas terjadi kebakaran batubara dan hutan.
“Jadi, banyaknya investor bertaraf internasional maupun lokal melakukan eksploitasi terhadap lahan yang ada di Kalimantan Timur tidak sepenuhnya benar menambah kesejahteraan seperti yang diharapkan. Yang terjadi malah menambah beban biaya hidup rakyat Kalimantan Timur serta menjadikan rakyat miskin yang absolute,” ungkapnya.
Sejumlah data tentang kerusakan lingkungan itu kini tengah digodok olehnya untuk diberikan sebagai lampiran gugatan judicial review atas Undang-undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat – Daerah. Berikut wawancara Muhammad Idris dari Bmagazine dengan Bernaulus Saragih;

Tingkat kerusakan lingkungan di Kaltim sudah sejauh apa?

Kalau ditanya tentang kerusakan lingkungan yang ada di Kaltim sudah sejauh apa? Ya, saya katakan sudah sangat parah sekali. Contohnya, sungai yang dulunya bisa langsung digunakan oleh masyarakat sebelum adanya tambang, selalu dalam keadaan jernih dan baik kualitas airnya. Tapi setelah ada tambang yang beroperasi maka air tersebut menjadi keruh dan tidak bisa lagi digunakan oleh masyarakat.
Nah, kerusakan lingkungan itu kan diakibatkan oleh ekspolitasi. Jadi bisa kita lihat berapa biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat di sepanjang bantaran sungai untuk menjernihkan air yang dulunya bisa di konsumsi langsung. Saat ini mereka harus mengeluarkan biaya sebesar 3500 rupiah tiap harinya untuk  bisa dikonsumsi dan dikalikan dengan jumlah penduduk yang ada di bantaran Sungai Sangatta  ada 38.000 orang, dikalikan dengan jumlah kebutuhan air per orang sebesar 0,75 meter kubik per hari. Nah coba kita hitung semua sungai yang ada di Kalimantan Timur dan jumlah warga yang menggunakan air sungai tersebut untuk menjernihkan air tersebut, seperti di Kandilo, Muara Wahau, Berau, Samarinda. Saya dapatkan data kerugian tidak kurang dari 1,5 trilliun rupiah hanya untuk kasus air saja.  

Apakah ini yang dimaksud upaya memiskinan rakyat secara sistimik?

Saya telah berkeliling ke daerah Kaltim, dari sana saya menyadari bahwa negara ini telah sengaja atau tidak mengundang investor asing atau lokal untuk melakukan pembunuhan atau genocide terhadap masyarakat di pedalaman dan sekitar wilayah tambang, yaitu dengan meracuni semua sungai dan perairan dengan logam berat dan lumpur agar mereka tidak punya sumber air minum. Bagaimana ini? Mengapa tidak ada gerakan dari penduduk asli?

Ternyata parah sekali. Apa kesimpulan Anda?

Sudah waktunya Kaltim menyatakan siaga satu atas dampak tambang. Tidak ada lagi sungai yang jernih, masyarakat miskin semakin dimiskinkan dengan semakin mahalnya kebutuhan dasar, air yang layak konsumsi. Adakah ini dipikirkan oleh Gubernur dan Bupati walikota sebelum mereka beri izin/rekom tambang????
Setiap produksi 1000 ton batubara menghasilkan limbah berbahaya 3 - 6 ton material yang mengandung logam berat yang masuk ke sungai, jadi kalau Kaltim memproduksi 120 juta ton kita terperangah betapa besar bahan pencemar masuk ke sungai di Kaltim pertahun? Bagaimana kalau terus menerus, sampai 15 tahun, ini adalah genocide!!!
Saya sudah dari utara, di sana ada satu sungai lagi bakal tidak bisa dijadikan bahan baku air minum. Sungai Malinau. Tambang mulai mengamuk, berapa lagi kerugian yang harus dipikul rakyat Kaltim untuk memenuhi kebutuhan dasar, air.

Menurut Anda, kehancuran ekologi saat ini apa masih bisa dilakuklan perbaikan? Misalnya reklamasi?

Berbicara masalah reklamasi seharusnya tahu dulu apa yang dinamakan dengan reklamasi tersebut. Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai kegiatan usaha pertambangan umum agar dapat berfungsi dan berdaya guna sebagai peruntukannya. Jaminan reklamasi sendiri adalah dana yang disediakan oleh perusahaan pertambangan sebagai jaminan untuk melakukan reklamasi di pertambangan umum. Jadi, reklamasi tidak mungkin bisa memulihkan.
Apalagi, sejauh ini yang namanya reklamasi belum ada yang menata siapa yang melakukan pengontrolan terhadap  perusahaan pertambangan, malah kalau kita lihat banyaknya peninggalan lubang raksasa yang ada saat ini, tanpa dilakukan reklamasi oleh perusahaan tersebut. Siapa yang menerima dana reklamasi dari perusahaan dan siapa yang melakukan kontrolnya; Apakah BLH  atau Distamben? Saya belum pernah melihat hasil dari reklamasi itu. Tidak mudah mengembalikan fungsi hutan tersebut, butuh waktu yang lama pastinya. Karena sampai saat ini belum ada berapa jaminan reklamasi semestinya yang diberikan setiap perusahaan untuk mengembalikan fungsi hutan dan ekosistem yang ada di dalamnya sebelum terjadinya eksploitasi.

Jadi, sebenarnya semakin besar investasi masuk ke Kaltim, kian mengancam kerusakan lingkungan yang lebih parah?

Nah, ini menarik. Menurut saya sesungguhnya kita tidak memerlukan investasi untuk mengekstrak sumber daya alam tidak terbaharukan. Ini harus direview atau ditata kembali sebelum semuanya menjadi lebih parah. Sebab investasi yang terjadi seperti batubara justru menimbulkan kerusakan lingkungan. Saya menghitung angka kerugian dari kerusakan lingkungan sekitar 8, 34 triliun rupiah. Dan ternyata itu terlalu kecil.
Kita ini kan berada di titik ironi. Saya ke Bontang dapat data bahwa setiap tahun PT Badak NGL menghasilkan uang dari ekspor LNG tak kurang dari 15,3 trilliun rupiah. Tapi tengok, ada sekitar 33 ribu warga sangat miskin disekitar pabrik.
Kemudian produksi KPC mencapai 70 juta ton, artinya menghasilkan uang sekitar 23 trilliun rupiah setahun. Dengan biaya produksi yang murah, masa jalan Sangata - Bontang tidak bisa mulus, alokasikan Rp500  milyar sudah lebih dari cukup. Kutim hanya dapat tidak lebih dari 1 triliun rupiah per tahun, Nah, 22 trilliun rupiah lagi punya siapa?
Waktu saya presense di Bappeda Kukar, saya katakan rakyat Kukar miskin 26,9%, walaupun APBD-nya hampir 5 trilliun. Ada ratusan tambang batubara di sana. Bagaimana bisa Kukar mencapai MDGs 2015? Tidak ada yang bisa menjawab.
Begitu juga Samarinda. Banyak tambang dekat pemukiman, jalan-jalan rusak, APBD tak sanggup memperbaiki jalan. Malah defisit. Dan ada peristiwa yang memilukan tenggelamnya tiga anak-anak di kolam tambang perusahaan batubara di Sambutan. Mestinya, keluarga yang anaknya tenggelam menjadi pintu masuk bagi perbaikan kinerja tambang. Bisa kita bayangkan kolam-kolam tambang yang dalam dekat pemukiman, tidak memiliki rambu-rambu bagi masyarakat sekitar terutama anak-anak untuk berhati-hati. Jelas tambang harus dipidanakan karena tidak respek terhadap masyarakat bahkan menganggap enteng dan murah nyawa.

Dalam gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, Anda memasukkan unsure kerusakan lingkungan yang harus dikompensasikan ke mata anggaran?

Kalau untuk mensejahterakan rakyat Kaltim sebanyak 3,33 juta orang, kita memang perlu solusi memasukkan komponen kerusakan SDA ke dalam faktor pembagi. Nah itu yang sedang kami lakukan. Dalam istilahnya economic extrality, karena selama ini belum pernah dilakukan. Di berbagai negara kerugian yang ditimbulkan oleh eksploitasi produksi SDA dimasukkan ke dalam faktor pembagi. Misalnya kita ini mendapatkan Rp9,2 triliun, ini harus dimasukkan dalam faktor pembagi, bagi hasil migas dan pertambangan atau nilai beban ekonomi yang timbul terhadap rumah tangga akibat ekploitasi, harus dijadikan salah satu faktor dalam untuk pembagian bagi hasil antar pusat dan daerah.
Salah satu aspek yang kita perjuangkan, agar pemerintah pusat memasukkan komponen penelitian ke dalam formula pembagian keuangan daerah ini. Karena selama ini setoran yang kita berikan ke pusat antara 100 sampai dengan 120 trilliun rupiah, namun yang kembali hanya sebesar 5 persen saja. Nah,  itulah yang harus kita perjuangkan, kalau perlu kita kelola sendiri dapur kita masa kita tidak mampu.
Dengan yang 5 persen itu hanya untuk mengganti kerugian saja, akibat yang ditimbulkan oleh eksploitasi, bukan untuk mensejahtrakan, belum sampai di situ, hanya sebatas pengganti agar investor yang ada lebih bisa mengembangkan sayapnya. Sudah seharusnya kita melakukan moratorium, kita hentikan semua tambang yang ada sebelum hal yang lebih buruk akan terjadi, karena dengan banyaknya tambang yang melakukan eksploitasi malah meningkat jumlah kemiskinan. Bukan kesejahteraan yang dicapai.*
-
Biodata:
Nama: Bernaulus Saragih
Lahir: 1 Juli 1968
S1.Fak kehutanan UNMUL
S2. Univ. Gottingen, Jerman
S3.univ Leiden Belanda
Jabatan: Kepala Puslit sumber daya alam UNMUL
                Ketua Tim Ahli Lingkungan JR MRKTB Kaltim
Editor in chief Journal naturakl life seience UNMUL
Staff pengajar Fak Kehutanan UNMUL
Berkeluarga 1 anak
Istri: Celiyani Spd
Pekerjaan: Guru SMK 5 SMD