Sabtu, 15 Agustus 2009

Merdeka

SAYA terkejut ketika pagi-pagi sekali membaca sebuah artikel bahwa ada sekitar 64 persen rakyat negeri ini masih berpenghasilan 2 Dolar AS per hari. Itu artinya, diusia Indonesia merdeka yang ke-64 tahun, telah menghasilkan sekitar 132 juta jiwa rakyat di bawah garis kemiskinan versi Bank Dunia.
Tentu saya tidak ikut mempersoalkan tingkat akurasi data itu sebagaimana sering dipertontonkan pemerintah yang berkuasa. Sebab itu tidak terlalu penting lagi kalau melihat realita bahwa masih banyak rakyat yang tidak punya tempat tinggal dan tidur di bawah kolong jembatan. Anak-anak bayi digendong orang dewasa sambil mengemis di simpang lampu merah. Dan ribuan rakyat yang antre tiap kali dibukanya loket untuk menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Angka-angka kemiskinan ini masih terus menghiasi dokumen negara. Pemerintah terus berusaha menekan mengarah perbaikan, tapi realitanya sepanjang tahun perbaikan yang telah dibuat terlalu rentan terpuruk kembali. Warga tergolong miskin terlalu sulit bangkit.
Pemerintah saat ini, sebenarnya sangat menyadari keterpurukan yang berkepanjangan ini disebabkan kecilnya perolehan negara dari sumber daya alam yang mengalami penghisapan dari konglomerasi asing. Tak mudah mewujudkan harapan sejumlah tokoh dan pakar ekonomi agar pemerintah merubah sistim kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing yang mendapat konsesi mengelola minyak dan gas serta hasil tambang lainnya.
Sebab yang terjadi saat ini, termasuk kemiskinan yang semakin besar itu, adalah buah dari sebuah ‘karya’ 64 tahun kemerdekaan itu. Para penguasa masa lalu telah terjebak dalam jargon kemerdekaan untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga terseret dengan irama politik barter, yakni meraih kemerdekaan dari penjajahan asing, dengan menyerahkan ‘kedaulatan’ sumber daya alam Indonesia yang melimpah kepada asing yang lain pula
Sumur-sumur minyak dan gas Indonesia, mengalir sangat jauh sampai ke negeri Paman Sam, tapi kita masih kekurangan bahan bakar untuk pembangkit listrik. Begitu pula batubara yang eksploitasinya terus makin ‘menggila’ kuantitasnya, setelah di era sebelumnya sumber daya hutan terkuras ke mancanegara.
Tak patut mencari kambing hitam lagi, karena kondisinya memang telah begitu. Yang ada sekarang adalah berpikir positif menyelamatkan kembali yang tersisa. Meraih kembali kedaulatan sumber daya alam Indonesia untuk kemakmuran anak negeri. Merdeka!!

HAM


KABAR datang dari Malaysia. Sekitar 20 ribu massa turun ke jalan-jalan di Kuala Lumpur, ibukota Malaysia. Mereka menuntut dihapuskannya undang-undang Keamanan Dalam Negeri, ISA, alias internal security act.
Menjadi kabar baik, tentu saja itu berlaku bagi kelompok pro demokrasi. Karena undang-undang ISA adalah bentuk pembelengguan demokrasi, di mana seorang warga negara Malaysia bisa dipenjara tanpa proses pengadilan. Singkat cerita, kalau penguasa tidak senang dengan seorang warga, dia bisa menangkap orang itu dengan alasan membahayakan keamanan negara. Penguasa bisa memenjarakan sekehendak hatinya, tanpa diadili apa kesalahannya.
ISA ini produk kolonial Inggris. Tahun 1948 saat tentara negeri itu menjajah Malaysia, muncul pergolakan politik dari Partai Komunis Malaysia, sehingga penguasa waktu itu mulai memberlakukan sebagai keadaan darurat. Tahun 1960, peraturan sementara itu dicabut karena partai komunis sudah dikalahkan.
Ketika transisi pemerintahan dari koloni Inggris ke Pemerintah Malaysia tahun 1960, ternyata penguasa transisi menghidupkan kembali ISA. Malah pemberlakuannya tak lagi sekedar dalam keadaan darurat, tapi malah menjadi undang-undang yang dipermanenkan.
Sudah berapa banyak warga sipil yang dipenjara dengan undang-undang itu? Sebuah tulisan di sebuah website tentang ISA menyebut kalau pada era 1960-an saja sedikitnya 4.000 warga sipil Malaysia yang dipenjarakan tanpa melalui pengadilan. Undang-undang itu telah membuat kalangan aktivis, mahasiswa, wartawan, tidak berani menyuarakan hal yang menentang kebijakan pemerintah.
Selain Malaysia, Singapura juga memiliki undang-undang sejenis ISA itu. Bahkan Indonesia hampir saja mengadopsi dengan adanya Kopkamtib pada tahun 1970-an. Di era Kopkamtib yang memberlakukan pemberantasan premanisme, telah menjurus pada pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) karena aparat negara melakukan penangkapan dan tembak mati terhadap para preman yang dianggap meresahkan masyarakat.
Pekan tadi, publik Indonesia menyaksikan bagaimana polisi bernama Densus 88 mengepung rumah yang diklaim sebagai tempat para teroris yang dipimpin Noordin M Top. Rumah di tengah sawah di Desa Beji Kabupaten Temanggung Jawa Tengah itu diberondong peluru bahkan diledakkan. Suasananya seperti perang dan disiarkan langsung oleh berbagai stasiun televisi. Dan, ternyata dalam rumah tersebut hanya ditemukan satu orang yang diklaim sebagai anggota teroris.
Publik tidak tahu apa dosa korban yang diklaim sebagai anggota teroris itu, karena dia sudah mati. Tidak pernah terlintas terpikir oleh pemimpin negeri ini untuk menangkap hidup-hidup pelaku dan biarkan pengadilan memvonis mati kalau memang terbukti dia pelaku terorisme di tanah air.
Akhirnya kita menyaksikan lagi kekerasan kekuasaan terhadap masyarakat sipil. Terlepas apakah benar pelaku yang mati tertembak itu anggota teroris, masyarakat Indonesia sudah disuguhi pelajaran bahwa atas nama negara, keamanan, aparat boleh melakukan pembunuhan. **

SBY-Soeharto


SEBUAH pesan datang ke ‘dinding’ facebook saya. Isinya adalah tanggapan tentang kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang fantastis, meraih suara di atas 60 persen dan menobatkannya sebagai Presiden RI kedua kali hanya pada satu putaran saja.
Kata si pembuat pesan itu; “lihat, lama-lama wajah SBY mirip Soeharto”.
Saya hanya tersenyum. Ada-ada saja pikiran orang menolak SBY, kata hati ini. Sebab saya adalah termasuk pendukung SBY dan di jari kelingking masih tersisa noda tinta gara-gara mencoblos SBY-Boediono.
Tapi di situasi yang lain ketika kebetulan berpas-pasan dengan foto SBY, kok jadi kepingin menyimak betul-betul wajah itu. Dan ternyata hati kecil membenarkan mulai ada kemiripan antara SBY dengan Soeharto.
Bukan bermaksud menyarankan pembaca untuk menyimak wajah kedua Presiden RI di era berbeda itu. Sebab kesamaan yang dirasakan ada pada begitu tingginya ’nilai’ seorang SBY, sehingga mengarah pada pengkultusan yang berlebihan. Sama ketika Soeharto berkuasa, semua mengarah pada satu titik ’budaya’ saja; ”mohon petunjuk Bapak?”
Soeharto telah menjadi pemegang dominasi kebijakan, yang mengecilkan peran legislatif, menjauhkan aspirasi rakyat. Itu sebab ia mendapat julukan penguasa otoriter di negeri Pancasila.
Penyebab semua itu adalah terjadinya pengkultusan di luar kelaziman, akibat sistim politik yang ada. Sistim politik tiga partai telah menempatkan Golkar sebagai single majority (mayoritas tunggal), sehingga partai lainnya PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) meskipun jumlah suara mereka digabung hanya ada sekitar 20-30 persen. Sedangkan Golkar berkuasa dengan angka di atas 70 persen.
Golkar adalah Soeharto, sehingga tak ada kekuatan lain yang bisa mengalahkannya melalui Pemilu. Ia baru turun tahta ketika rakyat berusaha menurunkan, yakni ketika mahasiswa berdemonstrasi dan mengepung Gedung DPR RI tahun 1997 silam.
SBY juga menang Pilpres dengan angka di atas 60 persen dengan pesertanya tiga pasang kandidat juga yaitu Megawati-Prabowo, SBY-Boediono dan JK-Wiranto. Ia menjadi pemegang mandat ’mayoritas tunggal’ juga walau dalam era yang berbeda.
Saat bersama dengan Jusuf Kalla, kepemimpinan SBY memang tidak terlihat ’mayoritas tunggal’ karena Jusuf Kalla tak mau hanya sekedar menjadi ’ban serep’. Ia melejit dengan gaya dan caranya yang ceplas-ceplos dan cepat, sehingga banyak yang menyebut pasangan ini sebagai ‘dwi tunggal’. Saking agresifnya Jusuf Kalla, banyak yang memperkirakan kalau pasangan itu sebenarnya tidak harmonis di dalam Istana Kepresidenan.
Bagaimana saat SBY dengan Boediono yang kalem?
Tidak elok memang untuk berpikir negatif atas pasangan yang belum dilantik dan belum bekerja ini. Walau muncul kekuatiran bangkitnya budaya pengkultuasan berlebihan di era Soeharto, serta tumbuhnya lagi budaya ’mohon petunjuk bapak’, tugas rakyat adalah sebatas bersama-sama mengingatkan agar sejarah buruk masa lalu tidak terjadi lagi. Amin... **

Listrik


MANTAN Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Bambang Harry Murti, menantang wartawan di Kalimantan Timur. Kali ini bukan ‘tantangan’ soal jurnalistik, tapi bagaimana wartawan berperan agar listrik tidak byarpet lagi pada tahun 2010. “Bulan Juli tahun 2010, saya ke sini lagi dan kita lihat apakah persoalan listrik sudah selesai,” kata Bambang dalam suatu acara dengan para wartawan.
Sebelumnya anggota Dewan Pers itu mencibir tentang besarnya sumber daya alam yang dimiliki daerah ini, tapi masih mengalami krisis energi listrik. Wartawan lokal, menurut Bambang, bisa berperan mendorong dan berjuang untuk meluruskan kebijakan bidang energi itu.
Pertanyaannya; mengapa kebijakan energi listik perlu diluruskan dan mengapa wartawan dianggap berperan?
Sebenarnya, ini persoalan sederhana. Kalau saja kebijakan bidang energi seperti minyak dan gas tidak jor-joran diekspor untuk memenuhi kebutuhan orang asing. Begitupula batubara dan jaman sebelumnya adalah kayu tegakkan di hutan. Logisnya, penuhi dulu kebutuhan dalam negeri dan baru sisanya dijual ke asing.
Tapi pemerintah Indonesia tak mematuhi persoalan sederhana ini. Sejak jaman Orde Baru, pemerintah pusat cenderung memanfaatkan kekuasaannya untuk ’menjajah’ orang daerah secara pemikiran. Orang daerah tidak pernah diajak merundingkan untuk apa sumber daya alam yang ada di perut bumi itu.
Yang berpikir normal dan rasional pasti geli; punya hutan yang luas, tapi hampir diseluruh kabupaten / kota masyarakatnya sulit mendapat bahan baku kayu untuk membangun rumah sendiri. Punya kilang Migas dan batubara yang sangat besar, tapi tidak digunakan untuk pembangkit listrik sehingga masyarakatnya hidup dalam kegelapan.
Ini salah urus, karena model demokrasi masa lampau yang tidak memberikan kesempatan orang daerah - sebagai stakeholder atas segala sumber daya alam - berpikir tentang kebutuhannya. Pemerintahan yang waktu itu cenderung otoriter menjadikan semua sistim bernegara menjadi sentralistis. Daerah didikte pusat.
Memasuki era reformasi, daerah baru menyadari kalau semua sumber daya alam yang ada di perut bumi suatu daerah ternyata sebagian besar sudah ”diberikan” pengelolaannya kepada para pengusaha asing. Kontrak yang panjang tak bisa diputus di tengah jalan. Hasilnya; masyarakat marah karena tinggal di negeri kaya sumber daya alam, tapi menderita kekurangan energi.
Kesalahan tak boleh diulangi dan wartawan bisa menjadi pendorong perbaikan dari kebijakan masa lampau itu. Meluruskan kembali kebijakan bidang energi demi kepentingan rakyat Kaltim. Ayo!!*

Partai Tua


AKHIRNYA Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presidenku kedua kalinya. Berganti pasangan dari Jusuf Kalla kepada Boediono, tak berpengaruh banyak. Benar sinyalemen para pengamat, siapapun pasangannya SBY tetap menang.
Kemenangan SBY-Boediono – walau masih sebatas quick count karena real count masih menunggu pengumuman KPU (Komisi Pemilihan Umum) – memberikan keyakinan sudah berakhirnya kekuasaan partai-partai tua. Sejak kelahiran Golkar 20 Oktober 1964 atau sejak 45 tahun silam, Golkar yang awalnya berupa Sekretariat Bersama (Sekber) 97 organisasi yang berafiliasi, selalu dimanjakan oleh kekuasaan. Tidak pernah lepas dari pemerintahan. Pemilu tahun 2004 adalah masa terakhir partai Orde Baru era Presiden Soeharto ini tampil jadi pemenang.
PDI Perjuangan tak tergolong partai tua memang. Tapi berdirinya partai itu merupakan pembaruan atau pecahan dari partai tua Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang selalu bersama-sama Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak dimulainya Orde Baru. PDI Perjuangan berdiri setelah peristiwa 27 Juli 1996 dan menang Pemilu pada 1999.
Zaman sudah berubah, adanya pembaruan dalam undang-undang mengenai Pemilu telah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasi politik dengan banyak pilihan. Dan kesempatan itu sudah diberikan kepada Partai Demokrat yang menang dalam Pemilu legislatif tahun 2009. Rakyat sudah bergerak meninggalkan partai-partai tua.
Begitu pentingnya peranan partai dalam menentukan kehidupan masyarakat. Bahkan semua kondisi yang terjadi saat ini, misalnya menyangkut besarnya angka kemiskinan, tingginya jumlah pengangguran, utang luar negeri yang terus membengkak dan tergadaikannya sumber daya alam untuk asing, adalah akibat salah urus dari pemerintah yang berkuasa. Dalam sistim kita, pemimpin tertinggi pemerintahan adalah pejabat politik yang diutus partai pemenang Pemilu.
Hadirnya Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009, merupakan amanat rakyat yang tak boleh disia-siakan. Sebab tugas teramat berat, yakni membenahi warisan kekuasaan sebelumnya yang sudah terlanjur salah urus. Pesta sudah selesai dan pekerjaan sudah menumpuk di depan mata.
Adalah tepat untuk mereview kembali Indonesia, terutama dari sisi ekonominya. Kekuatan sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah dan kesalahan kebijakan masa lampau dari pengelolanya.
Rakyat membutuhkan tempat tinggal yang layak, biaya kesehatan dan pendidikan gratis sehingga tak ada lagi anak-anak terlantar di bawah kolong jalan tol kota Metropolitan. Saatnya mengembalikan kedaulatan SDA untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Bagi partai-partai tua, sebaiknya memang menjadi oposisi. Menjadi ’penggonggong’ jika ternyata kebijakan pemerintahan yang baru menghasilkan kondisi lebih buruk ketika mereka menjadi penguasa. **

Presiden


TANGGAL 8 Juli 2009 rakyat Indonesia memilih Presiden dan Wakil Presiden di bilik suara dengan cara mencontreng. Sore hari itu juga, hasilnya sudah bisa disaksikan melalui penghitungan cepat (quick count) yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga survei. Sudah terbukti, tingkat kesalahan quick count di berbagai Pilkada gubernur, walikota dan bupati, kecil sekali.
Dalam tulisan ini, saya tidak membicarakan soal akurasi quick count itu. Tapi lebih menyangkut apa pilihan rakyat yang sesungguhnya. Sebab, jika ditinjau dari kemampuan, popularitas, rasanya semua sama saja. Hanya gaya masing-masing calon presiden dan cawapres yang berbeda-beda.
Dari debat Capres dan Cawapres yang dilaksanakan ’berseri’ dan disiarkan stasiun televisi, dalam sudut pandang saya, masing-masing punya keunggulan. Hampir semua harapan saya agar Indonesia lebih baik juga terwakili. Hanya sayangnya, tak ada yang terwakili semuanya pada satu kontestan, tapi ketiganya.
Saya tertarik dengan pasangan Megawati-Prabowo, ketika Prabowo mengungkit sentimentil kerapuhan pertahanan ekonomi Indonesia, dengan membiarkan sumber daya alam dikuasai oleh korporasi asing. Prabowo yang anak begawan ekonomi Sumitro Djoyohadikusumo percaya harga diri bangsa Indonesia menjadi rapuh, karena rakyatnya miskin. Prabowo membawa wacana baru tentang porsi pembangunan selama ini yang tidak memihak petani dan nelayan.
Dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono, saya memperoleh keyakinan kalau pasangan ini bertekad meneruskan ’pemerintahan bersih’. SBY menonjol sekali dalam hal pemberantasan korupsi dan hal itu sudah terbukti. Rakyat Indonesia juga percaya, korupsi adalah penyakit bangsa yang menjadi salah satu sumber terjadinya kemiskinan di negeri ini.
Apa yang ’terwakili’ dari pasangan Jusuf Kalla – Wiranto?
”Kemandirian” telah menjadi ”barang jualan’ andalan JK-Win. Mulai dari aksi buka sepatu bermerek JK collection di stasiun televisi sampai dengan tekadnya membawa kemandirian dengan cara mencintai produk Indonesia. Kalla optimistis dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih 270 Juta jiwa adalah pasar yang prospektif. Tinggal dibarengi dengan kebijakan yang menahan laju masuknya barang impor dan memberikan suntikan ’vitamin’ pada produk negeri sendiri.
Tiga pasangan dengan tiga konsep. Jika saja semua pasangan sepakat mengadopsi masing-masing konsep jika nanti tampil menjadi pemenang, barangkali semua terwakili. Bukankah ujung-ujungnya dari semua konsep itu adalah kemakmuran dan kesejahteraan rakyat?
Tetapi faktanya, para pemimpin negeri ini tak semua mau menerima ’konsep-konsep’ dari luar - apalagi bersumber dari musuh politiknya -- ketika telah menjadi pemenang dan berkuasa. Lebih celaka lagi kalau para calon pemimpin yang bertanding ini saling bermusuhan, tidak mau bersalaman dan menerima kekalahan sepanjang era kepemimpinan. Semoga pemimpin kita yang akan datang tidak lagi bermental seperti itu. **

Produk Lokal


CINTAI produksi dalam negeri. Itulah yang berkumandang saat krisis ekonomi melanda seluruh dunia. Masing-masing negeri, berusaha mengencangkan ‘ikat pinggang’ dan membangkitkan kecintaan terhadap produksi dalam negeri.
Di negeri sendiri yang kebetulan segera menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, gaung cintai produksi dalam negeri juga membahana. Tidak ada calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak setuju soal ini. Bahkan sampai ke tingkat provinsi, kabupaten dan kota serta ke pelosok desa. Semua secara serentak berkata; ”ayo pakai produksi dalam negeri”.
Ini momentum luar biasa untuk membangkitkan rasa kebangsaan, sekaligus kebanggaan atas karya anak bangsa sendiri. Mulai soal kebutuhan pakaian, sepatu, makanan, sampai kebutuhan elektronik yang baru sebatas bisa dirakit di negeri sendiri.
Bukankah Indonesia termasuk negeri yang punya market luar biasa besarnya. Dengan penduduk sekitar 270 Juta jiwa, barang produk lokal (mestinya) punya masa depan cerah. Bisa menjadi tuan di negeri sendiri.
Saatnya mengatakan tidak kepada produk-produk luar negeri. Mulai dari makanan cepat saji yang ternyata tak lebih nikmat dari makanan lokal - yang bumbunya dikerjakan oleh tangan sendiri, sampai dengan barang-barang komsumsi sehari-hari lainnya.
Pejabat pemerintah juga tak cukup hanya memberi contoh memakai produksi dalam negeri serta menguraikan dengan kata-kata imbauan saja. Tapi lebih jauh dari itu, yakni keberanian dengan memunculkan kebijakan yang mendukung semua itu. Apalah artinya imbauan, jika kebijakan tak senafas dengannya.
Inilah sebenarnya kebijakan yang pro rakyat. Yang sering dibicarakan para calon presiden ketika berkampanye tentang membangkitkan ekonomi kerakyatan. Paham yang sering dikait-kaitkan sebagai lawan dari faham neoliberal.
Apapun pahamnya, sebenarnya cinta produk dalam negeri sudah mesti dilakukan sejak rezim Soeharto berkuasa. Tapi kran ’pasar bebas’ terburu-buru dibuka, sehingga karya anak bangsa tenggelam oleh barang-barang impor, sekaligus juga mematikan imajinasi para pengrajin dan pengusaha produk lokal. Kebijakan Indonesia waktu itu memihak sekali masuknya barang-barang dari luar negeri.
Kebijakan apa yang diperlukan untuk membangkitkan industri lokal? Salah satunya bisa dicoba dengan menetapkan pakaian dinas para PNS dan juga pegawai kantoran swasta. Misalnya di Kaltim dengan menerapkan memakai baju batik Kaltim, bila perlu selama tiga atau empat hari kerja. Kita bisa menghitung dampaknya bagi industri kerajinan batik lokal, karena tingginya permintaan.
Begitu pula dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Perlu perenungan dari para pemimpin negeri untuk membatasi pengiriman ke luar negeri SDA yang ada seperti batubara dan hasil tambang lainnya. Bahkan perlu pengkajian lagi mengapa kita harus menghancurkan hutan untuk dibangun kebun sawit agar bisa mengekspor crude plam oil (CPO). **

Kelalaian Kita


BERGERILYA lagi ke situs-situs dan berbagai milis (mailing list) yang lama saya tinggalkan sejak gandrung dengan facebook, ternyata menjadi kegiatan menyenangkan. Saya memperoleh lagi informasi yang tengah terjadi di negeri ini. Tentu yang dimaksud adalah informasi yang tidak ada dalam berita-berita media massa.
Manohara dan Prita Mulyasari paling banyak jadi topik bahasan. Ada pula soal “Blok Ambalat” yang menimbulkan ketegangan orang-orang Indonesia kepada Malaysia. Yang menarik adalah bahasan Chappy Hakim, mantan Kepala Staf TNI AL. Sejak pensiun dengan pangkat terakhir Marsekal, ia fokus menulis diberbagai blog internet dan websitenya sendiri; chappyhakim.com.
Chappy membuat judul tulisannya; Ambalat? Terima Kasih Malaysia! Ini sungguh berbeda dengan reaksi berlebihan sebagian publik Indonesia yang menyerukan perang. Inti pendapatnya adalah Indonesia harus berterima kasih kepada Malaysia yang telah memprovokasi tentara Angkatan Laut (AL) kita. Berterima kasih karena diingatkan untuk membangun Angkata Perang yang kuat, dengan kelengkapan Alutsista (Alat Utama Sistim Senjata).
Saya tidak ingin terlalu jauh mengungkit soal Angkatan Perang RI yang tidak pernah ditambah powernya agar gagah perkasa, tapi lebih suka membahas kelalaian para pemimpin negeri ini ketika mengambil kebijakan dan membuat undang-undang.
Dua persoalan yang mengesankan pemerintah lalai. Yakni soal kebijakan militer yang membuat tentara kita mudah diprovokasi oleh Tentara Diraja Malaysia seperti saat ini dan kasus Prita Mulyasari yang mengekang kebebasan mengeluarkan pendapat.
Untuk urusan militer sering dikritisi mengapa kekuatan terbesar ada di TNI AD, bukan di TNI AL padahal jelas-jelas Indonesia ini negara maritim dan ancaman terbesar dari negeri tetangga.
Kelalaian kedua menyangkut Prita Mulyasari, yang dituduh melanggar UU ITE Nomor 11 tahun 2008. Pada Pasal 27 ayat (3) disebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Prita mengirim email tentang keluhan yang dialaminya terhadap pelayanan RS Omni Internasional Alam Sutera Bintaro Tangerang kepada temannya. Itu artinya dia berhak berkeluh kesah. Mestinya yang ditangkap – sesuai pasal itu – adalah orang lain yang tidak berhak mendistribusikan.
Pemerintah lalai membiarkan UU ITE ini menjadi alat mengekang kebebasan berpendapat, terutama konsumen yang merasa dirugikan oleh kekuatan korporasi (pengusaha). Tak salah kalau UU itu disebut-sebut sebagai perpanjangan tangan sistim kapitalistik. Meski sistim kita Pancasila, praktiknya masih kapitalis. **

Cinta


TIGA perempuan bikin heboh republik ini. Pertama; Rani Juliani (22), caddy lapangan golf yang menjadi saksi kunci ditangkapnya Antasari Azhar atas tuduhan sebagai pelaku intelektual pembunuhan pengusaha farmasi, Nazaruddin. Rani diduga terlibat cinta segitiga dengan Antasari dan Nazaruddin.
Kedua Manohara Odelia Pinot (17) yang lari setelah merasa disekap dan disiksa oleh suaminya yang seorang pangeran Kesultanan Kelantan Malaysia Barat. Ini adalah kisah cinta pula, yaitu dua sejoli yang berbeda bangsa dan status, sampai akhirnya retak karena ada kekerasan dalam rumah tangga.
Sedangkan perempuan ketiga Prita Mulyasari (32). Nama terakhir ini sedang berjuang di Pengadilan Negeri Tangerang akibat sebuah email yang dikirimnya dianggap menjelek-jelekkan sebuah rumah sakit di Jakarta.
Ketiga perempuan itu telah hinggap di hati publik dengan masing-masing karakter. Yang ironis adalah Rani Juliani. Mahasiswi yang dikabarkan sedang hamil itu tak pernah muncul di depan umum. Padahal semua media massa mengkaitkan dirinya dalam kasus cinta segitiga yang berakhir pembunuhan suaminya itu.
Seorang wartawan dari Jakarta mengatakan kepada saya; kalau saja Rani Juliani mau, maka ia bisa kaya raya. Yaitu dengan menggugat semua media massa yang memberitakan tentang dirinya, namun tidak pernah mendapat konfirmasi untuk keseimbangan berita. Keseimbangan adalah kewajiban sebuah pemberitaan dan Rani bakal menang di pengadilan. Simak, berapa ribu media yang memberitakan dirinya dengan tuduhan-tuduhan yang menjelekkan nama baiknya? Tiap media didenda Rp1 juta saja, maka Rani bisa mengantungi miliaran rupiah.
Bagaimana dengan Manohara, perempuan yang sedang berada di puncak popularitas di negeri ini? Ia adalah orang beruntung karena diperistri seorang pangeran dari Kesultanan Kelantan Malaysia Barat. Kehormatan, status sosial, materi, dia bisa miliki secara instan. Hanya saja ia terlalu muda untuk menikmati semua itu, sehingga diusia perkawinan yang tak sampai setahun sudah terancam bubar.
Prita Mulyasari adalah perempuan yang berbeda dengan Rani maupun Manohara yang menjadi populer karena terkait kisah cinta. Nasib Prita, ibu muda ini, menggugah simpati karena menjadi tahanan dan disidang oleh pengadilan usai berkeluh kesah tentang pelayanan sebuah rumah sakit melalui internet.
Tidak heran kalau kasus Prita lebih menyentuh segenap petinggi di negeri ini. Karena siapa saja bisa mengalami nasib serupa ketika menuliskan opini atau pendapat di media internet. Prita tengah berjuang untuk mencapai kebebasannya. Kalau saja ia dibebaskan, maka tentu menjadi yurisprudensi bagi puluhan juta rakyat Indonesia yang biasa menulis di dunia maya.
Lantaran itu tak mengherankan kalau Prita lebih bertabur ’cinta’, terutama dari publik yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat di negeri ini. Semoga ’cinta’ itu pula yang menjadi kekuatan membebaskannya. **