Jumat, 29 Agustus 2008

Keluarga


Oleh: Charles Siahaan

MUSIM kampanye calon legislative sudah tiba. Seiring dengan dimulainya pendaftaran oleh 38 partai politik, spanduk, selebaran yang mencantumkan foto-foto kandidat caleg juga muncul bak jamur di musim hujan.

Surat kabar termasuk yang laris manis menjadi ajang promosi. Termasuk juga majalah dan radio yang dianggap menjadi media efektif untuk pencitraan seseorang. Pendek kata, saat ini jamannya sedang TP alias tebar pesona.

Saya ditanya oleh seseorang yang ingin melaju ke bursa caleg tingkat nasional. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya mencitrakan dirinya agar dikenal dan memiliki daya pikat di masyarakat.

Tentu ini bukan pekerjaan mudah. Walau saya tahu jawabannya adalah upgrade reputasi dan prestasi. Caranya bisa melalui media massa sebagai sarana yang paling efektif walau tak berbiaya murah.

Sebuah kegiatan bernama upgrade sendiri memerlukan kreatifitas yang tajam. Tidak cukup dengan cara selalu tampil berapi-api menentang program-program pemerintah atau dengan menunjukkan sikap sosial membantu sarana dan prasana di kampung-kampung seperti menyumbang semen untuk perbaikan jalan.

Saya jadi teringat bagaimana seorang Barack Obama melaju di penyisihan partai Demokrat dan akhirnya masuk medan konvensi mengalahkan Hillary Clinton. Obama yang berusia 46 tahun menjadi begitu digandrungi, bukan saja dari mereka yang berkulit hitam, tetapi juga kelompok kulit putih lainnya. Termasuk kalangan perempuan, anak-anak jalanan dan juga warga di seluruh dunia.

Barack Obama telah menjadi fenomenal. Ia hadir untuk menjawab keragu-raguan bangsa di seluruh dunia bahwa jangan pernah bermimpi melihat seorang kulit hitam menjadi presiden di Amerika Serikat. Jangan pernah mengira bahwa bangsa Amerika tidak menyukai tokoh kulit hitam.

Obama telah berhasil merebut hati para keluarga di Amerika dan seluruh dunia. Latar belakang keluarganya yang terpecah akibat perceraian perkawinan justru menjadi sumber kekuatan Obama sebagai seorang figur yang sangat memahami persoalan antarbangsa.

Persoalan keluarga ternyata memang mampu dikemas oleh Obama menjadi bagian yang membangkitkan simpati. Ia memulainya dari media online alias website yang menghadirkan dirinya bersama istri dan dua orang anaknya. Jelas sekali, begitu mengunjungi situs Obama, maka yang muncul adalah persepsi kita bahwa inilah keluarga yang bahagia.

Ya, keluarga. Itulah salah satu cara untuk mengupgrade seseorang agar dicintai oleh rakyatnya. Sama seperti untuk para caleg itu, alangkah indahnya kalau sejak dini popularitas dibangun dengan menunjukkan kepada publik bahwa caleg itu adalah seorang yang berhasil membangun keluarga bahagia. *

Merdeka

Oleh: Charles Siahaan

Selama lima tahun terakhir, saya selalu membuat catatan menyambut hari Kemerdekaan RI. Tahun ini pun - ketika bumi Nusantara merdeka berusia 63 tahun, sayang rasanya untuk tidak menumpahkan segala uneg-uneg yang sedang dialami bangsa ini.

Hari Kemerdekaan yang jatuh pada hari Minggu tadi bertepatan pula dengan dimulainya partai-partai politik mendaftarkan calon legislatif ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di daerah, hiruk pikuk juga terjadi mulai dari pengurusan administrasi surat keterangan kelakuan baik di kantor polisi sampai keterangan sehat.

Berbarengan dengan itu para politisi juga memulai kampanyenya, terutama mengenai program yang akan diperjuangkan kelak jika duduk sebagai anggota DPR. Umumnya para politisi itu mengangkat persoalan kemiskinan yang menurut sisi pandang mereka tak kunjung membaik.

Tema kemiskinan itu nyaris sama dengan keluhan saya lima tahun lalu. Bahkan sejak 20 tahun silam ketika Presiden Soeharto berkuasa. Di jaman Soekarno dan penjajahan Belanda atau Jepang, kondisinya lebih parah lagi.

Mengapa tema kemiskinan selalu diupdate? Saya jadi teringat dengan para artis yang rame-rame terjun ke politik. Ternyata umumnya para selebriti itu juga tertarik untuk mengatasi kemiskinan dengan visi yang diyakini para artis itu paling benar. Dari sebagian besar pernyataan para artis itu akhirnya memberi kesimpulan kalau isinya; kosong. Mereka sangat diragukan mampu membawa negeri ini menjadi lebih baik.

Kemiskinan telah menjadi komoditas politik. Alat retorika yang tak perlu dipertanggungjawabkan kelak ketika publik telah memilihnya ke kursi kekuasaan. Setiap perayaan hari Kemerdekaan, isu itu berulang dan biasanya disertai kalimat tambahan; itu bukti rakyat Indonesia belum merdeka.

Kemiskinan dan kemerdekaan seringkali dikait-kaitkan. Warga Indonesia yang tinggal di pedalaman selalu berkata kalau mereka belum merdeka. Mereka seperti hidup di pengasingan yang tak terjangkau akses jalan darat dan tidak ada alat-alat komunikasi. Itu sebabnya tiap merayakan hari kemerdekaan kita masih membicarakan kemiskinan. Kita memang belum benar-benar merdeka. *

Tokoh Muda

Oleh: Charles Siahaan

ACARA Musdalub Golkar, 3 Agustus 2008, di Hotel Blue Sky Balikpapan, diwarnai munculnya tokoh-tokoh baru, yang muda, berwawasan, berduit. Diantara sejumlah wajah para senior, anak-anak muda itu kentara sekali berusaha masuk ‘menguasai’ medan. Beberapa aktivis mahasiswa yang dulu sering demonstrasi di jalanan simpang Vorvo Samarinda dan Gedung DPRD Kaltim juga tidak malu-malu lagi mengenakan baju kebesaran Partai Golkar, kuning.

Tak bisa dipungkiri, itulah bukti adanya perjalanan waktu yang telah membentuk regenerasi. Sangat terasa laju generasi muda yang mengusung tema pembaharu semakin cepat gerakannya. Bahkan terkesan meletup-letup.


Pergolakan batin tengah terjadi di mana kelompok tua dianggap sebagai generasi yang gagal membangun negeri – terutama lantaran masih besarnya angka kemiskinan – tapi masih berusaha menjadi ‘nakhoda’ negeri. Sedangkan anak-anak muda merasa tiba waktunya untuk menggantikannya.

Pergolakan itu di mana-mana. Di pemilihan ketua RT, di perkumpulan-perkumpulan, di organisasi massa dan juga partai politik. Seperti yang terjadi di tubuh Golkar, adu kekuatan tokoh muda dan tua juga menjadi lebih terasa.

Di seluruh negeri, ketika rakyat sedang membicarakan siapa calon presiden pada tahun 2009, nyaris sedikit sekali wajah baru yang muncul. Yang ada adalah Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Jusuf Kalla, dlsb.

Fakta itu yang semakin membakar semangat generasi baru. Misalnya Rizal Mallarangeng dengan ikonnya "RM 09" dengan penuh percaya diri menyatakan niatnya untuk maju dalam pertarungan Pemilihan Presiden 2009 mendatang.

Adik kandung Andi Alfian Mallarangeng itu menumpahkan uneg-unegnya; bahwa latar belakang keinginannya untuk maju, karena sudah bosan dengan
tokoh-tokoh yang ada.
"Ya saya bicara bukan atas Rizal pribadi. Tapi
sebagai generasi. Saya menghormati, SBY, Megawati, Gus Dur, Sultan dan
Amien Rais. Tapi, ya jangan cuma mereka saja. Kalau negara lain bisa
memunculkan tokoh-tokoh baru, kenapa Indonesia tidak?
Setelah 10 tahun
kok Gus Dur, Amien Rais aja," kata Rizal.

Ya, partai Demokrat di Amerika Serikat bisa melahirkan tokoh muda Barack Obama, mengapa partai-partai di Indonesia masih berkutat dengan tokoh tua?

Lowongan Politisi

Oleh: Charles Siahaan

ADA lowongan pekerjaan. Namanya; politisi. Yaitu pekerja politik yang kalau mujur bisa duduk sebagai Bupati, Gubernur bahkan Presiden. Bagi pemula, ya coba-coba saja menjadi anggota DPRD Kota / kabupaten.

Seorang teman dengan antusias bercerita tentang bagaimana ia membangun partai. Duit, waktu dan perhatian terhadap keluarga menjadi berkurang karena seringnya menghadiri rapat-rapat partai sampai malam hari. Apalagi, partai yang dipimpinnya adalah baru.

“Waktu kami buka pendaftaran menjadi calon legislatif, wah luar biasa yang mendaftar,” ujar teman tadi. Digambarkannya sejumlah tokoh yang selama ini aktif di Parpol-parpol terkenal ikut masuk ke parpol baru itu.

Di era pemberantasan korupsi yang begitu keras – dengan ditangkapnya sejumlah politisi di negeri ini – ternyata lowongan pekerjaan menjadi politisi masih sangat diminati. Tidak sedikit para pengusaha, guru, dosen dan aktivis yang ingin beralih kerja dengan terjun langsung menjadi pekerja politik. Kebetulan, pendaftaran sedang dibuka karena ada 34 partai politik yang sedang mencari kandidat anggota DPRD pada Pemilu 2009 nanti.

Ada sejumlah alasan mengapa seseorang memilih bekerja politik. Salah satu yang paling paten adalah ingin mengabdikan diri kepada negara, rakyat. Ingin berbuat bagi negeri agar rakyat mendapat kesejahteraan, pendidikan memadai dan hidup makmur. Amin.

Begitu tinggi dan mulia pekerjaan seorang politisi, sehingga muncul pertanyaan apakah seorang pedagang bakso, buruh bangunan, pegawai perusahaan swasta, wartawan, merupakan pekerjaan mulia juga?

Tentu banyak yang setuju ada tingkatan kemuliaan yang lebih sehingga mengapa banyak yang memilih menjadi politisi. Sebab pekerjaan itu mendekatkan seseorang dengan kekuasaan. Dalam bahasa sehari-hari membuat seseorang berada di lingkaran tingkat atas, jetset, dlsb.

Lantaran berada di lingkaran kekuasaan, maka risiko pun semakin besar. Kekerasan dunia politik membuat seseorang dengan mudah melejit, tapi bisa dengan mudah terpeleset dan jatuh ke jurang. Lebih mengerikan lagi kalau pada akhirnya berbuntut pada tindakan penyalahgunaan wewenang yang masuk katagori korupsi. ”Kalau pengusaha menyalahgunakan wewenang tidak terkena kasus korupsi. Tapi kalau politisi yang menjadi pejabat negara, bisa ditangkap korupsi,” ujar teman tadi.

Karena bayangan kenyamanan dan kekerasan dunia politik itu, kini tidak semua para ketua partai mau mengejar posisi sebagai anggota DPRD atau bupati/walikota dan gubernur. Mereka lebih aman berada di jalur swasta, tapi tetap punya akses dan jaringan politik untuk menguatkan posisinya.

Ya, jaman sudah berubah, kini lowongan politisi tak harus memaksa seseorang masuk lebih dalam. Banyak diantara ketua partai kini mengabdi di partai saja tanpa harus memasuki jabatan publik di pemerintahan. *

Inlander

oleh: Charles Siahaan

AMIEN Rais marah dengan kondisi bangsa ini. Ia menumpahkannya dalam sebuah buku “Selamatkan Indonesia”. Dalam sebuah kalimat ia menyebut penderitaan berkepanjangan yang diderita bangsa ini, adalah akibat mentalitas inlander para elite politik dan pemerintahan kita.

Mentalitas inlander boleh diartikan sebagai sikap bangsa Indonesia yang menerima penjajahan oleh Belanda (asing). Mental rendah diri menghadapi orang asing yang datang menjajah dan menguasai sentra-sentra ekonomi. Termasuk juga mental melakukan korupsi, sehingga negeri ini kian terpuruk.

Saya jadi ingat para pendiri negeri ini ketika memberikan izin-izin pertambangan minyak dan gas serta batubara. Apakah waktu itu para stakeholder negeri ini memang seperti dituduhkan Amien Rais; bermental inlander. Sehingga para penguasa tak kuasa untuk menolak tawaran asing yang menginginkan sumber daya alam Indonesia dengan rayuan memajukan investasi Indonesia.

Bangsa Indonesia memang sudah masuk dalam jebakan bangsa asing. Hukum kita, undang-undang Indonesia tak lepas dari pengaruh kekuatan asing untuk menyelematkan investasi mereka di Indonesia. Saya setuju dengan Amien Rais bahwa pemimpin yang dibutuhkan pada 2009 nanti adalah pemimpin yang berani mendisain ulang kontrak-kontrak usaha kerja dengan perusahaan asing.

Kedaulatan Indonesia hanya sebuah cerita tentang kecintaan anak bangsa pada negerinya. Cerita tentang kegigihan perjuangan anak bangsa untuk membela negerinya. Di balik semua itu sesungguhnya kekuatan korporasi asing telah mendikte pemerintahan kita. Bukan saja perekonomian nasional, tetapi juga kebijakan politik dan pertahanan.

Mentalitas inlander juga terasa kuat di Kalimantan Timur. Sumber daya alam diberikan kepada kelompok-kelompok yang mendukung ketika pemilihan bupati atau walikota. Para penguasa tunduk kepada kemauan korporasi, sehingga meninggalkan kepentingan yang lebih besar; kesejahteraan rakyat. Para pemodal mengatur para penguasa.

Nyata sekali, mentalitas inlander telah turun menurun ke stakeholder di daerah. Warisan itu mengalir seiring perubahan sentralisasi kekuasaan ke otonomi daerah. Dalam skala yang lebih kecil, kekuatan korporasi dengan mudah dan murah menguasai elemen-elemen di daerah.

Semua sumber alam yang berada dalam jangkauan domain daerah, jatuh ke tangan para pengusaha yang berkongsi illegal dengan pejabat publik yang sedang berkuasa. Pertambangan batubara, perkebunan sawit, tambak, telah menjadi ‘dompet’ para politikus untuk menguatkan kekuasaannya.

Inilah persoalan kita. Rakyat patut berusaha merubahnya. Ayo bangkit!

Presiden

Oleh: Charles Siahaan

DINAMIKA Pemilu Presiden RI ke-7 sudah terasa walau hajatan itu baru dilaksanakan pada 9 April 2009 nanti. Siaran televisi mulai menampilkan bakal calon kandidat Presiden, mulai dari yang memang potensial karena sudah pasti bakal maju dan yang hanya memasang iklan.

Sebutlah nama Megawati Soekarnoputri yang nampaknya tidak kendur lagi untuk maju. Kemudian Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) serta Jusuf Kalla (JK). Yang belum jelas apakah SBY bakal maju bersama JK atau mereka memilih jalan sendiri-sendiri.

Amien Rais terlanjur bersuara kepada publik bahwa dari ia sudah terlalu tua, karena menurutnya era dirinya adalah pada Pemilu 2004. Meski demikian masih banyak orang Indonesia mengharapkan Amien Rais kembali ke medan pertarungan.

Yang menarik, para purnawiran perwira tinggi TNI juga bakal ambil bagian. Sebut saja Wiranto, mantan Pangab yang kini memimpin Partai Hanura, Sutiyoso (Bang Yos) yang masih bergerilya mendekati partai-partai politik dan juga Prabowo Subianto (mantan Pangkostrad) yang kini diusung Partai Gerindra. Dengan demikian, setidaknya ada empat Jenderal yang bakal meramaikan bursa kandidat Presiden RI ke-7.

Dari ruang yang lain, yakni jalur independen, nampaknya juga sudah mulai bermunculan nama-nama. Misalnya Rizal Mallerengeng yang kini kerap tampil membawa misi perubahan oleh orang muda. Kemudian di internet juga sudah muncul nama Budiman Sujatmiko, tokoh muda pergerakan yang bergabung di PDI Perjuangan. Kalau Budiman benar-benar ingin maju, nampaknya ia harus keluar dari PDI Perjuangan karena partai itu sudah mengusung sang ketua umum Megawati Soekarnoputri.

Kalau pada akhirnya PKS, PPP, PAN dan PBB juga mengusung calon presidennya, maka setidaknya sudah ada lebih 10 calon kandidat pada saat ini. Kemungkinan jumlah itu bakal semakin mengecil ketika partai-partai mengetahui jumlah perolehan suara pada Pemilu legislatif 9 April 2009.

Fenomena yang muncul adalah, semakin banyak rakyat Indonesia dari lintas generasi yang berani maju sebagai kandidat Presiden. Dunia politik kian seru karena banyak generasi bangsa ingin membuktikan bahwa mereka bisa mengatasi keterpurukan negeri ini dengan cara mereka.

SBY dalam masa kepemimpinan 2004-2009 sudah berbuat terutama membenahi pemerintahan menjadi lebih bersih. Kasus-kasus korupsi terbongkar dan banyak melibatkan sejumlah pejabat sipil maupun militer. Tapi ia terpuruk karena kebijakannya menaikkan harga BBM benar-benar membuat rakyat menjadi bertambah susah. Pondasi ekonomi mungkin sudah semakin membaik, tapi keadilan dalam distribusi hasil sumber daya alam masih jauh panggang dari api. Negara masih tak bergerak mengatasi keserakahan korporasi asing menggarap ladang-ladang minyak dan gas serta batubara di negeri ini. **

Tambang


Oleh: Charles Siahaan

SUATU kali saya membaca sebuah kalimat; ”tambang itu kutukan?” Kalau tidak salah kalimat itu berasal dari seorang pakar ekonomi penerima Nobel tahun 2001, Joseph Stiglitz, yang dikenal dengan karyanya ‘resource curse’ atau ‘kutukan sumberdaya alam’.

Kalimat itu memaksa saya berpikir apa benar demikian. Bukankah negeri-negeri yang menghasilkan tambang minyak di kawasan Timur Tengah misalnya adalah negeri yang makmur? Mereka mensejahterakan rakyatnya dari hasil menjual minyak dan gas ke seluruh dunia.

Barangkali cerita Stiglitz diilhami oleh fakta sejarah di mana kemilau tambang seperti emas, migas, batubara dan nikel lainnya telah membuat banyak manusia, negara saling berlomba mencarinya. Seperti kisah pada awal tahun 1500-an ketika Raja Ferdinand dari Spanyol menetapkan prioritas kepada para conquistador (penakluk) hambanya yang akan berangkat mencari ”dunia baru”; "Bawa pulanglah emas," perintah raja kepada mereka.. ”Kalau bisa, dapatkan semanusiawi mungkin, tapi apapun risikonya, bawalah emas."

Minyak juga telah menjadi sumber konflik dibeberapa negara. Negara super power seperti Amerika Serikat talah lama dicurigai mengintervensi Irak karena tergiur ingin mengelola dan memperoleh hak membeli minyak negeri itu.

Di Indonesia, lumpur Lapindo di Jawa Timur adalah salah satu contoh nyata bahwa migas telah menjadi kutukan. Belum lagi cerita rakyat sekitar tambang yang tidak pernah mendapatkan kenyamanan kehidupan, walau hasil bumi di sekitar mereka dikeruk habis. Cerita tentang kesengsaraan rakyat pasca tambang justru lebih sering terdengar dari pada pertumbuhan kualitas hidup rakyatnya.

Beberapa riset membuktikan sejak adanya pertambangan di suatu daerah, maka dampak yang sudah pasti selain kerusakan lingkungan adalah meningkatnya tindakan kriminal. Secara berurutan kasus-kasus terbesar yang muncul adalah penyiksaan, perkosaan, pembunuhan, penculikan, penangkapan secara tidak sah, pencarian dan intimidasi, diskriminasi dalam ketenagakerjaan, serta pelarangan beraktivitas.

Kemudian – menurut data Walhi – munculnya kasus pelanggaran terhadap hak penghidupan secara subsistem yang berasal dari perampasan dan penghancuran ribuan hektar hutan, termasuk wilayah berburu dan berkebun masyarakat, serta kontaminasi sumber air dan wilayah penangkapan ikan, pelanggaran terhadap hak budaya, termasuk penghancuran gunung dan tempat-tempat lain yang bersifat spiritual dan dianggap suci oleh masyarakat adat. Sedangkan hal lainnya adalah terjadinya pemindahan masyarakat secara paksa dan perusakan rumah-rumah, gereja, dan tempat-tempat tinggal lainnya.

Di Kalimantan Timur ’kutukan tambang’ itu juga sepertinya sudah terjadi. Kota Sanga-sanga Kukar yang lebih seratus tahun digarap minyaknya, tak juga membuat kawasan daerah itu maju. Begitu pula dengan kawasan batubara yang digarap PT Kaltim Prima Coal di Kutai Timur.

Yang terjadi, masyarakat hanya menjadi penonton. Dan celakanya, sebentar lagi ketika tambang sudah habis digarap, tinggal masyarakat sekitar tambang yang menanggung derita akibat kerusakan lingkungan di sana. *