Jumat, 29 Agustus 2008

Inlander

oleh: Charles Siahaan

AMIEN Rais marah dengan kondisi bangsa ini. Ia menumpahkannya dalam sebuah buku “Selamatkan Indonesia”. Dalam sebuah kalimat ia menyebut penderitaan berkepanjangan yang diderita bangsa ini, adalah akibat mentalitas inlander para elite politik dan pemerintahan kita.

Mentalitas inlander boleh diartikan sebagai sikap bangsa Indonesia yang menerima penjajahan oleh Belanda (asing). Mental rendah diri menghadapi orang asing yang datang menjajah dan menguasai sentra-sentra ekonomi. Termasuk juga mental melakukan korupsi, sehingga negeri ini kian terpuruk.

Saya jadi ingat para pendiri negeri ini ketika memberikan izin-izin pertambangan minyak dan gas serta batubara. Apakah waktu itu para stakeholder negeri ini memang seperti dituduhkan Amien Rais; bermental inlander. Sehingga para penguasa tak kuasa untuk menolak tawaran asing yang menginginkan sumber daya alam Indonesia dengan rayuan memajukan investasi Indonesia.

Bangsa Indonesia memang sudah masuk dalam jebakan bangsa asing. Hukum kita, undang-undang Indonesia tak lepas dari pengaruh kekuatan asing untuk menyelematkan investasi mereka di Indonesia. Saya setuju dengan Amien Rais bahwa pemimpin yang dibutuhkan pada 2009 nanti adalah pemimpin yang berani mendisain ulang kontrak-kontrak usaha kerja dengan perusahaan asing.

Kedaulatan Indonesia hanya sebuah cerita tentang kecintaan anak bangsa pada negerinya. Cerita tentang kegigihan perjuangan anak bangsa untuk membela negerinya. Di balik semua itu sesungguhnya kekuatan korporasi asing telah mendikte pemerintahan kita. Bukan saja perekonomian nasional, tetapi juga kebijakan politik dan pertahanan.

Mentalitas inlander juga terasa kuat di Kalimantan Timur. Sumber daya alam diberikan kepada kelompok-kelompok yang mendukung ketika pemilihan bupati atau walikota. Para penguasa tunduk kepada kemauan korporasi, sehingga meninggalkan kepentingan yang lebih besar; kesejahteraan rakyat. Para pemodal mengatur para penguasa.

Nyata sekali, mentalitas inlander telah turun menurun ke stakeholder di daerah. Warisan itu mengalir seiring perubahan sentralisasi kekuasaan ke otonomi daerah. Dalam skala yang lebih kecil, kekuatan korporasi dengan mudah dan murah menguasai elemen-elemen di daerah.

Semua sumber alam yang berada dalam jangkauan domain daerah, jatuh ke tangan para pengusaha yang berkongsi illegal dengan pejabat publik yang sedang berkuasa. Pertambangan batubara, perkebunan sawit, tambak, telah menjadi ‘dompet’ para politikus untuk menguatkan kekuasaannya.

Inilah persoalan kita. Rakyat patut berusaha merubahnya. Ayo bangkit!

Tidak ada komentar: