Selasa, 20 November 2007

Kaltim Bangkit!

Oleh: Charles Siahaan

AKTIVIS mulai terbiasa berkolaborasi dengan para artis. Di Jakarta baru-baru ini para artis – aktivis mencuatkan “Indonesia Bangkit” sebagai upaya melawan kemiskinan dan keterpurukan negeri ini.

Plt Gubernur Kaltim Yurnalis Ngayoh juga ikut gelisah kalau berbicara kemiskinan. Ia justru punya slogan untuk menyemangati pembangunan segala bidang di daerah ini. Slogan itu: “Bangkit dan Bangga Membangun Kaltim”.

Bangga membangun Kaltim sudah tidak asing. Itu dicetuskan semasa Gubernur Kaltim Suwarna AF. Walau akhirnya sering menjadi cemohan publik, seiring terbukanya kasus-kasus korupsi yang memenjarakan sejumlah pejabat daerah ini. Kasus-kasus korupsi itu tentu bukan hal membanggakan.

Rupanya, sebagai Wakil Gubernur Kaltim – ketika slogan itu muncul – Ngayoh juga tak begitu sepaham dengan kata “bangga”, karena ia menyadari kita masih perlu “bangkit”. Rakyat di perbatasan negara, di pedalaman, memang belum patut merasa bangga dengan daerah mereka. Apa yang harus dibanggakan oleh warga di Krayan, karena jalan darat untuk menuju kampung warga dari etnis Dayak itu belum ada? Apa yang harus dibanggakan kalau rumah belum punya listrik?

Masih ada ratusan desa di Kaltim yang tak patut berbangga. Warga di desa-desa itu membutuhkan spirit untuk bangkit dari segala ketertinggalan. Mereka membutuhkan pertolongan dari segenap komponen daerah ini.

Kalimantan Timur tak dapat disangkal adalah daerah kaya. Minyak, batubara dan hasil tambang lain. Hutan dan kebun serta lautan adalah sumber daya yang luar biasa berlimpah. Tapi kekayaan itu memang tak berbanding lurus dengan kondisi masyarakatnya. Keprihatinan lantaran masih besarnya angka kemiskinan, kebodohan masih menjadi tantangan terbesar para pengelola pemerintahan dan juga masyarakatnya. Rakyat tak membutuhkan sekadar slogan lagi, karena saat ini yang dibutuhkan adalah aksi nyata. Bangun jalan menuju Kecamatan Krayan dan perbatasan, buat sentra ekonomi baru bagi warga pedalaman.

Rakyat Kaltim tidak bisa membiarkan sumber daya alam dikuras begitu besar dan sedikit sekali yang menetes kembali ke daerah penghasil. Masuknya investasi semestinya tidak bisa serta merta berjalan mulus beroperasi, tanpa adanya rekomendasi dari rakyat. Masyarakat sekitar tambang dan hutan perlu berkompromi dulu dan mendapat jaminan bahwa kelak kegiatan investisasi sangat berpihak untuk mengangkat taraf hidup warga sekitar.

Pemerintah juga tak patut secara langsung memuluskan setiap investor yang datang untuk meminta ijin, tanpa mempertemukan dulu dengan rakyat. Sebab yang dibutuhkan bukan sekadar terserapnya tenaga kerja lokal, tapi juga masa depan setiap keluarga di sekitar perusahaan jika ternyata sumber daya alam yang dikuras telah habis. Begitu pula dalam bidang perkebunan kelapa sawit atau perkebunan lainnya. Apakah cukup dengan program plasma yang memberikan rakyat memiliki kebun seluas 2-3 hektar? Apakah kebijakan seperti itu justru menciptakan kemiskinan yang permanen?

Pemerintah patut meredesign konsep kemakmuran yang menjadi tujuan pembangunan. Membenahi semua kebijakan yang tak memperbaiki aspek ekonomi rakyat, serta membuang jauh kebijakan yang hanya menguntungkan satu golongan. Rakyat harus bangkit. Bangkit dari sikap diam dan pasrah, bangkit dari kemalasan dan bangkit untuk berdemokrasi. **

Melawan Pusat

Oleh: Charles Siahaan

AGENDA untuk melawan kekuasaan pusat, bisa menjadi perjalanan perjuangan yang sangat panjang. Sebab, hampir dipastikan upaya itu hanya menjadi sia-sia karena yang dilawan ternyata bukan hanya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, tetapi juga sejumlah politikus yang memegang peranan melahirkan undang-undang.

Secara jelas potensi daerah hanyalah menjadi sebuah objek yang mudah diombang-ambingkan. Pemerintah pusat dapat dengan leluasa mengatur anggaran daerah dengan wajib dikoreksinya terlebih dulu RAPBD, serta dengan mudahnya menaik-turunkan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk para pegawai.

Dalam dunia politik ternyata yang terjadi lebih parah lagi. Bahkan kekuatan pusat sama sekali tidak mau dijamah. Bahkan untuk menentukan calon seorang gubernur yang diusung partainya, itu adalah porsinya kekuasaan orang-orang pusat.

Padahal, gubernur adalah pilihan rakyat daerah. Kekuatan pusat pasti tidak memahami bagaimana karakter, visi dan misi sesungguhnya calon-calon pemimpin daerah ini. Seperti yang ditunjukkan oleh DPP Partai Amanat Nasional (PAN), ketika memutuskan memilih Awang Faroek Ishak (AFI) dan meninggalkan Achmad Amins yang dipilih lewat Rakerwil DPD PAN Kaltim.

Intervensi pengurus pusat yang begitu kuat menjadi gambaran tidak ikhlasnya orang-orang di pusat terlaksananya otonomi daerah. Mereka tidak suka dengan kedaulatan demokrasi lokal. Mereka main atur dan yang tidak suka akan didepak keluar dari lingkaran.

Para politkus di daerah-daerah seluruh Indonesia sebenarnya juga merasakan hal yang sama. Mereka tidak berdaya melawan kebijakan pengurus pusat yang bisa datang secara sepihak. Menjungkirbalikkan kondisi dan bahkan menendang kader sendiri tanpa proses ’pengadilan’ internal atas kesalahannya. Ironisnya, itu terjadi pada partai-partai yang menjunjung tinggi demokrasi.

Kegelisahan para politikus lokal ini patut diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk perlawanan. Pertanyaannya; siapa yang bisa memainkan ini?

Kalangan polikus hanya mampu mensuarakan keinginan daerah pada saat musyawarah nasional. Namun umumnya tidak akan sampai jangkauan pada saat membahas perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang orientasinya pada desentralisasi politik. Selalu saja ada kesulitan ketika berusaha membulatkan suara untuk memenangkan kekuatan politik lokal.

Tentu saja sebagai politisi tak mungkin untuk ’pasang badan’ ketika usulannya kalah di tengah jalan. Sebab itu akan menuai risiko politik, yakni ia akan tersingkir dari lingkaran partai itu sendiri.

Tapi kekuatan daerah jangan sampai menyerah. Perlu upaya lain untuk menyatukan persepsi pentingnya desentralisasi lokal agar masyarakat di seluruh Indonesia mulai tersadarkan bahwa apa yang selama ini mereka ikuti dalam berpartai ternyata hanyalah menguntungkan orang-orang pusat saja. Sudah saatnya orang daerah ’memukul’ balik orang pusat dengan melepaskan partai-partai yang masih berorientasi pada sentralisasi. **

Contohlah JK

Oleh: Charles Siahaan

IDUL Fitri baru berlalu. Tapi Jusuf Kalla alias JK masih sengit dibincangkan di berbagai media. Langkahnya bertemu dengan para mantan Presiden dan Wapres RI serta sejumlah mantan pejabat tinggi negeri ini bergema memunculkan analisa politik yang amat beragam. Ditambah safari JK ke 9 provinsi di Sulawesi dan Sumatera menambah keyakinan para pengamat politik bahwa JK sedang melakukan konsolidasi untuk pencalonanan dirinya sebagai Presiden RI tahun 2009.

Tidak ada yang salah dari analisa politik itu. Sebagai seorang Ketua Partai Golkar yang pada Pemilu tahun 2004 lalu tampil sebagai pemenang, gerakan JK tentunya lumrah sekali. Di negeri manapun, partai pemenang Pemilu selalu hampir pasti menjadi pemegang kekuasaan. Justru sangat aneh kalau partai pemenang Pemilu tidak mengambil haknya pada kekuasaan.

Persoalannya agak beda ketika JK saat ini duduk sebagai Wakil Presiden RI. Rangkaian safari dan silaturahim politik JK ke sejumlah daerah dan tokoh, menguatkan dugaan kalau JK sedang bersiap-siap berpisah dengan SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) pada Pilpres nanti. Itu berarti keduanya akan berkompetisi merebut kursi orang nomor satu di negeri ini.

Di luar analisa kompetisi politik keduanya itu, ada hal menarik dapat dipetik dari kunjungan berlebaran Jusuf Kalla ke sejumlah rumah mantan Presiden dan Wapres serta tokoh-tokoh politik lain yang selama ini menjadi rivalnya. Hal menarik itu ternyata adalah persoalan sederhana, bahwa ternyata selama ini rakyat Indonesia mengidamkan para mantan Presiden dan Wapres atau sejumlah politisi bisa tetap akur.

Rakyat mengidamkan adanya sebuah kunjungan dari mereka yang pernah berkuasa kepada tokoh-tokoh lainnya. Kunjungan seorang Megawati ke rumah Soeharto misalnya. Atau mungkin kunjungan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke rumah Megawati atau ke rumah Gus Dur.

Kita memang sangat prihatin dengan moralitas para bekas pemimpin negeri ini. Mereka seakan menjauhkan tali silaturahim. Bahkan setiap datang perayaan HUT Proklamasi di Istana Negara, kerap kali rakyat mengidamkan hadirnya sejumlah mantan Presiden RI bersama-sama memberikan hormat kepada Sang Saka Merah Putih. Menyajikan lagu Indonesia Raya bersama-sama dengan sejenak menanggalkan perselisihan, persaingan politik.

Tetapi hal itu tidak pernah terjadi. Para mantan pemimpin negeri ini selalu punya alasan untuk tidak bisa hadir bersama-sama para perayaan kemerdekaan yang penting itu. Para mantan pemimpin itu sepertinya tidak pernah merasa malu, bahwa rakyat Indonesia mengidamkan mereka berada di sana bersama-sama dengan Presiden yang sedang berkuasa.

Dengan moralitas para mantan pemimpin yang seperti itu, rakyat justru dikagetkan dengan pernyataan sejumlah tokoh politik itu bahwa mereka akan mencalonkan diri sebagai Presiden RI tahun 2009 nanti. Ya, mereka yang selama ini tidak mau bertemu dan bermaaf-maafan sesama tokoh politik, tidak mau hadir pada acara HUT Proklamasi di Istana Negara karena tidak mau bertemu dengan Presiden yang berkuasa, justru ingin menjadi pemimpin negeri ini. Pertanyaannya; apa mereka pantas menjadi pemimpin? **

Desentralisasi Politik

Oleh: Charles Siahaan

BERSIAPLAH menyambut kehadiran partai lokal. Walau belum ada aturannya, namun sinyal frekuensi yang menandakan hadirnya partai lokal telah nyata. Contohnya adalah calon independen yang direstui oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengikuti Pilgub dan Pilkada. Jika calon independen ini sudah boleh ikut bertarung, maka itu pertanda dimulainya partai lokal.

Bentuk partai lokal tentunya tidak mesti diikat oleh aturan hukum yang berlaku. Ia bisa seperti kumpulan komunitas tertentu yang ditarik oleh sebuah lokomotif sebagai kendaraan tokoh tertentu. Konstituen partai lokal bisa juga dari kalangan Golput alias golongan putih. Jumlahnya tentu sangat besar, karena setiap kali ada Pilkada di kabupaten dan kota, jumlah Golput selalu di atas 30 persen jumlah pemilih.

Di Samarinda, semangat mendirikan partai lokal juga sudah muncul. Namanya Partai Rembug Rakyat Kaltim (PRRK). Belum ada deklarasi, namun ini diyakini oleh para pencetusnya bisa menjadi pioner untuk membangun kesadaran publik bahwa keinginan desentralisasi politik sudah sangat kuat.

Pemerintah memang tidak boleh buta atau menutup mata dengan aspirasi politik yang berkembang di daerah. Format sentralisasi politik yang dilaksanakan sejak jaman Orde Baru, hanya menghasilkan ketidakharmonisan dan sikap saling curiga antara para pengurus partai politik di pusat dan daerah. Apalagi di saat pemilihan kepala daerah, pengurus pusat tiap Parpol seakan-akan paling berkuasa untuk menentukan siapa calon yang didukungnya dan menyepelekan aspirasi daerah.

Sentralisasi politik itu mengakibatkan pula tidak utuhnya aspirasi daerah untuk dibawa menjadi bahasan para politikus mewakili partai di parlemen. Akibatnya adalah kesenjangan pembangunan bagi daerah timur Indonesia dengan barat, termasuk provinsi Kalimantan Timur. Timur menjadi ketinggalan karena selalu kalah suara dan argumentasi ketika berdebat di parlemen. Sekuat-kuatnya rakyat di daerah bersuara, yang menentukan adalah jumlah suara dukungan di parlemen.

Kondisi ini merugikan daerah, tapi tetap saja tidak mampu melawan kekuatan pusat karena di sana sumbu kekuasaan. Padahal, daerah adalah basis massa yang membuat para pengurus pusat itu memperoleh kejayaan kekuasaan.

Para politikus lokal menyadari ketidakberdayaan ini, tetapi sejauh itu tidak bisa ikut mengusulkan adanya perubahan-perubahan peraturan partai politik yang menitikberatkan pada adanya desentralisasi politik. Untuk pemilihan calon bupati, gubernur misalnya, mestinya daerah perlu menjaring calonnya berdasarkan mekanisme Pemilu internal yang melibatkan konstituen partai. Setiap kader partai yang memiliki kartu anggota, wajib menyalurkan aspirasinya untuk mendapatkan calon pilihan mereka.

Mekanisme seperti itu tidak sulit karena semua partai sudah punya cabang dan anak cabang serta ranting di desa-desa. Hanya saja memang memerlukan biaya yang besar, tapi hasilnya tentu itu adalah calon yang benar-benar diinginkan konstituen. Mekanisme ini juga menjauhkan politik suap calon kandidat kepada oknum pengurus di tingkat lokal maupun pusat.*

Solidaritas Myanmar

Oleh: Charles Siahaan

TAYANGAN berita televisi dan surat kabar memunculkan kisah tragis di Myanmar. Demonstrasi besar oleh para rohaniawan (biksu) berujung pada pembantaian oleh tentara negeri itu dan mengakibatkan 13 orang tewas.
Ini mirip dengan kasus tragedi Trisakti dan Semanggi di Jakarta tahun 1997 silam. Gerakan pro demokrasi dibalas oleh senjata otomatis yang diduga sengaja dilakukan kelompok militer atau polisi. Tujuannya, meredam gelombang demonstrasi yang mengancam kelanggengan kekuasaan.
Di Myanmar, pemerintah junta militer telah begitu lama berkuasa. Sejak 1962 dan ini merupakan catatan buruk demokrasi di seluruh negeri. Di negeri ini pula berlangsung penahanan tokoh oposisi sekaligus pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi. Perempuan yang tak pernah menyerah melawan penguasa ini telah menjadi simbol perlawanan rakyat Myanmar.
Hati kita ikut tergerak ketika menyaksikan tubuh-tubuh bergelimpangan meregang nyawa setelah dibantai senjata pihak junta militer. Hati kita tidak bisa menerima kekerasan menghambat perjuangan penegakkan demokrasi yang terjadi di negeri manapun. Emosi kemarahan tak lagi tertahankan dan tangan ikut mengepal sambil meneriakkan kata; “lawan”.
Rakyat Myanmar sedang membutuhkan pertolongan. Mereka tidak mungkin mampu keluar dari masalah selama junta militer yang berkuasa semakin menunjukkan kediktatorannya. Merekayasa dukungan rakyat bahwa pemerintahan itu dilegitimasi dan memutus jaringan informasi ke mancanegara untuk menutup-nutupi kebobrokan di negeri tersebut.
Dominasi pemerintahan junta militer telah pula membuat rakyat di sana tidak berdaya dan hidup dalam tekanan. Sementara Aung San Suu Kyi – teman pejuang rakyat - masih berada di penjara sehingga tidak bisa bersama mereka. Pertanyaannya kini; Siapa bersama perjuangan rakyat Myanmar?
Solidaritas Indonesia telah ditunjukkan para pegiat demokrasi di negeri ini melalui demonstrasi di Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta. Bahkan jajaran Departemen Luar Negeri RI di Pejambon juga tidak seperti biasanya, pada hari Jumat (29/9) pekan lalu mengenakan kemeja warna merah untuk menunjukkan rasa solidaritas terhadap perjuangan para biksu. Warna merah maron adalah warna pakaian yang dikenakan para biksu.
Rakyat Indonesia termasuk yang punya empati terhadap rakyat Myanmar. Sama halnya ketika rakyat Indonesia juga prihatin dengan masalah Palestina. Kalau untuk rakyat Palestina, gelombang demonstrasi cukup besar sampai ke daerah – daerah, tapi mengapa untuk kasus demokrasi Myanmar hanya terasa sedikit yang peduli?
Untuk tragedi Myanmar, Indonesia tidak cukup kalau hanya menunjukkan rasa prihatin dan peduli. Sebagai negara di Asia yang cukup berpengaruh, saatnya pula Indonesia menunjukkan sikap menolak pemerintahan junta militer di negeri itu. *

Selasa, 10 Juli 2007

Membuka Skandal Kasus PMK

SEBUAH kabar muncul dari Kantor Gubernur Kaltim di Jalan Gajah Mada Samarinda. Ketika petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan di sebuah brankas, ditemukan catatan pemberian sejumlah travel cheq sebuah bank yang diperuntukkan pada puluhan orang termasuk sejumlah nama yang selama ini dikenal sebagai tokoh di Kaltim.
Kuat dugaan, pemberian travel cheq itu berkaitan dengan pembelian mobil pemadam kebakaran yang kini menjadi penyidikan KPK di Jakarta. Diantara mereka – lagi, konon katanya – ada nama seorang perempuan berinitial KMS. Dan, hebatnya, perempuan ini disebut-sebut sebagai istri muda seorang pejabat tinggi di Kaltim.
Ah, itu baru gosip. Saat BONGKAR! mulai tanya sana-sini, tidak ada nama tersebut sebagai pejabat yang pantas menerima uang. Atau dari unsur kontraktor atau unsur lain yang mungkin terlibat dalam pembelian. Huuh! Jadi siapa Ny KMS ini?
Saat ditanya via SMS (short massage system) kepada Syaiful Teteng, Sekdaprov Kaltim, yang bersangkutan tidak juga memberikan jawaban. Ini semakin memperpanjang keingintahuan ada apa di balik pembelian mobil PMK tersebut.
Dasar penyelidikan oleh KPK karena adanya dugaan penggelembungan harga dalam pembelian dua kali pembelian mobil PMK untuk Kaltim. Yang pertama pada pembelian 29 unit PMK tahun 2003 dan telah dibagikan ke seluruh kabupaten dan kota di Kaltim, sedangkan yang kedua pada dua unit mobil pemadam canggih yang diperuntukkan perkotaan, yakni Kota Samarinda dan Balikpapan. Pemprov Kaltim ketahuan mengeluarkan anggaran Rp23 Miliar pada tahun anggaran 2005. Padahal, ditaksir harga mobil tersebut hanya berkisar 5-6 Miliar per unit.
Yang membuat kasus ini bertambah luar biasa, karena ternyata DPRD Kaltim pada tahun 2005 itu merestui pembelian dua unit mobil pemadam senilai Rp20 Miliar saja. Tapi mengapa tiba-tiba menjadi Rp23 Miliar? Dan kemana larinya uang sekitar Rp3 Miliar itu?
Mulai Yurnalis Ngayoh, Syaiful Teteng dan juga pejabat keuangan di Pemprov Kaltim harus bolak-balik ke kantor KPK di Jalan Veteran Jakarta Pusat. Mereka sudah mulai terbiasa dan banyak kenal dengan para staf yang berada di sana. Teteng bahkan belakangan sudah jarang berada di Kaltim, karena pemeriksaan terhadap dirinya semakin intensif saja.
Kemelut hukum di tubuh Pemprov Kaltim itu ternyata mulai merambat melemahnya pelayanan sektor publik. Akibat sering tidak ada di tempat, membuat pekerjaan pemerintahan ikut terganggu. Bayangkan, untuk anggaran 2007 ini saja sampai bulan Juli 2007 atau lewat separuh tahun anggaran belum juga selesai. Lalu, sejumlah jabatan penting yang dipegang Syaiful Teteng ikut-ikutan terkendala.
Seperti diketahui Syaiful Teteng memegang peranan penting dalam panitia Pengurus Besar PON XVII Kaltim dan KONI Kaltim. Ia duduk sebagai Ketua Harian PB PON yang mengeluarkan kebijakan untuk mempersiapkan pelaksanaan PON. Dia pula yang punya kewenangan mengatur anggaran PON maupun KONI, termasuk bonus atelet peraih emas dari Kaltim.

Dan, ternyata persoalan di penyelenggaraan PON semakin menggantung, karena Teteng dianggap tidak konsentrasi lagi. Hal itu yang memicu jajaran pengurus KNPI Kaltim bersama dengan masyarakat olahraga mendorong agar Syaiful Teteng mundur dari jabatannya. Mereka melakukan demonstrasi, meminta Teteng lengser. Sayangnya waktu demo berlangsung Teteng masih di Jakarta, dan teleponnya tidak ada bisa dihubungi. **

Kamis, 05 Juli 2007

Tebang Pilih

Tebang Pilih
Oleh: Charles Siahaan

Kosa kata ini dikenal di sektor kehutanan; yakni sebuah sistim penebangan pohon besar berdiameter 50 – up untuk diambil kayunya. Siapapun yang ketahuan menebang di bawah diameter itu, maka ada hukum pidana ganjarannya.
Akan tetapi sekarang muncul kosa kata “Tebang Pilih” untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Dua kata itu berhembus kencang menyerang pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK). Sejumlah praktisi, aktivis mengumandangkan tudingan Tebang Pilih itu. Kemudian menjadi senjata aktor-aktor politik untuk menyerang pemerintahan SBY – JK.
Digambarkan, upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintahan SBY – JK hanya untuk kepentingan pencitraan SBY untuk kepentingan Pemilu tahun 2009. SBY dan JK diprediksi akan maju kembali sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Yang diberantas juga masih pilih-pilih. Misalnya para pejabat sekelas Menteri di kabinet Megawati Soekarno Putri dan para Gubernur, Walikota dan Bupati. Semuanya hanya untuk memberikan gambaran kalau pemerintahan SBY-JK serius melibas para petinggi negara.
Analisa itu muncul karena realitas. Karena mantan Presiden Soeharto dan kroni tidak juga diadili dan tidak serius mengejar para ”perampok” BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang telah mengemplang uang negara ratusan triliun rupiah.
Fakta lain adanya sikap membentengi dari Jusuf Kalla terhadap Hamid Awaluddin dan Yusril Izha Mahendra yang ketahuan membiarkan rekening Menhuk dan HAM digunakan transfer uang Tommy Soeharto dari luar negeri. Sepertinya mereka tidak ikut dilibas.
Kalau mau jujur, pemberantasan korupsi di Indonesia terasa mulai membaik. Di daerah-daerah pejabat publik semakin berhati-hati untuk menggunakan anggaran. DPRD Kaltim merasa perlu berkonsultasi dengan Kejaksaan Tinggi, sistim tender pengadaan barang dan jasa diupayakan melalui proses e-government. Lewat internet.
Bahkan di Samarinda Walikotanya membuat loncatan dalam upaya memperkecil kebiasaan melakukan korupsi, yakni membebaskan biaya pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akte Kelahiran.
Kita menyadari korupsi di Indonesia sudah begitu akut, sehingga nyaris semua orang pernah terlibat di dalamnya. Ketika kita akan berurusan dengan kantor kelurahan, maka frame pikiran kita sudah tertanam keinginan menyelesaikan urusan dengan cara cepat dengan memberi suap atau memberi tip kepada staf kelurahan. Kebiasaan perilaku ini yang perlu dirubah dan yang mampu merubahnya adalah komitmen pemerintah seperti yang dilakukan Pemkot Samarinda itu.
Pemerintahan SBY – JK semestinya bisa berpikir seperti Pemkot Samarinda. Melarang pemerintahan daerah memungut biaya pembuatan KTP dan Akte Kelahiran. Selain untuk meringankan beban warga juga yang terpenting memutus perilaku korupsi. Kebijakan seperti ini pasti tidak mengenal istilah ”Tebang Pilih”. ** (Telah diterbitkan di Majalah BONGKAR! edisi 25)

Geopolitik

Geopolitik
Oleh: Charles Siahaan

RAJA Inal Siregar (Alm) disukai rakyat karena semasa menjabat Gubernur Sumatera Utara melakukan gerakan “masipature huta na be”. Dalam bahasa Indonesia gerakan itu bisa disebut sebagai seruan untuk memperbaiki kampung sendiri. Sang gubernur mengetuk hati kebanyakan orang Batak (baca Sumut-red) di perantauan untuk back to basic alias pulang kampung dan menyisihkan uang membenahi rumah sendiri.
Alhasil, sepanjang sisi Danau Toba bertumbuhan hotel, restoran dan kawasan berwisata. Bahkan berdiri rumah sakit, pusat perbelanjaan yang sebagian adalah bentuk partisipasi warga yang mencari uang di perantauan.
Yusril Izha Mahendra yang terlempar dari kabinet Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK) bersiap menuju pentas pemilihan Presiden tahun 2009. Kini ia tengah menghitung kesempatan paling gampang dengan cara mengkaitkan faktor geopolitik.
Sebagai orang Sumatera (Bangka), Yusril ingin berpasangan dengan orang Jawa. Ia melihat sisi jumlah penduduk (pemilih) di negeri ini yang mayoritas memang orang Jawa. Jusuf Kalla juga pernah melontarkan kata-kata; ”Saya bukan orang Jawa” untuk mematahkan spekulasi bahwa ia akan maju menjadi calon Presiden dari Partai Golkar.
Ranah politik Indonesia tak dapat dipungkiri masih sangat dipengaruhi faktor geopolitik. Bahkan lembaga-lembaga survey masih pula meyakini bahwa faktor kuantitas kelompok suku tertentu menjadi penentu keberhasilan aktor politik. Dengan kata lain, sebenarnya orang Indonesia belum masuk pada tingkat masyarakat yang cerdas. Mereka lebih bersandar pada asal-usul dari pada kemampuan seseorang.
Faktor geopolitik bukan masalah sepele. Karena ini berkaitan juga dengan tingkat kepatuhan konstituen kepada pemimpinnya. Kepatuhan rakyat adalah modal terbesar suksesnya pembangunan, karena energi untuk membangun bukan hanya ada pada pemerintah saja.
Kalimantan Timur akhirnya mengalami ketertinggalan pembangunan yang salah satu faktornya adalah masalah geopolitik itu pula. Suwarna AF adalah Gubernur dari Suku Sunda yang minoritas di daerah ini, sehingga untuk membangkitkan gerakan partisipasi rakyat seperti yang dilakukan Raja Inal Siregar di Sumatera Utara – ia tidak mampu. Bahkan dengan cara menggulirkan semboyan ”Bangga Membangun Kaltim” pun, tetap saja rakyat tak bergerak. Tidak patuh. Ditambah lagi dengan sikap Pemerintah Provinsi Kaltim yang ambisius membangun proyek-proyek yang tak bersentuhan dengan kepentingan rakyat, membuat rakyat semakin tak peduli dan memilih menjadi pembangkang.
Raja Inal Siregar kebetulan adalah putra daerah karena ia memimpin penduduk mayoritas dengan homogenitas empat puak suku Batak (Toba, Karo, Mandailing dan Sidempuan), sedangkan di Kalimantan Timur jumlah suku terbesar dalam urut-urutan adalah suku Jawa, Bugis (Sulsel), Banjar (Kalsel) dan kemudian suku-suku lokal. Menyimak data-data itu memberikan gambaran bahwa posisi geopolitik di Sumatera Utara sangat berbeda dengan Kalimantan Timur. Tapi apapun situasinya untuk percepatan membangun daerah masih tetap ditentukan oleh asal-usul suku siapa pemimpinnya. **

Program Ilusi

Program Ilusi
Oleh: Charles Siahaan

KADANG, hati kecil kita ikut tertawa manakala muncul janji para politikus kepada rakyat. Untuk sebuah kekuasaan, seorang politikus mengumbar janji agar datang simpati dan rakyat tertarik memilihnya. Persis seorang sales yang mati-matian mempromosikan produk jualannya.
Ada yang menjual program bernama ”Kalima”, yakni singkatan dari (peningkatan) Keimanan, (pengentasan) Kemiskinan, (pemberantasan) Kebodohan, (perluasan) Kesempatan kerja, dan (peningkatan pelayanan) Kesehatan. Serta kemudian muncul pula barang jualan bernama ”SENYUM” yang merupakan singkatan program Sejahtera, Ekonomi, Nyaman, Yakin Usaha dan Madani.
Semua itu, sebenarnya hanya program ilusi. Dia hanya berupa konsep di atas kertas yang bisa sekadar menjadi sumber diskusi kalangan akademisi. Buat rakyat, program seperti itu hanya pepesan kosong. Tidak menarik karena siapapun pemimpin di negeri ini pasti terjerat dengan program retorika akademis seperti itu. Program ”Kalima” dan ”SENYUM” tidak lebih hanya permainan keindahkan kata-kata.
Rakyat Kaltim tidak membutuhkan keindahan kata-kata lagi. Rakyat tidak mau ikut dalam perdebatan kalangan akademisi, karena toh sudah begitu besar kesempatan tapi hasilnya adalah kemiskinan yang semakin besar juga jumlahnya.Harga sembako yang makin mahal, jalur darat yang tidak juga tuntas, transportasi udara ke pedalaman yang mogok dan lingkungan yang tidak sehat.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang punya jalan pintas mengubur angka kemiskinan itu. Seringkali pemimpin mendengung-dengungkan investasi asing untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, namun kenyataannya itu bukan solusi mengangkat rakyat dari garis kemiskinan.
Sebaliknya, pintu investasi asing yang dibuka lebar justru semakin menguatkan hegemoni asing dalam perekenomian dalam negeri. Sebagian besar sumber daya alam di Kaltim justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan dan orang-orang asing, bukan mayoritas rakyat Kaltim. Buktinya sumber energi Migas dan batubara yang melimpah tak juga bisa menyelesaikan byarpet listrik di daerah ini, karena kita mengutamakan kebutuhan pasar asing dari pada domestik.
Seringkali pula pemimpin berpikir tentang pemberdayaan masyarakat (civil society) sebagai jalan paling ampuh mengentaskan kemiskinan, tetapi itupun tak terbukti. Penguatan kapasitas individual dan kelompok di masyarakat agar pintar dalam memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di sekitar, seperti melatih nelayan mengolah ikan dan membangun industri hilir perkayuan, belum mampu juga membuat semua rakyat Kaltim hidup sejahtera.
Membuka kebijakan investasi asing sama dengan melimpahkan pengelolaan sumber daya alam Kaltim kepada pihak luar, sehingga kita semakin tergantung dengan mereka. Pada akhirnya rakyat Kaltim kehilangan ”keperkasaan” jatidiri sebagai masyarakat yang tinggal di daerah kaya, hanya saja kekayaan itu bukan lagi menjadi milik kita.
Sedangkan sivil society memang tak bisa diraih seketika. Sebab sudah terlalu lama pemerintah jaman Orde Baru menciptakan sistim yang korup dan berbuah kemiskinan. Melupakan pentingnya kemandirian individual.
Membangun kekuatan lokal juga memerlukan waktu lama, walau banyak kalangan NGO (non government organitations) meyakini lebih baik tidak berlari terlalu cepat, dari pada menjual SDA kepada pihak asing, tapi nantinya membuat kita tergelincir lebih cepat. **

(Telah diterbitkan di Majalah BONGKAR!, edisi 27)

Program Ilusi

Program Ilusi

Oleh: Charles Siahaan

KADANG, hati kecil kita ikut tertawa manakala muncul janji para politikus kepada rakyat. Untuk sebuah kekuasaan, seorang politikus mengumbar janji agar datang simpati dan rakyat tertarik memilihnya. Persis seorang sales yang mati-matian mempromosikan produk jualannya.
Ada yang menjual program bernama ”Kalima”, yakni singkatan dari (peningkatan) Keimanan, (pengentasan) Kemiskinan, (pemberantasan) Kebodohan, (perluasan) Kesempatan kerja, dan (peningkatan pelayanan) Kesehatan. Serta kemudian muncul pula barang jualan bernama ”SENYUM” yang merupakan singkatan program Sejahtera, Ekonomi, Nyaman, Yakin Usaha dan Madani.
Semua itu, sebenarnya hanya program ilusi. Dia hanya berupa konsep di atas kertas yang bisa sekadar menjadi sumber diskusi kalangan akademisi. Buat rakyat, program seperti itu hanya pepesan kosong. Tidak menarik karena siapapun pemimpin di negeri ini pasti terjerat dengan program retorika akademis seperti itu. Program ”Kalima” dan ”SENYUM” tidak lebih hanya permainan keindahkan kata-kata.
Rakyat Kaltim tidak membutuhkan keindahan kata-kata lagi. Rakyat tidak mau ikut dalam perdebatan kalangan akademisi, karena toh sudah begitu besar kesempatan tapi hasilnya adalah kemiskinan yang semakin besar juga jumlahnya.Harga sembako yang makin mahal, jalur darat yang tidak juga tuntas, transportasi udara ke pedalaman yang mogok dan lingkungan yang tidak sehat.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang punya jalan pintas mengubur angka kemiskinan itu. Seringkali pemimpin mendengung-dengungkan investasi asing untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, namun kenyataannya itu bukan solusi mengangkat rakyat dari garis kemiskinan.
Sebaliknya, pintu investasi asing yang dibuka lebar justru semakin menguatkan hegemoni asing dalam perekenomian dalam negeri. Sebagian besar sumber daya alam di Kaltim justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan dan orang-orang asing, bukan mayoritas rakyat Kaltim. Buktinya sumber energi Migas dan batubara yang melimpah tak juga bisa menyelesaikan byarpet listrik di daerah ini, karena kita mengutamakan kebutuhan pasar asing dari pada domestik.
Seringkali pula pemimpin berpikir tentang pemberdayaan masyarakat (civil society) sebagai jalan paling ampuh mengentaskan kemiskinan, tetapi itupun tak terbukti. Penguatan kapasitas individual dan kelompok di masyarakat agar pintar dalam memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di sekitar, seperti melatih nelayan mengolah ikan dan membangun industri hilir perkayuan, belum mampu juga membuat semua rakyat Kaltim hidup sejahtera.
Membuka kebijakan investasi asing sama dengan melimpahkan pengelolaan sumber daya alam Kaltim kepada pihak luar, sehingga kita semakin tergantung dengan mereka. Pada akhirnya rakyat Kaltim kehilangan ”keperkasaan” jatidiri sebagai masyarakat yang tinggal di daerah kaya, hanya saja kekayaan itu bukan lagi menjadi milik kita.
Sedangkan sivil society memang tak bisa diraih seketika. Sebab sudah terlalu lama pemerintah jaman Orde Baru menciptakan sistim yang korup dan berbuah kemiskinan. Melupakan pentingnya kemandirian individual.
Membangun kekuatan lokal juga memerlukan waktu lama, walau banyak kalangan NGO (non government organitations) meyakini lebih baik tidak berlari terlalu cepat, dari pada menjual SDA kepada pihak asing, tapi nantinya membuat kita tergelincir lebih cepat. **


(Telah diterbitkan di Majalah BONGKAR!, edisi 27)

Penghianatan

Penghianatan
Oleh: Charles Siahaan

HATI kita boleh miris kalau membicarakan soal divestasi 51 persen saham PT Kaltim Prima Coal (KPC). Bayangkan, sudah lebih empat belas tahun divestasi saham diperjuangkan, tapi ada pihak kelompok tertentu yang notabene tokoh-tokoh Kalimantan Timur berusaha menghalang-halangi.
Divestasi saham adalah kewajiban perusahaan pertambangan batubara yang mengantongi izin PKP2B (Perjanjian Kontrak Pertambangan Batubara). Dalam surat perjanjian yang telah disepakati pemerintah dan pengusaha pertambangan itu diatur kewajiban perusahaan melepas sahamnya secara bertahap mulai dari 15 persen, 30 sampai dengan 51 persen.
Semangat divestasi ini agar putra-putri Indonesia bisa menjadi petambang batubara juga. Jika dulu tambang batubara hanya diolah oleh perusahaan asing, maka dengan perjanjian itu ada kesempatan orang Indonesia mengelola sumber daya alamnya sendiri. Divestasi saham diprioritaskan dijual kepada pemerintah (pusat atau daerah) – tentunya boleh menggandeng pengusaha lokal juga.
Tapi rupanya, angka divestasi 51 persen saham PT KPC sangatlah besar. Sekitar US$ 419 juta atau Rp3,77 Triliun (kurs Rp9.000 dengan harga 100 persen PT KPC US$ 822, sesuai dengan perhitungan pemerintah dengan PT KPC sebelum akuisisi ke PT Bumi Resources tbk). Ini angka yang fantastis, menggiurkan, sehingga mengundang imajinasi jahat beberapa pihak. Persengkongkolan pengusaha dengan politikus serta oknum pemerintah sendiri.
Terbukti sudah. Kewajiban divestasi mulai diakali oleh para pemegang saham PT KPC, agar tidak pernah terjadi lagi. Hak Pemerintah Daerah dikaburkan agar menjadi hak kelompok tertentu. Kekuatan politik ikut masuk untuk membuat sebuah restu palsu.
Skenario persengkongkolan pengusaha – politikus – pemerintah itu terbaca dengan gamblang ketika ada kesempatan pemerintah provinsi Kaltim melakukan gugatan lewat arbitrase internasional kepada para pemegam saham PT KPC, baik yang lama Rio Tinto dan Beyond Petroleum maupun pemegang saham baru PT Bumi Resources tbk.
Semua organ yang bersengkongkol memainkan peranan masing-masing mengikuti selera dari para pemegang saham agar gugatan itu batal. Mulai dari mengulur-ulur jadwal pembicaraan soal pembiayaan persidangan, membuat opini bahwa jalur arbitrase tidak lebih baik dari negosiasi langsung, sampai dengan pencarian dukungan publik bahwa uang APBD tidak boleh digunakan untuk biaya berperkara di pengadilan.
Luar biasa. Demi membela sebuah korporasi yang menguras sumber daya alam Kalimantan Timur, tokoh-tokoh politik dan pemerintah daerah ini berani menyampingkan hak daerah dalam soal divestasi. Untuk sebuah persengkongkolan mereka berani merampok hak-hak daerah agar menjadi hak mereka. ***