Sabtu, 30 Juli 2011

Cocoknya Negara Federal

Aksi ‘heroik’ Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) dengan mengajukan gugatan JR (judicial review) ke MK (Mahkamah Konstitusi) di Jakarta, menjadi aksi pemanasan dari reaksi ketidakpuasan rakyat daerah dengan pusat.

Pilih mana. Judicial review, otonomi khusus atau Negara federal? Pertanyaan itu sengaja dilempar pengelola akun Bmagazine di jejaring sosial facebook. Hasilnya, selama dua hari ditayangkan, para member yang umumnya kalangan terdidik itu memilih Otsus atau otonomi khusus, 52 persen. Posisi kedua memilih Kaltim menjadi negara federal (33 persen) dan selebihnya membuat pilihan lain seperti ‘merdeka’ dan ‘perang’.

Tentu saja, ini bukan polling ilmiah seperti dilakukan lembaga riset atau lembaga survei yang kredibel. Hanya untuk mengukur apa masyarakat ada yang peduli terhadap perjuangan MRKTB yang segera mengajukan surat gugatan. Hasilnya, masyarakat peduli, tapi lebih senang kalau tuntutan lebih tinggi lagi, yaitu otonomi khusus.

Apa sih beda tuntuan JR, Otsus dan negara federal?

Kalau mengikuti rencana gugatan dari MRKTB, sebenarnya ini berawal dari ketidakpuasan Pemerintah Kalimantan Timur terhadap dana bagi hasil (DBH) sektor pertambangan. Sebagai daerah penghasil minyak dan gas serta batubara, berdasar UU Nomor 25 tahun 1999 dan telah diubah menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah, seluruh kabupaten / kota dan provinsi menerima sekitar Rp10 triliun dari DBH. Seperti diketahui dalam APBD, selain ada DBH ada juga DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus).
Angka sekitar Rp10 triliun itu dirasa tidak berkeadilan. Apalagi diketahui kontribusi Kaltim pada devisa mencapai Rp320 triliun per tahun.

Dari dasar itu, rupanya MRKTB menggugat pasal pembaginya agar dinaikkan angkanya menjadi setidaknya 30 persen sektor Migas untuk Kaltim. Sistem bagi hasil yang dianut sekarang, yakni dari minyak bumi 84,5 persen pemerintah pusat dan 15,5 persen pemerintah daerah, serta gas bumi sebanyak 69,5 persen pemerintah pusat dan pemerintah daerah 30,5 persen.

Bagaimana dengan Otsus? Kalau mengikuti daerah-daerah seperti Aceh dan Papua yang telah menikmati status Otsus, angka APBD mereka naik sampai 150 persen dari kondisi sebelumnya. Ada dana otonomi khusus yang digulirkan pemerintah pusat untuk membantu Papua dan Aceh. Walaupun hitung-hitungannya belum jelas dari mana ‘penyisihan’ dananya, tapi setidaknya hasil bumi dan sumber daya alam sudah lebih besar kembali ke daerah.

Pilihan menjadi negara federal, sebenarnya lebih pada keniscayaan. Masih banyak tokoh-tokoh yang merasa tidak yakin Kaltim bisa berhasil dengan menempuh upayagugatan itu? Seakan-akan tuntutan menjadi negara federal adalah sama dengan memisahkan diri dari Indonesia.

Rendi S Ismail, salah seorang tokoh di Balikpapan, masih percaya Kaltim dapat menempuh upaya itu. “Itu alternative pilihan,” katanya.

Dari sudut sejarah, upaya federasi itu sebenarnya sistim yang sudah pernah ada. Yakni berkuasanya para sultan dan raja di Kalimantan. Kesultanan dan kerajaan di Kalimantan bersedia melebur dengan pemerintah Indonesia, tapi kemudian – entah kenapa – ikut menanggalkan semua kekuasaannya. Inilah kesalahan fatal dari para pendiri negeri ini, karena sistim negara saat ini tidak memberikan kemakmuran pada rakyat Kalimantan Timur.

Jika dikembalikan pada sistim negara federal, pemerintahan lokal bisa berkuasa atas kebijakan sumber daya alam dan lainnya di daerah sendiri. #



///1HALAMAN///


/////untuk ilustrasi carike foto demo///////


Kaltim Bisa Lebih Keras


Judicial Review atas UU 33/2004 adalah tuntutan akan hak Kaltim, penyumbang Rp 320 trilyun APBN, jika upaya ini kandas jalan keluarnya otonomi khusus atau federal.

______________


Kalimantan Timur, memberikan kontribusi hingga seperempat bagian total APBN Rp1.229 trilyun atau sebesar Rp 320 trilyun, Rp 130 trilyun di antaranya dari Kutai Kartanegara. Secara keseluruhan Kaltim memperoleh pengembalian sekitar Rp 17 trilyun, sedangkan Kutai Kartanegara hanya memperoleh Rp2,3 trilyun.
Sisanya dinikmati oleh sebagian besar daerah beroreintasi industri dan pariwisata. Duit dari SDA Kaltim paling besar dinikmati oleh DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara dan Jawa Barat. Coba lihat indeks pembangunan manusia (IPM) empat provinsi itu berada di atas Kalimantan Timur yang menempati rangking 9, IPM nasional.
Infraststruktur Kaltim jauh di bawah Yogyakarta, jauh di bawah Jabar. Apalagi Bali dan Kota Manado. Wajar jika kemudian rakyat Kaltim geram dan berontak menuntut pembagian yang proporsional atas royalti sumberdaya alam bagi pembangunan Kaltim yang lebih baik.
Coba lihat lagi perjanjian kontrak pertambangan yang tidak seragam. Misal: equity share pertambangan minyak bumi berlain-lainan, perhitungan net operating income (NOI) untuk migas tidak jelas. Bahkan kontraktor sering mencantumkan biaya operasional terlalu besar sehingga angka NOI sangat kecil.
Penerimaan SDA dikumpulkan berdasarkan letak kantor perusahaan, bukan lokasi eksploitasi, ditambah lagi lokasi penambangan off shore belum diatur jelas dalam undang - undang. “Ada banyak departemen yang terlibat dalam penerimaan SDA, sulit dikontrol akurasinya. Cara penarikan dan tarif iuran tidak seragam,” kata Ilham Zain, kandidat Master Administrasi Publik UGM.
PKP2B seolah kitab suci yang tak dapat dikoreksi.Bahkan akibat dominasi pemerintah pusat dalam pengaturan tataniaga batubara menyeret banyak pejabat daerah masuk bui dan bermasalah secara hukum. Awang Faroek Ishak adalah salah satunya yang jadi tumbal PKP2B PT Kaltim Prima Coal.
Adalah Farid Wadjdy, Kamis 14 April 2011, saat melawat ke utara Kalimatan Timur secara resmi, Wagub Kaltim itu menyatakan gugatan judicial review terhadap UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan harus dimulai dengan seksama dan sistimatis agar tidak gagal.
Sebelumnya dari Karang Paci, Ir Gunawarman juga melontarkan tekad DPRD Kaltim untuk mempertanyakan pembagian yang kurang adil atas kontribusi daerahnya sebesar Rp 320 trilyun pertahun ke pemerintah pusat dan kurang dari 10 persen yang dikembalikan ke Kaltim untuk dibagi ke 14 kota dan kabupaten.
Angka kemiskinan yang mencapai 7,60% dan pengangguran sebanyak 10,10%. Memberikan kontribusi terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kaltim yang berada di rangking 10 nasional. Padahal daerah ini menyumbang APBN sebesar Rp 320 triliun.
“Coba bayangkan, yang kembali ke kita kecil sekali, jalan di pedalaman amburadul, masyarakat terpencil dan perbatasan terbengkalai, IPM kita terendah dibanding daerah penghasil migas lainnya. Jadi jangan salhkan kami, jika menempuh upaya hukum judicial review, karena sejatinya kita berhak menikmati lebih besar,” kata Abraham Ingan, Ketua Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB), ketika berbincang dengan Muhammad Idris, di Balikpapan pekan tadi.
Bayangkan, Kaltim yang mengalami perubahan morfologi laut, darat dan ketercemaran udara akibat eksploitasi migas hanya memperoleh 15 persen dari minyak dan 30 persen gas dari perut bumi Kalimantan Timur. ”Bagian terbesar dinikmati pusat. Celakanya lagi, penerima pembagian dari Kaltim ke daerah lain lebih besar dinikmati oleh daerah daerah yang beroreintasi industri dan pariwisata, sementara kami tidak punya jalanan yang bagus, pendidikan yang memadai,” kata Abraham.
Road show yang dilakukan DPRD Kaltim ke daerah penghasil migas lainnya, untuk bersama sama melakukan gugatan JR menurut Ir Gunawarman, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mulai menunjukkan hasil positif. “Langkah ini untuk memperkuat dukungan agar pemerintah pusat mengubah porsi anggaran dari alokasi APBN ke Kaltim yang selama ini masih dirasa tidak proporsional,” katanya.
Rendi S Ismael, tokoh muda Balikpapan malah lebih lantang meneriakkan JR. ”Jika upaya yang dilakukan mentok akibat intrik politik pemerintah pusat dan berbagai dalih yang tidak masuk akal, agaknya pantas kalau sekalian kita menuntut negara federal Kalimantan Timur,” katanya, beberapa waktu lalu di Balikpapan.
Memang, menurut Rendi aspek kesejarahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan acuan negara federal sekarang akan sangat berbeda. ”Kalau dulu adalah konsep pemaksaan Belanda akibat Konfrensi Meja Bundar, sekarang adalah tuntutan keadilan pembiayaan pembangunan agar Kaltim lebih sejahtera,” katanya.
Ini juga senada dengan tekad Abraham Ingan yang jika gagal di judicial review akan menempuh cara yang lebih keras lagi. Dari berbagai literatur sejarah yang ada, saat Indonesia berbentuk RIS, Kalimantan menjadi perhatian amar KMB (Konferensi Meja Bundah). Ini terbukti dengan terbentuknya Negara Kalimantan Timur, Negara Kalimantan Barat, Negara Kalimantan Tenggara, Negara Banjar dan Negara Dayak Besar.
“Jika memang keadaan memaksa, kita bisa melaksanakan referendum dua opsi otonomi khusus atau federasi, kendati hal itu akan menempuh jalan yang sangat panjang dan akan mengubah UUD Republik Indonesia. Jika memang itu jalan satu satunya, akan kami lakukan,” tambah Abraham Ingan yang sedang sibuk memediasi perseteruan Laskar Lagaligo dengan pasukan Forum Komunikasi Putra Asli Kalimantan di Balikpapan. #



//////////////////////////////////////

Cocoknya Negara Federal

Aksi ‘heroik’ Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) dengan mengajukan gugatan JR (judicial review) ke MK (Mahkamah Konstitusi) di Jakarta, menjadi aksi pemanasan dari reaksi ketidakpuasan rakyat daerah dengan pusat.

Pilih mana. Judicial review, otonomi khusus atau Negara federal? Pertanyaan itu sengaja dilempar pengelola akun Bmagazine di jejaring sosial facebook. Hasilnya, selama dua hari ditayangkan, para member yang umumnya kalangan terdidik itu memilih Otsus atau otonomi khusus, 52 persen. Posisi kedua memilih Kaltim menjadi negara federal (33 persen) dan selebihnya membuat pilihan lain seperti ‘merdeka’ dan ‘perang’.

Tentu saja, ini bukan polling ilmiah seperti dilakukan lembaga riset atau lembaga survei yang kredibel. Hanya untuk mengukur apa masyarakat ada yang peduli terhadap perjuangan MRKTB yang segera mengajukan surat gugatan. Hasilnya, masyarakat peduli, tapi lebih senang kalau tuntutan lebih tinggi lagi, yaitu otonomi khusus.

Apa sih beda tuntuan JR, Otsus dan negara federal?

Kalau mengikuti rencana gugatan dari MRKTB, sebenarnya ini berawal dari ketidakpuasan Pemerintah Kalimantan Timur terhadap dana bagi hasil (DBH) sektor pertambangan. Sebagai daerah penghasil minyak dan gas serta batubara, berdasar UU Nomor 25 tahun 1999 dan telah diubah menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah, seluruh kabupaten / kota dan provinsi menerima sekitar Rp10 triliun dari DBH. Seperti diketahui dalam APBD, selain ada DBH ada juga DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus).
Angka sekitar Rp10 triliun itu dirasa tidak berkeadilan. Apalagi diketahui kontribusi Kaltim pada devisa mencapai Rp320 triliun per tahun.

Dari dasar itu, rupanya MRKTB menggugat pasal pembaginya agar dinaikkan angkanya menjadi setidaknya 30 persen sektor Migas untuk Kaltim. Sistem bagi hasil yang dianut sekarang, yakni dari minyak bumi 84,5 persen pemerintah pusat dan 15,5 persen pemerintah daerah, serta gas bumi sebanyak 69,5 persen pemerintah pusat dan pemerintah daerah 30,5 persen.

Bagaimana dengan Otsus? Kalau mengikuti daerah-daerah seperti Aceh dan Papua yang telah menikmati status Otsus, angka APBD mereka naik sampai 150 persen dari kondisi sebelumnya. Ada dana otonomi khusus yang digulirkan pemerintah pusat untuk membantu Papua dan Aceh. Walaupun hitung-hitungannya belum jelas dari mana ‘penyisihan’ dananya, tapi setidaknya hasil bumi dan sumber daya alam sudah lebih besar kembali ke daerah.

Pilihan menjadi negara federal, sebenarnya lebih pada keniscayaan. Masih banyak tokoh-tokoh yang merasa tidak yakin Kaltim bisa berhasil dengan menempuh upayagugatan itu? Seakan-akan tuntutan menjadi negara federal adalah sama dengan memisahkan diri dari Indonesia.

Rendi S Ismail, salah seorang tokoh di Balikpapan, masih percaya Kaltim dapat menempuh upaya itu. “Itu alternative pilihan,” katanya.

Dari sudut sejarah, upaya federasi itu sebenarnya sistim yang sudah pernah ada. Yakni berkuasanya para sultan dan raja di Kalimantan. Kesultanan dan kerajaan di Kalimantan bersedia melebur dengan pemerintah Indonesia, tapi kemudian – entah kenapa – ikut menanggalkan semua kekuasaannya. Inilah kesalahan fatal dari para pendiri negeri ini, karena sistim negara saat ini tidak memberikan kemakmuran pada rakyat Kalimantan Timur.

Jika dikembalikan pada sistim negara federal, pemerintahan lokal bisa berkuasa atas kebijakan sumber daya alam dan lainnya di daerah sendiri. #


Kaltim Bisa Lebih Keras

Judicial Review atas UU 33/2004 adalah tuntutan akan hak Kaltim, penyumbang Rp 320 trilyun APBN, jika upaya ini kandas jalan keluarnya otonomi khusus atau federal.

Kalimantan Timur, memberikan kontribusi hingga seperempat bagian total APBN Rp1.229 trilyun atau sebesar Rp 320 trilyun, Rp 130 trilyun di antaranya dari Kutai Kartanegara. Secara keseluruhan Kaltim memperoleh pengembalian sekitar Rp 17 trilyun, sedangkan Kutai Kartanegara hanya memperoleh Rp2,3 trilyun.

Sisanya dinikmati oleh sebagian besar daerah beroreintasi industri dan pariwisata. Duit dari SDA Kaltim paling besar dinikmati oleh DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara dan Jawa Barat. Coba lihat indeks pembangunan manusia (IPM) empat provinsi itu berada di atas Kalimantan Timur yang menempati rangking 9, IPM nasional.

Infraststruktur Kaltim jauh di bawah Yogyakarta, jauh di bawah Jabar. Apalagi Bali dan Kota Manado. Wajar jika kemudian rakyat Kaltim geram dan berontak menuntut pembagian yang proporsional atas royalti sumberdaya alam bagi pembangunan Kaltim yang lebih baik.

Coba lihat lagi perjanjian kontrak pertambangan yang tidak seragam. Misal: equity share pertambangan minyak bumi berlain-lainan, perhitungan net operating income (NOI) untuk migas tidak jelas. Bahkan kontraktor sering mencantumkan biaya operasional terlalu besar sehingga angka NOI sangat kecil.

Penerimaan SDA dikumpulkan berdasarkan letak kantor perusahaan, bukan lokasi eksploitasi, ditambah lagi lokasi penambangan off shore belum diatur jelas dalam undang - undang. “Ada banyak departemen yang terlibat dalam penerimaan SDA, sulit dikontrol akurasinya. Cara penarikan dan tarif iuran tidak seragam,” kata Ilham Zain, kandidat Master Administrasi Publik UGM.

PKP2B seolah kitab suci yang tak dapat dikoreksi.Bahkan akibat dominasi pemerintah pusat dalam pengaturan tataniaga batubara menyeret banyak pejabat daerah masuk bui dan bermasalah secara hukum. Awang Faroek Ishak adalah salah satunya yang jadi tumbal PKP2B PT Kaltim Prima Coal.

Adalah Farid Wadjdy, Kamis 14 April 2011, saat melawat ke utara Kalimatan Timur secara resmi, Wagub Kaltim itu menyatakan gugatan judicial review terhadap UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan harus dimulai dengan seksama dan sistimatis agar tidak gagal.

Sebelumnya dari Karang Paci, Ir Gunawarman juga melontarkan tekad DPRD Kaltim untuk mempertanyakan pembagian yang kurang adil atas kontribusi daerahnya sebesar Rp 320 trilyun pertahun ke pemerintah pusat dan kurang dari 10 persen yang dikembalikan ke Kaltim untuk dibagi ke 14 kota dan kabupaten.

Angka kemiskinan yang mencapai 7,60% dan pengangguran sebanyak 10,10%. Memberikan kontribusi terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kaltim yang berada di rangking 10 nasional. Padahal daerah ini menyumbang APBN sebesar Rp 320 triliun.

“Coba bayangkan, yang kembali ke kita kecil sekali, jalan di pedalaman amburadul, masyarakat terpencil dan perbatasan terbengkalai, IPM kita terendah dibanding daerah penghasil migas lainnya. Jadi jangan salhkan kami, jika menempuh upaya hukum judicial review, karena sejatinya kita berhak menikmati lebih besar,” kata Abraham Ingan, Ketua Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB), ketika berbincang dengan Muhammad Idris, di Balikpapan pekan tadi.

Bayangkan, Kaltim yang mengalami perubahan morfologi laut, darat dan ketercemaran udara akibat eksploitasi migas hanya memperoleh 15 persen dari minyak dan 30 persen gas dari perut bumi Kalimantan Timur. ”Bagian terbesar dinikmati pusat. Celakanya lagi, penerima pembagian dari Kaltim ke daerah lain lebih besar dinikmati oleh daerah daerah yang beroreintasi industri dan pariwisata, sementara kami tidak punya jalanan yang bagus, pendidikan yang memadai,” kata Abraham.

Road show yang dilakukan DPRD Kaltim ke daerah penghasil migas lainnya, untuk bersama sama melakukan gugatan JR menurut Ir Gunawarman, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mulai menunjukkan hasil positif. “Langkah ini untuk memperkuat dukungan agar pemerintah pusat mengubah porsi anggaran dari alokasi APBN ke Kaltim yang selama ini masih dirasa tidak proporsional,” katanya.

Rendi S Ismael, tokoh muda Balikpapan malah lebih lantang meneriakkan JR. ”Jika upaya yang dilakukan mentok akibat intrik politik pemerintah pusat dan berbagai dalih yang tidak masuk akal, agaknya pantas kalau sekalian kita menuntut negara federal Kalimantan Timur,” katanya, beberapa waktu lalu di Balikpapan.

Memang, menurut Rendi aspek kesejarahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan acuan negara federal sekarang akan sangat berbeda. ”Kalau dulu adalah konsep pemaksaan Belanda akibat Konfrensi Meja Bundar, sekarang adalah tuntutan keadilan pembiayaan pembangunan agar Kaltim lebih sejahtera,” katanya.

Ini juga senada dengan tekad Abraham Ingan yang jika gagal di judicial review akan menempuh cara yang lebih keras lagi. Dari berbagai literatur sejarah yang ada, saat Indonesia berbentuk RIS, Kalimantan menjadi perhatian amar KMB (Konferensi Meja Bundah). Ini terbukti dengan terbentuknya Negara Kalimantan Timur, Negara Kalimantan Barat, Negara Kalimantan Tenggara, Negara Banjar dan Negara Dayak Besar.

“Jika memang keadaan memaksa, kita bisa melaksanakan referendum dua opsi otonomi khusus atau federasi, kendati hal itu akan menempuh jalan yang sangat panjang dan akan mengubah UUD Republik Indonesia. Jika memang itu jalan satu satunya, akan kami lakukan,” tambah Abraham Ingan yang sedang sibuk memediasi perseteruan Laskar Lagaligo dengan pasukan Forum Komunikasi Putra Asli Kalimantan di Balikpapan. #



//////////////////////////////////////

Tragedi Kolam Maut

Sejak otonomi daerah bergulir, Pemerintah Kota Samarinda sudah tergiur untuk menerbitkan izin pertambangan batubara. Walau visi dan misi tercatat sebagai kota jasa dan perdagangan dan bukan pertambangan, tapi tak menyurutkan semangat para pemimpinnya waktu itu. Setidaknya ada 63 izin tambang skala kecil diterbitkan Wali Kota Samarinda era Achmad Amins.
Ditambah 5 IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan beberapa PKP2B yang izinnya dari pemerintah pusat, maka setidaknya tercaplok 43 ribu hektar tanah daratan Kota Samarinda berada di kawasan tambang. Atau sekitar 60 persen luas keseluruhan Samarinda yang mencapai 71 ribu hektar.
Tidak mengherankan kalau hasilnya adalah bencana lumpur, bencana banjir, bencana longsor, bencana jalan-jalan umum yang rusak karena dilalui tambang dan bencana dangkalnya sungai. Bahkan terputusnya bentang alam karena bukit-bukit yang dipotong.
Kian tahun, bencana itu bertambah lagi. Seperti yang terjadi di areal tambang PT Himko Coal Kelurahan Sambutan Samarinda Ilir, dua pekan silam. Tiga bocah yang mestinya ceria di sekolah harus meregang nyawa. Ketiganya, Ruh Zunaidi, Rahmadhani dan Miftahul Zanah, tewas tenggelam di kolam tambang perusahaan.
Hilangnya nyawa bisa dikatagorikan takdir. Tapi keberadaan ketiga bocah sampai berada di dalam areal kolam maut pertambangan, menguak fakta-fakta begitu lalainya PT Himko Coal menjaga arealnya. Perusahaan tidak melakukan pemagaran dan membiarkan areal tambang hingga siapa saja bisa memasukinya.
Pemerintah Kota Samarinda juga telah bertindak sembrono dalam menerbitkan izin-izin tambang, tanpa dilengkapi dengan instrument pendukung. Misalnya pengawasan kepada perusahaan yang lalai tidak memagar arealnya. Pemerintah membiarkan izin-izin yang diterbitkan, setelah menerima ‘bayaran’ berupa pajak atau iuran resmi yang ditentukan pemerintah. Setelah menerima uangnya, kawasan tambang dibiarkan sampai merana, bahkan membiarkan perusahaan seenaknya tidak menimbun kembali, tidak memagar dan membiarkan jalan-jalan umum dipakai mobil tambang.
Warga Samarinda tengah berada di fase kemarahan stadium satu. Ditambah adanya kematian tiga bocah di lahan PT Himko Coal Sambutan, kemarahan itu mulai kian memunculkan ketidakpercayaan rakyat kepada para pemimpinnya. Para orangtua mulai ketakutan terhadap anak-anak mereka, karena lokasi kolam terbuka seperti di PT Himko Coal ada di mana-mana. Sebutlah di depan Perumnas Bengkuring yang lahannya dibiarkan porak poranda setelah ditambang semi mekanis untuk dijual karungan.
Sayangnya pemerintahan Syaharie Jaang – Nusyirwan Ismail tak juga tergerak hatinya untuk menjadikan kasus kematian ketiga bocah itu untuk ‘memukul’ semua pengusaha tambang daerah ini. Padahal, Syaharie Jaang dan Nusyirwan tinggal memerintahkan agar perusahaan memagar dan tidak mematuhinya bisa mencabut izinnya. Sekali lagi, sayang, tidak ada itikad Pemkot Samarinda menertibkan. #

Reformasi TVRI Lokal

Bisnis stasiun televisi swasta kian seksi. Bayangkan, tahun 2011 ini saja, belanja iklan nasional ditaksir tak kurang dari Rp60 triliun masuk ke lembaga-lembaga penyiaran swasta dan publik (LPS dan LPP). Itu juga yang jadi penyebab televisi swasta seperti Trans7, TV ONE, RCTI dan lainnya berlomba menangkap iklan dengan berbagai program acara.

Tak cukup dengan program, stasiun tv swasta juga berusaha meyakinkan para pengiklan dengan jangkauan siaran ke seluruh pelosok Indonesia. Apalagi Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 31, memang menyebutkan LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan.

Singkat kata, televisi lokal belakangan mulai kedatangan ‘tamu’ dari manajemen tv-tv nasional. Mereka membawa misi ingin bekerjasama, baik dalam permodalan maupun konten siaran. Di Kalimantan Timur misalnya, salah satu LPS yang menggunakan pemancar antene terestrial, Kaltim TV, kedatangan dua calon menawari ikut bekerjasama. “Kami wellcome, tapi coba kami pelajari dulu tawaran dari tv jaringan Jakarta itu,” kata Agus Suwandi, pemilik saham mayoritas PT Kaltim Televisi di Samarinda.

Tawaran kerjasama seperti itu, sebenarnya menjadi angin segar bagi tv-tv lokal. Maklum, umumnya manajemen tv lokal berada dalam posisi tidak sehat. Biaya produksi dan operasional yang tinggi, tidak seimbang dengan perolehan iklannya. Kalaupun ada iklan, umumnya dari pemerintah lokal dan nilainya belum cukup untuk menghidupi tv-tv lokal. Belum lagi masalah sumber daya manusia (SDM) pengelolaan tv lokal, sehingga tak mampu menghasilkan siaran bermutu.

Alih-alih ingin bekerjasama, tapi sebenarnya tamu-tamu dari tv jaringan itu punya hasrat kuat mencaplok semua saham pemilik tv lokal. Tentu dengan catatan, kalau pemilik awal bersedia melepaskan. Kalau tidak bisa dengan opsi begitu, tv jaringan ingin masuk menguasai mayoritas saham. Intinya, tv jaringan bersedia menggulirkan sekitar Rp5 miliar untuk menggaet tv lokal. Mereka mau menguasai 80 sampai 90 persen saham.

Menggiurkan? Tunggu dulu. Kalau skenario ‘pencaplokan’ saham tv lokal oleh tv-tv jaringan berhasil, konsekuensinya adalah siaran lokal juga hanya bisa berkisar 10-20 persen sesuai besaran sahamnya. Atau paling banter 3 jam dalam sehari. Dengan skenario jumlah siaran seperti itu, dipastikan publik Kaltim akan terus dijejali oleh siaran-siaran nasional dari Jakarta. Keinginan mengangkat nilai-nilai lokal, jadi mimpi bersama.

Tapi, harapan masih ada dari TVRI. Lembaga penyiaran tertua ini sudah lebih dulu memiliki tv jaringan di Indonesia. Tidak ada stasiun tv swasta yang bisa mengalahkan jangkauan siaran milik pemerintah ini.

Di Kaltim sendiri, TVRI lokal sudah siaran via satelit. Pemprov setempat membantu anggaran melalui APBD agar siarannya dapat ditonton warga di 14 kabupaten / kota daerah itu. Sayangnya, TVRI baru memanfaatkan waktu siarnya selama 4 jam sehari. Ada persoalan lain menyangkut biaya produksi dan operasional kalau menambah jam siaran.

“Sekarang ini kita dikasih kesempatan untuk berkarya di daerah. Silakan berkreasi,” kata Syarifuddin Lakku, Kepala Stasiun TVRI Kaltim. Itu sebab, ia mengibaratkan TVRI Kaltim di tangannya akan berbenah, mereformasi diri. #

Bergolak di Kebun Sawit


Para aktivis lingkungan mengangkat tangan, menunjukkan jari yang membentuk huruf V yang dikenal dengan kata victory. Ya, itulah kemenangan para aktivis lingkungan yang berhasil membujuk negara-negara berkembang seperti Indonesia menandatangani kesepakatan Oslo.

Sejak Konferensi Iklim dan Kehutanan di Oslo, Norwegia, 26-27 Mei 2010 dan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia harus ‘bertekuk lutut’ menjaga keutuhan hutannya. Salah satu poinnya adalah moratorium izin perkebunan kelapa sawit.

Perusahaan besar tidak lagi diperbolehkan memperluas lahannya dengan alasan demi menyelamatkan lingkungan dari pemanasan global. Begitu pula perorangan (plasma) harus mengubur mimpinya punya kebun kelapa sawit.

Aturan itu berlaku efektif mulai tahun 2011. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sedang menyiapkan peraturan pelaksananya berupa peraturan pemerintah (PP), yakni mengatur moratorium konversi perkebunan kelapa sawit dari hutan primer, juga moratorium konversi perkebunan kelapa sawit dari hutan gambut.

Pada sisa waktu menjelang 2011 inilah rupanya beberapa perusahaan perkebunan berusaha menggenjot luasan arealnya. Pengusaha yang terlanjur mengurus perizinan dibuat kalang kabut, sebagian harus merubah perencanaan perkebunannya.

Reaksi negatif juga ditunjukkan oleh GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) dan KADIN (Kamar Dagang dan Industri). Kedua lembaga para pengusaha itu protes, menuding adanya konspirasi negara-negara maju menekan negara berkembang seperti Indonesia. Munculnya kesepakatan itupun dituding sebagai penghalang terserapnya tenaga kerja di sektor perkebunan.

Perjanjian Oslo, seakan begitu cepatnya sampai di Kecamatan Sekatak Kabupaten Bulungan. Perusahaan perkebunan kelapa sawit di sana, PT Sanjung Makmur, tengah berusaha memperluas lahannya. Perusahaan mengklain sudah memiliki izin untuk memperluas lahan sawit mereka.

Tapi, celakanya, lahan yang terlanjur dibabat adalah kebun-kebun buah yang diklaim milik masyarakat Sekatak. Kebun itu menjadi sumber pendapatan warga, sehingga mereka marah. Maka, konflik tak terhindarkan. Masyarakat Sekatak bersikeras perusahaan sudah merusak lahan mereka.

Kabupaten Bulungan termasuk salah satu daerah yang tergiur dengan cerita kejayaan perkebunan kelapa sawit, sehingga menyiapkan lahan untuk perkebunan sekitar 400.000 hektar untuk komoditi itu. Sudah lebih 20 perusahaan perkebunan mendapat izin dan yang masih berproses, dengan luasan keseluruhan sekitar 300 ribu hektar.

Data yang dimiliki media ini menyebutkan, di areal kebun PT Sanjung Makmur sudah mulai tergarap 236 hektar kebun plasma, melengkapi kebun intinya yang luasnya sudah 2.064 hektar. Untuk plasma, perusahaan itu menjalin kemitraan dengan kelompok tani Suka Maju seluas 48 Ha, Kelompok Tani Suka Sukses (64 Ha), kelompok tani Maju Bersama (46 Ha) dan Koperasi Anugerah Tani seluas 78 Ha. Rencananya pola plasma juga akan dibuka untuk masyarakat Desa Kendari, Kelencauan, Pentian, Keriting, Desa Pungit, Desa Ambalat, Belilau, Kujau dan Mendupo.

Perusahaan PT Sanjung Makmur termasuk diandalkan oleh pemerintah di sana, karena pemiliknya adalah pengusaha lokal bernama Lim Tung. Apalagi perusahaan itu sudah membangun pabrik CPO (crude palm oil), sebagai industri ilir.

Sebenarnya, pergolakan di kebun sawit, tak hanya terjadi di Bulungan. Hampir di semua kabupaten yang jor-joran mengejar perkebunan kelapa sawit, konflik dengan petani terjadi. Simak saja bagaimana petani di Simenggaris Nunukan berebut lahan dengan PT TML (Tunas Mandiri Lumbis). Kemudian di Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Kabupaten Paser. *

Devide Et Impera


Politik adu domba. Itu terjemahan bebas dari devide et impera. Kalimat yang identik dengan politik Belanda ketika menjajah Indonesia.
Tujuan Belanda waktu itu sangat jelas. Yakni memecah kelompok besar menjadi kecil-kecil. Dengan demikian tidak ada kekuatan besar yang bisa mengalahkan Belanda.
Sebenarnya, bukan cuma Belanda yang menerapkan strategi ‘pecah belah’. Bukan pula hanya ada dalam dunia politik, tetapi taktik seperti itu selalu muncul pada bidang-bidang yang punya kuasa besar seperti sektor ekonomi.
Devide et impera sudah menjadi strategi standar. Yang digunakan untuk mempertahankan keuntungan besar perusahaan dari tuntutan buruh, bahkan tuntutan masyarakat dan pemerintah lokal di mana perusahaan itu beroperasi.
Entah disadari atau tidak, setidaknya rakyat Kalimantan Timur pernah menyaksikan adanya praktik mirip devide et impera ketika PT Kaltim Prima Coal (KPC) diwajibkan mendisvestasikan sahamnya kepada pemerintah atau pengusaha dalam negeri. Begitu banyak yang mengincar saham itu, sampai akhirnya sesama lembaga dan orang Kaltim saling mencurigai dan berbuntut perpecahan.
Waktu itu, antar pemerintah sudah ‘berperang’. Pemerintah pusat dan oknum-oknumnya punya agenda sendiri, begitu juga Pemerintah Provinsi Kaltim yang dikomandani Gubernur Suwarna AF serta Bupati Kutai Timur, Mahyudin.
Belum lagi ada kelompok-kelompok pengusaha yang juga sama-sama mengincar keuntungan jika membeli saham perusahaan batubara yang beroperasi di Sengata Kutai Timur itu.
Pendek cerita, karena masing-masing pemerintahan punya agenda, polemik pun tak terhindarkan. Masing-masing membawa ‘jago’ siapa yang mau membeli saham. Sampai akhirnya jatuh ke tangan BUMI (Bumi Resources), perusahaan yang sahamnya ada dimiliki Aburizal Bakrie.
Alih-alih bisa memiliki saham, yang terjadi adalah ‘pertempuran’ panjang. Masing-masing tingkatan pemerintahan berargumentasi paling berhak, tapi akhirnya hanya pemerintahan Kutai Timur yang dapat goodwill sebesar 5 persen. Padahal, waktu itu Pemprov Kaltim yang paling gigih.
Entah disadari atau tidak, atau entah ada yang memainkan atau tidak, yang pasti tidak ada kesamaan berpikir antar tingkat pemerintahan waktu itu. Masing-masing ngotot membawa argumen sendiri dan memberikan kesan adanya perpecahan di pemerintahan. Semua mempertahankan egonya.
Pengalaman buruk bernegosiasi soal divestasi saham KPC, boleh jadi menimbulkan kesadaran orang-orang pemerintahan. Tapi, anehnya, justru ketika masuk membahas soal kemungkinan memiliki saham di perusahaan pengelola ladang minyak dan gas Blok Mahakam, skenario yang ditempuh nyaris sama.
Pemerintah Provinsi Kaltim yang nampak tergiur, bertindak menyusun skenario sendiri. Menggandeng calon pembeli saham dan pengelolanya dari PT Yudhistira Bumi Energi. Tidak ketinggalan Pemprov juga membuat perusahaan sendiri PT PT Migas Mandiri Pratama (MMP). Ini adalah perusahaan daerah (Perusda) baru di Pemprov Kaltim yang direktur utamanya Sofyan Helmi.
Skenario Pemprov, PT YBE dan PT MMP akan membentuk lagi perusahaan patungan bernama PT Cakra Pratama Energi (CPE). Inilah perusahaan yang bergerak menjadi pengelola baru sumur Migas Blok Mahakam itu. Tak hanya sebatas skenario, tapi sudah ada bagi-bagi tentang kepemilikan saham.
Kalau dicermati, Pemprov benar-benar berusaha keras menggolkan maksudnya. Sama seperti yang dilakukan Pemprov Kaltim ketika berjuang mendapatkan saham PT Kaltim Prima Coal (KPC). Waktu itu, Gubernur Kaltim Suwarna AF juga membawa PT Intan Ini Pradana sebagai calon pembeli saham PT KPC. Sampai akhirnya ‘bertempur’ dengan Pemkab Kutim yang merasa berhak karena perusahaan beroperasi di daerah mereka.
Bagaimana dengan Blok Mahakam?
‘Pertempuran’ serupa nampaknya nyaris tak terhindarkan juga. Sebab Blok Mahakam berada di wilayah administrasi Kutai Kartanegara. Saat ini Pemkab Kukar sudah mulai meradang karena tak banyak dilibatkan dalam skenario yang dibuat Pemprov Kaltim.
Persoalannya, apakah ini juga bagian dari skenario pecah belah alias devide et impera dari pihak tertentu yang mencoba memainkannya?
Wallahulam. Kita tunggu kelanjutannya. **

=================================================================

Berbisnis di Blok Mahakam

Total E&P Indonesie baru habis masa kontraknya atas ladang minyak dan gas di Blok Mahakam pada tahun 31 Maret 2017. Tapi Pemprov Kaltim sudah pasang skenario untuk menguasainya.


Dulu, orang tak berpikir sampai ke bulan. Tapi, kenyataannya, Neil Amstrong menjawab mimpi-mimpi itu. Tak ada yang tidak mungkin. Begitu pula ketika daerah bermimpi menjadi pengelola sumber daya alam (SDA) seperti batubara serta minyak dan gas. Semua sudah serba terbuka, tinggal orang daerah membuktikannya; apa memang bisa.
Pekan tadi, mimpi bisa menggali minyak dan gas itu mencuat ke permukaan. Ada Pemerintah Provinsi dikomandani Awang Faroek Ishak yang disimbolkan tengah berjuang, dan ada pejabat publik, masyarakat serta Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara yang juga merasa berhak atas pengelolaan migas itu karena lokasi tambang ada di daerah administrasi mereka.
Nama lokasi tambang itu adalah Blok Mahakam. Saat ini pengeboran dilakukan PT Total E&P Indonesie (TEPI) dan Inpex Corporation. Tahun 2017 kontrak perusahaan asing itu berakhir.
Nah, tujuh tahun sebelum tiba masa berakhirnya kontrak, Pemprov Kaltim berusaha intervensi ke dalam bisnis minyak yang menggiurkan itu. Katanya, peraturan memungkinkannya. Contohnya adalah di Blok Cepu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Pemprov Riau, Pemprov Sumsel dan Pemkab Bekasi. Daerah-daerah itu sudah lebih dulu membentuk BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) untuk eksploitasi minyak dan gas.
Pemprov Kaltim bukan secara tiba-tiba ingin berbisnis tambang Migas. Setidaknya sejak tahun 2009 lalu, ide itu sudah tercermin dalam usulan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam usulan yang disampaikan eksekutif kepada legislatif, Pemprov Kaltim meminta restu agar dialokasikan penyertaan modal usaha Migas sebesar Rp160 Miliar.
Hanya saja, dalam usulan tersebut disebutkan penyertaan modal dalam usaha pertambangan baru di Simenggaris Nunukan. Bukan di Blok Mahakam seperti yang heboh belakangan ini.
Secara aturan, daerah memang berpeluang menjadi pengelola langsung sumur-sumur migas di daerah masing-masing. Bukan hanya sumur-sumur tua eks perusahaan multinasional yang habis kontrak, tapi juga sumur-sumur baru yang belum tergarap. Tinggal bagaimana kemampuan daerah itu, baik menyangkut sumber daya manusia maupun keuangan.
Salah satu aturan yang memungkinkan daerah mengoperasikan sumur Migas adalah Undang-Undang Migas No.22 Tahun 2001. Kemudian ada juga Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1 Tahun 2008. Selain mengelola sendiri, juga dibolehkan berpartisipasi memiliki saham. Di Blok Cepu, Pemerintahan Jawa Tengah dan Jawa Timur mendapat participating interest (PI) sebesar 10 persen.
Di Blok Cepu, peran mereka hanya sebatas pemilik saham. Sedangkan operator tetap dipegang Exxon Mobile. Itu sebab ketika muncul gunjang-ganjing soal terjadinya penurunan produksi, pemerintah daerah selaku pemilik saham jadi ikut gusar karena kalkulasi mereka soal bagi hasil perimbangan keuangan dan deviden pemilikan saham ikut terganggu pula.
Begitu pula ketika operasi Blok Cepu memerlukan penambahan biaya investasi. Misalnya tahun 2006, saat rencana pengembangan Blok Cepu (PoD-Plan of Development) untuk ladang Banyuurip membengkak dari USD 2,7 Miliar menjadi USD 5 Miliar, BUMD Migas yang dibentuk pemerintah daerah Blora jadi kalang kabut. Sebab, dari yang semula hanya disediakan Rp700 Miliar, kini harus disediakan Rp1,3 Triliun. Demikian pula dengan BUMD Jateng yang semula hanya menginvestasikan dana sekitar Rp 350 miliar kini harus menyediakan dana sekitar Rp 700 miliar.
Cerita pemilikan saham di Blok Cepu, barangkali bisa jadi bahan pemikiran bagi niat kuat Pemprov Kaltim untuk menguasai saham perusahaan operator di Blok Mahakam. Apalagi, seperti didengungkan, niat Pemprov memiliki saham itu sebelum berakhirnya masa kontrak Total E&P Indonesie (TEPI) tahun 2017.
Skenarionya, saat Total E&P Indonesie mengajukan perpanjangan kontrak kepada pemerintah pusat untuk menjadi perusahaan operator 25 tahun ke depan, Pemprov Kaltim juga melakukan intervensi kepada pemerintah pusat. Harapan dari intervensi ini, Pemprov dengan Perusda Migas yang dibentuknya bisa membeli 10 persen saham tersebut. Bahkan Pemprov sudah menggandeng perusahaan swasta PT Yudistira Bumi Energi (YBM). Disebut-sebut perusahaan ini bisa menggelontorkan sebanyak USD600 Miliar alias sekitar Rp6 Triliun demi membeli saham tersebut.
Rupanya, YBM sudah menyusun skenario pembiayaan sebelum mempengaruhi Pemprov Kaltim agar mendukung niat mereka. Jurus skema keuangan yang diusungnya adalah pinjam dari lembaga keuangan Morgan Stanley.
Reputasi Morgan Stanley dalam percaturan pembiayaan proyek-proyek global memang tak diragukan lagi. Lembaga ini terlibat dalam 5 proyek besar di Indonesia, yakni 1. Proyek Cruise Terminal Tanah Ampo, Karangasem, Bali; 2. Proyek Pengembangan Rel Kereta Api Bandara Sukarno Hatta – Stasiun Manggarai; 3. Proyek Listrik Swasta (IPP/Independent Power Producer) PLTU Jawa Tengah; 4. Proyek Jalan Tol Medan-Kuala Namu-Tebing Tinggi; dan 5. Proyek Umbulan Water Suply, Jawa Timur.
Meski kantor pusatnya di New York Amerika Serikat, namun untuk melayani kawasan Asia Tenggara, Morgan Stanley ini memiliki perwakilan di Singapura. Konon kabarnya, PT YBE yang dikendalikan oleh Yulius Isyudianto sudah lobi-lobi ke Morgan Stanley. Yulius yang tercatat juga sebagai komisaris PT Ramadina Mitra Buana, perusahaan pertambangan Migas juga, langsung dipercaya oleh Pemprov Kaltim untuk menangani Blok Mahakam.
Skenario Pemprov sudah matang betul bersama YBM. Satu persatu siasat itu dijalankan, apalagi ada ‘angin surga’ bahwa jika skenario benar-benar lolos, maka sudah terbayang di depan mata ada pemasukan bagi kas Pemprov sebesar Rp 350 miliar setiap tahun. Perhitungan itu didasarkan asumsi Pertamina setuju melepas 15 persen sahamnya dari pengelolaan Blok Mahakam.
"Jadi dari total 15 persen yang dikelola bersama-sama, Pemprov mendapatkan 15 persennya, sedangkan PT Yudhistira 85 persennya. Mengapa sekitar Rp 350 miliar? Karena diperkirakan 15 persen saham yang dilepas Pertamina itu adalah bernilai sekitar Rp 2,5 triliun lebih, dan ketika dibagi 15 persen Kaltim dan 85 persennya adalah PT Yudhistira, maka yang kita dapatkan sekitar Rp 350 miliar itu," kata Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kaltim Hazairin Adha.
Angan-angan itu kian bertambah besar mencapai 30 persen atau sekitar Rp700 Miliar setelah tahun 2017. "Makanya ketika berbicara saham pengelolaan Blok Mahakam itu ada dua macam, yakni sebelum 2017 atau sebelum kontrak Total E&P habis, dan setelahnya sampai 2025. Nah yang kita perjuangkan sekarang ini adalah sebelumnya, sedangkan setelahnya sudah ada ketentuannya siapapun yang nantinya mengelola Blok Mahakam itu, kita mendapat bagian 30 persen," kata Hazairin.
Makin tergiurnya Pemprov Kaltim, karena muncul berita bahwa Blok Mahakam menyimpan kandungan sekitar 13 TCF dan tingkat produksi rata-rata 26 miliar kaki kubik per hari (mmscfd). Disebut pula operasi Blok Mahakam masih dapat berlangsung sekitar 20 tahun ke depan. Hal ini lebih lama sekitar 13 tahun dibanding masa kontrak yang akan berakhir pada tahun 2017.
Jika harga rata-rata minyak selama periode produksi diasumsikan (moderat) sebesar US$ 80/barel dan 1 barel oil equivalent, boe = 5,487 cubic feet (CF), maka potensi keseluruhan blok adalah sekitar US$ 190 miliar atau Rp 1800 triliun. Ayo! Siapa tak tergiur? **

=======================================================

UU RI No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas

Pasal 9

(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh :

a. badan usaha milik negara;

b. badan usaha milik daerah;

c. koperasi; usaha kecil;

d. badan usaha swasta.


==================================================

Pemprov Sudah Kolutif


Munculnya nama PT Yudistira Bumi Energi (YBE) yang dikomandani Yulius Isyudianto langsung menyengat publik. Termasuk sebagian anggota DPRD Kalimantan Timur.

Kisah pilu warga Kalimantan Timur sekitar 18 tahun silam seperti bakal terulang lagi. Yaitu ‘drama’ panjang perebutan saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang mesti didivestasi mulai 10, 15 sampai 55 persen.
Waktu itu, Gubernur Kaltim Suwarna AF memulai cerita bahwa PT KPC wajib mendivestasikan sahamnya. Kemudian ia memperkenalkan sebuah perusahaan di bawah bendera Salim Grup, PT Intan Bumi Pradana, sebagai mitra Pemprov Kaltim yang bersedia mengucurkan modal membeli saham itu.
Alhasil, Gubernur Suwarna jadi ‘bulan-bulanan’ publik. Ia dicurigai melakukan kolusi, karena secara tiba-tiba sudah menggandeng perusahaan yang namanya asing di telinga orang Kaltim. Dan akhirnya perusahaan yang digandeng Suwarna tidak bisa menggapai niatnya menguasai saham PT KPC.
Sejak beberapa pekan lalu, Pemprov Kaltim yang dikomandani Awang Faroek Ishak juga membawa cerita serupa. Kalau era Suwarna adalah bisnis batubara, di era Faroek lebih canggih lagi yakni minyak dan gas bumi. Singkat cerita, Pemprov Kaltim ingin jadi juragan minyak dan gas. Tak sekedar jadi penonton, tapi bisa berbisnis dan punya saham di perusahaan yang menjadi operator migas.
Perusahaan yang digandeng Faroek, PT Yudistira Bumi Energi (YBE). Konon, perusahaan ini yang membawa info adanya peluang menjadi pemilik saham perusahaan minyak dan gas yang dikuasai TEPI. Nah, sebagai balas jasa, Pemprov harus mengikuti skenario yang dibuat YBE.
Skenario pertama, Pemprov membentuk perusahaan daerah (Perusda). Namanya PT Migas Mandiri Pratama (MMP). Nah, Perusda ini dikawinkan dengan PT YBM, yang kemudian melahirkan anak perusahaan bernama PT Cakra Pratama Energi (CPE).
Kedua, anak perusahaan itu yang didorong berperan aktif untuk mengurusi kongsi saham di Blok Mahakam. Termasuk bernegosiasi dengan para pihak yang berhubungan dengan Blok Mahakam. Selain ada Total E&P Indonesie selaku operator saat ini, juga ada Pertamina yang juga berniat masuk mengambil saham. Kemudian pihak pemerintah pusat selaku pemegang regulasi.
Skenario ketiga, kongsi Perusda dengan PT YBE memasuki hitung-hitungan permodalan dan hasil yang kelak diperoleh. Rencananya, PT YBE menggandeng lembaga pembiayaan Morgan Stanley dari New York Amerika Serikat. Konon, angka Rp6 Triliun siap digelontorkan untuk membeli saham.
Menyangkut bagi-bagi saham, ada dua opsi yang telah dibuat. Pertama adalah masa sebelum berakhirnya kontrak Total E&P Indonesie (TEPI) tahun 2017. Perusahaan yang didirikan Pemprov Kaltim bersama dengan PT YBE, akan menggandeng Pertamina dengan mengambil maksimal 25 persen saham TEPI. Dari 25 persen itu diusahakan 15 persen untuk perusahaan dari Kaltim.
"Jadi dari total 15 persen yang dikelola bersama-sama, Pemprov mendapatkan 15 persennya, sedangkan PT Yudhistira 85 persennya,” kata Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kaltim Hazairin Adha.
Sedangkan opsi kedua, pasca berakhirnya kontrak TEPI tahun 2017. Sebab siapapun yang menjadi operator yang disetujui pemerintah pusat, perusahaan daerah Kaltim optimistis mendapat 30 persen.
"Ini adalah hak daerah. Kita akan berupaya untuk memperoleh hak setidaknya sebesar 10 persen. Sama seperti di Riau, Cepu atau Bojonegoro yang masing-masing daerah telah mendapatkan hak atas pengelolaan itu," kata Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim.
“Kami merasa tidak puas dengan perimbangan keuangan daerah dan pusat. Kami sebagai penyumbang besar devisa negara dari migas tapi tidak bisa mensejahterakan rakyat. Ini juga hak daerah seperti diisyaratkan Undang Undang Nomor 22/2001 tentang Migas,” ujarnya lagi.
Skenario PT YBE dan Pemprov Kaltim, memunculkan pro dan kontra. Setidaknya ada tiga elemen yang tampil di media massa untuk menyoalnya.
Kalangan DPRD Kaltim adalah yang pertama menyoal. Bahkan mencurigai ada sesuatu sehingga Pemprov Kaltim menggandeng PT YBE. “PT YBE itu semacam apa ya,” sindir Syaifuddin DJ dari Partai Gerindra. Di barisan Syaifuddin juga terdapat rekan-rekan sejawatnya yang tak begitu saja merestui kehadiran PT YBE.
“Ini benar-benar aneh. Kok sudah ada PT YBE,” kata Bendahara Fraksi Hanura–PDS DPRD Kaltim Mudiyat Noor.
Rupanya, setelah adanya info peluang Kaltim punya saham di perusahaan migas, tak semua anggota DPRD Kaltim mengetahui skenario yang telah dibuat Pemprov bersama PT YBE. Yang dilibatkan wira-wiri masalah itu ke berbagai pertemuan dengan Pertamina di Jakarta hanya Ketua DPRD Kaltim Mukmin Faisyal dan Ketua Komisi II Rusman Ya’kub.
Perlawanan kedua, datang dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara selaku pemegang adminsitrasi Blok Mahakam. “Kami yang paling berhak di Blok Mahakam,” kata Rita Widyasari, Bupati Kukar.
Kalangan DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) juga ngotot kalau porsi terbesar harus diberikan kepada Pemkab Kukar. “Kami tidak mau berpikiran buruk soal YBE (Yudhistira Bumi Energi, Red). Tapi kalau ditanya soal pengelolaan, kami akan usung perusda. Kan Kukar punya perusda KSDE (Kelistrikan dan Sumber Daya Energi, Red). Kami sangat yakin perusda ini mampu, termasuk dari sisi SDM,” kata Wakil Ketua DPRD Kukar Marwan.
Bagi kalangan di Kukar, ulah Pemprov Kaltim menggandeng PT YBE dan kemudian menyusun skenario lainnya sampai ke bagi-bagi saham, sangat aneh dan tidak etis. Karena dalam semua penyusunan itu Pemkab maupun DPRD Kukar tidak pernah dilibatkan.
“Kalau dianalisis persoalan pengelolaan dan negosiasi tentang blok Mahakam kami pikir itu bukan porsi Pemprov, tapi milik Pemkab Kukar. Untuk konteks ini kami pun bertanya-tanya apakah Pemprov memang tidak tahu aturan atau pura-pura tidak tahu, padahal seharusnya Gubernur kita yang notabene adalah mantan Bupati Kutim harusnya belajar dari pengalaman dengan PT KPC,” kata Sekretaris KNPI Kukar, Junaidi.
Perang sudah ditabuh sendiri oleh Pemprov. Walau sebenarnya perjuangan mendapatkan hak eksklusif membeli saham belum terbentang, tapi ‘pertempuran’ antar elemen tentang siapa yang paling berhak lebih dominan.
Belum lagi dari kalangan masyarakat dan akademisi. Marwan Batubara, dari Indonesian Resources Studies, IRESS, mendukung rencana pemerintah provinsi diikutsertakan dalam mengelola sumber daya alam (SDA). “Tapi harus dikoordinasikan dengan pemerintah pusat,” ujarnya.
Untuk mengelola sumber daya alam, sarannya, pemerintah daerah harus membentuk BUMD Migas, guna mewujudkan kepentingan daerah. Pemerintah Pusat harus memimpin, menggabungkan dan mengendalikan berbagai kepentingan BUMN dan BUMD tersebut.
“Daerah jangan dibiarkan sendiri seperti kasus Newmont atau tambang minyak di Riau dan Cepu. Pusat harus menjamin dan mendukung kebutuhan dana investasi bagi BUMD,” ungkap Marwan.
Marwan mengingatkan BUMD jangan jalan sendiri, karena godaannya besar sekali dari swasta. Biasanya oknum-oknum daerah dan swasta nasional maupun asing berkampanye menuntut sebagian hak mengelola sumber daya alam. Tapi pelaksanaannya nanti bagi hasil kerjasama justru lebih menguntungkan swasta dibanding daerah.
“Biasanya kepala- kepala daerah bertindak kolutif dengan swasta. Itulah sebabnya aspirasi daerah tersebut harus dikoordinasikan dengan pusat. Hanya kadang -kadang ada oknum pusat yang justru menghambat terjadinya kerjasama pusat-daerah tersebut. karena oknum ini memang bagian pendukung swasta,” ungkap Marwan. *