Minggu, 25 Juli 2010

Agen Korporasi

Menyedihkan. Itulah komentar saya mengenai ulah para legislator Kaltim yang menolak dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) Divestasi Saham PT Kaltim Prima Coal (KPC). Apalagi untuk mereka yang mencabut dukungan tandatangan, setelah sebelumnya sepakat, setuju dibentuknya kelembagaan itu.

Divestasi saham PT KPC adalah masalah akut diremehkannya kekuatan lokal oleh perusahaan-perusahaan transnasional. Tidak sekedar berbicara bisnis tentang hak daerah membeli saham perusahaan batubara berizin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), tapi juga mengandung cerita heroik, yakni sebuah pertahanan rakyat Kaltim atas sumber daya alam yang dihisap korporasi untuk kepentingan asing.

Mestinya, 100 persen saham perusahaan itu sudah berada di tangan pemerintah Kaltim. Sejak dimulai tahapan divestasi sekira 15 tahun silam, ternyata yang tampil sebagai ‘pemenang’ adalah PT Bumi Resources (BUMI) yang mengakuisisi PT KPC dalam grupnya. Yang terjadi hanya berpindah kepemilikan dari konglomerat yang satu kepada konglomerat yang lain. Rakyat Kaltim? Kembali menjadi penonton.

Ada sekitar 3 juta rakyat Kaltim tak dapat meraih apa yang menjadi haknya. Mereka hanya mampu berpolemik dengan suara-suara memohon; “itu hak kami.. itu hak kami”.

Jeritan rakyat ternyata juga hanya didengar oleh sebagian anggota DPRD Kaltim. Yang lain pura-pura tak mendengarkannya dan yang lainnya lagi malah berbalik arah membela habis-habisan keberadaan perusahaan yang di dalamnya ada saham Aburizal Bakrie, konglomerat yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar.

Tak ada getaran hati, bahwa perusahaan itu telah menarik keuntungan yang sangat besar dengan cara menelikung apa yang mestinya menjadi hak beli orang daerah. Para politisi itu malah menikmati bersama-sama , yang mungkin – maaf – memang sudah dipelihara perusahaan agar menjadi agen mereka di parlemen. Agen korporasi yang siap membela kalau datang serangan yang mengancam keberadaan mereka.

Agen-agen korporasi itu bertebaran di mana-mana. Dengan uang yang diperoleh dari menggali sumber daya alam Kaltim mereka bisa merangkul kekuatan siapa saja. Dari unsur pemerintahan, militer, kepolisian, bahkan aktivis pemuda dan LSM serta wartawan. Mereka juga membayar pengacara , akademisi dan wartawan.

Tidak heran kalau akhirnya memang muncul data, bahwa di kawasan tambang manapun di Indonesia; tidak ada warga sekitar tambang yang hidup sejahtera. Mereka sangat miskin, tak berimbang dengan kondisi para karyawan perusahaan. Kalau sudah tahu masalahnya; kok masih ada para legislator tak membela rakyatnya. **

Prestasi


Suatu hari dalam sebuah perbincangan dengan warga di kawasan kumuh Kota Samarinda saya tertegun dengan keluhan seorang pria yang usianya ditaksir sekitar 50 tahun. “Pejabat sering bicara tentang rakyat miskin, sepertinya mereka peduli dengan kita. Tapi kok tidak ada tanda-tanda pemerintah membantu kita”.

Saya jadi ikut tertegun. Betul juga. Mengapa bicara soal rakyat miskin, tapi yang diturunkan kebijakan membangun Jalan Tol, membangun rel kereta api pengangkut kelapa sawit atau kebijakan membangun pelabuhan sawit Maloy di Kutai Timur.

Atau, mengatasi orang miskin kok dengan merencanakan pendirian Kaltim Airlines, menggelorakan sektor wisata dengn progam Visit Kaltim 2010?

Tentu saya berpikir, ‘orang kecil’ pasti tidak sama pemikirannya dengan ‘orang besar’, para pejabat-pejabat negeri ini. ‘Orang kecil’ cuma perlu makanan, pakaian dan rumah yang layak, sedangkan para pejabat berpikir tentang prestasi selama dia menjabat.

Nah, prestasi itu tidak termasuk kalau dia berhasil mengurangi angka kemiskinan. Yang terjadi sekarang ini, prestasi masih diidentikkan dengan keberhasilan membangun jalan tol, membangun pelabuhan dan membangun rel kereta api. Atau prestasi menebang hutan dan menggantinya menjadi kebun kelapa sawit seluas sejuta hektar.

Padahal, orang miskin yang jumlahnya masih di atas 40 persen memerlukan perhatian langsung dari pemerintah. Mereka perlu makanan yang cukup, rumah atau hunian yang sehat, jaminan kesehatan tanpa rasa takut nanti kalau sakit dia harus membayar di rumah sakit, jaminan hari tua agar ia bisa dengan tenang menghabiskan sisa hidupnya.

Siapa yang konsen memikirkan nasib orang-orang miskin ini? Faktanya, politisi hanya menjadikan cerita kemiskinan sebagai ajang kampanyenya untuk menarik simpati massa. Pejabat pemerintah juga cenderung menjadikan cerita kemiskinan di daerahnya untuk mendapatkan proyek-proyek pengentasan kemiskinan dari pemerintah pusat.

Begitu terus yang terjadi tiap tahun. Akibat ‘menjual’ kemiskinan politisi dan pejabat meraih prestasi, tapi si miskin ya tetap miskin. **