Jumat, 22 Februari 2008

Amins Vs Awang

Oleh: charles siahaan

PEMILIHAN Gubernur Kaltim makin dekat. Menurut jadwal Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) acara pencoblosan bisa dilaksanakan 26 Mei 2008. Rakyat Kaltim akan menentukan pilihan; siapa pemimpin terbaik versi rakyat.
Sejak setahun silam, otak kiri saya sudah didominasi oleh dua tokoh, Achmad Amins atau Awang Faroek Ishak. Inilah calon pemimpin Kaltim kelak. Insyaallah.

Perjalanan waktu yang panjang ternyata tidak membuat kedua tokoh ini terlihat lelah. Achmad Amins misalnya, masih mampu menembus belantara dan menyebrang laut menggunakan speedboat untuk menemui rakyat Kaltim yang ada di Hulu Kabupaten Pasir, Bulungan, Malinau, Berau bahkan Kutai Barat. Perjalanan berhari-hari yang biasanya dilakukan setiap penghujung minggu, usai merampungkan pekerjaan dinas sebagai Walikota Samarinda.

Apa yang diperoleh Amins dengan mengunjungi ratusan desa itu?

Tak kalah juga dengan Awang Faroek Ishak. Hampir bersamaan dengan Achmad Amins yang mendeklarasikan diri sebagai calon kandidat Gubernur Kaltim periode 2008 – 2013 pada tanggal 26 Desember 2006, Awang Faroek Ishak yang akrab dengan singkatan AFI juga mengkampanyekan diri melalui Kalima. Ini adalah istilah yang dibuat AFI bersama dengan timnya yang diklaim terdiri dari 600 orang intelektual. Kalima itu sendiri berisi peningkatan Keimanan, pengentasan Kemiskinan, pemberantasan Kebodohan, perluasan Kesempatan kerja, dan peningkatan pelayanan Kesehatan.

Nyatanya, Kalima telah menjadi gerbong yang mengusung AFI sebagai calon Gubernur Kaltim sebelum ada partai-partai politik berdatangan. AFI yang Bupati Kutai Timur ini juga membentuk pengurus Kalima sampai ke kecamatan-kecamatan dan ia pun melowongkan waktunya untuk kepentingan itu.

Apa pula yang didapat AFI setelah ia melihat Kaltim sampai ke desa-desa?

Jawaban klasik yang muncul dari Achmad Amins dan Awang Faroek Ishak adalah serupa; yakni kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan. Duit Kaltim banyak, tapi lebih besar dinikmati orang luar. Jalan tembus menuju perbatasan negara – dari jaman orde lama ke orde baru sampai orde Indonesia Bersatu, ya sama; begitu-begitu saja. Belum mulus bahkan masih banyak desa di perbatasan negara RI – Malaysia belum bisa diakses jalan darat.

Rakyat Kaltim menjadi selalu akrab dengan pepatah; bak ayam mati di lumbung padi. Itu adalah gambaran bagaimana ketidakberdayaan rakyat Kaltim melawan rezim yang telah membuat mereka hidup dengan kekurangan. Tipikal pemimpin daerah selama ini yang selalu tunduk kepada pemerintah pusat, semakin membuat rakyat dijauhi dari akses sumber daya alam yang tersedia.

Simak; siapa yang menguasai perminyakan dan gas yang ada di Kaltim? Siapa pula pengusaha yang mengeruk batubara terbesar di daerah ini? Siapa pula aktor-aktor yang menebangi hutan dan sekarang menyisakan kerusakan lingkungan di sana-sini?

Rezim telah menyingkirkan kemampuan lokal sehingga menjadi semakin marjinal. Sementara pemimpin tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela mereka. Achmad Amins atau Awang Faroek Ishak kini menjadi sumber harapan rakyat. Apakah mereka berani melawan rezim pusat demi mensejahterakan rakyat. *

Tarakan

Oleh: Charles Siahaan

KOTA Tarakan di tangan Jusuf SK memang mengalami perubahan. Tapi patut diingat pertumbuhan yang terjadi beriringan dengan naiknya anggaran pemerintah setelah otonomi daerah bergulir tahun 2001.

Meskipun Kota Tarakan termasuk kebagian APBD paling kecil dibanding kabupaten / kota lain di Kaltim, tetapi angkanya sudah cukup besar karena setiap tahun selalu berada di atas angka Rp500 Miliar. Modal APBD itu sudah cukup untuk menguatkan pemerintahan, sehingga menjadi motor penggerak semua lini.

Yang patut dipuji adalah kebijakan yang dimunculkan Jusuf SK berusaha sekali untuk membangun partisipasi pengusaha. Ia telah berhasil memancing uang-uang para pengusaha agar tidak sekedar ditaruh di bank, tetapi diinvestasikan dalam sektor kebutuhan dasar dan kebutuhan kemewahan publik.

Sektor kebutuhan publik adalah listrik yang sejak berdirinya Kota Tarakan sudah bermasalah, karena PLN memang tidak mampu memasok seluruh kebutuhan. Jusuf SK pandai memikat swasta, hingga pada akhirnya keluar dari kekakuan aturan kelistrikan yang berlaku di negeri ini. Kini, soal kebutuhan pemenuhan listrik di Tarakan termasuk yang terbaik di Kaltim.

Sedangkan dalam sektor kemewahan publik adalah berdirinya mall dan hotel berbintang di kota utara Kaltim itu. Kemudian masuk KFC alias Kentucky Fried Chicken untuk membenahi persaingan bisnis kuliner, yang selama ini didominasi “nasi tim ayam” dan ikan bakar/goreng.

Jusuf yang seorang dokter nampak sekali sangat memahami bagaimana posisi Kota Tarakan sebagai urat nadi perekonomian daerah-daerah lain di sekitarnya. Ia menjadi kota persinggahan semua warga yang ingin melakukan perjalanan ke kota lain, termasuk ke Jakarta, Surabaya, Manado dan Makassar. Bukan sudah ada penerbangan internasional ke Tawau dan Kinabalu Malaysia. Itu sebabnya ia menciptakan “Singapura Kecil” sebagai motivasi dan arah pembangunan Kota Tarakan.

Tapi tak ada keberhasilan yang berjalan mulus. Sukses menggandeng swasta biasanya akan memunculkan kongkalikong baru, yang intinya adalah bagaimana bisa memberikan keuntungan kepada si pengusaha sebesar-besarnya. Caranya adalah dengan menggunakan kekuasaan yang melekat pada dirinya. Misalnya dengan bermain dalam ’tukar guling’ asset Pemkot sehingga beralih ke swasta.

Sudah rahasia umum kalau kini sejumlah kongsi bisnis yang terekat oleh kebijakan Walikota Tarakan Jusuf SK, mulau menuai masalah. Antar mereka menuai ketidakcocokan yang biasanya disebabkan sumber pendapatan yang tidak semestinya.

Tudingan kongkalikong, konspirasi penguasa – pengusaha masih berlanjut manakala tercium sikap ngotot pemerintah untuk memberi izin pertambangan batubara di Pulau Tarakan. Lagi-lagi publik telah mencium sikap itu sebagai bagian terjeratnya Jusuf SK dalam lingkaran para bos. Apalagi ia sedang merintis perjalanan politik menuju kursi Gubernur Kaltim, sehingga hubungan dengan para bos sebagai sumber pendanaan politik kelak patut mulai dipikirkan dari sekarang.

Apapun yang sedang terjadi di Kota Tarakan, pemimpin Kota Tarakan kelak – sepeninggal Jusuf SK yang berakhir masa jabatannya pada pertengahan 2008 ini – masih patut berjuang mewujudkan kerangka yang telah dibuat Jusuf SK. **

Burhanuddin Abdullah

Oleh: Charles Siahaan

SUATU hari di tahun 2005, saya mendapat kabar tak lazim dari seorang teman yang juga seorang wartawan. Isi kabar itu menyebutkan bahwa Burhanudin Abdullah datang ke Kaltim dan bermaksud bertemu dengan Syaukani HR di Tenggarong.

Ada apa dengan pertemuan itu? Sebab Burhanudin cukup dikenal sebagai mantan Menteri Keuangan dan bankir, sedangkan Syaukani HR adalah seorang bupati.

Dengan polos teman tadi mengatakan bahwa Burhanudin bermaksud maju sebagai kandidat Gubernur Bank Indonesia (BI) menggantikan Syahril Sabirin. Ia butuh dukungan dari kalangan anggota DPR RI yang akan voting memilih Gubernur Bank Indonesia. Selain menganggap Syaukani punya banyak teman di DPR RI, kata temen tadi, Burhanuddin juga membutuhkan penasehat spiritual yang kerap dipercaya oleh Syaukani.

Di tengah kekaguman saya kepada Syaukani HR yang ‘didatangi’ tokoh-tokoh nasional itu, beberapa waktu kemudian tersiar berita surat kabar bahwa Burhanudin Abdullah yang datang ke Tenggarong itu berhasil menang dalam voting Komisi IX DPR RI yang membidangi perbankan. Ia mengalahkan pesaingnya Miranda Goeltom.

Adakah hubungan kemenangan itu dengan turut campurnya Syaukani? Wallauham.

Tetapi tentu saja kita tak boleh memberikan penafsiran seperti itu karena dapat menyesatkan. Tapi ketika ada berita lagi bahwa Burhanuddin Abdullah menjadi tersangka kasus aliran dana Bank Indonesia senilai Rp 31,5 miliar kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003, yakni untuk penyelesaian masalah BLBI dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI, maka mau tidak mau kabar dari teman itu terhubung lagi.

Sebab, ini adalah soal yang banyak orang Indonesia sudah tahu. Bahwa seseorang yang ingin mendapatkan jabatan dan memerlukan justifikasi DPR RI, maka perlu mengalokasikan sejumlah anggaran. Begitu pula ketika bermaksud meloloskan sebuah undang-undang di DPR.

Itu sebabnya Transfarency Internasional Indonesia dalam penelitian mengenai indeks prestasi korupsi (IPK) masih menempatkan lembaga politik termasuk legislatif sebagai kawasan rawan korupsi alias paling korup. Mau meloloskan anggaran (APBN) di suatu daerah, ingin memekarkan kabupaten / kota atau provinsi, semua perlu uang sogokan agar tujuan yang diinginkan berjalan lancar. Publik telah berkali-kali mendapat cerita tak sedap dari DPR RI, terutama menyangkut skandal suap.

Tidak hanya di tingkat DPR RI, di daerah juga peristiwa serupa kerap terjadi. Anggota-anggota DPRD kabupaten / kota serta provinsi berusaha ’ngamen’ di luar parlemen untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Ada yang sampai ketahuan karena meminta uang secara illegal ke badan usaha swasta. Ada juga yang bermain dengan para bupati dan walikota untuk menggolkan proyek-proyek di daerah.

Bagaimana untuk membuka berbagai skandal ini? Tentu tak cukup dengan kemampuan aparat polisi dan jaksa sekarang ini. Diperlukan komponen masyarakat yang fokus dalam memerangi korupsi, sehingga memuncul komunitas antikorupsi. Jaksa atau polisi juga patut bertindak sebagai pemegang supervisi di daerah. *

Golkar Lagi

Oleh: Charles Siahaan

INI adalah kolom opini kedua dari penulis selama tahun 2008 menyangkut Golkar. Tentu saja berkaitan dengan mulai dibukanya pendaftaran menjadi calon Gubernur Kaltim sejak 26 Januari lalu. Sejumlah nama sudah muncul mengambil formulir ikut konvensi, yakni Syaukani HR, Achmad Amins, Marthin Billa, Jusuf SK dan rencananya Awang Faroek Ishak serta Sofyan Hasdam.

Riak di internal pun sudah mulai muncul ke permukaan. Apalagi dengan rencana masuknya Syaukani HR yang masih berada di dalam penjara mengikuti konvensi. Ketua DPD Partai Golkar Kaltim itu masih ngotot bisa ikut tahapan pemilihan calon gubernur tersebut.

Tentu saja sikap ngotot Syaukani membuat peta politik di internal Golkar menjadi penuh teka-teki. Apa gerang maksud Pak Kaning – nama panggilan Syaukani? Sebab bukankah hampir bisa dipastikan ia tak bisa (hadir) mengikuti semua tahapan konvensi? Bukankah proses hukumnya masih panjang, karena misalnya pun ia mendapat hukuman bebas dari banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, pasti masih ada upaya Jaksa untuk kasasi ke Mahkamah Agung? Apalagi Syaukani oleh Pengadilan Tipikor sudah dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dan dihukum 2,5 tahun penjara.

Kekuatan Syaukani memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab ia masih mengantongi dukungan dari 12 DPD Golkar kabupaten / kota se-Kaltim ditambah lagi dari DPD Golkar Kaltim sendiri. Kalau pada konvensi berlaku aturan voting blok di mana porsinya adalah DPD Kabupaten / kota 30 persen, DPD Kaltim 20 persen, maka otomatis Syaukani sudah punya suara 50 persen. Sedangkan 50 persen lainnya, yakni organisasi sayap Golkar Kaltim 10 persen dan DPP 40 persen, masih tidak bisa ditebak.

Lantaran sistim voting blok ini tak terelakkan memunculkan kubu-kubu di internal yang dalam istilah politik disebut faksi. Walau sudah ada kabupaten / kota yang pesimis dengan skenario Syaukani, tapi tak bisa keluar dari ‘blok’. Begitu pula di tubuh sayap dan DPD Golkar Kaltim di mana di dalamnya terdapat begitu banyak personal.

Golkar selalu punya sisi menarik dalam pergolakan internalnya. Karena banyaknya rambu-rambu dalam organisasi, maka memungkinkan banyak asumsi dan beda pendapat. Misalnya menyangkut pengusungan Syaukani oleh DPD kabupaten / kota dan Kaltim. Karena diusung lewat Rapimda, maka kalaupun ingin dicabut harus pula dilakukan bersama-sama dalam forum yang setara.

Tanda-tanda pembangkangan sebenarnya sudah muncul dengan diambilnya formulir mengikuti konvensi. Misalnya DPD Golkar Tarakan yang berniat mencalonkan Jusuf SK dan Sofyan Hasdam yang bakal maju sendiri. Konon, Jusuf SK sudah mengantongi dukungan dari 9 DPD kabupaten / kota se-Kaltim. Kalaupun klaim itu benar, setidaknya sudah 9 DPD yang tidak percaya lagi dengan Syaukani.

Maju atau tidaknya Syaukani menjadi batu sandungan dalam konvensi. Sebab – mestinya – Syaukani tinggal disyahkan untuk menjadi calon tunggal Partai Golkar karena telah dipilih lewat Rapimda. Kalau Syaukani masih ngotot ikut konvensi, menimbulkan pertanyaan; permainan apa lagi ini?*

Kutai Kartanegara

Oleh: Charles Siahaan

LIMA tahun silam kita seakan takjub dengan rencana besar Syaukani HR. Pulau Kumala yang terletak di depan Kota Tenggarong dan hanya berbentuk gumpalan tanah belukar, ‘disulap’ menjadi kawasan wisata yang megah. Ada taman-taman, permainan, kereta gantung, kereta api mini dan cottage lengkap dengan kolam renang.

Belum lagi pembangunan penunjang lainnya seperti Kedaton yang megah, planetarium dan jalan beton menuju perbatasan Tenggarong Seberang – Samarinda. Semua ditampilkan untuk mendapatkan sebuah kesan; Hebat Syaukani.

Ia pun menjadi orang termasyur di seantero negeri. Pergaulannya pun semakin luas dengan tokoh-tokoh nasional dan bahkan beberapa calon Presiden RI seakan wajib menyampaikan kulonuwun dengan datang menemui Syaukani di Kota Tenggarong. Dari sisi penampilan pun, belum ada di seluruh negeri Bupati menggunakan helikopter dalam berbagai kepentingan dinasnya.

Kehebatan dan kemasyuran kerap menutup mata hati. Barangakali itu pula yang menimpa Syaukani. Kekuasaan yang sangat besar membuatnya meremehkan hal-hal kecil seperti soal penggunaan anggaran. Pergaulannya yang sudah menasional cenderung membuatnya menyepelekan orang-orang lokal, bahkan sekelas Gubernur Kaltim Suwarna AF sekalipun.

Akibatnya adalah bencana. Perseteruan Syaukani dengan Suwarna AF dan sebelumnya dengan Awang Faroek Ishak soal dana lifting Migas dan kemudian dengan Achmad Amins soal rencana pembangunan bandara, telah membuat pencitraan bahwa seorang Syaukani termasuk tokoh yang tidak menerima kekalahan.

Publik Kaltim masih mengingat bagaimana perseteruan Syaukani dengan Suwarna AF. Perseteruan itu yang membuat perjalanan pemerintahan di Kaltim menjadi tidak sehat. Akhir dari ’pertempuran dua gajah’ yang diwarnai saling melaporkan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) membuat keduanya ’masuk kandang’ pula di sel penjara.

Kutai Kartanegara kini masih masyur. Ia telah menjadi sumber pembicaraan publik Indonesia sebagai daerah kaya raya. Hanya saja selalu ada sisi negatif yang selalu muncul, yakni Kutai Kartanagara yang bupatinya terkena kasus korupsi.

Nampaknya pencitraan buruk itu belum berakhir. Sebab KPK ternyata masih menyimpan banyak kasus di Kutai Kartanegara. Sejumlah pejabat teras – termasuk Wakil Bupati Samsuri Aspar – juga menjalani pemeriksaan kasus korupsi. Pertanyaannya; bagaimana nasib pelayanan publik di sana kalau masih bertambah pejabat yang masuk penjara?

Kutai Kartanegara memerlukan tampilnya tokoh-tokoh baru. Kondisi yang ada saat ini boleh disebut sebagai status quo, karena arah pembangunan semakin tidak jelas. Program Gerbang Dayaku yang dulu menjadi kebanggaan, ternyata hanya berputar pada kerangka berpikir seorang Syaukani. Dan ketika sang pilot tidak lagi berada di sana, maka pesawat pun tak karuan lagi arahnya.

Pasca kepemimpinan Syaukani, yang tersisa memang adalah aroma keinginan memperbaiki semua sistim yang pernah terbangun salah. Pemerintahan merintis kembali mana yang patut dan benar. Jika pada akhirnya muncul sistim anggaran ketat, karena kini semua pejabat semakin takut tertimpa nasib seperti yang dialami bos mereka. *

Golkar

Oleh: Charles Siahaan

PARTAI besar selalu berpikir yang besar. Itu sebabnya jangan pernah berpikir dalam Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur yang rencana digelar 26 Mei 2008, Partai Golkar hanya mengincar kursi nomor dua alias wakil gubernur. Dalam dunia kompetisi nyaris tak ada yang menginginkan kekalahan.

Persoalannya memang pada siapa jago Golkar? Sebab setelah Syaukani HR divonis 2,5 tahun penjara karena terbukti di pengadilan Tipikor melakukan korupsi, tidak ada kader yang memiliki reputasi seimbang dalam hal popularitas, loyalitas, “royalitas” dengan Ketua Golkar Kaltim itu. Hasil survey sebelum Syaukani menghadapi persoalan hukum menunjukkan, ia menempati urutan teratas dan disusul oleh Awang Faroek Ishak serta Achmad Amins yang juga sama-sama orang Golkar.

Kalau mau berpikir jujur, jernih, sebenarnya hanya ada dua nama yang tersisa itu saja sebagai calon Partai Golkar untuk diusung sebagai calon Gubernur Kaltim. Dan data itu valid karena berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Persoalannya; apakah para politisi Golkar mau berpikir jernih, jujur dan ‘setia’ terhadap hasil survey. Karena ini menyangkut dunia politik, maka hal yang jernih, jujur dan ‘setia’ menjadi mudah diabaikan oleh satu unsur nafas politik, yakni ‘kepentingan’.

Karena ‘kepentingan’ yang terpecah-pecah di tubuh partai Golkar pula yang membuat partai itu sering kalah dalam sejumlah Pilkada bupati, walikota dan gubernur se-Indonesia. Kader-kader Golkar berlompatan keluar partai lantaran tak terakomodasi lagi karir politiknya. Ternyata, sebagian yang keluar jalur partai Golkar justru menang ketika diusung partai lain. Contoh paling nyata adalah Jusuf Kalla yang maju bersama Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan diusung Partai Demokrat.

Bagaimana dengan ‘kepentingan’ Golkar Kaltim? Boleh dibilang ini adalah pilihan tersulit yang sedang dihadapi partai beringin itu. Sebab, selain ingin menguasai pemerintahan, tentu saja Golkar berkepentingan figur yang diusung wajib memberikan kemajuan terhadap partai. Golkar tidak ingin kasus serupa ketika mengusung Suwarna AF sebagai calon gubernur tahun 2003 silam terjadi lagi. Habis terpilih, Golkar dibuang.

Diantara pilihan sulit itu yang nampak adalah sebuah skenario instan, yakni menempatkan calon wakil gubernur yang juga berasal dari Partai Golkar. Tentu saja penempatan wakil ini terbaca oleh publik bahwa yang dimaksudkan adalah mendampingi calon paling kuat menurut survey, yakni Awang Faroek Ishak. Skenarionya; setelah Awang Faroek Ishak menang dalam Pilgub, ia bakal menghadapi masalah hukum di Kejaksaan Agung. Dan kalau ia dipenjara, otomatis orang Golkar yang menguasai pemerintahan.

Politik ”berandai-andai” oleh para petinggi Golkar ini yang sedang ’dikajal’ untuk masuk menjadi skenario memenangkan Pilgub. Nama Achmad Amins yang Ketua Partai Golkar Kota Samarinda akhirnya terabaikan di tingkat para petinggi Golkar Kaltim. Bahkan terkesan ada upaya dari sebagian petinggi Golkar Kaltim untuk tidak memberikan perahu kepada Achmad Amins.

Pertandingan sudah di depan mata. Dan Golkar adalah partai besar yang wajib berpikir besar pula. **

2008

Oleh: Charles Siahaan

TIAP kali datang pergantian tahun, pertanyaan yang muncul apa yang akan kita rencanakan pada tahun depan? Sejumlah keinginan, harapan, tidak lupa disertai doa niscaya bisa diwujudkan agar hidup ini semakin lebih baik. Amin.

Tahun 2008, sejumlah agenda juga telah menanti. Mulai dari Pemilihan Gubernur Kaltim dan kemudian menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON).

Pada saat Pilgub yang dijadwalkan diadakan 28 Mei 2008, maka akan menjadi tonggak sejarah pertamakalinya rakyat Bumi Etam memilih Gubernurnya secara langsung. Itulah saat demokrasi benar-benar diuji, apakah kita mampu melewatinya secara damai dan sportif.

Telah banyak contoh di daerah Indonesia, di mana Pilkada berakhir dengan kerusuhan. Persaingan antar kandidat yang tajam seringkali meninggalkan kemampuan intelektual dan menjadi irasional. Para pendukung kandidat dapat dengan mudah terhasut dan melakukan perbuatan melawan hukum.

Situasi yang mencemaskan bakal dialami penduduk ’migran’, sebagai buah terlanjur nyaringnya jargon-jargon putra asli daerah didengungkan. Tidak salah kalau pada tahun 2008 bisa disebut tahun menegangkan.

Sedangkan pada saat penyelenggaraan PON, rakyat Kaltim perlu menunjukkan kekompakkan sebagai tuan rumah yang baik. Perbedaan yang sempat menegangkan pada saat Pilgub, harus segera ditanggalkan dan berbalik menjadi kekompakkan.

Tapi ini adalah teori. Yakni kondisi ideal ketika rakyat Kaltim dihadapkan dua perhelatan besar. Sedangkan pada tataran praktik, umumnya rakyat tidak mudah menjalin kebersamaan dalam perbedaan.

Persoalan ’kebersamaan dalam perbedaan’ bukan hanya menjadi problema rakyat Kaltim, tetapi juga nyaris di seluruh negeri. Konsep pluralism, masyarakat madani, di mana kerukunan umat yang terdiri dari beragam suku, ras dan golongan terjalin secara harmoni, tidaklah mudah diwujudkan.

Bahkan para pemimpin negeri yang menjadi publik figur, tidak semuanya memiliki kemampuan untuk menampilkan semangat pluralism. Selalu ada sekat-sekat apakah itu berbaju agama, suku bahkan perbedaan kepentingan (politik). Rakyat Indonesia tentu melihat bagaimana Megawati Soekarnoputri yang selalu menghindar tidak mau bertemu dengan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Karena rivalitas, keduanya tidak bisa terlihat hidup rukun dalam perbedaan.

Bagaimana dengan para pemimpin Kaltim?

Pernah dalam sebuah acara olahraga di Samarinda kebetulan menempatkan dua orang calon kandidat Gubernur Kaltim, yakni Awang Faroek Ishak dan Achmad Amins. Keduanya pun akhirnya duduk berdampingan setelah bersalaman.

Seiring berjalannya acara, ternyata keduanya tidak pernah lagi bertegur sapa. Keduanya asyik dengan handphone masing-masing dan pemandangan itu menggambarkan ada sesuatu yang membuat keduanya tidak nyaman kalau duduk berdampingan. Apakah itu buah rivalitas?

Tidak ada yang salah antara Awang Faroek Ishak dan Achmad Amins, tidak ada yang salah antara Megawati dan SBY. Karena itulah sebenarnya kualitas masyarakat pluralism Indonesia dan kita harus belajar pula menghormati pilihan sikap para pemimpin ini. **

Nunukan

Oleh: Charles Siahaan

TAHUN 2000 ke bawah, Nunukan masih mendapat julukan sebagai kota Texas. Ini lantaran kehidupan masyarakat yang cenderung ‘liar’. Mabuk-mabukan di tepi jalan, naik motor dalam keadaan mabuk dan kebut-kebutan yang memekakan telinga di tengah malam. Belum lagi keributan perkelahian di tempat keramaian yang terbiasa selalu diwarnai dengan senjata tajam.

Nyaris hukum tak berhasil menertibkan tingkah laku sebagian warga. Polisi bertindak, kantor polisinya diserang. Bea Cukai menangkap penyelundup, kantor Bea Cukai yang dirusak. Begitu terus, sehingga kejahatan merajalela dan bahkan oknum aparat hukum ikut terlibat di dalamnya.

Tapi masa itu perlahan berlalu. Sejak definitive menjadi kabupaten pada tahun 1999, yang dibarengi dengan konsentrasi pemerintahan bersama jajaran lain seperti polisi, TNI, berhasil mengatur kembali warga di sana dalam aturan hukum positif maupun peraturan daerah. Ketegasan kepolisian dan aparat hukum lain merupakan bagian penting apakah keadilan telah ada dan berdiri di daerah yang dulu Texas itu.

Secara geografis Kabupaten Nunukan berhadapan langsung dengan garis batas negara dan Kota Tawau Malaysia yang sudah berubah menjadi metropolitan. Batas lautnya juga berdekatan dengan daerah di Filipina, sehingga itu sebenarnya adalah bagian potensi luar biasa bagi perkembangan daerah-daerah di Nunukan di masa depan.

Ketika pemerintahan dipegang HA HAfid Acmad strategi kebijakan sudah dalam kerangka yang benar. Yakni dengan mengalokasikan nyaris separuh APBD untuk pembangunan fisik, infrastruktur. Konsepnya adalah bagaimana membuat masyarakat lokal menjadi lebih betah tinggal di Nunukan, sehingga kemudian bangkit bersama-sama menarik investor berkantor di Nunukan.

Tapi persoalan muncul seiring konsentrasi pembangunan fisik itu. Sebab elemen lokal ternyata memang belum siap menerima beban tanggungjawab untuk membangun kota itu. Ratusan proyek fisik dikabarkan hancur berantakan. Jalan rusak sebelum diresmikan, jembatan tidak selesai dan banyak lagi. Yang mengejutkan, ada dugaan lebih 50 persen anggaran fisik itu bocor ke tangan pengusaha yang tidak punya tanggungjawab terhadap proyek yang dikerjakannya.

Kebocoran anggaran adalah bagian kerugian negara yang patut diselesaikan secara hukum. Akan tetapi – lagi-lagi – aparat hukum di sana tidak mampu berbuat menegakkan hukum sebagaimana tugas dan tanggungjawabnya. Kasus-kasus proyek yang muncul hanya lewat berseliweran di depan mereka, namun tidak ada upaya mengejar pelakunya.

Kini, warga Nunukan kembali dibayangi persepsi bahwa hukum memang belum menyentuh para pelaku yang menggerogoti keuangan negara. Kehidupan liar semasa mendapat julukan Kota Texas, masih ada dan bahkan berubah menjadi lebih intelek karena yang digerogoti sekarang adalah uang negara. Kalau dulu kejahatan sebatas kriminal biasa, sekarang telah meningkat menjadi kejahatan kerah putih (white collar crime) dan melibatkan pengusaha – penguasa.

Perlu keberanian untuk melakukan perubahan di Nunukan. Langkah yang paling tepat harus dimulai dari bupatinya. Orang nomor satu ini yang patut menggedor seluruh unsur Muspida untuk menangkapi tikus-tikus penggerogot uang negara. Ayo! Kita turut berdoa. **

Jumat, 01 Februari 2008

Antasari Azhar

Oleh: Charles Siahaan

PAK Rahmat, seorang pedagang kelontongan di Samarinda ikut memaki terpilihnya Antasari Azhar sebagai Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Pemberitaan media massa yang lebih banyak porsi menyerang Antasari dan nyaris tidak pernah ada yang memberikan pujian atas prestasinya selama menangani kasus korupsi di tanah air, telah membuat Pak Rahmat juga bersikap pesimis KPK bisa segarang saat ini ketika masih dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki.

“Semua pejabat itu korupsi. Mereka harus diseret ke pengadilan,” begitu opini Pak Rahmat. Ia termasuk yang sering mengamati tingkah laku para pejabat yang tinggal dekat rumah kontrakannya. Mulai dari gonta ganti mobil sampai mobil dinas yang dipakai ke kebun dan mengantar anak pergi sekolah serta istri berbelanja.

Lantaran kecintaan pada negeri Indonesia inilah membuat Pak Rahmat juga tidak setuju dengan masuknya Antasari Azhar sebagai salah seorang pimpinan KPK. Ia menggunakan intiusi bahwa di tangan Antasari pemberantasan korupsi bakal mengalami kemorosotan.

Tentu saja itu adalah penilaian subjektif. Sama dengan ’perasaan’ berbagai kalangan pengamat, sebagian pakar dan praktisi hukum di tanah air yang menuding Antasari diduga berada dalam lingkaran skenario lawan antikorupsi serta para pihak yang menginginkan KPK dibubarkan.

Begitu dasyatnya serangan terhadap Antasari, sehingga tentu saja masyarakat Indonesia sangat menanti langkah-langkahnya. Apakah ia akan berada sebagai super visi dari pemberantasan korupsi, atau justru terseret dalam skenario lawan antikorupsi yang memang masih begitu kuat.

Bagaimanapun adalah hak masyarakat pula untuk mengontrol jalannya program pemberantasan korupsi di negeri ini. Bukan hanya oleh KPK, tetapi juga para jaksa dan polisi yang juga punya kewenangan sama. Ya, mereka adalah institusi harapan bangsa yang patut didorong agar mampu membersihkan negeri ini dari para koruptor.

Seperti harapan Pak Rahmat, sebagai seorang pedagang ia juga menginginkan harga-harga tidak lagi mencekik lantaran terbebani uang-uang siluman yang harus dibayar pedagang dalam setiap transaksi. Ia menginginkan para pejabat mengatur pemerintahan secara jujur agar ada yang bisa dibanggakan generasi bangsa.

Sejak korupsi menggerogoti negeri ini, memang kebanggaan generasi bangsa terhadap negerinya sudah sangat merosot. Yang muncul adalah cacian, kemarahan terhadap para penyelenggaran negara yang ujung-ujungnya mengurangi rasa nasionalisme. Jarang sekali muncul kebanggaan itu, bahkan di lini olahraga yang menjunjung sportifitas. Padahal pakta kebangsaan dipercaya adalah salah satu ’obat mujarab’ yang bisa membunuh niat korupsi.

Antasari adalah harapan bangsa. Dia harus menjawab kegelisahan Pak Rahmat dengan prestasi yang melebihi pimpinan KPK sebelumnya. Selamat bekerja!*