Minggu, 25 September 2011

Jejak Tanah Kesultanan Kutai

Kesultanan Kutai Kartanegara berkuasa sejak abad 13, sampai akhirnya bergabung dengan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Peristiwa penggabungan itu ternyata menghapus seluruh ‘kekuasaan’, termasuk atas tanah-tanah kerajaan.
Peristiwa 22 September 2001, patut dicatat sebagai sejarah bagi rakyat Kalimantan Timur. Pada tanggal itu, putra mahkota H Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat ditabalkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II.
Adalah Syaukani HR yang berusaha menghidupkan lagi lembaga kesultanan setelah lenyap sejak tahun 1959. Ia tidak ingin identitas ‘darah biru’ Kutai yang terbangun sejak tahun 1300 Masehi, lenyap begitu saja. Catatan sejarah, matinya kekuasaan kesultanan justru setelah adanya gaung kemerdekaan Indonesia. Tepatnya tahun 1949 ketika Dewan Kesultanan yang terdiri dari Sultan Kutai, Sultan Bulungan, Sultan Gunung Tabur, Sultan
Sambaliun dan Sultan Paser bergabung dengan Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejak itu, pelan-pelan kekuasaan kesultanan “dipreteli” sampai akhirnya tahun 1959 benar-benar habis karena pemerintah RI – lewat parlemen Orde Lama - menjadikan Kutai sebagai daerah istimewa (DI).
Syaukani HR yang waktu itu menjadi Bupati Kukar memang memperistri seorang putri dari kalangan kerabat kesultanan. Tapi, bukan karena motivasi itu ia dengan gigih membawa idenya ke Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). Ada hal lebih besar; mengembalikan identitas kesultanan sebagai kekuatan lokal yang tumbuh bersama masyarakat Kutai sejak beratus tahun lamanya.
Identitas budaya kesultanan tidak patut lenyap apalagi dilenyapkan. Meski harus dengan konsekuensi Pemerintah Kukar harus membangun Kedaton dan perangkat kesultanan lain yang selama ini terlanjur sudah masuk gudang. Syaukani melihat potensi luar biasa dari hidupnya lagi kesultanan. Banyak warisan sejarah yang belum tergali, tapi sedikit pejabat yang menaruh rasa peduli. “Sejarah kesultanan Kutai Kartanegara adalah sejarah bangsa, sejarah rakyat Kaltim yang besar,” kata Djohansyah Balham, Budayawan Kaltim.
Sejarah yang terputus membuat luka yang dalam bagi kalangan kesultanan. Apalagi, diketahui kemudian bahwa Kesultanan tidak memiliki apa-apa. Bukan kekuasaan saja yang hilang, tapi juga tanah-tanah yang dulu menjadi wilayah kedaulatan sultan.
“Kami memang kehilangan segala-galanya. Sejak bergabungnya Kerajaan Kutai ke Republik Indonesia. seluruh tanah Kutai yang dulunya masuk dalam kekuasaan kerajaan Kutai tidak jelas penyerahannya. Kita tidak tahu tanah mana saja yang diserahkan kepada pemerintah dan tanah mana yang dikelola Kerajaan Kutai,” ungkap Aji Wiwing, kerabat Kesultanan yang juga keponakan dari Adji Mohamad Sultan Salehoedin II.
Sengketa tanah yang mengatasnamakan hibah (grant) Kesultanan Kutai merebak di mana-mana. Mulai dari Balikpapan, Samarinda sampai Sangatta dan Bengalon Kutai Timur. Tanah-tanah itu sudah jadi pusat kota yang harganya mahal, sampai menjadi lokasi tambang PT KPC (Kaltim Prima Coal) yang produksinya terbesar di Indonesia. # =====================================================================
Sengketa di Tanah Makmur
Sejak berintegrasi dengan Republik Indonesia, Kesultanan Kutai Kartanegara yang pernah berjaya di zamannya kehilangan tanah-tanahnya. Upaya menggugatpun selalu kandas.
Ibnu Arifuddin, Ch Siahaan
Siapa mengira kalau tanah eks kerajaan Kutai Kartanegara yang terbentang mulai sebagian Kabupaten Paser, Balikpapan sampai Bontang dan Kutai Timur adalah daerah kaya raya. Daerah yang kini bernama Provinsi Kalimantan Timur itu kini menjadi andalan devisa Indonesia, karena memproduksi minyak dan gas, batubara dan sumber daya alam lain. Data resmi pemerintah menyebutkan, tahun 2010 PDRB (product domestik regional bruto) Kaltim mencapai Rp359,98 triliun.
Begitu berlimpahnya hasil bumi eks kesultanan, tidak berarti menetes kepada kerabat kerajaan yang pernah berkuasa di daerah itu. “Kami tidak menerima royalty sepeserpun,” ucap putra mahkota H Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat. Bahkan sampai usia ke-87 tahun pada 24 Oktober nanti, Sultan mengaku masih berdiam di rumah warisan mertua.
Tanah-tanah eks kesultanan memang tidak jelas lagi bagaimana serah terimanya dengan pemerintah RI. Sejak bergabung dengan RIS tahun 1949, satu persatu kekuasaan yang membuat para bangsawan itu jaya terpreteli. Malah, setelah tahun 1959 sistim negara berubah kembali menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), status kesultanan nyaris habis sama sekali. Pemerintah menetapkan daerah itu menjadi DI (Daerah Istimewa) Kutai. Tapi itupun hanya beberapa tahun, sampai akhirnya statusnya sama dengan daerah otonom lainnya.
Tidak heran kalau akhirnya gugatan merebak di mana-mana. Kalangan kerabat kesultanan melakukan gugatan hukum ke pengadilan. Misal di Balikpapan, Mahkamah Agung (MA) menurunkan Surat Keputusan (SK) Kasasi bernomor 2204.K/Pdt/2007 tertanggal 31 Agustus 2009 yang memenangkan Aji Bachrun dkk – kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara, dalam perkara sengketa tanah seluas 25.650 meter persegi di Komplek Pertokoan Cemara Rindang dengan Wali Kota Balikpapan dkk. Sedikitnya ada 190 ruko rencananya akan dieksekusi oleh PN (Pengadilan Negeri) Balikpapan.
Sultan Kutai Kartanegara juga menggugat PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 22 Juli 2003. Di era Bupati Syaukani HR itu, pihak kesultanan mengklaim tanah seluas 447.000 hektar yang membentang dari Sangatta sampai Bengalon adalah milik kesultanan. PT Kaltim Prima Coal dituding menyerobot seluas 33.385 hektar untuk operasi tambang, perkantoran dan pemukiman karyawan.
Kesultanan Kukar menuntut KPC ke Pengadilan Negeri Tenggarong dengan ganti rugi sebesar USA $453.530, setara Rp3.383.500.000. Ada dokumen dari pemerintahan Hindia Belanda yang mendukung siapa yang memiliki tanah itu. Tapi gugatan itu kandas di Pengadilan Negeri Tenggarong maupun di Pengadilan Tinggi. Kemudian pihak kesultanan ingin berdamai dengan perusahaan dan mengajukan ganti rugi Rp1,3 miliar, tapi itu juga ditolak oleh manajemen KPC.
Kasus lain yang menyebut-nyebut tanah eks kesultanan, juga terjadi di Gunung Lipan Samarinda. Tanah yang kini menjadi perumahan mewah Pesona Mahakam, Lipan Hill, Pom Bensin (SPBU) milik Sayid Sjafran, mantan Sekdaprov Kaltim yang juga mantan Bupati Kutai, sampai tanah kampus Politeknik dan ratusan rumah penduduk, diklaim sebagai milik Johariyah. Total tanahnya diklaim sebesar 61 hektar.
Dayang Johariyah mengaku turunan langsung Sultan Sulaiman, yang pernah berkuasa di Kerajaan Kutai. Johariyah adalah cucu dari Aji Raden Botoh, salah seorang anak lelaki Sultan Sulaiman.
Sejak Johariyah tampil beraksi untuk menguasai tanah-tanah yang telah dikuasai banyak pihak tersebut, ketegangan terjadi. Mereka bertekad melawan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mempersoalkan surat bukti Hak Waris yang menjadi modal Johariyah. Mereka menuding palsu, karena menemukan data berbeda bahwa Sultan Sulaiman – menurut data mereka – telah wafat pada tahun 1899, sedangkan surat waris dari Sultan kepada kakeknya Johariyah tertera tahun 1909 alias 10 tahun setelah Sultan mangkat.
Tidak cukup sampai di situ, tanah di jantung kota Kelurahan Panji Tenggarong yang sekarang berdiri Kedaton sampai ke kawasan monumen juga diklaim sebagai tanah perwatasan milik almarhum Adji Gao atau Adji Pangeran Ratu yang pernah jadi Menteri Kesultanan Kutai Ing Martadipura. Keturunan Adji Gao kini mempersoalkan pemerintah yang menguasai tanah-tanah itu tanpa adanya ganti rugi.
Keturunan Adji Gao mengklaim tanah di situ milik mereka sesuai surat akte kepemilikan tanah tahun 1907 yang dibuat dalam bahasa Belanda dan sudah dilengkapi dengan salinan terjemahan bahasa Indonesia. Berdasarkan akte surat tanah itu disebutkan lokasi tanah perwatasan yang luasnya mencapai kurang lebih 4 hektar, dulunya berada di samping rumah sakit, sekarang lokasi itu sudah berubah menjadi bangunan Mesjid Agung, Monumen Pancasila yang dulu adalah lapangan sepakbola dan Bioskop lama sekarang gedung Dharma Wanita serta bangunan Kedaton sekarang.
Pihak kesultanan sendiri tidak berdaya dengan banyaknya gugatan yang muncul. Karena diakui memang ada tanah-tanah yang dihibahkan oleh sultan, khususnya pada zaman Sultan Sulaiman tahun 1850-an, namun soal tanah hibah itu sudah dianulir sekitar tahun 1931, ketika kerajaan Kutai dipegang oleh Sultan AM Parikesit.
“Tanah rakyat ini memang dihibahkan yang mulia paduka raja Sultan Sulaiman kepada masyarakat kala itu dengan tidak memandang suku apapun,” jelas Aji Wiwing, salah seorang kerabat kesultanan. Dengan aturan menarik kembali tanah-tanah yang telah dihibahkan (grant), itu berarti seluruh tanah dikuasai kembali oleh kesultanan. Aturan ini dibuat langsung oleh Sultan AM Parikesit dengan tujuan mengatur dan menyelesaikan kasus-kasus tanah yang timbul dalam masyarakat ketika itu. # ================================================================== Jelang 87 Tahun Usia Sultan
Sultan Kutai Ing Martadipura di Tenggarong, H Adji Muhammad Salehuddin II, pada 24 Oktober 2011 nanti berusia 87 tahun. Fahran, Ibnu Arifuddin
Tak banyak yang berubah dari Sultan Kutai Ing Martadipura H Adji Muhammad Salehuddin II. Raut wajah tuanya masih memancarkan sinar yang seakan menunjukkan optimistis. Ia sangat sederhana dan sesekali hadir dalam acara yang digelar pemerintah.
Salehuddin II ditabalkan menjadi Sultan secara utuh pada 22 September 2001. Penobatannya sendiri diakui oleh seluruh kerabat Kesultanan Kutai ing Martadipura dan Pemkab Kutai Kartanegara. Malah, ketika Pemkab Kukar di era pemerintahan Syaukani HR, ia pun dibangunkan sebuah keraton (kedaton) senilai Rp 11 miliar lebih. Letaknya persis di belakang museum Mulawarman, Tenggarong, bekas istana atau pusat kerajaan tempo dulu.
Sultan pun diminta meninggali kedaton yang tergolong mewah itu. Sebuah tempat tinggal orang terpandang yang memang representatif, berhawa sejuk, berperabotan serba mengkilap dan berbagai fasilitas menggiurkan lainnya. Namun, Sultan Salehuddin II agaknya lain dari yang lain. Ia malah menolak dengan alasan merasa trauma tinggal di tempat yang bernama dan bernuansa istana.
Sultan menceritakan masa lalunya. Ia trauma kalau mengingat kejadian saat ayahandanya Sultan Adji Muhammad Parikesit mangkat. Ada semacam kenangan pahit dan menyedihkan yang seakan sukar dilupakannya.
Tanggal 27 Oktober nanti, Pangeran Prabu berusia 87 tahun. Tapi sampai setua itu ia mengaku tidak pernah menerima royalti dari usaha-usaha pertambangan maupun eksploitasi hutan. “Satu rupiah pun saya tidak pernah memperoleh royalti seperti itu,” jawabnya pada suatu hari kepada wartawan Bmagazine.
Sultan pun bercerita, tanah-tanah warisan kesultanan pun ia tidak tahu. Sudah dijadikan bangunan apa dan siapa pula tuannya. Sultan Salehuddin II ini mengaku tidak memikirkannya lagi, kecuali ia berpikir menjalani masa tuanya bersama istri tercinta, sang permaisuri Hj Adji Ratu Aida. Putra putrinya pun sudah berkeluarga semua dan hidup mandiri.
Hiburan satu-satunya yang ia sukai bila putra-putrinya datang menengok dengan cucu-cucunya yang jumlahnya setengah lusinan. Dan, salah satu putranya, HA Ali Zain Faisal pernah menyatakan kalau ayahandanya (Sultan Salehuddin II) sampai setua itu masih belum memiliki rumah pribadi.
Benarkah begitu? Sultan sendiri membenarkannya. “Rumah tua yang aku diami bersama istri ini adalah rumah mertua. Saya mendiami rumah ini sejak berumah tangga sampai hari tua seperti sekarang. Yang penting, saya sudah menjalankan kewajiban membesarkan anak-anak dan memberikan pendidikan hingga lima anak-anak dapat hidup mandiri dan membina rumah tangga,” aku Sultan Salehuddin.
Di rumah tua itu sendiri ada aktivitas Sultan Salehuddin yang mungkin belum banyak diketahui publik. Sultan Salehuddin II ini ternyata memiliki kelebihan atau kemampuan menyembuhkan anak-anak balita yang menderita sakit. Misalnya seperti demam panas dan bermacam-macam penyakit yang menyerang anak balita pada umumnya.#

Kaki Tangan KPC

Adakah orang yang merasa ‘berdosa’ atas gagalnya Pemerintah Provinsi Kaltim memperoleh hak beli saham dari aksi divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) tahun 2002 lalu? Atau adakah oknum-oknum di Kaltim yang ikut merasa bersalah karena akhirnya perusahaan batubara itu membatalkan janjinya memberikan konpensasi sebesar Rp285 miliar?
Topik mengenai PT KPC seperti tak pernah surut bagi publik Kaltim. Simak sejak berdiri tahun 1982 dan beroperasi tahun 1992, sepak terjang perusahaan batubara itu ibarat bara yang selalu menyala. Bahkan membakar seluruh komponen masyarakat, tak hanya di sekitar tambang tapi meluas ke seluruh penjuru. Tak hanya di dalam negeri, tapi isunya sampai luar negeri.
Harap maklum, karena inilah pertambangan terbesar di Indonesia. Pemerintah RI memberikan areal konsesi PT KPC di Sangatta dan Bengalon Kutai Timur seluas 90.960 hektar dengan durasi izin sampai tahun 2021. Sejak tahun 2010 silam, perusahaan ini merancang produksi sebesar 70 juta Metrik Ton per tahun. Inilah angka produksi paling spektakuler yang boleh diusulkan masuk MURI (Museum Rekor Indonesia).
Pemilik awal PT KPC adalah para kampiun tambang internasional, Conzinc Rio Tinto of Australia dan British Petroleum (BP). Mereka meletakkan saham 50-50 persen dan pada 2003 silam – untuk alasan kewajiban divestasi saham - dialihkan ke perusahaan, Sangatta Holding Ltd dan Kalimantan Coal Ltd.
Hiruk pikuk tentang KPC kian berkobar-kobar ketika diketahui ada untung besar para pemegang konsesi di tambang itu. Apalagi PT KPC sebagai pemegang izin PKP2B (Perjanjian Kontrak Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) generasi pertama, wajib melakukan divestasi.
Inilah awal munculnya oknum-oknum yang berusaha tampil bak ‘pejuang’ daerah. Tidak hanya di masyarakat, tapi juga para politisi dan profesi lainnya. Begitu menyentuh persoalan PT KPC, langsung saja ada yang tersengat. Apalagi setelah akhirnya pada tahun 2003, BUMI alias Bumi Resources berhasil mengakuisisi PT KPC. BUMI adalah perusahaan nasional yang di dalamnya terdapat Aburizal Bakrie dan keluarganya.
Menangnya BUMI segera membentuk kelompok anti dan pembela. Karena ada nama Aburizal Bakrie yang Ketua Umum Partai Golkar, segera pula PT KPC seolah telah berwarna kuning. Apalagi, tiba-tiba di dalam jajaran komisaris muncul nama H Abdulah Popo Parulian. Publik Kaltim yang selama lebih sepuluh tahun dilanda kemarahan karena menganggap PT KPC tidak member manfaat, seakan terobati. Popo Parulian adalah mantan Ketua Kadin Kaltim dan cukup dikenal.
Popo Parulian diharapkan menjadi jembatan aspirasi rakyat Kaltim untuk membuat kebijakan dewan direksi PT KPC yang benar-benar tepat. Selama ini pemerintah maupun komponen masyarakat merasa sangat sulit mengakses dewan direksi PT KPC, karena semua pimpinan pengambil keputusan ada di Jakarta.
Sayangnya, harapan agar Popo menjadi jembatan rakyat Kaltim tidak berjalan sesuai harapan. Ketika muncul persengketaan antara warga Kaltim yang menggugat ke arbitrase ICSID (International Center for Settlement of Investment Disputes), janji memberikan konpensasi sebesar Rp285 miliar asal gugatan dicabut, malah dibatalkan.
Anehnya, para politisi dan pemerintah tidak ada yang begitu mempersoalkan pembatalan pemberian konpensasi sebesar Rp285 miliar itu. Hanya Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kaltim yang dalam pandangan umumnya, pekan tadi, mencuatkan lagi soal dana konpensasi itu. Benarkah itu semua karena ada banyak uang yang beredar di DPRD Kaltim agar jadi pembela, kaki tangan KPC? # ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Kecewa Dengan Popo Parulian
Nama Popo Parulian tercantum dalam jajaran Komisaris PT Kaltim Prima Coal (KPC) sejak PT Bumi Resources mengambilalih saham tahun 2003 silam.
Sedikit warga Kalimantan Timur yang mengetahui, bahwa dalam jajaran direksi PT Kaltim Prima Coal (KPC) terdapat nama H Abdulah Popo Parulian. Dia adalah mantan Ketua Kadinda Kaltim, alumni Fakultas Hukum Untag Samarinda dan pernah jaya dalam bisnis kayu di bawah bendera PT Kelawit Wana Lestari.
Jabatan Popo di PT KPC sebagai salah seorang komisaris, bersama Rosan P Roeslani dan Nalinkant A Rathod (Presiden Komisaris). Belum diketahui pasti apakah masuknya nama Popo terkait kepemilikan saham pribadi di perusahaan batubara terbesar di Indonesia itu atau mewakili masyarakat Kaltim dan Kutai Timur melalui Perusda PT Kutai Timur Energi yang semula memiliki saham 5 persen.
Rosan adalah bos perusahaan investasi PT Recapital Advisory. Hubungannya dengan BUMI, induk perusahaan PT KPC semakin mengikat, apalagi setelah BUMI berniat menyuntik dana kepada Recapital untuk membeli 90 persen saham PT Berau Coal dari PT Armadian Tritunggal.
Sementara Nalinkant A Rathod diketahui adalah ahli finansial berkewarganegaraan India. Ia bergabung dalam Grup Bakrie tahun 1987 dan terlibat dalam proses pembelian saham PT KPC dari Rio Tinto dan British Petroleum.
Saat ini Popo tinggal di Jakarta, ia berkantor di Bakrie Tower Senopati dengan bendera beberapa perusahaan bidang transportasi laut yang melayani pengangkutan tambang, termasuk batubara. Saat Bmagazine menyambangi di Lantai 9 gedung megah itu, Popo nampak tidak begitu menyukai menceritakan bagaimana keterlibatannya hingga menjadi komisaris di PT KPC.
Kedekatan Popo Parulian dengan Aburizal Bakrie sudah terjalin sejak keduanya masih menjadi Ketua Kadin. Aburizal sebagai Ketua Umum Kadin pusat, Popo menjadi Ketua Kadin Kaltim. Ketika mulai ribut-ribut soal divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC), Popo memang termasuk pengusaha yang ikut bersemangat di daerah. Sejumlah gerakan dilakukan termasuk di antaranya mengerahkan potensi pemuda untuk mengkampanyekan permusuhan kepada para pemegang saham pertama PT KPC.
“Banyak yang terlibat dalam aksi idealisme itu, karena rakyat Kaltim benar-benar menginginkan divestasi saham PT KPC bisa dimiliki oleh pengusaha atau Perusda asal Kaltim,” kenang Redy Zamzam, Ketua Komite Hak Rakyat Kaltim.
Momentum reformasi turut mendorong masyarakat untuk mendapat porsi yang lebih dari perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Kaltim. Mulai dari soal rekrutmen karyawan sampai penyertaan saham daerah. Popo Parulian, kata Redy, ternyata punya agenda tersendiri yang belakangan baru kita ketahui membawa misi Aburizal Bakrie dengan BUMI-nya.
Padahal, waktu itu ada juga agenda Gubernur Kaltim Suwarna AF dengan menggandeng PT Intan Bumi Inti Pradana sebagai calon pembeli saham PT KPC yang bakal didivestasi. Perusahaan yang digandeng Suwarna ini disebut-sebut milik Salim Grup.
Pada akhirnya BUMI memang tampil sebagai pemenang. Setelah melewati manuver komponen daerah Kaltim dan Kutai Timur, muncul kesepakatan dari Bupati Kutai Timur Mahyudin, dengan syarat Perusda juga diberikan hak istimewa untuk membeli saham. Dari 18,5 persen saham yang ditawarkan, ternyata Perusda tidak punya uang untuk membeli sehingga diserahkan kembali kepada BUMI dengan harga yang sama ketika membeli 18,5 persen. Dengan demikian Perusda yang diwakili PT Kutai Timur Energi tetap memiliki 5 persen saham. Setelah dijual kembali harga 5 persen saham PT KPC tersebut senilai Rp576 miliar.
Teka-teki masuknya nama Popo Parulian dalam jajaran komisaris PT KPC diduga karena adanya unsur Kalimantan Timur yang melekat. Apalagi mengenai divestasi saham itu, kata Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim, disebuah media, sudah ada kesepakatan mengenai siapa yang berhak membelinya pada sidang kabinet terbatas tanggal 31 Juli 2002. Presiden Megawati waktu itu menyepakati calon pembeli 51 persen saham yang didivestasi adalah 20 persen saham diberiikan hak istimewa kepada pemerintah pusat melalui BUMN PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (Persero) untuk membelinya, dan sisanya 31 persen dibagi menjadi hak istimewa Perusda Melati Bhakti Satya (Pemprov Kaltim) sebesar 12,4 persen dan Perusda PT Kutai Timur Energi sebesar 18,6 persen.
“Ternyata hak istimewa yang diketahui publik itu kan hanya untuk PT Kutai Timur Energi. Jadi hak istimewa untuk Perusda Melati Bhakti Satya Pemprov Kaltim itu siapa yang mengambil. Saya mencurigai di situ Popo Parulian masuk, sehingga bisa jadi komisaris,” ujar Redy.
Tadinya, publik Kaltim cukup terwakili dengan masuknya nama Popo sebagai komisaris. Sebab sebagai tokoh pengusaha di Kaltim, setidaknya bisa menjadi jembatan antara keinginan masyarakat daerah ini kepada perusahaan yang cenderung tersentral di Jakarta dan tidak tersentuh.
“Dulu, ketika KPC masih dimiiki Rio Tinto dan BP, masyarakat Kaltim masih mudah berhubungan dengan Pak Noke Kiroyan sebagai Presdir Rio Tinto Indonesia. Sekarang setelah sahamnya dikuasai BUMI malah sulit sekali,” ujarnya.
Popo Parulian tidak berpihak pada keinginan masyarakat Kaltim, tapi justru jadi pelindung perusahaan. Redy mencontohkan tentang janji konpensasi Rp285 miliar kalau warga Kaltim mencabut gugatan di arbitrase ICSID (International Centre for the Settlement of Investment Disputes) Singapura. “Mestinya Popo yang menjembatani supaya janji itu dipenuhi. Eh, sekarang malah seenaknya dibatalkan dengan berbagai alasan,” ujarnya. # Susunan Direksi PT KPC Nalinkant A. Rathod (Presiden Komisaris) Abdullah Popo Parulian (Komisaris) Ari Saptari Hudaya (Presiden Direktur) Kenneth Patrick Farrel (Direktur) Hanibal S. Anwar (Direktur) Rosan Perkasa Roeslani (Komisaris) --=----------------------------------------------------- Biodata H Abdullah Popo Parulian Nama Asal: Ngui Tjing Po Lahir: 28 Oktober 1961 Sekolah Terakhir: Fakultas Hukum Untag Samarinda Ketua Kadinda Kaltim periode 2007 – 2012 Bendahara Umum DPP Pemuda Pancasila 2009-2013 Bendahara Pengurus Besar Taekwondo Indonesia Email: popoparulian@yahoo.com -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Mengejar Saham yang Tersisa
Hak rakyat Kaltim bukan hanya dari janji konpensasi PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar Rp285 miliar, tapi masih ada hak istimewa untuk membeli saham sebesar 12,4 persen. Charles Siahaan, Muhammad Idris
Putus asa. Itu yang terasa di Gedung DPRD Kaltim Karang Paci Samarinda jika membincangkan kemelut di PT Kaltim Prima Coal (KPC). Padahal, inilah satu-satunya lembaga yang menjadi harapan rakyat agar hak-hak daerah di perusahaan seperti KPC bisa diraih kembali.
“Ya, praktis cuma DPRD yang bisa diandalkan rakyat. Karena mereka punya akses dan power ke pemerintah di daerah maupun pusat. Kalau anggota DPRD sudah melempem, masuk angin, ya mau apa lagi. Biar rakyat yang mengadili,” ujar Redy Zamzam, Ketua Komite Hak Rakyat Kaltim.
Karena masih mempercayai DPRD Kaltim, pekan tadi, Redy bersama tim menemui beberapa anggota legislative di sana. Misalnya Darlis Patolongi (Ketua PAN Kaltim), Rusman Yakub (Ketua PPP Kaltim), Syaifuddin DJ (Gerindra) dan Andi Harun (Partai Patriot).
“Kami menyampaikan kepada mereka bahwa harus ada lembaga yang konsen terhadap perjuangan merebut hak-hak Kaltim yang terabaikan. Misalnya dalam hal divestasi saham perusahaan pertambangan batubara generasi pertama, kemudian soal 285 miliar rupiah yang dijanjikan PT KPC,” cerita Redy kepada Bmagazine.
Darlis Patolongi, kata Redy, menyambut baik gagasan itu. Bahkan ia menyarankan agar persoalan divestasi perusahaan tambang berizin PKP2B generasi pertama supaya difasilitasi agar divestasinya bisa dirasakan oleh masyarakat Kaltim melalui Perusda. “Kan bukan cuma KPC yang wajib divestasi, masih ada Berau Coal, Kideco dan lainnya. Coba dicermati lagi supaya daerah kebagian,” kata Darlis kepada Redy.
Dalam persoalan divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC), Iwan Lolang, salah seorang anggota DPRD Kaltim dari Partai Gerindra, setuju masuk menyisakan persoalan bahkan bisa dikatagorikan belum dilaksanakan. Kalaupun pemilik PT KPC sekarang mengklaim sudah melaksanakan divestasi, bisa disoal itu illegal karena tahapan dan proseduralnya tidak dilakukan.
“Bukan hanya kemiskinan yang punya lingkaran setan, ternyata proses divestasi sama. Propinsi menuntut, kabupaten menolak. Saat kabupaten menuntut, propinsi diam . Percuma bentuk tim, kalau ada penyusup dan pengabar berita 'data'. Toh akhirnya diputuskan oleh orang-orang di luar tim,” keluh Iwan menjawab status Charles Siahaan dalam akun facebook.
Ruang untuk membuka lagi persoalan divestasi itu kian terbuka, dikaitkan statemen Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak soal adanya keputusan sidang kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Megawati tahun 2002.
Waktu itu sudah ditetapkan siapa saja yang punya hak istimewa membeli 51 persen saham PT KPC yang wajib didivestasi.
Sebanyak 20 persen adalah hak PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) mewakili pemerintah pusat, dan kemudian 31 persen lainnya dibagi menjadi hak istimewa Perusda Melati Bhakti Satya (Pemprov Kaltim) sebesar 12,4 persen dan Perusda PT Kutai Timur Energi sebesar 18,6 persen.
“Kuncinya, gubernur dan DPRD bersatu. Jangan terpecah-pecah atau mau dipecah-pecah oleh oknum KPC,” ujar Redy.
Rusman Yakub, anggota legislatif yang juga Ketua PPP Kaltim memandang perlunya kesadaran bersama agar tidak lagi hak-hak Kaltim dikalahkan oleh kepentingan korporasi. “Masa lalu itu cukup jadi pelajaran,” ujarnya .
Bagaimana dengan Andi Harun dari Partai Patriot. Ketika Redy Zamzam melontarkan harapannya agar tersambung dengan Popo Parulian, salah seorang komisaris PT KPC, dengan tangkas Andi mengakui bahwa keinginan seperti itu sangat sulit. “Aku nelpon saja tidak diangkat,” ujar Andi.
Di DPRD Kaltim, yang terlihat konsisten memperjuangkan dana konpensasi Rp285 miliar atas pencabutan perkara di arbitrase ICSID Singapura adalah Fraksi PDI Perjuangan. Lewat jurubicaranya, Sudarno, dalam pandangan umum atas nota keuangan APBD Perubahan, pekan tadi, ia menyampaikan kepada pemerintah agar mengambil sikap. Sikap ini sama ketika masalah janji itu mencuat tahun lalu.
Beredar kabar, DPRD Kaltim memang terpecah ketika ada usulan untuk membentuk Pansus PT KPC. Ada yang mengisukan beredar sejumlah uang untuk menggagalkan upaya membuka lagi persoalan divestasi dan masalah lain di perusahaan tersebut.
Hatta Zainal, Ketua Fraksi Partai Golkar, mengakui ada persoalan dilematis ketika berbicara dana konpensasi Rp285 miliar itu. Karena perolehan seperti itu bisa saja dianggap menjadi gratifikasi dan melanggar hukum. “Kita mengalami dilema di situ,” kilah Hatta dalam perbincangan dengan Bmagazine di kafe KopiLuwak Atrium Senen Jakarta, beberapa waktu lalu.
Rakyat Kaltim sudah merasakan kekecewaan yang dalam dengan PT KPC. Perusahaan ini mulai menakutkan para politikus, karena adanya nama Aburizal Bakrie di dalam perusahaan induk BUMI (Bumi Resources). Aburizal memiliki jaringan kuat di semua partai yang tersentral di Jakarta, sehingga muncul anggapan kalau mengganggu perusahaan PT KPC, maka berisiko dalam karir di partai sendiri. Bukan hanya untuk kader Partai Golkar, tapi partai-partai lainnya. # ======================================================================================== -Saifuddin Dj, Anggota DPRD Kaltim KPC Harus Beritikat Baik
Seharusnya KPC memiliki itikad baik terhadap Kaltim untuk membayar dana konpensasi Rp285 miliar tersebut. Sekarang ini kan terasa mereka ini angkuh. Padahal, mereka kan melakukan eksploitasi secara besar-besaran di bumi Kaltim. Kalau sudah dijanjikan, itu kewajiban, jangan malah menghindar.
Kami di DPRD bersama pemerintah akan tetap menagih pembayaran tersebut. Saya kita perlu membentuk tim kembali bersama pemerintah. Ya, DPRD dan pemerintah harus bekerjasama dalam hal ini.
Saya juga menyesalkan sikap Popo Parulian sebagai komisaris PT KPC, tetapi tidak berusaha untuk menggolkan kewajiban konpensasi itu. Sebagai warga Kaltim yang berada di dewan komisaris, mestinya dia ikut memperjuangkan. Jangan malah mendiamkan.
Menyangkut divestasi saham, kami juga setuju agar perusahaan tambang batubar berizin PKP2B generasi pertama supaya diselesaikan persoalan divestasinya. Kan ada Berau Coal, Kideco dan Indominco. #M Idris =

Babak Seleksi Pesaing Faroek

Masa jabatan Awang Faroek Ishak sebagai Gubernur Kaltim, baru berakhir 17 Desember 2013. Atau setidaknya masih tersisa 28 bulan. Itu sebabnya partai-partai politik mulai mencari-cari figur yang bakal diusung.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menjadi satu-satunya yang lebih awal mengumumkan nama bakal calonnya. Ada tiga nama yang disepakati dalam Rakerda partai moncong putih itu, yaitu Emir Moeis (Ketua Umum PDIP Kaltim), Awang Faroek Ishak (Gubernur Kaltim) dan Isran Noor (Ketua Partai Demokrat Kaltim). Beberapa lembaga survei juga sudah mulai mengutak-atik para calon potensial. Bmagazine misalnya sudah menjaring 22 dari target 50 nama calon, sebelum dikerucutkan lagi berdasar pilihan pembaca. Nama Faroek, Isran dan Emir Moeis termasuk yang ikut terjaring (lihat table).
Dari wawancara beberapa kalangan menyebutkan, sulit mencari tandingan Awang Faroek Ishak dalam situasi sekarang. Tidak ada figur menonjol yang levelnya bisa disetarakan dengan mantan anggota DPR RI dan mantan Bupati Kutai Timur itu. Entah kenapa ada muncul pelabelan ‘hebat’ itu?
Padahal, kalau diikuti prestasi Faroek semasa menjadi Gubernur Kaltim sejak tahun 2008, tidak ada yang patut dibanggakan. Dia cuma mengadopsi rencana Gubernur Kaltim sebelumnya, Suwarna AF, membangun jalan Tol Balikpapan – Samarinda. Kemudian juga meneruskan membangun Pelabuhan internasional Maloy Kutai Timur yang memang digagasnya ketika menjadi Bupati Kutai Timur.
Dua program ‘raksasa’ itu sendiri tak jelas progress pembiayaanya, karena janji Faroek bakal melibatkan pendanaan swasta, tapi sampai hari ini hanya membebani APBD saja.
Ada memang yang patut mendapat pujian publik. Yaitu konsistensi pada penganggaran 20 persen APBD untuk dunia pendidikan. Dari penggelontoran dana itu ia bisa memberi beasiswa kepada ribuan mahasiswa tiap tahun.
Faroek juga dianggap punya gebrakan dalam mendirikan perusahaan penerbangan lokal bernama ‘Kaltim Air’. Walau masih sangat prematur untuk dipuji, karena sejauh ini prospeknya juga meragukan. Apalagi disebut-sebut, para pesaham yang berkongsi dengan Perusda Melati itu mulai ada yang mengundurkan diri.
Ya, apapun yang terjadi di lapangan, faktanya seorang incumbent selalu ditempatkan pada posisi yang terkuat dalam tiap pemilihan umum secara langsung. Karena begitu besar fasilitas negara yang menyertai, sehingga para incumbent bisa mendompleng untuk meninggikan popularitasnya. Begitu juga Faroek yang mulai digadang-gadang punya kans besar menjadi gubernur dua kali.
Benarkah Kaltim krisis pemimpin muda untuk menggantikan kemahsyuran Faroek?
Sebenarnya tidak juga. Partai-partai politik memiliki sejumlah kader yang siap bersaing. Partai Golkar misalnya punya kader-kader berintegritas dan berprestasi seperti Makmur HAPK (Bupati Berau), Mahyudin (anggota DPR RI) dan Hetifah (anggota DPR RI).
Partai Demokrat yang menjadi nomor dua di Kaltim dalam Pemilu lalu juga punya Isran Noor (Bupati Kutim) dan Syaharie Jaang (Wali Kota Samarinda). PKS punya Hadi Mulyadi dan PPP ada Rusman Yakub.
Mengapa kader-kader muda tidak begitu menonjol di mata publik, lantaran umumnya mereka punya rasa sungkan untuk berdebat mengenai konsep-konsep Awang Faroek Ishak. Politisi muda membiarkan jalan pikiran Faroek mempengaruhi publik, bahkan merealisasi dalam APBD tanpa adanya ‘perlawanan’.
“Saya siap beradu konsep dengan Awang Faroek Ishak,” ujar Rendi S Ismail, salah seorang tokoh muda yang kini Ketua Kadin Balikpapan. Ia juga siap maju dalam Pemilukada Kaltim jika muncul dukungan publik. #

Selasa, 16 Agustus 2011

Konstitusi Melenceng


Konstitusi kian melenceng, tepat sekali. Pangkal carut marutnya pengelolaan negeri ini bersumber dari klaim NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang menempatkan 'Jakarta' (Pemerintah Pusat) sebagai pemegang saham terbesar republik ini. Padahal, konsep NKRI bertentangan dengan sila ketiga Persatuan Indonesia. Konsep Persatuan Indonesia lahir karena ada 'negara-negara' kesultanan yang berkongsi membangun Republik Indonesia. Di Jawa ada Nyayogyakarta, di Sumatera, di Ternate di Sulawesi dan Kalimantan.

Sultan-sultan itu memiliki kekuasaan yang kemudian makin dikikis habis. Di Kalimantan Timur ada Kesultanan Kutai yang sempat dirayu bergabung ke RI dengan status Daerah Istimewa (1953), tapi kemudian dijadikan daerah setara dengan daerah-daerah lainnya.

Penyimpangan konstitusi Persatuan Indonesia menjadi Kesatuan Indonesia berakibat fatal, karena diterjemahkan dengan sistim negara sentralisasi yang kita anut di Orde Baru. Sumber daya alam Papua, Kalimantan dan di daerah-daerah diklaim milik 'Jakarta'. Akibat semua itu, daerah-daerah kaya pun menjadi daerah miskin. Simak data BPS dari sensus yang dirilis Oktober 2010 ini

10 Propinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi (%)
1 Papua Barat (36,80)
2 Papua (34,88)
3 Maluku (27,74)
4 Sulawesi Barat (23,19)
5 Nusa Tenggara Timur (23,03)
6 Nusa Tenggara Barat (21,55)
7 Aceh (20,98)
8 Bangka Belitung (18,94)
9 Gorontalo (18,70)
10 Sumatera Selatan (18,30)

Sumber: Sensus Nasional BPS 2010


Sejak reformasi bergulir tahun 1998, ada perubahan pada sistim sentralisasi menjadi desentrralisasi. Dengan memberikan kewenangan lebih besar pada daerah. Pusat hanya memegang lima kewenangan, Agama, Pertahanan, Keuangan, Politik LN dan Hukum. Tapi faktanya 'Jakarta' masih menjadi "Raja-Raja Besar" yang menganggap SDA di daerah milik Jakarta. UU Kehutanan, UU Minerba, semua bernafaskan sentralisasi gaya baru.

Tidak ada yang salah dalam penterjemahan itu, karena isi kepala pendiri negeri ini sudah tercekoki dengan singkatan NKRI itu. Bahkan sudah dipatok; NKRI Harga Mati.

Momentum 66 tahun Indonesia, ada baiknya memang kita renungkan kembali, bahwa negara Indonesia didirikan berdasarkan kesepakatan / konsensus para pemegang 'saham' dari Sabang sampai Merueke. Tapi karena faktor politik kuantitas, terutama dominasi Jawa, mengakibatkan suara daerah tidak didengar. Dikte 'Jakarta' berakibat terkurasnya sumber daya alam daerah dan membuat kemiskinan di daerah kaya SDA.

Indonesia harus kembali ke Persatuan Indonesia. Tepatnya Negara Persatuan Republik Indonesia (NPRI). Jakarta harus melepas egonya dan memberikan otonomi penuh kepada daerah-daerah mengelola sumber daya yang kaya itu.

charlessiahaan@bongkar.co.id

Sabtu, 30 Juli 2011

Cocoknya Negara Federal

Aksi ‘heroik’ Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) dengan mengajukan gugatan JR (judicial review) ke MK (Mahkamah Konstitusi) di Jakarta, menjadi aksi pemanasan dari reaksi ketidakpuasan rakyat daerah dengan pusat.

Pilih mana. Judicial review, otonomi khusus atau Negara federal? Pertanyaan itu sengaja dilempar pengelola akun Bmagazine di jejaring sosial facebook. Hasilnya, selama dua hari ditayangkan, para member yang umumnya kalangan terdidik itu memilih Otsus atau otonomi khusus, 52 persen. Posisi kedua memilih Kaltim menjadi negara federal (33 persen) dan selebihnya membuat pilihan lain seperti ‘merdeka’ dan ‘perang’.

Tentu saja, ini bukan polling ilmiah seperti dilakukan lembaga riset atau lembaga survei yang kredibel. Hanya untuk mengukur apa masyarakat ada yang peduli terhadap perjuangan MRKTB yang segera mengajukan surat gugatan. Hasilnya, masyarakat peduli, tapi lebih senang kalau tuntutan lebih tinggi lagi, yaitu otonomi khusus.

Apa sih beda tuntuan JR, Otsus dan negara federal?

Kalau mengikuti rencana gugatan dari MRKTB, sebenarnya ini berawal dari ketidakpuasan Pemerintah Kalimantan Timur terhadap dana bagi hasil (DBH) sektor pertambangan. Sebagai daerah penghasil minyak dan gas serta batubara, berdasar UU Nomor 25 tahun 1999 dan telah diubah menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah, seluruh kabupaten / kota dan provinsi menerima sekitar Rp10 triliun dari DBH. Seperti diketahui dalam APBD, selain ada DBH ada juga DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus).
Angka sekitar Rp10 triliun itu dirasa tidak berkeadilan. Apalagi diketahui kontribusi Kaltim pada devisa mencapai Rp320 triliun per tahun.

Dari dasar itu, rupanya MRKTB menggugat pasal pembaginya agar dinaikkan angkanya menjadi setidaknya 30 persen sektor Migas untuk Kaltim. Sistem bagi hasil yang dianut sekarang, yakni dari minyak bumi 84,5 persen pemerintah pusat dan 15,5 persen pemerintah daerah, serta gas bumi sebanyak 69,5 persen pemerintah pusat dan pemerintah daerah 30,5 persen.

Bagaimana dengan Otsus? Kalau mengikuti daerah-daerah seperti Aceh dan Papua yang telah menikmati status Otsus, angka APBD mereka naik sampai 150 persen dari kondisi sebelumnya. Ada dana otonomi khusus yang digulirkan pemerintah pusat untuk membantu Papua dan Aceh. Walaupun hitung-hitungannya belum jelas dari mana ‘penyisihan’ dananya, tapi setidaknya hasil bumi dan sumber daya alam sudah lebih besar kembali ke daerah.

Pilihan menjadi negara federal, sebenarnya lebih pada keniscayaan. Masih banyak tokoh-tokoh yang merasa tidak yakin Kaltim bisa berhasil dengan menempuh upayagugatan itu? Seakan-akan tuntutan menjadi negara federal adalah sama dengan memisahkan diri dari Indonesia.

Rendi S Ismail, salah seorang tokoh di Balikpapan, masih percaya Kaltim dapat menempuh upaya itu. “Itu alternative pilihan,” katanya.

Dari sudut sejarah, upaya federasi itu sebenarnya sistim yang sudah pernah ada. Yakni berkuasanya para sultan dan raja di Kalimantan. Kesultanan dan kerajaan di Kalimantan bersedia melebur dengan pemerintah Indonesia, tapi kemudian – entah kenapa – ikut menanggalkan semua kekuasaannya. Inilah kesalahan fatal dari para pendiri negeri ini, karena sistim negara saat ini tidak memberikan kemakmuran pada rakyat Kalimantan Timur.

Jika dikembalikan pada sistim negara federal, pemerintahan lokal bisa berkuasa atas kebijakan sumber daya alam dan lainnya di daerah sendiri. #



///1HALAMAN///


/////untuk ilustrasi carike foto demo///////


Kaltim Bisa Lebih Keras


Judicial Review atas UU 33/2004 adalah tuntutan akan hak Kaltim, penyumbang Rp 320 trilyun APBN, jika upaya ini kandas jalan keluarnya otonomi khusus atau federal.

______________


Kalimantan Timur, memberikan kontribusi hingga seperempat bagian total APBN Rp1.229 trilyun atau sebesar Rp 320 trilyun, Rp 130 trilyun di antaranya dari Kutai Kartanegara. Secara keseluruhan Kaltim memperoleh pengembalian sekitar Rp 17 trilyun, sedangkan Kutai Kartanegara hanya memperoleh Rp2,3 trilyun.
Sisanya dinikmati oleh sebagian besar daerah beroreintasi industri dan pariwisata. Duit dari SDA Kaltim paling besar dinikmati oleh DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara dan Jawa Barat. Coba lihat indeks pembangunan manusia (IPM) empat provinsi itu berada di atas Kalimantan Timur yang menempati rangking 9, IPM nasional.
Infraststruktur Kaltim jauh di bawah Yogyakarta, jauh di bawah Jabar. Apalagi Bali dan Kota Manado. Wajar jika kemudian rakyat Kaltim geram dan berontak menuntut pembagian yang proporsional atas royalti sumberdaya alam bagi pembangunan Kaltim yang lebih baik.
Coba lihat lagi perjanjian kontrak pertambangan yang tidak seragam. Misal: equity share pertambangan minyak bumi berlain-lainan, perhitungan net operating income (NOI) untuk migas tidak jelas. Bahkan kontraktor sering mencantumkan biaya operasional terlalu besar sehingga angka NOI sangat kecil.
Penerimaan SDA dikumpulkan berdasarkan letak kantor perusahaan, bukan lokasi eksploitasi, ditambah lagi lokasi penambangan off shore belum diatur jelas dalam undang - undang. “Ada banyak departemen yang terlibat dalam penerimaan SDA, sulit dikontrol akurasinya. Cara penarikan dan tarif iuran tidak seragam,” kata Ilham Zain, kandidat Master Administrasi Publik UGM.
PKP2B seolah kitab suci yang tak dapat dikoreksi.Bahkan akibat dominasi pemerintah pusat dalam pengaturan tataniaga batubara menyeret banyak pejabat daerah masuk bui dan bermasalah secara hukum. Awang Faroek Ishak adalah salah satunya yang jadi tumbal PKP2B PT Kaltim Prima Coal.
Adalah Farid Wadjdy, Kamis 14 April 2011, saat melawat ke utara Kalimatan Timur secara resmi, Wagub Kaltim itu menyatakan gugatan judicial review terhadap UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan harus dimulai dengan seksama dan sistimatis agar tidak gagal.
Sebelumnya dari Karang Paci, Ir Gunawarman juga melontarkan tekad DPRD Kaltim untuk mempertanyakan pembagian yang kurang adil atas kontribusi daerahnya sebesar Rp 320 trilyun pertahun ke pemerintah pusat dan kurang dari 10 persen yang dikembalikan ke Kaltim untuk dibagi ke 14 kota dan kabupaten.
Angka kemiskinan yang mencapai 7,60% dan pengangguran sebanyak 10,10%. Memberikan kontribusi terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kaltim yang berada di rangking 10 nasional. Padahal daerah ini menyumbang APBN sebesar Rp 320 triliun.
“Coba bayangkan, yang kembali ke kita kecil sekali, jalan di pedalaman amburadul, masyarakat terpencil dan perbatasan terbengkalai, IPM kita terendah dibanding daerah penghasil migas lainnya. Jadi jangan salhkan kami, jika menempuh upaya hukum judicial review, karena sejatinya kita berhak menikmati lebih besar,” kata Abraham Ingan, Ketua Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB), ketika berbincang dengan Muhammad Idris, di Balikpapan pekan tadi.
Bayangkan, Kaltim yang mengalami perubahan morfologi laut, darat dan ketercemaran udara akibat eksploitasi migas hanya memperoleh 15 persen dari minyak dan 30 persen gas dari perut bumi Kalimantan Timur. ”Bagian terbesar dinikmati pusat. Celakanya lagi, penerima pembagian dari Kaltim ke daerah lain lebih besar dinikmati oleh daerah daerah yang beroreintasi industri dan pariwisata, sementara kami tidak punya jalanan yang bagus, pendidikan yang memadai,” kata Abraham.
Road show yang dilakukan DPRD Kaltim ke daerah penghasil migas lainnya, untuk bersama sama melakukan gugatan JR menurut Ir Gunawarman, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mulai menunjukkan hasil positif. “Langkah ini untuk memperkuat dukungan agar pemerintah pusat mengubah porsi anggaran dari alokasi APBN ke Kaltim yang selama ini masih dirasa tidak proporsional,” katanya.
Rendi S Ismael, tokoh muda Balikpapan malah lebih lantang meneriakkan JR. ”Jika upaya yang dilakukan mentok akibat intrik politik pemerintah pusat dan berbagai dalih yang tidak masuk akal, agaknya pantas kalau sekalian kita menuntut negara federal Kalimantan Timur,” katanya, beberapa waktu lalu di Balikpapan.
Memang, menurut Rendi aspek kesejarahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan acuan negara federal sekarang akan sangat berbeda. ”Kalau dulu adalah konsep pemaksaan Belanda akibat Konfrensi Meja Bundar, sekarang adalah tuntutan keadilan pembiayaan pembangunan agar Kaltim lebih sejahtera,” katanya.
Ini juga senada dengan tekad Abraham Ingan yang jika gagal di judicial review akan menempuh cara yang lebih keras lagi. Dari berbagai literatur sejarah yang ada, saat Indonesia berbentuk RIS, Kalimantan menjadi perhatian amar KMB (Konferensi Meja Bundah). Ini terbukti dengan terbentuknya Negara Kalimantan Timur, Negara Kalimantan Barat, Negara Kalimantan Tenggara, Negara Banjar dan Negara Dayak Besar.
“Jika memang keadaan memaksa, kita bisa melaksanakan referendum dua opsi otonomi khusus atau federasi, kendati hal itu akan menempuh jalan yang sangat panjang dan akan mengubah UUD Republik Indonesia. Jika memang itu jalan satu satunya, akan kami lakukan,” tambah Abraham Ingan yang sedang sibuk memediasi perseteruan Laskar Lagaligo dengan pasukan Forum Komunikasi Putra Asli Kalimantan di Balikpapan. #



//////////////////////////////////////

Cocoknya Negara Federal

Aksi ‘heroik’ Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) dengan mengajukan gugatan JR (judicial review) ke MK (Mahkamah Konstitusi) di Jakarta, menjadi aksi pemanasan dari reaksi ketidakpuasan rakyat daerah dengan pusat.

Pilih mana. Judicial review, otonomi khusus atau Negara federal? Pertanyaan itu sengaja dilempar pengelola akun Bmagazine di jejaring sosial facebook. Hasilnya, selama dua hari ditayangkan, para member yang umumnya kalangan terdidik itu memilih Otsus atau otonomi khusus, 52 persen. Posisi kedua memilih Kaltim menjadi negara federal (33 persen) dan selebihnya membuat pilihan lain seperti ‘merdeka’ dan ‘perang’.

Tentu saja, ini bukan polling ilmiah seperti dilakukan lembaga riset atau lembaga survei yang kredibel. Hanya untuk mengukur apa masyarakat ada yang peduli terhadap perjuangan MRKTB yang segera mengajukan surat gugatan. Hasilnya, masyarakat peduli, tapi lebih senang kalau tuntutan lebih tinggi lagi, yaitu otonomi khusus.

Apa sih beda tuntuan JR, Otsus dan negara federal?

Kalau mengikuti rencana gugatan dari MRKTB, sebenarnya ini berawal dari ketidakpuasan Pemerintah Kalimantan Timur terhadap dana bagi hasil (DBH) sektor pertambangan. Sebagai daerah penghasil minyak dan gas serta batubara, berdasar UU Nomor 25 tahun 1999 dan telah diubah menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah, seluruh kabupaten / kota dan provinsi menerima sekitar Rp10 triliun dari DBH. Seperti diketahui dalam APBD, selain ada DBH ada juga DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus).
Angka sekitar Rp10 triliun itu dirasa tidak berkeadilan. Apalagi diketahui kontribusi Kaltim pada devisa mencapai Rp320 triliun per tahun.

Dari dasar itu, rupanya MRKTB menggugat pasal pembaginya agar dinaikkan angkanya menjadi setidaknya 30 persen sektor Migas untuk Kaltim. Sistem bagi hasil yang dianut sekarang, yakni dari minyak bumi 84,5 persen pemerintah pusat dan 15,5 persen pemerintah daerah, serta gas bumi sebanyak 69,5 persen pemerintah pusat dan pemerintah daerah 30,5 persen.

Bagaimana dengan Otsus? Kalau mengikuti daerah-daerah seperti Aceh dan Papua yang telah menikmati status Otsus, angka APBD mereka naik sampai 150 persen dari kondisi sebelumnya. Ada dana otonomi khusus yang digulirkan pemerintah pusat untuk membantu Papua dan Aceh. Walaupun hitung-hitungannya belum jelas dari mana ‘penyisihan’ dananya, tapi setidaknya hasil bumi dan sumber daya alam sudah lebih besar kembali ke daerah.

Pilihan menjadi negara federal, sebenarnya lebih pada keniscayaan. Masih banyak tokoh-tokoh yang merasa tidak yakin Kaltim bisa berhasil dengan menempuh upayagugatan itu? Seakan-akan tuntutan menjadi negara federal adalah sama dengan memisahkan diri dari Indonesia.

Rendi S Ismail, salah seorang tokoh di Balikpapan, masih percaya Kaltim dapat menempuh upaya itu. “Itu alternative pilihan,” katanya.

Dari sudut sejarah, upaya federasi itu sebenarnya sistim yang sudah pernah ada. Yakni berkuasanya para sultan dan raja di Kalimantan. Kesultanan dan kerajaan di Kalimantan bersedia melebur dengan pemerintah Indonesia, tapi kemudian – entah kenapa – ikut menanggalkan semua kekuasaannya. Inilah kesalahan fatal dari para pendiri negeri ini, karena sistim negara saat ini tidak memberikan kemakmuran pada rakyat Kalimantan Timur.

Jika dikembalikan pada sistim negara federal, pemerintahan lokal bisa berkuasa atas kebijakan sumber daya alam dan lainnya di daerah sendiri. #


Kaltim Bisa Lebih Keras

Judicial Review atas UU 33/2004 adalah tuntutan akan hak Kaltim, penyumbang Rp 320 trilyun APBN, jika upaya ini kandas jalan keluarnya otonomi khusus atau federal.

Kalimantan Timur, memberikan kontribusi hingga seperempat bagian total APBN Rp1.229 trilyun atau sebesar Rp 320 trilyun, Rp 130 trilyun di antaranya dari Kutai Kartanegara. Secara keseluruhan Kaltim memperoleh pengembalian sekitar Rp 17 trilyun, sedangkan Kutai Kartanegara hanya memperoleh Rp2,3 trilyun.

Sisanya dinikmati oleh sebagian besar daerah beroreintasi industri dan pariwisata. Duit dari SDA Kaltim paling besar dinikmati oleh DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara dan Jawa Barat. Coba lihat indeks pembangunan manusia (IPM) empat provinsi itu berada di atas Kalimantan Timur yang menempati rangking 9, IPM nasional.

Infraststruktur Kaltim jauh di bawah Yogyakarta, jauh di bawah Jabar. Apalagi Bali dan Kota Manado. Wajar jika kemudian rakyat Kaltim geram dan berontak menuntut pembagian yang proporsional atas royalti sumberdaya alam bagi pembangunan Kaltim yang lebih baik.

Coba lihat lagi perjanjian kontrak pertambangan yang tidak seragam. Misal: equity share pertambangan minyak bumi berlain-lainan, perhitungan net operating income (NOI) untuk migas tidak jelas. Bahkan kontraktor sering mencantumkan biaya operasional terlalu besar sehingga angka NOI sangat kecil.

Penerimaan SDA dikumpulkan berdasarkan letak kantor perusahaan, bukan lokasi eksploitasi, ditambah lagi lokasi penambangan off shore belum diatur jelas dalam undang - undang. “Ada banyak departemen yang terlibat dalam penerimaan SDA, sulit dikontrol akurasinya. Cara penarikan dan tarif iuran tidak seragam,” kata Ilham Zain, kandidat Master Administrasi Publik UGM.

PKP2B seolah kitab suci yang tak dapat dikoreksi.Bahkan akibat dominasi pemerintah pusat dalam pengaturan tataniaga batubara menyeret banyak pejabat daerah masuk bui dan bermasalah secara hukum. Awang Faroek Ishak adalah salah satunya yang jadi tumbal PKP2B PT Kaltim Prima Coal.

Adalah Farid Wadjdy, Kamis 14 April 2011, saat melawat ke utara Kalimatan Timur secara resmi, Wagub Kaltim itu menyatakan gugatan judicial review terhadap UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan harus dimulai dengan seksama dan sistimatis agar tidak gagal.

Sebelumnya dari Karang Paci, Ir Gunawarman juga melontarkan tekad DPRD Kaltim untuk mempertanyakan pembagian yang kurang adil atas kontribusi daerahnya sebesar Rp 320 trilyun pertahun ke pemerintah pusat dan kurang dari 10 persen yang dikembalikan ke Kaltim untuk dibagi ke 14 kota dan kabupaten.

Angka kemiskinan yang mencapai 7,60% dan pengangguran sebanyak 10,10%. Memberikan kontribusi terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kaltim yang berada di rangking 10 nasional. Padahal daerah ini menyumbang APBN sebesar Rp 320 triliun.

“Coba bayangkan, yang kembali ke kita kecil sekali, jalan di pedalaman amburadul, masyarakat terpencil dan perbatasan terbengkalai, IPM kita terendah dibanding daerah penghasil migas lainnya. Jadi jangan salhkan kami, jika menempuh upaya hukum judicial review, karena sejatinya kita berhak menikmati lebih besar,” kata Abraham Ingan, Ketua Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB), ketika berbincang dengan Muhammad Idris, di Balikpapan pekan tadi.

Bayangkan, Kaltim yang mengalami perubahan morfologi laut, darat dan ketercemaran udara akibat eksploitasi migas hanya memperoleh 15 persen dari minyak dan 30 persen gas dari perut bumi Kalimantan Timur. ”Bagian terbesar dinikmati pusat. Celakanya lagi, penerima pembagian dari Kaltim ke daerah lain lebih besar dinikmati oleh daerah daerah yang beroreintasi industri dan pariwisata, sementara kami tidak punya jalanan yang bagus, pendidikan yang memadai,” kata Abraham.

Road show yang dilakukan DPRD Kaltim ke daerah penghasil migas lainnya, untuk bersama sama melakukan gugatan JR menurut Ir Gunawarman, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mulai menunjukkan hasil positif. “Langkah ini untuk memperkuat dukungan agar pemerintah pusat mengubah porsi anggaran dari alokasi APBN ke Kaltim yang selama ini masih dirasa tidak proporsional,” katanya.

Rendi S Ismael, tokoh muda Balikpapan malah lebih lantang meneriakkan JR. ”Jika upaya yang dilakukan mentok akibat intrik politik pemerintah pusat dan berbagai dalih yang tidak masuk akal, agaknya pantas kalau sekalian kita menuntut negara federal Kalimantan Timur,” katanya, beberapa waktu lalu di Balikpapan.

Memang, menurut Rendi aspek kesejarahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan acuan negara federal sekarang akan sangat berbeda. ”Kalau dulu adalah konsep pemaksaan Belanda akibat Konfrensi Meja Bundar, sekarang adalah tuntutan keadilan pembiayaan pembangunan agar Kaltim lebih sejahtera,” katanya.

Ini juga senada dengan tekad Abraham Ingan yang jika gagal di judicial review akan menempuh cara yang lebih keras lagi. Dari berbagai literatur sejarah yang ada, saat Indonesia berbentuk RIS, Kalimantan menjadi perhatian amar KMB (Konferensi Meja Bundah). Ini terbukti dengan terbentuknya Negara Kalimantan Timur, Negara Kalimantan Barat, Negara Kalimantan Tenggara, Negara Banjar dan Negara Dayak Besar.

“Jika memang keadaan memaksa, kita bisa melaksanakan referendum dua opsi otonomi khusus atau federasi, kendati hal itu akan menempuh jalan yang sangat panjang dan akan mengubah UUD Republik Indonesia. Jika memang itu jalan satu satunya, akan kami lakukan,” tambah Abraham Ingan yang sedang sibuk memediasi perseteruan Laskar Lagaligo dengan pasukan Forum Komunikasi Putra Asli Kalimantan di Balikpapan. #



//////////////////////////////////////

Tragedi Kolam Maut

Sejak otonomi daerah bergulir, Pemerintah Kota Samarinda sudah tergiur untuk menerbitkan izin pertambangan batubara. Walau visi dan misi tercatat sebagai kota jasa dan perdagangan dan bukan pertambangan, tapi tak menyurutkan semangat para pemimpinnya waktu itu. Setidaknya ada 63 izin tambang skala kecil diterbitkan Wali Kota Samarinda era Achmad Amins.
Ditambah 5 IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan beberapa PKP2B yang izinnya dari pemerintah pusat, maka setidaknya tercaplok 43 ribu hektar tanah daratan Kota Samarinda berada di kawasan tambang. Atau sekitar 60 persen luas keseluruhan Samarinda yang mencapai 71 ribu hektar.
Tidak mengherankan kalau hasilnya adalah bencana lumpur, bencana banjir, bencana longsor, bencana jalan-jalan umum yang rusak karena dilalui tambang dan bencana dangkalnya sungai. Bahkan terputusnya bentang alam karena bukit-bukit yang dipotong.
Kian tahun, bencana itu bertambah lagi. Seperti yang terjadi di areal tambang PT Himko Coal Kelurahan Sambutan Samarinda Ilir, dua pekan silam. Tiga bocah yang mestinya ceria di sekolah harus meregang nyawa. Ketiganya, Ruh Zunaidi, Rahmadhani dan Miftahul Zanah, tewas tenggelam di kolam tambang perusahaan.
Hilangnya nyawa bisa dikatagorikan takdir. Tapi keberadaan ketiga bocah sampai berada di dalam areal kolam maut pertambangan, menguak fakta-fakta begitu lalainya PT Himko Coal menjaga arealnya. Perusahaan tidak melakukan pemagaran dan membiarkan areal tambang hingga siapa saja bisa memasukinya.
Pemerintah Kota Samarinda juga telah bertindak sembrono dalam menerbitkan izin-izin tambang, tanpa dilengkapi dengan instrument pendukung. Misalnya pengawasan kepada perusahaan yang lalai tidak memagar arealnya. Pemerintah membiarkan izin-izin yang diterbitkan, setelah menerima ‘bayaran’ berupa pajak atau iuran resmi yang ditentukan pemerintah. Setelah menerima uangnya, kawasan tambang dibiarkan sampai merana, bahkan membiarkan perusahaan seenaknya tidak menimbun kembali, tidak memagar dan membiarkan jalan-jalan umum dipakai mobil tambang.
Warga Samarinda tengah berada di fase kemarahan stadium satu. Ditambah adanya kematian tiga bocah di lahan PT Himko Coal Sambutan, kemarahan itu mulai kian memunculkan ketidakpercayaan rakyat kepada para pemimpinnya. Para orangtua mulai ketakutan terhadap anak-anak mereka, karena lokasi kolam terbuka seperti di PT Himko Coal ada di mana-mana. Sebutlah di depan Perumnas Bengkuring yang lahannya dibiarkan porak poranda setelah ditambang semi mekanis untuk dijual karungan.
Sayangnya pemerintahan Syaharie Jaang – Nusyirwan Ismail tak juga tergerak hatinya untuk menjadikan kasus kematian ketiga bocah itu untuk ‘memukul’ semua pengusaha tambang daerah ini. Padahal, Syaharie Jaang dan Nusyirwan tinggal memerintahkan agar perusahaan memagar dan tidak mematuhinya bisa mencabut izinnya. Sekali lagi, sayang, tidak ada itikad Pemkot Samarinda menertibkan. #

Reformasi TVRI Lokal

Bisnis stasiun televisi swasta kian seksi. Bayangkan, tahun 2011 ini saja, belanja iklan nasional ditaksir tak kurang dari Rp60 triliun masuk ke lembaga-lembaga penyiaran swasta dan publik (LPS dan LPP). Itu juga yang jadi penyebab televisi swasta seperti Trans7, TV ONE, RCTI dan lainnya berlomba menangkap iklan dengan berbagai program acara.

Tak cukup dengan program, stasiun tv swasta juga berusaha meyakinkan para pengiklan dengan jangkauan siaran ke seluruh pelosok Indonesia. Apalagi Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 31, memang menyebutkan LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan.

Singkat kata, televisi lokal belakangan mulai kedatangan ‘tamu’ dari manajemen tv-tv nasional. Mereka membawa misi ingin bekerjasama, baik dalam permodalan maupun konten siaran. Di Kalimantan Timur misalnya, salah satu LPS yang menggunakan pemancar antene terestrial, Kaltim TV, kedatangan dua calon menawari ikut bekerjasama. “Kami wellcome, tapi coba kami pelajari dulu tawaran dari tv jaringan Jakarta itu,” kata Agus Suwandi, pemilik saham mayoritas PT Kaltim Televisi di Samarinda.

Tawaran kerjasama seperti itu, sebenarnya menjadi angin segar bagi tv-tv lokal. Maklum, umumnya manajemen tv lokal berada dalam posisi tidak sehat. Biaya produksi dan operasional yang tinggi, tidak seimbang dengan perolehan iklannya. Kalaupun ada iklan, umumnya dari pemerintah lokal dan nilainya belum cukup untuk menghidupi tv-tv lokal. Belum lagi masalah sumber daya manusia (SDM) pengelolaan tv lokal, sehingga tak mampu menghasilkan siaran bermutu.

Alih-alih ingin bekerjasama, tapi sebenarnya tamu-tamu dari tv jaringan itu punya hasrat kuat mencaplok semua saham pemilik tv lokal. Tentu dengan catatan, kalau pemilik awal bersedia melepaskan. Kalau tidak bisa dengan opsi begitu, tv jaringan ingin masuk menguasai mayoritas saham. Intinya, tv jaringan bersedia menggulirkan sekitar Rp5 miliar untuk menggaet tv lokal. Mereka mau menguasai 80 sampai 90 persen saham.

Menggiurkan? Tunggu dulu. Kalau skenario ‘pencaplokan’ saham tv lokal oleh tv-tv jaringan berhasil, konsekuensinya adalah siaran lokal juga hanya bisa berkisar 10-20 persen sesuai besaran sahamnya. Atau paling banter 3 jam dalam sehari. Dengan skenario jumlah siaran seperti itu, dipastikan publik Kaltim akan terus dijejali oleh siaran-siaran nasional dari Jakarta. Keinginan mengangkat nilai-nilai lokal, jadi mimpi bersama.

Tapi, harapan masih ada dari TVRI. Lembaga penyiaran tertua ini sudah lebih dulu memiliki tv jaringan di Indonesia. Tidak ada stasiun tv swasta yang bisa mengalahkan jangkauan siaran milik pemerintah ini.

Di Kaltim sendiri, TVRI lokal sudah siaran via satelit. Pemprov setempat membantu anggaran melalui APBD agar siarannya dapat ditonton warga di 14 kabupaten / kota daerah itu. Sayangnya, TVRI baru memanfaatkan waktu siarnya selama 4 jam sehari. Ada persoalan lain menyangkut biaya produksi dan operasional kalau menambah jam siaran.

“Sekarang ini kita dikasih kesempatan untuk berkarya di daerah. Silakan berkreasi,” kata Syarifuddin Lakku, Kepala Stasiun TVRI Kaltim. Itu sebab, ia mengibaratkan TVRI Kaltim di tangannya akan berbenah, mereformasi diri. #

Bergolak di Kebun Sawit


Para aktivis lingkungan mengangkat tangan, menunjukkan jari yang membentuk huruf V yang dikenal dengan kata victory. Ya, itulah kemenangan para aktivis lingkungan yang berhasil membujuk negara-negara berkembang seperti Indonesia menandatangani kesepakatan Oslo.

Sejak Konferensi Iklim dan Kehutanan di Oslo, Norwegia, 26-27 Mei 2010 dan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia harus ‘bertekuk lutut’ menjaga keutuhan hutannya. Salah satu poinnya adalah moratorium izin perkebunan kelapa sawit.

Perusahaan besar tidak lagi diperbolehkan memperluas lahannya dengan alasan demi menyelamatkan lingkungan dari pemanasan global. Begitu pula perorangan (plasma) harus mengubur mimpinya punya kebun kelapa sawit.

Aturan itu berlaku efektif mulai tahun 2011. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sedang menyiapkan peraturan pelaksananya berupa peraturan pemerintah (PP), yakni mengatur moratorium konversi perkebunan kelapa sawit dari hutan primer, juga moratorium konversi perkebunan kelapa sawit dari hutan gambut.

Pada sisa waktu menjelang 2011 inilah rupanya beberapa perusahaan perkebunan berusaha menggenjot luasan arealnya. Pengusaha yang terlanjur mengurus perizinan dibuat kalang kabut, sebagian harus merubah perencanaan perkebunannya.

Reaksi negatif juga ditunjukkan oleh GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) dan KADIN (Kamar Dagang dan Industri). Kedua lembaga para pengusaha itu protes, menuding adanya konspirasi negara-negara maju menekan negara berkembang seperti Indonesia. Munculnya kesepakatan itupun dituding sebagai penghalang terserapnya tenaga kerja di sektor perkebunan.

Perjanjian Oslo, seakan begitu cepatnya sampai di Kecamatan Sekatak Kabupaten Bulungan. Perusahaan perkebunan kelapa sawit di sana, PT Sanjung Makmur, tengah berusaha memperluas lahannya. Perusahaan mengklain sudah memiliki izin untuk memperluas lahan sawit mereka.

Tapi, celakanya, lahan yang terlanjur dibabat adalah kebun-kebun buah yang diklaim milik masyarakat Sekatak. Kebun itu menjadi sumber pendapatan warga, sehingga mereka marah. Maka, konflik tak terhindarkan. Masyarakat Sekatak bersikeras perusahaan sudah merusak lahan mereka.

Kabupaten Bulungan termasuk salah satu daerah yang tergiur dengan cerita kejayaan perkebunan kelapa sawit, sehingga menyiapkan lahan untuk perkebunan sekitar 400.000 hektar untuk komoditi itu. Sudah lebih 20 perusahaan perkebunan mendapat izin dan yang masih berproses, dengan luasan keseluruhan sekitar 300 ribu hektar.

Data yang dimiliki media ini menyebutkan, di areal kebun PT Sanjung Makmur sudah mulai tergarap 236 hektar kebun plasma, melengkapi kebun intinya yang luasnya sudah 2.064 hektar. Untuk plasma, perusahaan itu menjalin kemitraan dengan kelompok tani Suka Maju seluas 48 Ha, Kelompok Tani Suka Sukses (64 Ha), kelompok tani Maju Bersama (46 Ha) dan Koperasi Anugerah Tani seluas 78 Ha. Rencananya pola plasma juga akan dibuka untuk masyarakat Desa Kendari, Kelencauan, Pentian, Keriting, Desa Pungit, Desa Ambalat, Belilau, Kujau dan Mendupo.

Perusahaan PT Sanjung Makmur termasuk diandalkan oleh pemerintah di sana, karena pemiliknya adalah pengusaha lokal bernama Lim Tung. Apalagi perusahaan itu sudah membangun pabrik CPO (crude palm oil), sebagai industri ilir.

Sebenarnya, pergolakan di kebun sawit, tak hanya terjadi di Bulungan. Hampir di semua kabupaten yang jor-joran mengejar perkebunan kelapa sawit, konflik dengan petani terjadi. Simak saja bagaimana petani di Simenggaris Nunukan berebut lahan dengan PT TML (Tunas Mandiri Lumbis). Kemudian di Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Kabupaten Paser. *

Devide Et Impera


Politik adu domba. Itu terjemahan bebas dari devide et impera. Kalimat yang identik dengan politik Belanda ketika menjajah Indonesia.
Tujuan Belanda waktu itu sangat jelas. Yakni memecah kelompok besar menjadi kecil-kecil. Dengan demikian tidak ada kekuatan besar yang bisa mengalahkan Belanda.
Sebenarnya, bukan cuma Belanda yang menerapkan strategi ‘pecah belah’. Bukan pula hanya ada dalam dunia politik, tetapi taktik seperti itu selalu muncul pada bidang-bidang yang punya kuasa besar seperti sektor ekonomi.
Devide et impera sudah menjadi strategi standar. Yang digunakan untuk mempertahankan keuntungan besar perusahaan dari tuntutan buruh, bahkan tuntutan masyarakat dan pemerintah lokal di mana perusahaan itu beroperasi.
Entah disadari atau tidak, setidaknya rakyat Kalimantan Timur pernah menyaksikan adanya praktik mirip devide et impera ketika PT Kaltim Prima Coal (KPC) diwajibkan mendisvestasikan sahamnya kepada pemerintah atau pengusaha dalam negeri. Begitu banyak yang mengincar saham itu, sampai akhirnya sesama lembaga dan orang Kaltim saling mencurigai dan berbuntut perpecahan.
Waktu itu, antar pemerintah sudah ‘berperang’. Pemerintah pusat dan oknum-oknumnya punya agenda sendiri, begitu juga Pemerintah Provinsi Kaltim yang dikomandani Gubernur Suwarna AF serta Bupati Kutai Timur, Mahyudin.
Belum lagi ada kelompok-kelompok pengusaha yang juga sama-sama mengincar keuntungan jika membeli saham perusahaan batubara yang beroperasi di Sengata Kutai Timur itu.
Pendek cerita, karena masing-masing pemerintahan punya agenda, polemik pun tak terhindarkan. Masing-masing membawa ‘jago’ siapa yang mau membeli saham. Sampai akhirnya jatuh ke tangan BUMI (Bumi Resources), perusahaan yang sahamnya ada dimiliki Aburizal Bakrie.
Alih-alih bisa memiliki saham, yang terjadi adalah ‘pertempuran’ panjang. Masing-masing tingkatan pemerintahan berargumentasi paling berhak, tapi akhirnya hanya pemerintahan Kutai Timur yang dapat goodwill sebesar 5 persen. Padahal, waktu itu Pemprov Kaltim yang paling gigih.
Entah disadari atau tidak, atau entah ada yang memainkan atau tidak, yang pasti tidak ada kesamaan berpikir antar tingkat pemerintahan waktu itu. Masing-masing ngotot membawa argumen sendiri dan memberikan kesan adanya perpecahan di pemerintahan. Semua mempertahankan egonya.
Pengalaman buruk bernegosiasi soal divestasi saham KPC, boleh jadi menimbulkan kesadaran orang-orang pemerintahan. Tapi, anehnya, justru ketika masuk membahas soal kemungkinan memiliki saham di perusahaan pengelola ladang minyak dan gas Blok Mahakam, skenario yang ditempuh nyaris sama.
Pemerintah Provinsi Kaltim yang nampak tergiur, bertindak menyusun skenario sendiri. Menggandeng calon pembeli saham dan pengelolanya dari PT Yudhistira Bumi Energi. Tidak ketinggalan Pemprov juga membuat perusahaan sendiri PT PT Migas Mandiri Pratama (MMP). Ini adalah perusahaan daerah (Perusda) baru di Pemprov Kaltim yang direktur utamanya Sofyan Helmi.
Skenario Pemprov, PT YBE dan PT MMP akan membentuk lagi perusahaan patungan bernama PT Cakra Pratama Energi (CPE). Inilah perusahaan yang bergerak menjadi pengelola baru sumur Migas Blok Mahakam itu. Tak hanya sebatas skenario, tapi sudah ada bagi-bagi tentang kepemilikan saham.
Kalau dicermati, Pemprov benar-benar berusaha keras menggolkan maksudnya. Sama seperti yang dilakukan Pemprov Kaltim ketika berjuang mendapatkan saham PT Kaltim Prima Coal (KPC). Waktu itu, Gubernur Kaltim Suwarna AF juga membawa PT Intan Ini Pradana sebagai calon pembeli saham PT KPC. Sampai akhirnya ‘bertempur’ dengan Pemkab Kutim yang merasa berhak karena perusahaan beroperasi di daerah mereka.
Bagaimana dengan Blok Mahakam?
‘Pertempuran’ serupa nampaknya nyaris tak terhindarkan juga. Sebab Blok Mahakam berada di wilayah administrasi Kutai Kartanegara. Saat ini Pemkab Kukar sudah mulai meradang karena tak banyak dilibatkan dalam skenario yang dibuat Pemprov Kaltim.
Persoalannya, apakah ini juga bagian dari skenario pecah belah alias devide et impera dari pihak tertentu yang mencoba memainkannya?
Wallahulam. Kita tunggu kelanjutannya. **

=================================================================

Berbisnis di Blok Mahakam

Total E&P Indonesie baru habis masa kontraknya atas ladang minyak dan gas di Blok Mahakam pada tahun 31 Maret 2017. Tapi Pemprov Kaltim sudah pasang skenario untuk menguasainya.


Dulu, orang tak berpikir sampai ke bulan. Tapi, kenyataannya, Neil Amstrong menjawab mimpi-mimpi itu. Tak ada yang tidak mungkin. Begitu pula ketika daerah bermimpi menjadi pengelola sumber daya alam (SDA) seperti batubara serta minyak dan gas. Semua sudah serba terbuka, tinggal orang daerah membuktikannya; apa memang bisa.
Pekan tadi, mimpi bisa menggali minyak dan gas itu mencuat ke permukaan. Ada Pemerintah Provinsi dikomandani Awang Faroek Ishak yang disimbolkan tengah berjuang, dan ada pejabat publik, masyarakat serta Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara yang juga merasa berhak atas pengelolaan migas itu karena lokasi tambang ada di daerah administrasi mereka.
Nama lokasi tambang itu adalah Blok Mahakam. Saat ini pengeboran dilakukan PT Total E&P Indonesie (TEPI) dan Inpex Corporation. Tahun 2017 kontrak perusahaan asing itu berakhir.
Nah, tujuh tahun sebelum tiba masa berakhirnya kontrak, Pemprov Kaltim berusaha intervensi ke dalam bisnis minyak yang menggiurkan itu. Katanya, peraturan memungkinkannya. Contohnya adalah di Blok Cepu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Pemprov Riau, Pemprov Sumsel dan Pemkab Bekasi. Daerah-daerah itu sudah lebih dulu membentuk BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) untuk eksploitasi minyak dan gas.
Pemprov Kaltim bukan secara tiba-tiba ingin berbisnis tambang Migas. Setidaknya sejak tahun 2009 lalu, ide itu sudah tercermin dalam usulan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam usulan yang disampaikan eksekutif kepada legislatif, Pemprov Kaltim meminta restu agar dialokasikan penyertaan modal usaha Migas sebesar Rp160 Miliar.
Hanya saja, dalam usulan tersebut disebutkan penyertaan modal dalam usaha pertambangan baru di Simenggaris Nunukan. Bukan di Blok Mahakam seperti yang heboh belakangan ini.
Secara aturan, daerah memang berpeluang menjadi pengelola langsung sumur-sumur migas di daerah masing-masing. Bukan hanya sumur-sumur tua eks perusahaan multinasional yang habis kontrak, tapi juga sumur-sumur baru yang belum tergarap. Tinggal bagaimana kemampuan daerah itu, baik menyangkut sumber daya manusia maupun keuangan.
Salah satu aturan yang memungkinkan daerah mengoperasikan sumur Migas adalah Undang-Undang Migas No.22 Tahun 2001. Kemudian ada juga Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1 Tahun 2008. Selain mengelola sendiri, juga dibolehkan berpartisipasi memiliki saham. Di Blok Cepu, Pemerintahan Jawa Tengah dan Jawa Timur mendapat participating interest (PI) sebesar 10 persen.
Di Blok Cepu, peran mereka hanya sebatas pemilik saham. Sedangkan operator tetap dipegang Exxon Mobile. Itu sebab ketika muncul gunjang-ganjing soal terjadinya penurunan produksi, pemerintah daerah selaku pemilik saham jadi ikut gusar karena kalkulasi mereka soal bagi hasil perimbangan keuangan dan deviden pemilikan saham ikut terganggu pula.
Begitu pula ketika operasi Blok Cepu memerlukan penambahan biaya investasi. Misalnya tahun 2006, saat rencana pengembangan Blok Cepu (PoD-Plan of Development) untuk ladang Banyuurip membengkak dari USD 2,7 Miliar menjadi USD 5 Miliar, BUMD Migas yang dibentuk pemerintah daerah Blora jadi kalang kabut. Sebab, dari yang semula hanya disediakan Rp700 Miliar, kini harus disediakan Rp1,3 Triliun. Demikian pula dengan BUMD Jateng yang semula hanya menginvestasikan dana sekitar Rp 350 miliar kini harus menyediakan dana sekitar Rp 700 miliar.
Cerita pemilikan saham di Blok Cepu, barangkali bisa jadi bahan pemikiran bagi niat kuat Pemprov Kaltim untuk menguasai saham perusahaan operator di Blok Mahakam. Apalagi, seperti didengungkan, niat Pemprov memiliki saham itu sebelum berakhirnya masa kontrak Total E&P Indonesie (TEPI) tahun 2017.
Skenarionya, saat Total E&P Indonesie mengajukan perpanjangan kontrak kepada pemerintah pusat untuk menjadi perusahaan operator 25 tahun ke depan, Pemprov Kaltim juga melakukan intervensi kepada pemerintah pusat. Harapan dari intervensi ini, Pemprov dengan Perusda Migas yang dibentuknya bisa membeli 10 persen saham tersebut. Bahkan Pemprov sudah menggandeng perusahaan swasta PT Yudistira Bumi Energi (YBM). Disebut-sebut perusahaan ini bisa menggelontorkan sebanyak USD600 Miliar alias sekitar Rp6 Triliun demi membeli saham tersebut.
Rupanya, YBM sudah menyusun skenario pembiayaan sebelum mempengaruhi Pemprov Kaltim agar mendukung niat mereka. Jurus skema keuangan yang diusungnya adalah pinjam dari lembaga keuangan Morgan Stanley.
Reputasi Morgan Stanley dalam percaturan pembiayaan proyek-proyek global memang tak diragukan lagi. Lembaga ini terlibat dalam 5 proyek besar di Indonesia, yakni 1. Proyek Cruise Terminal Tanah Ampo, Karangasem, Bali; 2. Proyek Pengembangan Rel Kereta Api Bandara Sukarno Hatta – Stasiun Manggarai; 3. Proyek Listrik Swasta (IPP/Independent Power Producer) PLTU Jawa Tengah; 4. Proyek Jalan Tol Medan-Kuala Namu-Tebing Tinggi; dan 5. Proyek Umbulan Water Suply, Jawa Timur.
Meski kantor pusatnya di New York Amerika Serikat, namun untuk melayani kawasan Asia Tenggara, Morgan Stanley ini memiliki perwakilan di Singapura. Konon kabarnya, PT YBE yang dikendalikan oleh Yulius Isyudianto sudah lobi-lobi ke Morgan Stanley. Yulius yang tercatat juga sebagai komisaris PT Ramadina Mitra Buana, perusahaan pertambangan Migas juga, langsung dipercaya oleh Pemprov Kaltim untuk menangani Blok Mahakam.
Skenario Pemprov sudah matang betul bersama YBM. Satu persatu siasat itu dijalankan, apalagi ada ‘angin surga’ bahwa jika skenario benar-benar lolos, maka sudah terbayang di depan mata ada pemasukan bagi kas Pemprov sebesar Rp 350 miliar setiap tahun. Perhitungan itu didasarkan asumsi Pertamina setuju melepas 15 persen sahamnya dari pengelolaan Blok Mahakam.
"Jadi dari total 15 persen yang dikelola bersama-sama, Pemprov mendapatkan 15 persennya, sedangkan PT Yudhistira 85 persennya. Mengapa sekitar Rp 350 miliar? Karena diperkirakan 15 persen saham yang dilepas Pertamina itu adalah bernilai sekitar Rp 2,5 triliun lebih, dan ketika dibagi 15 persen Kaltim dan 85 persennya adalah PT Yudhistira, maka yang kita dapatkan sekitar Rp 350 miliar itu," kata Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kaltim Hazairin Adha.
Angan-angan itu kian bertambah besar mencapai 30 persen atau sekitar Rp700 Miliar setelah tahun 2017. "Makanya ketika berbicara saham pengelolaan Blok Mahakam itu ada dua macam, yakni sebelum 2017 atau sebelum kontrak Total E&P habis, dan setelahnya sampai 2025. Nah yang kita perjuangkan sekarang ini adalah sebelumnya, sedangkan setelahnya sudah ada ketentuannya siapapun yang nantinya mengelola Blok Mahakam itu, kita mendapat bagian 30 persen," kata Hazairin.
Makin tergiurnya Pemprov Kaltim, karena muncul berita bahwa Blok Mahakam menyimpan kandungan sekitar 13 TCF dan tingkat produksi rata-rata 26 miliar kaki kubik per hari (mmscfd). Disebut pula operasi Blok Mahakam masih dapat berlangsung sekitar 20 tahun ke depan. Hal ini lebih lama sekitar 13 tahun dibanding masa kontrak yang akan berakhir pada tahun 2017.
Jika harga rata-rata minyak selama periode produksi diasumsikan (moderat) sebesar US$ 80/barel dan 1 barel oil equivalent, boe = 5,487 cubic feet (CF), maka potensi keseluruhan blok adalah sekitar US$ 190 miliar atau Rp 1800 triliun. Ayo! Siapa tak tergiur? **

=======================================================

UU RI No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas

Pasal 9

(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh :

a. badan usaha milik negara;

b. badan usaha milik daerah;

c. koperasi; usaha kecil;

d. badan usaha swasta.


==================================================

Pemprov Sudah Kolutif


Munculnya nama PT Yudistira Bumi Energi (YBE) yang dikomandani Yulius Isyudianto langsung menyengat publik. Termasuk sebagian anggota DPRD Kalimantan Timur.

Kisah pilu warga Kalimantan Timur sekitar 18 tahun silam seperti bakal terulang lagi. Yaitu ‘drama’ panjang perebutan saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang mesti didivestasi mulai 10, 15 sampai 55 persen.
Waktu itu, Gubernur Kaltim Suwarna AF memulai cerita bahwa PT KPC wajib mendivestasikan sahamnya. Kemudian ia memperkenalkan sebuah perusahaan di bawah bendera Salim Grup, PT Intan Bumi Pradana, sebagai mitra Pemprov Kaltim yang bersedia mengucurkan modal membeli saham itu.
Alhasil, Gubernur Suwarna jadi ‘bulan-bulanan’ publik. Ia dicurigai melakukan kolusi, karena secara tiba-tiba sudah menggandeng perusahaan yang namanya asing di telinga orang Kaltim. Dan akhirnya perusahaan yang digandeng Suwarna tidak bisa menggapai niatnya menguasai saham PT KPC.
Sejak beberapa pekan lalu, Pemprov Kaltim yang dikomandani Awang Faroek Ishak juga membawa cerita serupa. Kalau era Suwarna adalah bisnis batubara, di era Faroek lebih canggih lagi yakni minyak dan gas bumi. Singkat cerita, Pemprov Kaltim ingin jadi juragan minyak dan gas. Tak sekedar jadi penonton, tapi bisa berbisnis dan punya saham di perusahaan yang menjadi operator migas.
Perusahaan yang digandeng Faroek, PT Yudistira Bumi Energi (YBE). Konon, perusahaan ini yang membawa info adanya peluang menjadi pemilik saham perusahaan minyak dan gas yang dikuasai TEPI. Nah, sebagai balas jasa, Pemprov harus mengikuti skenario yang dibuat YBE.
Skenario pertama, Pemprov membentuk perusahaan daerah (Perusda). Namanya PT Migas Mandiri Pratama (MMP). Nah, Perusda ini dikawinkan dengan PT YBM, yang kemudian melahirkan anak perusahaan bernama PT Cakra Pratama Energi (CPE).
Kedua, anak perusahaan itu yang didorong berperan aktif untuk mengurusi kongsi saham di Blok Mahakam. Termasuk bernegosiasi dengan para pihak yang berhubungan dengan Blok Mahakam. Selain ada Total E&P Indonesie selaku operator saat ini, juga ada Pertamina yang juga berniat masuk mengambil saham. Kemudian pihak pemerintah pusat selaku pemegang regulasi.
Skenario ketiga, kongsi Perusda dengan PT YBE memasuki hitung-hitungan permodalan dan hasil yang kelak diperoleh. Rencananya, PT YBE menggandeng lembaga pembiayaan Morgan Stanley dari New York Amerika Serikat. Konon, angka Rp6 Triliun siap digelontorkan untuk membeli saham.
Menyangkut bagi-bagi saham, ada dua opsi yang telah dibuat. Pertama adalah masa sebelum berakhirnya kontrak Total E&P Indonesie (TEPI) tahun 2017. Perusahaan yang didirikan Pemprov Kaltim bersama dengan PT YBE, akan menggandeng Pertamina dengan mengambil maksimal 25 persen saham TEPI. Dari 25 persen itu diusahakan 15 persen untuk perusahaan dari Kaltim.
"Jadi dari total 15 persen yang dikelola bersama-sama, Pemprov mendapatkan 15 persennya, sedangkan PT Yudhistira 85 persennya,” kata Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kaltim Hazairin Adha.
Sedangkan opsi kedua, pasca berakhirnya kontrak TEPI tahun 2017. Sebab siapapun yang menjadi operator yang disetujui pemerintah pusat, perusahaan daerah Kaltim optimistis mendapat 30 persen.
"Ini adalah hak daerah. Kita akan berupaya untuk memperoleh hak setidaknya sebesar 10 persen. Sama seperti di Riau, Cepu atau Bojonegoro yang masing-masing daerah telah mendapatkan hak atas pengelolaan itu," kata Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim.
“Kami merasa tidak puas dengan perimbangan keuangan daerah dan pusat. Kami sebagai penyumbang besar devisa negara dari migas tapi tidak bisa mensejahterakan rakyat. Ini juga hak daerah seperti diisyaratkan Undang Undang Nomor 22/2001 tentang Migas,” ujarnya lagi.
Skenario PT YBE dan Pemprov Kaltim, memunculkan pro dan kontra. Setidaknya ada tiga elemen yang tampil di media massa untuk menyoalnya.
Kalangan DPRD Kaltim adalah yang pertama menyoal. Bahkan mencurigai ada sesuatu sehingga Pemprov Kaltim menggandeng PT YBE. “PT YBE itu semacam apa ya,” sindir Syaifuddin DJ dari Partai Gerindra. Di barisan Syaifuddin juga terdapat rekan-rekan sejawatnya yang tak begitu saja merestui kehadiran PT YBE.
“Ini benar-benar aneh. Kok sudah ada PT YBE,” kata Bendahara Fraksi Hanura–PDS DPRD Kaltim Mudiyat Noor.
Rupanya, setelah adanya info peluang Kaltim punya saham di perusahaan migas, tak semua anggota DPRD Kaltim mengetahui skenario yang telah dibuat Pemprov bersama PT YBE. Yang dilibatkan wira-wiri masalah itu ke berbagai pertemuan dengan Pertamina di Jakarta hanya Ketua DPRD Kaltim Mukmin Faisyal dan Ketua Komisi II Rusman Ya’kub.
Perlawanan kedua, datang dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara selaku pemegang adminsitrasi Blok Mahakam. “Kami yang paling berhak di Blok Mahakam,” kata Rita Widyasari, Bupati Kukar.
Kalangan DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) juga ngotot kalau porsi terbesar harus diberikan kepada Pemkab Kukar. “Kami tidak mau berpikiran buruk soal YBE (Yudhistira Bumi Energi, Red). Tapi kalau ditanya soal pengelolaan, kami akan usung perusda. Kan Kukar punya perusda KSDE (Kelistrikan dan Sumber Daya Energi, Red). Kami sangat yakin perusda ini mampu, termasuk dari sisi SDM,” kata Wakil Ketua DPRD Kukar Marwan.
Bagi kalangan di Kukar, ulah Pemprov Kaltim menggandeng PT YBE dan kemudian menyusun skenario lainnya sampai ke bagi-bagi saham, sangat aneh dan tidak etis. Karena dalam semua penyusunan itu Pemkab maupun DPRD Kukar tidak pernah dilibatkan.
“Kalau dianalisis persoalan pengelolaan dan negosiasi tentang blok Mahakam kami pikir itu bukan porsi Pemprov, tapi milik Pemkab Kukar. Untuk konteks ini kami pun bertanya-tanya apakah Pemprov memang tidak tahu aturan atau pura-pura tidak tahu, padahal seharusnya Gubernur kita yang notabene adalah mantan Bupati Kutim harusnya belajar dari pengalaman dengan PT KPC,” kata Sekretaris KNPI Kukar, Junaidi.
Perang sudah ditabuh sendiri oleh Pemprov. Walau sebenarnya perjuangan mendapatkan hak eksklusif membeli saham belum terbentang, tapi ‘pertempuran’ antar elemen tentang siapa yang paling berhak lebih dominan.
Belum lagi dari kalangan masyarakat dan akademisi. Marwan Batubara, dari Indonesian Resources Studies, IRESS, mendukung rencana pemerintah provinsi diikutsertakan dalam mengelola sumber daya alam (SDA). “Tapi harus dikoordinasikan dengan pemerintah pusat,” ujarnya.
Untuk mengelola sumber daya alam, sarannya, pemerintah daerah harus membentuk BUMD Migas, guna mewujudkan kepentingan daerah. Pemerintah Pusat harus memimpin, menggabungkan dan mengendalikan berbagai kepentingan BUMN dan BUMD tersebut.
“Daerah jangan dibiarkan sendiri seperti kasus Newmont atau tambang minyak di Riau dan Cepu. Pusat harus menjamin dan mendukung kebutuhan dana investasi bagi BUMD,” ungkap Marwan.
Marwan mengingatkan BUMD jangan jalan sendiri, karena godaannya besar sekali dari swasta. Biasanya oknum-oknum daerah dan swasta nasional maupun asing berkampanye menuntut sebagian hak mengelola sumber daya alam. Tapi pelaksanaannya nanti bagi hasil kerjasama justru lebih menguntungkan swasta dibanding daerah.
“Biasanya kepala- kepala daerah bertindak kolutif dengan swasta. Itulah sebabnya aspirasi daerah tersebut harus dikoordinasikan dengan pusat. Hanya kadang -kadang ada oknum pusat yang justru menghambat terjadinya kerjasama pusat-daerah tersebut. karena oknum ini memang bagian pendukung swasta,” ungkap Marwan. *