Minggu, 25 Juli 2010

Agen Korporasi

Menyedihkan. Itulah komentar saya mengenai ulah para legislator Kaltim yang menolak dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) Divestasi Saham PT Kaltim Prima Coal (KPC). Apalagi untuk mereka yang mencabut dukungan tandatangan, setelah sebelumnya sepakat, setuju dibentuknya kelembagaan itu.

Divestasi saham PT KPC adalah masalah akut diremehkannya kekuatan lokal oleh perusahaan-perusahaan transnasional. Tidak sekedar berbicara bisnis tentang hak daerah membeli saham perusahaan batubara berizin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), tapi juga mengandung cerita heroik, yakni sebuah pertahanan rakyat Kaltim atas sumber daya alam yang dihisap korporasi untuk kepentingan asing.

Mestinya, 100 persen saham perusahaan itu sudah berada di tangan pemerintah Kaltim. Sejak dimulai tahapan divestasi sekira 15 tahun silam, ternyata yang tampil sebagai ‘pemenang’ adalah PT Bumi Resources (BUMI) yang mengakuisisi PT KPC dalam grupnya. Yang terjadi hanya berpindah kepemilikan dari konglomerat yang satu kepada konglomerat yang lain. Rakyat Kaltim? Kembali menjadi penonton.

Ada sekitar 3 juta rakyat Kaltim tak dapat meraih apa yang menjadi haknya. Mereka hanya mampu berpolemik dengan suara-suara memohon; “itu hak kami.. itu hak kami”.

Jeritan rakyat ternyata juga hanya didengar oleh sebagian anggota DPRD Kaltim. Yang lain pura-pura tak mendengarkannya dan yang lainnya lagi malah berbalik arah membela habis-habisan keberadaan perusahaan yang di dalamnya ada saham Aburizal Bakrie, konglomerat yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar.

Tak ada getaran hati, bahwa perusahaan itu telah menarik keuntungan yang sangat besar dengan cara menelikung apa yang mestinya menjadi hak beli orang daerah. Para politisi itu malah menikmati bersama-sama , yang mungkin – maaf – memang sudah dipelihara perusahaan agar menjadi agen mereka di parlemen. Agen korporasi yang siap membela kalau datang serangan yang mengancam keberadaan mereka.

Agen-agen korporasi itu bertebaran di mana-mana. Dengan uang yang diperoleh dari menggali sumber daya alam Kaltim mereka bisa merangkul kekuatan siapa saja. Dari unsur pemerintahan, militer, kepolisian, bahkan aktivis pemuda dan LSM serta wartawan. Mereka juga membayar pengacara , akademisi dan wartawan.

Tidak heran kalau akhirnya memang muncul data, bahwa di kawasan tambang manapun di Indonesia; tidak ada warga sekitar tambang yang hidup sejahtera. Mereka sangat miskin, tak berimbang dengan kondisi para karyawan perusahaan. Kalau sudah tahu masalahnya; kok masih ada para legislator tak membela rakyatnya. **

Prestasi


Suatu hari dalam sebuah perbincangan dengan warga di kawasan kumuh Kota Samarinda saya tertegun dengan keluhan seorang pria yang usianya ditaksir sekitar 50 tahun. “Pejabat sering bicara tentang rakyat miskin, sepertinya mereka peduli dengan kita. Tapi kok tidak ada tanda-tanda pemerintah membantu kita”.

Saya jadi ikut tertegun. Betul juga. Mengapa bicara soal rakyat miskin, tapi yang diturunkan kebijakan membangun Jalan Tol, membangun rel kereta api pengangkut kelapa sawit atau kebijakan membangun pelabuhan sawit Maloy di Kutai Timur.

Atau, mengatasi orang miskin kok dengan merencanakan pendirian Kaltim Airlines, menggelorakan sektor wisata dengn progam Visit Kaltim 2010?

Tentu saya berpikir, ‘orang kecil’ pasti tidak sama pemikirannya dengan ‘orang besar’, para pejabat-pejabat negeri ini. ‘Orang kecil’ cuma perlu makanan, pakaian dan rumah yang layak, sedangkan para pejabat berpikir tentang prestasi selama dia menjabat.

Nah, prestasi itu tidak termasuk kalau dia berhasil mengurangi angka kemiskinan. Yang terjadi sekarang ini, prestasi masih diidentikkan dengan keberhasilan membangun jalan tol, membangun pelabuhan dan membangun rel kereta api. Atau prestasi menebang hutan dan menggantinya menjadi kebun kelapa sawit seluas sejuta hektar.

Padahal, orang miskin yang jumlahnya masih di atas 40 persen memerlukan perhatian langsung dari pemerintah. Mereka perlu makanan yang cukup, rumah atau hunian yang sehat, jaminan kesehatan tanpa rasa takut nanti kalau sakit dia harus membayar di rumah sakit, jaminan hari tua agar ia bisa dengan tenang menghabiskan sisa hidupnya.

Siapa yang konsen memikirkan nasib orang-orang miskin ini? Faktanya, politisi hanya menjadikan cerita kemiskinan sebagai ajang kampanyenya untuk menarik simpati massa. Pejabat pemerintah juga cenderung menjadikan cerita kemiskinan di daerahnya untuk mendapatkan proyek-proyek pengentasan kemiskinan dari pemerintah pusat.

Begitu terus yang terjadi tiap tahun. Akibat ‘menjual’ kemiskinan politisi dan pejabat meraih prestasi, tapi si miskin ya tetap miskin. **

Sabtu, 06 Maret 2010

Global


Pada penghujung tahun 2009 kita dihadapi dua peristiwa global. Pertama adalah kesepakatan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang perubahan iklim di Kopenhagen Denmark. Dan kedua segera dimulainya era pasar bebas ASEAN-Cina pada 1 Januari 2010.
Di Kopenhagen, terjadi tarik menarik dari 192 negara yang terlibat sebagai peserta. Yakni bagaimana meminimalisir perubahan iklim. Ada tiga agenda yang dibahas. Pertama target untuk mengurangi emisi gas kaca (GHGs). Kedua bantuan dana untuk mitigasi perubahan iklim bagi negara berkembang, dan ketiga skema penjualan karbon ditujukan untuk mengakhiri pengrusakan hutan pada tahun 2030.
Sementara soal pasar bebas, di Indonesia juga mulai muncul kegelisahan. Ada yang memprediksi industri kita banyak yang gulung tikar dan dampaknya pengangguran bertambah.
Ini adalah tanda-tanda ‘kemajuan’ zaman yang tak terhindarkan. Manusia di kutub, di garis khatulistiwa menerima risiko yang sama kalau suhu bumi ini semakin naik temperaturnya. Begitu pula dalam perdagangan, tak bisa lagi menghalangi barang Cina masuk ke negeri ini. Walaupun mungkin mutunya rendah dan tergolong rongsokan.
Pertanyaannya; bagaimana kita bersikap? Apa pula yang perlu dilakukan pemerintah ketika menyusun program kerjanya, tiap tahun? Adakah mereka ikut mengantisipasi kesepakatan global ini?
Mau tidak mau, rakyat memang dipaksa untuk mematuhi ‘kesepakatan-kesepakatan’ global itu. Walaupun ‘kesepakatan’ kemungkinan dihasilkan secara tidak adil, karena umumnya masih didominasi keinginan negara-negara maju. Contoh kasus, negara seperti AS memilih untuk mengeluarkan uangnya agar negara-negara berkembang seperti Indonesia mempertahankan hutannya. Mereka memilih menggelontorkan uang dari pada mengurangi penggunaan energi yang menghasil karbon.
Begitu pula dalam hal pasar bebas yang biasanya dimenangkan oleh para pemodal kuat. Mereka yang memiliki kemampuan untuk menguasai pasar, sehingga menindas pengusaha kecil yang terbatas modal.
Kalimantan Timur jelas punya peran dalam ‘memainkan’ suhu bumi dan menerima dampak ketika pasar bebas dimulai. Karena daerah seluas 245.237,80 km2 itu sebagian besarnya ada hutan. Kalau kebijakan pemerintah mendorong pembabatan hutan, dengan dalih apapun, sudah pasti membahayakan perubahan iklim. **

Samarinda


WARGA paling bahagia itu bagaimana ya? Seorang teman bercerita menggebu-gebu tentang sebuah konsep membangun Kota Samarinda. Dibenaknya, pemimpin yang sekarang adalah gagal. Indikasinya; banjir.
Saya terkejut. Banjir yang sering terjadi di kota itu ternyata telah menutup semua hal baik yang dilakukan pemimpin kota itu. Sebutlah berobat gratis dan rawat inap di Kelas III rumah sakit dan Puskesmas, tunjangan melahirkan, tunjangan kematian dan pendidikan gratis (kebetulan sudah diberlakukan secara nasional).
Si teman tadi bercerita pula tentang bagaimana menata kota agar nampak indah dan bersih. Membuat warga betah tinggal di kota itu. Tapi saat ditanyakan bagaimana konsepnya, dia tidak pernah mampu menguraikan tapi buntut-buntutnya kembali memaki kepemimpinan yang ada.
Ach, rupanya sebagian warga Kota Samarinda sudah terlanjur paranoid dengan pemimpin yang ada sekarang. Ketika melintas di jalan melihat jalan berlobang, kotor oleh sampah dan lumpur, kaki lima tidak tertata, pikiran langsung tertuju kepada pemimpin kotanya.
Tidak ada lagi pujian atas keberhasilan pengembangan kota. Keberhasilan meminimalisir korupsi karena pada pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk) tidak dipungut biaya alias gratis, keberhasilan menolong si miskin yang dalam kesusahan saat menyambut kelahiran bayi, keberhasilan membantu orang yang sedang dalam kesusahan ditinggal meninggal oleh orang yang dikasihinya.
Lebih terkejut lagi ketika saya mendapat bacaan bahwa saat ini; warga yang paling bahagia di seluruh dunia adalah Denmark. Dari 97 negara yang disurvei, ternyata warga Denmark yang paling berbahagia. Kemudian disusul Puerto Rico dan Kolombia.
Negara terkaya di dunia Amerika Serikat berada di posisi ke-16. Malah di belakang Swis, Kanada dan Swedia. Itu memberikan kesan, di negeri super power sekalipun belum tentu membuat warganya berbahagia. Rusia, Irak dan Zimbabwe berada di posisi buncit alias rendah tingkat kebahagiaan rakyatnya.
Apa kunci keberhasilan Denmark membuat bahagia warganya. Ternyata terletak dari keberanian pemerintahnya memberikan jaminan hidup mulai dari lahir sampai kematian. Pendidikan dan berobat gratis, bahkan kuliah digaji. Rakyat di sana tidak keberatan untuk semua itu harus dipotong 50 persen penghasilannya.
Samarinda sebenarnya juga telah merintis kebijakan yang ditempuh Denmark tersebut. Sayangnya belum ada survei yang mengukur apakah masyarakat di kota itu berbahagia dengan adanya program itu. Akibatnya, kebijakan yang bagus pun tenggelam oleh hal-hal buruk seperti banjir, lingkungan kotor dan jalan berlubang.
Padahal, kalau mau jujur, keberhasilan pemimpin adalah bagaimana ia bisa membuat kebahagiaan sebesar-besarnya kepada rakyat. Kebahagiaan yang lahir karena ada jaminan hidup tidak terlantar sejak lahir sampai hari tua. **

Antikorupsi


HATI ini sempat bergetar ketika menyaksikan seorang tua – berumur sekitar 60 tahun – masih mau turun ke jalan. Tepatnya di bundaran Hotel Indonesia Jalan Thamrin Jakarta, salah satu titik yang didatangi para aktivis untuk memperingati hari antikorupsi sedunia pada tanggal 9 Desember 2009.
Orangtua itu sepertinya telah mewakili kemiskinan rakyat Indonesia. Walau ia tidak terlalu mampu dalam hal retorika tentang negeri yang masih dipenuhi koruptor ini, tetapi dia menggambarkan inilah penderitaan panjang rakyat Indonesia akibat korupsi merajalela.
Gerakan antikorupsi memang tidak lagi menjadi ikon para aktivis muda. Tapi, seperti yang terlihat pada hari itu, tua muda, perempuan bersandal jepit dengan menuntun anaknya yang masih kecil dan dekil, ikut dalam semangat bersama; ayo bersihkan negeri dari para koruptor!
Tak hanya di Jakarta, peringatan hari antikorupsi juga diperingati di seluruh Indonesia. Malah ada yang rusuh seperti di Makassar Sulsel. Selebihnya, tak lebih dari sebuah ’karnaval’.
Tentu saja ada kemajuan bagaimana gerakan antikorupsi ini pada tahun lalu dan sekarang. Terutama perbaikan birokrasi pemerintahan yang menggambarkan telah ada kesadaran dari pemerintah untuk memberantasnya.
Aparat hukum – walaupun terkesan tidak akur (Kejaksaan dan Polisi dengan KPK) – juga telah bersemangat untuk menangani kasus-kasus korupsi. Ada target dari kejaksaan sampai di tingkat kabupaten / kota. Sedangkan polisi dengan menambah satu unit lagi di satuannya, yakni Tipikor dan kejahatan ekonomi. KPK sendiri sudah bertindak garang dengan menjerat banyak pejabat penting negeri ini.
Ini ditambah lagi munculnya raport dari Transparency International Indonesia (TII) yang diluncurkan saban tahun. Kalau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2008 sebesar 2.6, nah pada tahun 2009 telah berubah mengalami kemajuan menjadi 2.8. Tapi tentu saja angka itu masih menggambarkan keprihatinan, bahkan jika dibanding negara-negara di Asia seperti Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand.
Gerakan antikorupsi tidak boleh berhenti. Ia tidak lagi harus dimobilisasi, tetapi harus menjadi gerakan yang masif. Sampai ke pelosok-pelosok, agar tingkat kesadaran pejabat dan rakyat tentang korupsi menjadi seimbang. Pejabat menyadari tentang tugas-tugasnya melayani rakyat, dan rakyat ikut mengontrol adalah korupsi dalam pelaksanaan pengelolaan pemerintahan maupun proyek-proyek.
Kemiskinan yang dialami oleh lebih 40 persen rakyat Indonesia, tak bisa dipecahkan kalau bukan rakyat itu sendiri yang berusaha. Salah satunya adalah dengan mencegah terjadinya korupsi. Agar kue pembangunan lebih merata, tidak dikuasai oleh kalangan tertentu yang memiliki akses langsung saja. **

Kaltimku


PADA sebuah arena berdebat, seorang pria yang cukup kesohor dan berada di Kalimantan Timur bercerita mengenai daerah yang telah membesarkan dirinya itu. “Kita daerah kaya, alangkah malunya kalau masih banyak orang miskin,” ucapnya.
Ya, itu kalimat yang sudah biasa didengar oleh masyarakat Kaltim. Sebab masih banyak saja warga yang hidup dalam ketidakcukupan. Rumah yang reyot dan kemampuan membeli makanan bergizi yang tidak ada.
Tapi, di bagian lain masyarakat juga berpendapat seperti ini; “lebih baik hidup jadi pengangguran di Kaltim dari pada di Pulau Jawa”. Nah. Lo!
Pertanyaannya; apakah itu menggambarkan bahwa lebih enak jadi orang miskin di Kaltim dari pada di daerah lain Indonesia ini? Pendapat mana yang kita dengar, apakah pria kaya atau warga miskin yang biasanya mengeluarkan keluh kesah dari hati nurani?
Si kaya boleh kita sebut sebagai orang berpendidikan yang memahami runyamnya pemerintahan menangani persoalan kemiskinan di daerah ini. Atau bisa juga ia seorang politisi yang selalu menjadikan isu ‘kemiskinan’ sebagai bahan kampanyenya. Sedangkan si miskin juga telah memahami betapa kehidupan itu sangat keras di luar Kaltim sana. Tidak ada yang bisa digarap lagi di Pulau Jawa, sedangkan di daerah ini setidaknya masih banyak lahan yang bisa ditanami untuk keperluan hari-hari dan juga perbaikan ekonomi.
Barangkali, ini adalah situasi klasik. Tapi mestinya pemerintah memahami bahwa di daerah kaya, upaya untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan adalah tujuan utama. Sehingga perlu dilakukan kajian lagi apakah sudah tepat kebijakan yang ditempuh selama ini?
Karena faktanya angka kemiskinan tak berkurang secara signifikan meski sudah 9 tahun otonomi daerah bergulir. Padahal otonomi daerah adalah era dimulainya Kaltim mengelola anggaran cukup besar, yang bersumber dari bagi hasil minyak dan gas serta tambang lainnya.
Data pemerintah seperti dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim memang menunjukkan angka menurun. Kalau pada Maret 2008 lalu angka kemiskinan mencapai 286,44 ribu (9,51 persen), tapi pada Maret 2009 yakni 239,22 ribu (7,73 persen).
Itu hanya data yang akurasinya diragukan. Sebab sebenarnya pemerintah Kaltim masih bisa menggenjot sektor-sektor terkait kesejahteraan ini lebih maksimal, dengan cara mengurangi anggaran untuk operasional pemerintahan dan mengurangi proyek skala mercusuar.
Angan-angan seluruh warga Kaltim tentunya adalah memiliki rumah tinggal yang layak, gratis pendidikan dan gratis berobat disemua rumah sakit serta menjalankan hari tua yang menyenangkan. Amin. **

Brengsek


SEPEKAN tadi, kata ‘brengsek’ jadi trend. Itu karena diucapkan oleh Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim.
Kata itu, terbukti pula membuat banyak orang naik pitam. Kok seorang gubernur melontarkan seperti itu? Seperti preman, tidak intelek.
Kalimat persisnya yang diucapkan Faroek seperti dikutip koran adalah: ”Samarinda Paling Brengsek”. Ia menjelaskan mengenai tata ruang yang sudah diatur dalam undang-undang, tapi selalu ditabrak oleh pemimpin kota maupun kabupaten. Nah, Faroek malah menyebut Kota Samarinda yang paling brengsek.
Dari dulu, warga Samarinda hanya disuguhi opini bahwa kalau ada banjir maka itu kesalahan pemerintah. Pembukaan lahan pertambangan batubara, pembabatan bukit dan pengurukan rawa-rawa. Ditambah lagi statemen dari gubernur, maka semakin lengkap justifikasi bahwa pemimpinnya telah melakukan kebijakan yang merusak lingkungan.
Padahal, bisa jadi ini adalah opini yang menyesatkan. Tidak adanya parameter yang mengukur kebijakan pemerintah dengan kerusakan lingkungan, membuat warga terlanjur berasumsi pemerintahan Kota Samarinda yang sekarang dipimpin Wali Kota Achmad Amins – Syaharie Jaang adalah gagal. Setidaknya gagal dalam pengelolaan lingkungan.
Bagaimana bentuk kegagalannya? ”Itu, lihat saja tiap kali kalau hujan turun, pasti banjir di mana-mana”. Begitu saja. Titik.
Bertahun-tahun opini itu dibiarkan mengalir. Anehnya, pemerintah juga tidak berusaha meluruskan atau memang merasa asumsi-asumsi itu memang benar. Sebagai pihak yang merasa punya salah, pemerintah membiarkan rakyatnya mencaci mereka. Walaupun mungkin dengan data yang salah.
Praktik ’pembiaran’ asumsi itu malah tidak mengusik para pegiat lingkungan. Ketika ada momentum ucapan ’brengsek’ dari Gubernur Faroek, mestinya bisa menjadi arena untuk membuka data bahwa benar yang diucapkan gubernur bahwa soal lingkungan dan tata ruang kota Samarinda memang ’brengsek’. Atau kalau ternyata ucapan Faroek tidak benar, maka para pegiat lingkungan bisa mengklarifikasi.
’Bola’ opini sebenarnya ada di tangan para pakar lingkungan lokal untuk menjelaskan kondisi lingkungan yang sebenarnya. Agar semua bisa mengetahui dan intropeksi mengenai kebijakan yang sudah ditempuhnya. Tapi sayang momentum ’brengsek’ itu hanya menjadi arena omong-omong doang. **

Markus


HARI-hari tidak menyenangkan bagi orang yang punya nama Markus. Sebab nama itu belakangan jadi trend sering disebut-sebut sebagai singkatan ’makelar kasus’. Ini buah dari perseteruan KPK dengan Polri, yakni munculnya nama Anggodo Widjoyo yang punya hubungan dengan aparat hukum di kepolisian, kejaksaan dan KPK ketika mengurus kasus korupsi yang menimpa kakaknya, Anggoro Widjoyo.
Peran Anggodo sebagai makelar kasus terbuka di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka hasil sadap telepon oleh KPK atas dirinya. Dari percakapan itu terbuka fakta begitu carut marutnya hukum Indonesia. Anggodo dan kekuasaan uangnya ’bergerilya’ merusak nilai-nilai moral dan membeli hukum kita.
Kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya memasukkan soal ‘Markus’ ini dalam program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, tentu itu bukan sekedar tebar pesona seperti yang sering diucapkan sinis oleh lawan politiknya. Nampaknya pemerintah SBY mau serius memberantas mafia peradilan. Yaitu mereka yang melakukan aksi jual beli perkara hukum.
Memang memprihatinkan. Mafia peradilan ada di mana-mana. Sudah menjadi semacam pekerjaan. Pernah seorang teman saya membuat laporan kasus ke KPK di Jakarta. Sejak dari depan gedung – cerita teman saya itu – sudah ada orang-orang yang sok akrab menanyakan ada urusan apa.
Rupanya orang-orang itu yang disebut Markus alias makelar kasus. Mereka menjanjikan bisa membawa kasus itu cepat ditangani oleh KPK karena punya hubungan kedekatan dengan orang-orang KPK.
”Markus” yang lain adalah orang-orang yang berusaha menjegal berkas yang dilaporkan ke KPK. Kalau mereka sudah mendapat berkas yang dibawa pelapor itu, maka si ”Markus” ini berusaha menghubungi orang yang dilaporkan dengan menceritakan adanya laporan tersebut. Nah, orang ini mengaku bisa menarik kembali laporan itu dari kantor KPK. Tentu saja kalau ada imbalannya.
Teman saya itu percaya 100 persen dengan seseorang yang mengaku dari bagian intelejen KPK. Tampangnya mirip perwira tinggi TNI atau Polri. Rapi dan badan kekar. Orang ini diperkenalkan oleh seseorang yang diduga profesinya adalah ’Markus’ KPK. Ketika berdialog sesekali ia menerima telepon yang suaranya diperdengarkan yang memanggil dirinya dengan sebutan ’jenderal’.
Orang yang memperkenalkan memang mengatakan kalau orang tersebut berpangkat Irjen Polisi dan buntut-buntutnya dia ingin mengetahui seberapa besar akurasi kasus itu dan siapa donaturnya. Ia pun minta berhubungan dan buntutnya minta uang operasional.
Setelah itu, kasusnya malah tidak ada di KPK. Bahkan lembaga itu sama sekali tidak menerima berkas yang pernah dilaporkan si teman tadi. Itulah ”Markus” mereka sudah lama ada, tapi sulit diberantas. **

Buaya


KPK cicak dan polisi buaya. Itulah istilah yang pertamakali didengungkan oleh Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji, yang berbuntut ditahannya dua pimpinan KPK non-aktif Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah.
Tak disangka istilah itu kini menjadi ikon yang sangat populer di negeri ini, bahkan membuat Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri meminta maaf kepada masyarakat atas penggunaan kata itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga merasa terganggu dengannya.
Kalau seorang jenderal polisi saja sudah menyebut korp-nya sendiri sebagai (sarang-red) ‘buaya’, maka publik pun menerima pesan itu sebagai memang begitu gambaran nyata lembaga tersebut. Susno telah membuka mata publik, sekaligusnya membuatnya tercengang - bahwa di lembaganya merupakan berkumpulnya para buaya.
Istilah buaya yang berlaku dimasyarakat cenderung mengasumsikan ketidakbaikan. Yakni binatang buas yang main terkam dan jahat. Pertanyaannya; apakah polisi kita memang sudah sejahat itu?
Dari dulu, polisi kita memang mendapat citra dan predikat tidak baik. Selalu saja ada istilah menggambarkan kebobrokkan institusi dan oknum personelnya. Misalnya, istilah ’melaporkan ayam dicuri, tapi kerbau yang hilang’. Itu istilah bahwa untuk urusan kerugian yang kita alami sendiri, maka bersiap-siap kehilangan uang lagi yang lebih besar.
Adanya pertikaian Polisi dengan KPK, sepertinya bakal menjadi puncak kegelisahan rakyat yang terlanjur menaruh predikat buruk kepada polisi. Sebab KPK masih berada ditingkat popularitas yang tinggi dengan tingkat kesukaan publik yang tinggi pula. Kalau belakangan terbukti polisi yang bersalah, maka hampir pasti rakyat bakal bertambah marah. Rakyat semakin tidak percaya dengan polisi.
Tapi kalau ternyata polisi dianggap sudah benar dalam proses penahanan pimpinan KPK non-aktif Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, apakah memulihkan kepercayaan publik? Rasanya tidak juga.
Sebab rakyat terlanjur ’patah hati’ dengan tingkah oknum-oknum polisi ini. Butuh bukti-bukti yang fundamental untuk mengembalikan citra polisi menjadi benar-benar sebagai ’pengayom’ masyarakat. Yang dibanggakan sehingga para orangtua merasa bangga kembali kalau anaknya memilih pekerjaan mulia seorang polisi. Bukan sekedar mengganti pucuk pimpinan yang oleh Susno Duadji diibaratkan sebagai buaya. **

Birokrasi



BAGAIMANA pemerintah pusat memandang Kalimantan Timur? Topik ini menjadi seru karena dari hasil obrolan dengan sejumlah tokoh masyarakat daerah itu menyebutkan kurang lebih begini: ”Kita itu hanya menjadi sapi perahan”. ”Pusat tidak peduli dengan kemiskinan yang melanda rakyat di pedalaman dan perbatasan negara Indonesia – Malaysia”.
”Pusat dan daerah” secara opini masih menjadi dua elemen yang terpisah dalam konteks pemerintahan. Padahal, lazimnya, ’pusat-daerah’ adalah satu kesatuan, apalagi dalam bingkai nasionalisme NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Yang namanya pemerintah, mestinya satu kata saja.
Sejak sistim sentralisasi di zaman rezim Orde Baru, pembagian kekuasaan sudah berlaku seperti ’kasta-kasta’. Pemerintah pusat selalu berada di posisi tertinggi yang patut mendapat kehormatan lebih tinggi dibanding pemerintah provinsi, kabupaten / kota bahkan kecamatan dan kelurahan.
Posisi yang tidak seimbang itu menjadikan pejabat daerah menjadi sangat tergantung dengan pusat. Apalagi disaat birokrasi mengalami reformasi yang mengarahkan pada pemerintahan bersih dari korupsi, maka ketakutan pejabat di daerah bisa semakin berlebihan.
Tiap kali ada persoalan kebijakan di daerah langsung konsultasi ke Depdagri. Sampai urusan apakah anggota DPRD Kaltim boleh mendapat mobil dinas, urusannya jadi panjang karena gubernur pun bertanya dulu kepada pejabat pusat.
Begitu pula ketika ada usulan untuk memberhentikan Pejabat Bupati Kutai Kartanegara H Sjachruddin kepada Mendagri. Sebagian anggota DPRD Kukar tidak PD (Percaya Diri) apakah Sjachruddin masih boleh menandatangani dokumen negara seperti APBD Perubahan.
Akibatnya adalah tekanan psikologis yang simultan ’pusat-daerah’. Menempatkan pejabat daerah tidak mandiri. Sementara jika muncul angka-angka kemiskinan, pejabat pusat justru cenderung menyalahkan pemerintah daerah. Apalagi kalau di daerah yang kaya raya.
Ritme birokrasi yang terbangun menunjukkan kecendrungan kalau pejabat dan masyarakat di daerah tidak bertindak kreatif. Malah para gubernur, bupati, walikota berusaha mencari jalan aman dengan cara melakukan copy paste atas semua usulan dalam dokumen APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Padahal, ’roh’ yang mestinya melekat dalam APBD adalah aspirasi rakyat.
Kendala reformasi birokrasi seperti ini tidak patut didiamkan. Harus ada langkah mensejajarkan posisi psikologis ’pusat-daerah’. Ayo, mulai dari mana?*

Sogok


MAKIN kuat upaya pemberantasan korupsi, sogok kok tetap merajalela? Malah ada kecendrungan makin parah. Contoh merajalelanya praktik itu pada tiap kali mau ’hajatan’ pemilihan bupati/walikota atau gubernur. Baik di rezim dulu maupun sekarang.
Dulu, aturan undang-undang mengenai Pemerintah Daerah mengatur soal pemilihan bupati/walikota atau gubernur oleh DPRD (legislatif). Waktu itu praktik sogok hanya terjadi antara kandidat dengan anggota legislatif yang jumlahnya puluhan orang saja. Biasanya menjelang hari H pemilihan anggota DPRD itu ’dikarantina’ oleh calon kandidat yang menyogoknya. Tentu bukan di ’karantina’ yang mirip sel tahanan Imigrasi, tapi ’karantina’ di sebuah hotel mewah. Disebut di karantina karena ada yang tidak boleh berhubungan telepon, kuatir dimasuki oleh kandidat lainnya yang tentunya menyogok dengan tawaran yang lebih besar.
Misalnya saat pemilihan Gubernur Kaltim tahun 2004 antara Suwarna AF dan Awang Faroek Ishak, DPRD Kaltim sampai memberlakukan handphone tidak boleh masuk bilik pencoblosan. Mengapa sampai begitu? Ya karena handphone waktu itu sudah punya kamera yang bisa memotret kertas suara, sebagai bukti bahwa dia mencoblos si kandidat tersebut.
Nah, coba kita amati situasi sekarang. Yaitu sejak tahun 2005 setelah undang-undang mengatur tentang Pilkada alias pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Saya ingat, adanya perubahan undang-undang itu salah satu semangatnya adalah agar demokrasi lebih terjamin. Para pemikir kita di DPR RI menyadari sistim lama telah membuat praktik suap di kalangan legislatif dan mengira kalau pemilihan langsung oleh rakyat tidak mungkin menyogok rakyat.
Ternyata pemikiran itu salah. Karena yang terjadi kemudian rakyat benar-benar disogok agar memilih si kandidat. Besarannya juga tergantung dari seberapa besar potensi sumber daya alam yang dimiliki daerah itu, serta seberapa besar APBD-nya.
Di daerah berpenduduk di bawah 120 ribu pemilih misalnya, harga untuk satu suara bisa mencapai Rp1 – 3 Juta. Asumsinya adalah untuk menjadi pemenang Pilkada yang diikuti oleh minimal tiga pasang kandidat dibutuhkan suara 30 persen plus 1.
Nah, kalau jumlah pemilih 100 ribu jiwa, maka yang disogok cukup sebanyak 30 ribu jiwa. Jika dikalikan Rp1 Juta per suara, maka dibutuhkan Rp30 Miliar. Padahal, dalam tiap pemilihan selalu ada Golput di atas 20 persen dari jumlah pemilih yang berarti untuk mendapat 30 persen plus 1, lebih sedikit lagi.
Jangan bertanya bagaimana si kandidat mengembalikan uangnya, karena praktik menyogok rakyat ini sudah terjadi di mana-mana. Artinya kandidat penyogok sudah berhitung matang untuk meraih Rp30 Miliar di daerah itu adalah perkara mudah.
So, bagaimana anggota DPR RI yang baru bertugas di Senayan Jakarta melihat masalah ini dengan jernis. Harus ada yang dibenahi sistimnya, misalnya dengan mengaktifkan polisi khusus suap Pilkada. Supaya yang memberi dan menerima suap ditangkap dan diadili. *

Bunker


PARTAI Golkar sungguh luar biasa. Walaupun tidak lagi menjadi pemenang Pemilu 2009, tapi sinarnya yang gemerlap sangat menyilaukan. Tidak ada partai lain yang mampu menandingi acara Musyawarah Nasional (Munas) yang berlangsung di Pekanbaru itu, pekan lalu.
Liputan media massa yang disiarkan secara langsung (live) oleh beberapa stasiun teve, sampai perhatian rakyat dan para petinggi di negeri ini, semakin memberikan pengakuan bahwa partai berlambang pohon beringin ini belum redup. Ia masih akan menjadi perhitungan serius pada Pemilu yang akan datang.
Aburizal Bakrie akhirnya menang sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Ini adalah saat-saat diujung deadline pemerintahan SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) mengumumkan susunan kabinetnya. Publik telah memahami Aburizal alias Ical adalah ‘utusan’ SBY agar partai itu bergabung bersama pemerintah. Dengan kemenangan Ical, pemerintahan SBY berada di posisi aman. Tidak ada lagi partai oposisi, karena PDI Perjuangan yang pernah memainkan peranan oposisi diperiode SBY-JK juga sudah ‘tunduk’ dengan SBY.
Begitu besarnya ambisi Aburizal menguasai Golkar, membuat rakyat bertanya-tanya; apa lagi yang diiinginkan pengusaha terkaya di Indonesia itu? Ia telah memiliki segala-galanya – yang mungkin tak habis untuk tujuh turunan dinastinya.
Dari sudut yang lain, ada pula Tommy Soeharto yang jumlah kekayaannya diduga lebih besar dari Aburizal Bakrie. Tommy yang selama ini terkesan menyembunyikan diri dari hiruk pikuk politik, tiba-tiba mencalonkan diri menjadi kandidat ketua umum Partai Golkar. Putra mendiang Presiden Soeharto ini menantang Aburizal. Tapi belakangan – konon karena membaca tak berpeluang menang -- Tommy mengarahkan dukungannya kepada kandidat Suryo Paloh (bos Metro Tv).
Sejak dulu, Golkar memang menjadi ’bunker’ (tempat perlindungan) para konglomerat. Mereka dekat dengan penguasa sekaligus ikut ’membidani’ para politikus yang ingin jadi penguasa. Ada ’perdagangan’ di sana. Konglomerat membiayai kandidat dan setelah menjadi penguasa maka usaha si konglomerat tambah berjaya. Minimal, usahanya terlindungi dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan pengusaha.
Ini sudah menjadi semacam simbiose. Sehingga nyaris tak terbendung yang namanya kolusi penguasa dengan pengusaha. Mereka yang memainkan kebijakan dan keuntungan. Siapa yang dekat penguasa, mereka diuntungkan.
Aburizal Bakrie dengan Golkarnya diyakini memang ingin mencari langkah aman. Sebab Ical bersama SBY, telah melalui hari-hari yang indah pada lima tahun terakhir. Dalam kasus lumpur Lapindo misalnya, beban kerugian yang logisnya ditanggung perusahaan milik Bakrie – dengan berbagai cara - justru berbagi beban dengan pemerintah.
Tommy juga perlu ‘benteng’ untuk mengamankan hartanya yang masih sering diutak-atik dan diincar negara, karena dinilai didapat dengan cara tidak sah. Inipun memberikan pengakuan kalau Golkar adalah ‘bunker’ yang tepat. **

Demokrat


INILAH faktanya; Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Boediono berhasil merangkul seluruh kekuatan besar seperti PDI Perjuangan dan Golkar, setelah sebelumnya membangun koalisi Partai Demokrat dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PBB (Partai Bulan Bintang) dan PAN (Partai Amanat Nasional).

Itu tandanya tidak ada lagi kata oposisi seperti pada kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) yang dilakoni oleh partainya Megawati Soekarnoputri. Identitas partai oposisi sudah ’dijual’ dengan sebuah jabatan Ketua MPR yang sekarang dijabat oleh Taufik Kiemas (TK) yang juga suami Megawati Soekarnoputri. Semua memahami naiknya Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR menggantikan Hidayat Nur Wahid karena turut campurnya Partai Demokrat dalam voting sidang pemilihan itu.
Partai Golkar pun sudah diwanti-wanti untuk mendudukkan kadernya di kabinet SBY periode 2009-2014. Bahkan kemungkinan ’jatahnya’ lebih banyak dari pada beberapa partai koalisi tahap pertama yang menjadi pengusung SBY-Boediono.
Koalisi dengan Partai Golkar diyakini masih menunggu siapa yang bakal memimpin partai beringin itu dalam Munas yang berlangsung 8 Oktober 2009 di Pekanbaru ini. Banyak yang meyakini jika Aburizal Bakrie yang terpilih, maka Golkar semakin berada di bawah kendali pemerintahan SBY. Tidak mungkin menjadi oposisi.
Bagi Golkar yang langganan menjadi pemenang Pemilu, menjadi oposisi adalah barang langka. Ketika tiba-tiba berseberangan dengan pemerintah, maka diragukan konsistensinya karena di daerah-daerah masih banyak kadernya menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota.
Tapi Golkar memang tetap menjadi perhitungan, sehingga siapapun yang bakal memimpin mengganti Jusuf Kalla tetap saja bakal dirayu masuk kabinet dengan alasan bersama-sama membangun bangsa.
Memang, kalau semua sudah berkoalisi ke Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu dan pemegang kuasa pemerintahan, boleh jadi pemerintahan menjadi tidak lagi penuh warna. Perdebatan di parlemen, interupsi, keleluasan pada hak budgeting dan kontrol menjadi tak tajam lagi. Semua perdebatan, beda pendapat bakal diselesaikan pada sidang-sidang permulaan untuk kemudian digolkan secara musyawarah mufakat.
Tidak berlebihan kalau ada yang merasa kuatir munculnya Orde Baru gaya baru. Karena sudah begitu besarnya kekuasaan sebuah koalisi politik, maka bakal menenggelamkan aspirasi-aspirasi rakyat kecil. Demokrasi tak tumbuh wajar, bahkan mungkin jadi terancam seperti era pemerintahan Presiden Soeharto selama 32 tahun silam.
Boleh jadi pula, skenario ini memang yang diinginkan partai-partai yang berkoalisi dengan Partai Demokrat. Agar partai ini menjadi bulan-bulanan rakyat dan kehilangan simpati pada Pemilu tahun 2014 mendatang. Ya, Demokrat patut waspada dengan koalisi besar yang dibangunnya sendiri. **

DPRD

USAI Idul Fitri di mana umat muslim saling bermaaf-maafan, rakyat di seluruh Kalimantan Timur dihadapkan pada sebuah harapan baru. Karena bertepatan dengan suasana baru di legislative se-Kaltim – dengan 14 DPRD kabupaten dan kota serta DPRD Kaltim – yang baru saja memilih pimpinan definitive, setidaknya muncul cahaya untuk perbaikan kehidupan di daerah ini.
Apa yang patut diperbaiki lagi setelah umat muslim yang menjadi mayoritas meraih fitrah alias kesuciannya kembali?
Seorang pemuka agama malah sering melontarkan kegetirannya karena di negeri yang mayoritas Islam, justru menjadi negeri paling korup. Nyaris tidak ada proyek pemerintah yang benar-benar bersih, meskipun sudah ketatnya aturan. Bahkan di sana-sini masih muncul suap, gratifikasi dan lebih celaka lagi menjadi anggota DPRD karena motivasi untuk menggolkan proyek dan kemudian “mengatur” dengan kelompok-kelompoknya.
Jangan bertanya mengapa diera aturan tentang tender / lelang sudah ketat, masih ada sistim ‘mengatur’ itu. Sebab ini adalah rahasia umum di mana semua pihak yang terlibat tender memang menguasainya. Mulai calon kontraktor sampai dengan pejabat pemerintah yang ditugaskan sebagai pemegang kuasa anggaran.
Membersihkan negeri ini dari korupsi memang bukan pekerjaan mudah. Sejak lima tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terlihat adalah itikad pemberantasan yang kuat, tapi juga sama kuatnya perlawanan dari para pihak yang diduga adalah para koruptor. Indeks persepsi korupsi (IPK) juga tak banyak bergerak perbaikannya, karena sudah begitu akutnya ’penyakit’ itu.
Tapi bangsa ini tidak boleh menyerah. Energi pemberantasan korupsi masih harus dinyalakan, hingga akhirnya kita yakin semua sistim dijalankan dengan normal. Dengan anggaran pemerintah yang dijalankan tanpa unsur korupsi, orang-orang miskin lebih banyak punya kesempatan mendapat perlindungan pemerintah. Mereka tak ada lagi menjadi pengemis di simpang jalan yang merusak citra negeri ini, atau tidur di kolong jembatan yang mengesankan negara membiarkan rakyatnya menderita.
Tiba saatnya DPRD membuktikan bahwa masih ada harapan untuk memperbaiki negeri ini. Dimulai dari memelototi lagi anggaran yang bakal disahkan. Apakah sudah benar penetapan alokasi anggaran yang dianggap menjadi prioritas pembangunan? Mengapa tidak ada fokus pada pemanfaatan energi untuk listrik? Padahal listrik adalah masalah utama yang dihadapi rakyat Kaltim.
Ayo bergerak! Jangan biarkan rakyat kembali melecehkan para wakilnya di parlemen dengan kalimat hanya 4D (datang, duduk, dengar dan duit). Jangan beri kesempatan rakyat memaki dan marah karena para wakilnya ternyata hanyalah para politisi yang memble. **

KPK


DALAM suasana menjelang perayaan Idul Fitri 1 Syawal 1430, rakyat Indonesia dihadapkan persoalan membimbangkan hati, menyangkut pemberantasan korupsi di negeri ini. Ketika rakyat percaya korupsi sedang diberantas habis, tiba-tiba dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinyatakan sebagai tersangka dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang.

Dua pimpinan KPK yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri itu, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, selama ini dikenal punya reputasi paling bagus di KPK. Itu sebabnya tak sedikit rakyat Indonesia yang marah, prihatin dengan situasi yang ada.

Di kalangan pro KPK, terbaca ada skenario untuk mengkerdilkan lembaga yang dikenal dan ditakuti para koruptor itu. Tanda-tanda banyak kalangan atas yang tidak suka, sudah mulai tampak sejak beberapa tahun institusi itu didirikan. Selalu saja ada perlawanan dari pihak-pihak yang merasa terganggu dengan gerak langkah KPK.

Skenario dari eksternal dimulai dari Kejaksaan Agung yang sejak lama diketahui sering mempertanyakan fungsi penuntutan yang dipegang oleh KPK. Sepertinya para jaksa tidak rela wewenang penuntutan yang menjadi wilayah kerja mereka ikut pula menjadi wewenang KPK.
Kemudian di parlemen yang menjadi ujung tombak produk hukum yang juga mengatur tentang KPK. Sejak banyak politisi diobok-obok karena menerima suap dan korupsi oleh lembaga itu, upaya-upaya untuk ‘memberangus’ KPK sudah mulai ada. Mereka merasa terganggu dengan keberadaan lembaga yang diistilahkan memilih super body itu.

Rupanya Polri merasa ‘terpanggil’ menjadi eksekutor? Sejak Antasari Azhar (Ketua KPK) ditangkap dalam kasus pembunuhan Nazaruddin, skenario itu seakan terangkai lagi dan semakin mantap ketika muncul ‘nyanyian’ Antasari soal suap dari Dirut PT Masaro Anggoro Widjojo. Suap sebesar Rp5,1 Miliar dikabarkan diterima kedua pimpinan KPK tersebut.
Suap atau bukan, persoalan yang muncul adalah melemahnya kembali kepercayaan publik terhadap lembaga kuat seperti KPK. Tentu saja ini membuat senang kalangan yang melakukan korupsi pada masa lalu dan bisa melanjutkan praktiknya pada masa mendatang.
Para pimpinan KPK boleh ditangkap, kalau memang bersalah. Apalagi kalau memang benar menerima suap seperti dituduhkan, perbuatan itu sangatlah biadab. Bahkan lebih jahat dari koruptor lainnya.
Tapi lembaga KPK tidak boleh mati. Karena dari sana sudah muncul ‘cahaya’ untuk memperbaiki negeri ini dari korupsi. Ayo! Dukung terus KPK. “Boleh tangkap orangnya, jangan dibakar rumahnya”. **

Pribumi


POLITIK itu selalu memecah belah. Sayapun terkejut ketika dalam sebuah obrolan di dinding jaring sosial facebook terdapat pandangan berbeda dalam menyikapi satu masalah politik; Isu etnis pada Pilkada Walikota Samarinda tahun 2010 nanti?
Di mata para pendatang, umumnya tidak menyukai isu tersebut dikumandangkan. Mereka berlomba-lomba, penuh semangat dan dengan suara tinggi menolak adanya isu sejenis. Bahasa yang muncul adalah pentingnya ‘keberagaman’, saling menghormati, pluralitas dan ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’.
Semua berpikir tentang Indonesia yang ideal. Dari Sabang sampai Merauke, dari Nias sampai Pulau Rote, tidak ada lagi perbedaan suku, agama. Semua punya kesempatan menjadi pemimpin / kepala daerah. Orang Bugis boleh menjadi Walikota Samarinda. Orang Sunda diterima menjadi Gubernur Kalimantan Timur.
Tapi pandangan itu berbalik. Sebab masyarakat yang asli dilahirkan dan dibesarkan di daerah itu, umumnya tidak sependapat dengan hal tersebut. Walaupun mengakui sebagai pandangan ideal, tapi di lubuk hati tidak rela kalau akhirnya jabatan kepala daerah diemban oleh politisi para pendatang. Putra daerah dianggap lebih baik menjadi walikota, bupati atau gubernur di daerah itu. Karena putra daerah lebih tahu tentang kebutuhan daerah. Putra daerah juga akan menghabiskan hari tua, termasuk membelanjakan hartanya untuk daerah tersebut.
Bentuk pembelaan orang-orang daerah itu selalu dikumandangkan. Bahkan terbentuk imej bahwa orang-orang pendatang hanya mencari uang dari daerah tersebut dan kemudian setelah uang terkumpul dibawa ke daerahnya lagi. Tidak heran kalau pada akhirnya terbentuk kelompok-kelompok. Mulai dari pergaulan sampai jabatan politik dan juga pemerintahan.
Ada upaya gerakan dari ’pribumi’ untuk mengucilkan kelompok pendatang. Padahal dari sisi pandang yang lain, justru ’pribumi’ mengucilkan diri sendiri dari pergaulan keberagaman.
Bangkitnya lagi isu putra daerah dipicu oleh perubahan sistim pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Produk hukum ikutannya juga berubah sampai ke soal politik, di mana jabatan bupati, walikota dan gubernur dilakukan melalui pemilihan langsung, yang disebut Pilkada.
Rezim lama - era Presiden RI HM Soeharto (Alm) – tidak memberikan kesempatan pada kekuatan lokal menjadi mandiri. Kesenjangan sosial yang berlangsung lebih dari 30 tahun, akibat penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh ”orang-orang dekat” pemerintahan saja.
Ketika aturan direformasi, maka menjadi kesempatan orang daerah untuk bangkit, merebut kembali ruang-ruang ekonomi, sosial politik. Masa ini masih akan berlangsung panjang, sehingga Indonesiaku yang ideal entah sampai kapan. *charlessiahaan@bongkar.co.id

Perlindungan



APA yang Anda pikirkan lagi kalau nilai hartamu sudah mencapai angka di atas Rp 1 Triliun? Tanpa bekerja pun kita bisa menikmati hidup kelas satu di seluruh negeri ini. Taruh saja uang itu menjadi deposito / tabungan di bank umum atau syariah, sudah sangat besar bagi hasil maupun bunganya.
Pertanyaan lain muncul mengapa Tommy Soeharto yang diperkirakan punya harta di atas Rp1 Triliun, masih tertarik menjadi calon Ketua Golkar dan kemudian ingin menjadi Presiden RI tahun 2014 nanti? Sama halnya mengapa Prabowo Subianto, Ketua Partai Gerindra yang juga mantan menantu Soeharto masih ingin menjadi Presiden padahal ia termasuk orang kaya dengan uangnya sekitar Rp1,6 Triliun?
Begitu pula Aburizal Bakrie yang diumumkan ke publik memiliki harta di atas Rp1 Triliun. Ia masih tertarik terjun ke dunia politik dengan mengejar peluang menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
Orang Jawa diperkenalkan dengan istilah ”tiga Ta”, yakni harta, tahta dan wanita. Tapi untuk kata wanita nampaknya tidak relevan lagi, karena ’tiga Ta’ waktu itu diistilahkan untuk para raja-raja zaman dulu.
Di era modern ini, harta (uang) dan tahta (kekuasaan) masih menjadi alasan mengapa orang ingin menggapainya. Uang untuk memperoleh tahta atau sebaliknya dengan kekuasaan untuk meraih atau minimal mengamankan uangnya.
Tommy Soeharto termasuk yang terganggu dengan perubahan rezim kekuasaan Orde Baru semasa ayahnya berkuasa sampai eranya Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia sedang berusaha sekuat tenaga mempertahankan uang dari incaran negara, karena menganggap harta itu diperoleh dengan cara korupsi.
Uang-uang dari Indonesia itu sudah tersimpan dalam bentuk saham-saham di perusahaan luar negeri dan diperkirakan masih lebih besar lagi yang tidak terlacak oleh aparat negara. Satu yang terlacak adalah uang Tommy di Banque Nationale de Paris dan Paribas Guernsey (BNP Paribas Guernsey) sebesar Rp 425 milliar. Uang itu diketahui milik Garnet Investment Limited, perusahaan milik Tommy yang berbasis di British Virgin Island.
Hanya dengan cara merebut kekuasaan itu kembali harta Tommy dan juga keluarganya bisa aman. Tidak dikejar-kejar lagi oleh aparat negara. Itu sebabnya jika ada kesempatan, dinasti Soeharto ingin berkibar lagi.
Begitu juga yang dialami oleh sejumlah konglomerat negeri ini, misalnya Aburizal Bakrie yang diketahui punya kepentingan besar berlindung dalam pemerintahan SBY. Ia terbaca oleh publik ingin membawa Partai Golkar sebagai salah satu partai besar, bergabung dengan koalisi SBY. Sebuah perlindungan yang sebenarnya semu, karena ketika penguasa berganti ’perlindungan’ itu goyah lagi. *charlessiahaan@bongkar.co.id

Legislatif


SELAMAT bekerja untuk rakyat para anggota DPRD di seluruh Kalimantan Timur. Termasuk juga 55 anggota legislator yang duduk di provinsi. Rakyat menantimu memberikan perubahan yang lebih baik.
Harapan itu pantas kita sampaikan, sebagai sikap optimis warga negara yang ikut berpartisipasi dalam Pemilu legislatif 9 April 2009 lalu. Walau mungkin calon yang diinginkan tak terpilih karena kurang suara, tapi penting memelihara sikap sportif mengakui siapa yang unggul dan menerimanya.
Sikap optimistis rakyat ini belakangan jadi persoalan penting yang patut mendapat perhatian. Pasalnya, sering kali rakyat Indonesia ’dibebani’ dengan ketidakoptimisan alias pesimisme yang ternyata benar-benar terjadi dan diduga sebagai awal terpuruknya berbagai bidang kehidupan bangsa ini. Berita-berita di televisi dan informasi yang membentuk pikiran negatif (negative thinking).
Sikap pesimisme ini, membentuk ’kristalisasi’ pemikiran yang membuat partisipasi rakyat terhadap pembangunan menjadi rendah. Selalu curiga berlebihan terhadap pejabat pemerintahan baik yang berada di lingkaran birokrasi dan parlemen, walau tanpa data memadai. Seakan semua adalah penjahat.
Seringkali kita mendengar tentang anak bangsa sendiri yang menjelek-jelekan komponen bangsa ini. Bahwa kita lemah sumber daya manusia alias masih bodoh, bahwa kita tak mampu seperti Malaysia atau Amerika, bahwa rakyat Indonesia tidak bisa membuat peniti, membuat motor dan mobil sendiri, dan sebagainya.
Saatnya rakyat diajak merubah alur pikiran menjadi positif. Selalu melihat ke depan dan meninggalkan apa yang telah menjadi kegagalan. Berpandangan maju bahwa anggota legislatif yang telah dipilih rakyat, akan memberikan karya terbaiknya untuk daerah ini.
Optimisme juga patut dibangun untuk lembaga-lembaga lainnya yang telah tersedia untuk mengontrol pejabat pemerintah. Ada kejaksaan dan kepolisian yang berbakti kepada negeri ini untuk mengejar pejabat dan pengusaha yang berbuat korupsi, ada lembaga seperti Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Badan Pengawan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta badan pengawas lainnya untuk mencermati kesalahan yang dilakukan pemerintah.
Rakyat juga patut optimistis dengan lembaga-lembaga non pemerintahan seperti LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan kelompok masyarakat yang semakin kritis. Jika semua komponen di sekeliling kita bersikap optimistis, menurut teori para ahli masalah ini – maka pencapaian terhadap yang diinginkan lebih punya harapan.
Pemerintahan yang optimistis, pengusaha optimis dan rakyat optimis. Ayo kita lihat kemajuan Indonesia pada satu tahun ke depan, dua tahun dan lima tahun yang akan datang. Berapa penurunan angka kemiskinan, berapa angka perbaikan pada pertumbuhan ekonomi? Berapa jumlah sisa pengangguran. Ayo!