Sabtu, 06 Maret 2010

Demokrat


INILAH faktanya; Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Boediono berhasil merangkul seluruh kekuatan besar seperti PDI Perjuangan dan Golkar, setelah sebelumnya membangun koalisi Partai Demokrat dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PBB (Partai Bulan Bintang) dan PAN (Partai Amanat Nasional).

Itu tandanya tidak ada lagi kata oposisi seperti pada kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) yang dilakoni oleh partainya Megawati Soekarnoputri. Identitas partai oposisi sudah ’dijual’ dengan sebuah jabatan Ketua MPR yang sekarang dijabat oleh Taufik Kiemas (TK) yang juga suami Megawati Soekarnoputri. Semua memahami naiknya Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR menggantikan Hidayat Nur Wahid karena turut campurnya Partai Demokrat dalam voting sidang pemilihan itu.
Partai Golkar pun sudah diwanti-wanti untuk mendudukkan kadernya di kabinet SBY periode 2009-2014. Bahkan kemungkinan ’jatahnya’ lebih banyak dari pada beberapa partai koalisi tahap pertama yang menjadi pengusung SBY-Boediono.
Koalisi dengan Partai Golkar diyakini masih menunggu siapa yang bakal memimpin partai beringin itu dalam Munas yang berlangsung 8 Oktober 2009 di Pekanbaru ini. Banyak yang meyakini jika Aburizal Bakrie yang terpilih, maka Golkar semakin berada di bawah kendali pemerintahan SBY. Tidak mungkin menjadi oposisi.
Bagi Golkar yang langganan menjadi pemenang Pemilu, menjadi oposisi adalah barang langka. Ketika tiba-tiba berseberangan dengan pemerintah, maka diragukan konsistensinya karena di daerah-daerah masih banyak kadernya menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota.
Tapi Golkar memang tetap menjadi perhitungan, sehingga siapapun yang bakal memimpin mengganti Jusuf Kalla tetap saja bakal dirayu masuk kabinet dengan alasan bersama-sama membangun bangsa.
Memang, kalau semua sudah berkoalisi ke Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu dan pemegang kuasa pemerintahan, boleh jadi pemerintahan menjadi tidak lagi penuh warna. Perdebatan di parlemen, interupsi, keleluasan pada hak budgeting dan kontrol menjadi tak tajam lagi. Semua perdebatan, beda pendapat bakal diselesaikan pada sidang-sidang permulaan untuk kemudian digolkan secara musyawarah mufakat.
Tidak berlebihan kalau ada yang merasa kuatir munculnya Orde Baru gaya baru. Karena sudah begitu besarnya kekuasaan sebuah koalisi politik, maka bakal menenggelamkan aspirasi-aspirasi rakyat kecil. Demokrasi tak tumbuh wajar, bahkan mungkin jadi terancam seperti era pemerintahan Presiden Soeharto selama 32 tahun silam.
Boleh jadi pula, skenario ini memang yang diinginkan partai-partai yang berkoalisi dengan Partai Demokrat. Agar partai ini menjadi bulan-bulanan rakyat dan kehilangan simpati pada Pemilu tahun 2014 mendatang. Ya, Demokrat patut waspada dengan koalisi besar yang dibangunnya sendiri. **

Tidak ada komentar: