Senin, 07 Juli 2008

Kandidat

ADA yang berubah dalam pergaulan masyarakat belakangan ini. Karena sebagian warga sudah ada yang mantap dengan calon gubernur atau wakil pilihannya, nampaknya hal itu mulai memberikan efek kurang nyaman dalam perkawanan bahkan persaudaraan.

Apalagi kalau diskusi telah sampai pada siapa yang bakal menjadi gubernur Kaltim. Maka, yang menonjol adalah penonjolan masing-masing kandidat pilihannya. Perdebatan bakal cepat meninggi manakala ada yang berusaha menjatuhkan.

Politik adalah ranah rawan di negeri yang baru mengenal demokrasi ini. Karena demokrasi masih bercerita tentang berapa jumlah pemenang, maka ia menunjukkan identitas kekuatan yang ingin berkuasa. Bukan hanya ‘kekuasaan’ yang bakal diperoleh sang kandidat, tetapi juga ‘kekuasaan’ orang-orang yang berada di dekatnya. Orang-orang yang memberi dukungan.

Ketegangan di masyarakat sebenarnya tidak patut terjadi. Karena sebenarnya ‘pertandingan’ hanya untuk para kandidat saja. Ucapan simpatik pernah disampaikan Bupati Malinau Marthin Billa untuk mengingatkan warganya. Kata Marthin, masyarakat tidak perlu mengalami eufhoria untuk membela salah satu kandidat. “Tidak usah berjuang seperti calon gubernurnya saja,” kata Marthin Billa.

Ketegangan di arus bawah memang tidak patut dibenturkan. Apalagi oleh para kandidat yang mengatasnamakan rakyat. Upaya membenturkan rakyat bisa berakibat fatal menjadi aksi demokrasi berdarah. Kalau itu yang terjadi, maka rakyat yang menjadi korban.

Di Kalimantan Timur yang pada 26 Mei 2008 melaksanakan Pemilihan Gubernur, suasana persaingan antar kandidat mulai memunculkan kekuatiran. Ini dimulai dari aksi saling mengolok-olok di sejumlah baliho dan spanduk yang terpampang di pinggir jalan. Misalnya ada foto salah seorang kandidat yang menyertakan partai yang sebenarnya adalah partai pendukung kandidat lain. Kemudian ada juga saling pasang spanduk bertulisan tidak simpatik dan menyerang salah satu kandidat.

Apapun yang terjadi dalam ‘perang’ spanduk itu, merupakan gambaran kalau para kandidat tidak lagi mampu menguasai perilaku pendukungnya. Atau bahkan kandidat itu telah ikut terjebak dalam semangat emosi untuk menjegal kandidat kompetitornya. Ini merupakan ciri-ciri demokrasi yang tidak sehat. Upaya membenturkan rakyat yang berbeda pilihan.

Jika saja pihak berwenang dalam mengawasi jalannya pesta demokrasi ini tidak bertindak cepat dan tegas, maka benih-benih permusuhan antar pendukung dapat segera meledak. Panitia Pengawas (Panwas) tidak bisa hanya bersandar pada aturan baku mengenai tata tertib Pilgub, tetapi yang lebih penting juga memberikan pengertian tentang psikologi massa kepada para calon kandidat. Panwas perlu melakukan tindakan-tindakan persuasif agar kandidat menjaga perilaku menyimpang pendukungnya.

Rakyat Kalimantan Timur memerlukan pemimpin yang benar-benar berjiwa seorang pemimpin. Gubernur yang dicintai rakyatnya. Ini saatnya. *

Tidak ada komentar: