Senin, 07 Juli 2008

Pak Jaksa

KEPALA Budi, seorang petinggi pemerintahan di daerah ini, tak berhenti menggeleng ketika menonton televisi yang sengit memberitakan kasus suap Jaksa Urip Tri Gunawan. Ia nyaris tak percaya kalau hari gene di tubuh Kjaksaan Agung masih ada yang berani main gila. Apalagi Jaksa Urip adalah termasuk katagori jaksa teladan yang karir dan prestasinya bagus.

Diantara berita yang memukul KO aparat kejaksaan di negeri ini, saya jadi teringat bagaimana sulitnya untuk menjadi seorang jaksa. Bukan cerita baru lagi untuk memasuki korps adyaksa itu – walaupun pelamar jebolan fakultas hukum ternama di Indonesia – tetap wajib menyiapkan uang sogok. Jumlahnya? Wow, bisa sampai seratus juta rupiah.

Tidak heran kalau setiap dibuka pendaftaran untuk menjadi jaksa, maka pesertanya membludak. Seakan berlomba untuk mengejar prestasi dan karir di sana. Pertanyaanya; mengapa karir menjadi jaksa sangat diminati? Padahal, gaji seorang jaksa yang notebene Pegawai Negeri Sipil (PNS) tak jauh beda dengan PNS lainnya.

Di masyarakat kita, telah terbentuk pikiran-pikiran buruk (imej) mengenai profesi jaksa. Lantaran melihat kehidupan para jaksa yang - sebagian - nampak nyaman. Punya rumah bagus dan mobil tak hanya satu, padahal dia baru saja menjadi jaksa, membuat masyarakat menganggap pekerjaan menjadi jaksa mudah untuk cari uang, salah satu caranya menerima suap dari para tersangka kasus pidana.

Tidak hanya profesi jaksa, posisi lain seperti polisi, hakim, petugas pajak, bea cukai, PNS dan juga wartawan masih menyandang imej seperti itu. Mereka dianggap bisa menjadi kaya kalau mau menerima suap alias korupsi.

Budi yang sedang menonton acara berita di teve itu pun beranjak dari kursinya. ”Ternyata benar. Moral bangsa kita memang telah hancur,” ucapnya.

Berduyun-duyunnya warga menjadi jaksa, boleh jadi memang lantaran didorong oleh sebuah rencana bahwa kelak setelah menyandang predikat jaksa, maka ia bisa ’bermain’ dengan para pencari keadilan. Kejaksaan dianggap sebagai lahan basah untuk mengejar kekayaan.

Lalu, Pak Budi bertanya bagaimana caranya mengobati kebobrokan moral bangsa ini. Sebab dengan kekuatan agama yang telah tertanam sejak masih kecil pun, tak cukup untuk memberantas penyakit korupsi di tanah air. Bahkan ironisnya, Departemen Agama sendiri termasuk instansi terkorup. Kita sangat dipermalukan dengan diadilinya mantan Menteri Agama Said Agil karena terlibat kasus korupsi.

Keresahan Budi terhadap sepak terjang Pak Jaksa yang korup adalah keresahan sebagian besar rakyat Indonesia juga. Menjadi menarik dibahas karena yang merasa resah telah sampai pada sejumlah pejabat negara seperti Pak Budi itu.

Ini adalah tanda-tanda perubahan yang telah ditunggu-tunggu. Semakin besar jumlah warga yang mendengungkan antikorupsi, maka semakin terbuka jalan untuk membersihkan para koruptor.

Rakyat Indonesia percaya cara paling efektif membersihkan koruptor tak cukup dengan menghukum pelakunya, tetapi yang terpenting juga adalah dengan mengibarkan kembali semangat kebangsaan. Bahwa bangsa ini telah terpuruk karena virus korupsi dan yang mampu menjadi antivirusnya hanyalah tekad kebangsaan kita semua. Pak Budi lalu mengingatkan bahwa ada peninggalan orde baru yang patut dipertahankan, yakni penataran P4 (Pengamalan, Penghayatan, Pedoman Pancasila). Sebab inti dari P4 itu adalah ”pengendalian diri”.

Bagus juga usul ini diperjuangkan lagi. *

Tidak ada komentar: