Senin, 07 Juli 2008

Putra Daerah

Oleh: Charles Siahaan

Sebagian rakyat Kaltim masih dilanda kegelisahan. Bayangkan, penduduk yang sudah lebih 50 tahun tinggal dan mengabdi di bumi etam ini masih juga disebut pendatang. Itu lantaran kalau diusut dari sisi keturunan, bukan orang ‘pribumi’ asli Kaltim.

Kegelisahan itu yang sering menjadi penghambat setiap individu untuk mengaktualisasikan diri dalam politik. Selalu ada batasan; ’ini wilayahku, maka aku yang putra daerah yang boleh jadi penguasa”.

Pada perhelatan Pemilihan Gubernur Kaltim yang menyisakan dua kandidat Awang Faroek Ishak – Farid Wadjdy (AFI) dengan Achmad Amins – Hadi Mulyadi (AHAD), persoalan putra daerah dan bukan putra daerah mencuat tajam kembali. Walau kata-kata yang berbau sentimen etnis itu tidak menjadi bahan kampanye dan propaganda dari para kandidat, tetapi telah menjadi perbincangan yang sengit di masyarakat Kaltim. Pilih siapa; putra daerah atau bukan?

Tak bisa dipungkiri, AFI yang menempati unggulan teratas pada Pilgub putaran pertama adalah refresentasi putra daerah. Awang yang keturunan kerabat kesultanan di Kutai dan Farid yang walau asal-usulnya suku Banjar, tetapi orangtuanya telah menjadi tokoh di daerah ini.

Sementara pasangan Achmad Amins – Hadi Mulyadi yang pada Pilgub putaran pertama berada di urutan kedua merupakan perpaduan antara pendatang dan putra daerah. Amins dilahirkan di suatu daerah Sulawesi, namun telah menghabiskan waktu remaja dan sekolah sampai menjadi Wali kota Samarinda di daerah ini. Sedangkan Hadi Mulyadi adalah putra kelahiran Samarinda, yang nenek buyutnya masih ada keturunan suku Dayak.

Sejak otonomi daerah digulirkan, persoalan putra daerah dan bukan putra daerah ikut menggelinding membatasi pergerakan para pendatang yang telah tinggal di daerah ini berpuluh-puluh tahun.

Ditambah dengan tumbuhnya berbagai organisasi yang membangun sentimen etnis tertentu, membuat masyarakat kian terkotak-kotak. Seperti ciri-ciri kelompok etnis maupun agama lain – yang selalu menonjolkan bahwa dirinya paling benar – maka potensi konflik di Kalimantan Timur juga semakin besar.

Kelompok yang membangun kekuatan lokal ini nampaknya masih akan terus tumbuh. Belakangan mereka mulai memunculkan klaim bahwa keputusan adat merupakan hukum yang patut dipatuhi pula oleh kalangan pendatang. Ini mengingatkan kita; apa bedanya dengan kontroversi Front Pembela Islam (FPI) yang mengatasnamakan agama melakukan tindak kekerasan?

Apakah ini suatu kemajuan peradaban? Sungguh ini sesuatu yang sulit terjawab. Sebab, faktanya memang begitu banyak contoh di mana penduduk dari etnis-etnis lokal menjadi tersingkir di daerahnya sendiri dan adanya oknum pengusaha yang hanya mengeruk kekayaan di suatu daerah.

Kelompok nasionalis yang berpegang pada prinsip pluralisme, di mana berlaku tata krama saling menghormati perbedaan, maka mati-matian menolak tumbuhnya sentimen etnis lokal alias putra daerah ini. Sebab kita rakyat Indonesia yang telah dipersatukan dari ujung Sabang sampai Meruoke. Ayo bangkit!*

Tidak ada komentar: