Senin, 07 Juli 2008

Kodrat

Oleh: Charles Siahaan

Bali memang menawan. Hampir semua sudut, setiap jengkal tanah begitu berharga. Pantas saja para turis dari mancanegara tak pernah berhenti memuji. Mereka mempromosikan daerah itu di negerinya, sehingga Bali bisa lebih populer dari pada Jakarta, ibukota negara Indonesia.

Rakyat dan pemerintah Bali juga tak hanyut dengan tekanan arus globalisasi. Kuatnya permintaan ratusan ribu orang bule setiap tahun di sepanjang jalan pantai Kuta, Legian, Sanur dan Nusa Dua, tak membuat mereka ikut kebarat-baratan.

Suasana di daerah pantai Kuta boleh seperti kota internasional. Pria bertelanjang dada dan perempuan berambut pirang berbikini, tapi masyarakatnya tetap berpakaian adat. Setiap pagi – tiga kali sehari – masyarakat Hindu di sana tetap melaksanakan ritual agama, membuat sesaji dan syukuran di depan rumah mereka.

Kekuatan masyarakat juga didukung pemerintah. Setiap desa di Bali dilindungi oleh aturan adat. Dan, ternyata justru kekuatan adat istiadat Bali itulah yang menjadi salah satu daya tarik turis, selain keindahan pantai dan deburan ombaknya.

Akhirnya Bali menjadi provinsi yang mandiri. Kekuatan sumber daya lokal berhasil dieksploitasi, tanpa merubah apapun. Rumah-rumah penduduk yang berpagar tembok bisa menjadi daya tarik para turis. Perkampungan nelayan di Jimbaran yang dibiarkan apa adanya justru memancing orang-orang asing berdatangan. Masyarakat dan pemerintah sangat yakin dengan kodrat Bali yang diberikan sang maha pencipta. Kodrat sebagai Pulau Dewata.

Saya jadi membandingkan dengan Kalimantan Timur. Begitu besarnya anggaran yang telah diterima dari sektor Migas yang digarap para pengusaha asing, tapi begitu getolnya pula sebagian Bupati membangun sentra ekonomi baru dengan cara merubah alam. Hutan budidaya dirombak menjadi perkebunan. Hutan dijadikan lahan tambang batubara dan kemudian dibiarkan lobang galiannya menganga.

Begitu bernafsunya para pemimpin lokal membangun perkebunan kelapa sawit. Merubah kodrat hutan alam menjadi perkebunan dengan alasan ingin mendapatkan uang dari sektor itu. Padahal, rakyat banyak yang tahu gara-gara merombak hutan alam menjadi perkebunan sawit membuat Gubernur Kaltim Suwarna AF dipenjara karena tuduhan korupsi disektor itu.

Mengapa para pemimpin di Kaltim tidak percaya dengan kodrat daerahnya masing-masing? Mengapa mereka lebih percaya dengan tuntutan pasar bahwa minyak sawit lebih ekonomis dan menghasilkan banyak pendapatan daerah nantinya? Mengapa para pemimpin di Kaltim tak pernah berpikir bahwa kerusakan lingkungan yang bakal terjadi akan membuat manusia di seluruh bumi harus membayarnya?

Seperti Bali, saya yakin bahwa daerah punya kodratnya sendiri-sendiri. Kodrat itu yang pantas dieksploitasi tanpa merusak lingkungan yang ada. Keinginan membangun perkebunan sawit boleh saja terjadi, namun dengan memanfaatkan lahan-lahan yang telah rusak. Bukan dengan cara merubah hutan alam. *

Tidak ada komentar: