Sabtu, 15 Agustus 2009

SBY-Soeharto


SEBUAH pesan datang ke ‘dinding’ facebook saya. Isinya adalah tanggapan tentang kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang fantastis, meraih suara di atas 60 persen dan menobatkannya sebagai Presiden RI kedua kali hanya pada satu putaran saja.
Kata si pembuat pesan itu; “lihat, lama-lama wajah SBY mirip Soeharto”.
Saya hanya tersenyum. Ada-ada saja pikiran orang menolak SBY, kata hati ini. Sebab saya adalah termasuk pendukung SBY dan di jari kelingking masih tersisa noda tinta gara-gara mencoblos SBY-Boediono.
Tapi di situasi yang lain ketika kebetulan berpas-pasan dengan foto SBY, kok jadi kepingin menyimak betul-betul wajah itu. Dan ternyata hati kecil membenarkan mulai ada kemiripan antara SBY dengan Soeharto.
Bukan bermaksud menyarankan pembaca untuk menyimak wajah kedua Presiden RI di era berbeda itu. Sebab kesamaan yang dirasakan ada pada begitu tingginya ’nilai’ seorang SBY, sehingga mengarah pada pengkultusan yang berlebihan. Sama ketika Soeharto berkuasa, semua mengarah pada satu titik ’budaya’ saja; ”mohon petunjuk Bapak?”
Soeharto telah menjadi pemegang dominasi kebijakan, yang mengecilkan peran legislatif, menjauhkan aspirasi rakyat. Itu sebab ia mendapat julukan penguasa otoriter di negeri Pancasila.
Penyebab semua itu adalah terjadinya pengkultusan di luar kelaziman, akibat sistim politik yang ada. Sistim politik tiga partai telah menempatkan Golkar sebagai single majority (mayoritas tunggal), sehingga partai lainnya PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) meskipun jumlah suara mereka digabung hanya ada sekitar 20-30 persen. Sedangkan Golkar berkuasa dengan angka di atas 70 persen.
Golkar adalah Soeharto, sehingga tak ada kekuatan lain yang bisa mengalahkannya melalui Pemilu. Ia baru turun tahta ketika rakyat berusaha menurunkan, yakni ketika mahasiswa berdemonstrasi dan mengepung Gedung DPR RI tahun 1997 silam.
SBY juga menang Pilpres dengan angka di atas 60 persen dengan pesertanya tiga pasang kandidat juga yaitu Megawati-Prabowo, SBY-Boediono dan JK-Wiranto. Ia menjadi pemegang mandat ’mayoritas tunggal’ juga walau dalam era yang berbeda.
Saat bersama dengan Jusuf Kalla, kepemimpinan SBY memang tidak terlihat ’mayoritas tunggal’ karena Jusuf Kalla tak mau hanya sekedar menjadi ’ban serep’. Ia melejit dengan gaya dan caranya yang ceplas-ceplos dan cepat, sehingga banyak yang menyebut pasangan ini sebagai ‘dwi tunggal’. Saking agresifnya Jusuf Kalla, banyak yang memperkirakan kalau pasangan itu sebenarnya tidak harmonis di dalam Istana Kepresidenan.
Bagaimana saat SBY dengan Boediono yang kalem?
Tidak elok memang untuk berpikir negatif atas pasangan yang belum dilantik dan belum bekerja ini. Walau muncul kekuatiran bangkitnya budaya pengkultuasan berlebihan di era Soeharto, serta tumbuhnya lagi budaya ’mohon petunjuk bapak’, tugas rakyat adalah sebatas bersama-sama mengingatkan agar sejarah buruk masa lalu tidak terjadi lagi. Amin... **

Tidak ada komentar: