Sabtu, 15 Agustus 2009

Produk Lokal


CINTAI produksi dalam negeri. Itulah yang berkumandang saat krisis ekonomi melanda seluruh dunia. Masing-masing negeri, berusaha mengencangkan ‘ikat pinggang’ dan membangkitkan kecintaan terhadap produksi dalam negeri.
Di negeri sendiri yang kebetulan segera menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, gaung cintai produksi dalam negeri juga membahana. Tidak ada calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak setuju soal ini. Bahkan sampai ke tingkat provinsi, kabupaten dan kota serta ke pelosok desa. Semua secara serentak berkata; ”ayo pakai produksi dalam negeri”.
Ini momentum luar biasa untuk membangkitkan rasa kebangsaan, sekaligus kebanggaan atas karya anak bangsa sendiri. Mulai soal kebutuhan pakaian, sepatu, makanan, sampai kebutuhan elektronik yang baru sebatas bisa dirakit di negeri sendiri.
Bukankah Indonesia termasuk negeri yang punya market luar biasa besarnya. Dengan penduduk sekitar 270 Juta jiwa, barang produk lokal (mestinya) punya masa depan cerah. Bisa menjadi tuan di negeri sendiri.
Saatnya mengatakan tidak kepada produk-produk luar negeri. Mulai dari makanan cepat saji yang ternyata tak lebih nikmat dari makanan lokal - yang bumbunya dikerjakan oleh tangan sendiri, sampai dengan barang-barang komsumsi sehari-hari lainnya.
Pejabat pemerintah juga tak cukup hanya memberi contoh memakai produksi dalam negeri serta menguraikan dengan kata-kata imbauan saja. Tapi lebih jauh dari itu, yakni keberanian dengan memunculkan kebijakan yang mendukung semua itu. Apalah artinya imbauan, jika kebijakan tak senafas dengannya.
Inilah sebenarnya kebijakan yang pro rakyat. Yang sering dibicarakan para calon presiden ketika berkampanye tentang membangkitkan ekonomi kerakyatan. Paham yang sering dikait-kaitkan sebagai lawan dari faham neoliberal.
Apapun pahamnya, sebenarnya cinta produk dalam negeri sudah mesti dilakukan sejak rezim Soeharto berkuasa. Tapi kran ’pasar bebas’ terburu-buru dibuka, sehingga karya anak bangsa tenggelam oleh barang-barang impor, sekaligus juga mematikan imajinasi para pengrajin dan pengusaha produk lokal. Kebijakan Indonesia waktu itu memihak sekali masuknya barang-barang dari luar negeri.
Kebijakan apa yang diperlukan untuk membangkitkan industri lokal? Salah satunya bisa dicoba dengan menetapkan pakaian dinas para PNS dan juga pegawai kantoran swasta. Misalnya di Kaltim dengan menerapkan memakai baju batik Kaltim, bila perlu selama tiga atau empat hari kerja. Kita bisa menghitung dampaknya bagi industri kerajinan batik lokal, karena tingginya permintaan.
Begitu pula dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Perlu perenungan dari para pemimpin negeri untuk membatasi pengiriman ke luar negeri SDA yang ada seperti batubara dan hasil tambang lainnya. Bahkan perlu pengkajian lagi mengapa kita harus menghancurkan hutan untuk dibangun kebun sawit agar bisa mengekspor crude plam oil (CPO). **

Tidak ada komentar: