Sabtu, 15 Agustus 2009

HAM


KABAR datang dari Malaysia. Sekitar 20 ribu massa turun ke jalan-jalan di Kuala Lumpur, ibukota Malaysia. Mereka menuntut dihapuskannya undang-undang Keamanan Dalam Negeri, ISA, alias internal security act.
Menjadi kabar baik, tentu saja itu berlaku bagi kelompok pro demokrasi. Karena undang-undang ISA adalah bentuk pembelengguan demokrasi, di mana seorang warga negara Malaysia bisa dipenjara tanpa proses pengadilan. Singkat cerita, kalau penguasa tidak senang dengan seorang warga, dia bisa menangkap orang itu dengan alasan membahayakan keamanan negara. Penguasa bisa memenjarakan sekehendak hatinya, tanpa diadili apa kesalahannya.
ISA ini produk kolonial Inggris. Tahun 1948 saat tentara negeri itu menjajah Malaysia, muncul pergolakan politik dari Partai Komunis Malaysia, sehingga penguasa waktu itu mulai memberlakukan sebagai keadaan darurat. Tahun 1960, peraturan sementara itu dicabut karena partai komunis sudah dikalahkan.
Ketika transisi pemerintahan dari koloni Inggris ke Pemerintah Malaysia tahun 1960, ternyata penguasa transisi menghidupkan kembali ISA. Malah pemberlakuannya tak lagi sekedar dalam keadaan darurat, tapi malah menjadi undang-undang yang dipermanenkan.
Sudah berapa banyak warga sipil yang dipenjara dengan undang-undang itu? Sebuah tulisan di sebuah website tentang ISA menyebut kalau pada era 1960-an saja sedikitnya 4.000 warga sipil Malaysia yang dipenjarakan tanpa melalui pengadilan. Undang-undang itu telah membuat kalangan aktivis, mahasiswa, wartawan, tidak berani menyuarakan hal yang menentang kebijakan pemerintah.
Selain Malaysia, Singapura juga memiliki undang-undang sejenis ISA itu. Bahkan Indonesia hampir saja mengadopsi dengan adanya Kopkamtib pada tahun 1970-an. Di era Kopkamtib yang memberlakukan pemberantasan premanisme, telah menjurus pada pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) karena aparat negara melakukan penangkapan dan tembak mati terhadap para preman yang dianggap meresahkan masyarakat.
Pekan tadi, publik Indonesia menyaksikan bagaimana polisi bernama Densus 88 mengepung rumah yang diklaim sebagai tempat para teroris yang dipimpin Noordin M Top. Rumah di tengah sawah di Desa Beji Kabupaten Temanggung Jawa Tengah itu diberondong peluru bahkan diledakkan. Suasananya seperti perang dan disiarkan langsung oleh berbagai stasiun televisi. Dan, ternyata dalam rumah tersebut hanya ditemukan satu orang yang diklaim sebagai anggota teroris.
Publik tidak tahu apa dosa korban yang diklaim sebagai anggota teroris itu, karena dia sudah mati. Tidak pernah terlintas terpikir oleh pemimpin negeri ini untuk menangkap hidup-hidup pelaku dan biarkan pengadilan memvonis mati kalau memang terbukti dia pelaku terorisme di tanah air.
Akhirnya kita menyaksikan lagi kekerasan kekuasaan terhadap masyarakat sipil. Terlepas apakah benar pelaku yang mati tertembak itu anggota teroris, masyarakat Indonesia sudah disuguhi pelajaran bahwa atas nama negara, keamanan, aparat boleh melakukan pembunuhan. **

Tidak ada komentar: