Sabtu, 15 Agustus 2009

Presiden


TANGGAL 8 Juli 2009 rakyat Indonesia memilih Presiden dan Wakil Presiden di bilik suara dengan cara mencontreng. Sore hari itu juga, hasilnya sudah bisa disaksikan melalui penghitungan cepat (quick count) yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga survei. Sudah terbukti, tingkat kesalahan quick count di berbagai Pilkada gubernur, walikota dan bupati, kecil sekali.
Dalam tulisan ini, saya tidak membicarakan soal akurasi quick count itu. Tapi lebih menyangkut apa pilihan rakyat yang sesungguhnya. Sebab, jika ditinjau dari kemampuan, popularitas, rasanya semua sama saja. Hanya gaya masing-masing calon presiden dan cawapres yang berbeda-beda.
Dari debat Capres dan Cawapres yang dilaksanakan ’berseri’ dan disiarkan stasiun televisi, dalam sudut pandang saya, masing-masing punya keunggulan. Hampir semua harapan saya agar Indonesia lebih baik juga terwakili. Hanya sayangnya, tak ada yang terwakili semuanya pada satu kontestan, tapi ketiganya.
Saya tertarik dengan pasangan Megawati-Prabowo, ketika Prabowo mengungkit sentimentil kerapuhan pertahanan ekonomi Indonesia, dengan membiarkan sumber daya alam dikuasai oleh korporasi asing. Prabowo yang anak begawan ekonomi Sumitro Djoyohadikusumo percaya harga diri bangsa Indonesia menjadi rapuh, karena rakyatnya miskin. Prabowo membawa wacana baru tentang porsi pembangunan selama ini yang tidak memihak petani dan nelayan.
Dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono, saya memperoleh keyakinan kalau pasangan ini bertekad meneruskan ’pemerintahan bersih’. SBY menonjol sekali dalam hal pemberantasan korupsi dan hal itu sudah terbukti. Rakyat Indonesia juga percaya, korupsi adalah penyakit bangsa yang menjadi salah satu sumber terjadinya kemiskinan di negeri ini.
Apa yang ’terwakili’ dari pasangan Jusuf Kalla – Wiranto?
”Kemandirian” telah menjadi ”barang jualan’ andalan JK-Win. Mulai dari aksi buka sepatu bermerek JK collection di stasiun televisi sampai dengan tekadnya membawa kemandirian dengan cara mencintai produk Indonesia. Kalla optimistis dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih 270 Juta jiwa adalah pasar yang prospektif. Tinggal dibarengi dengan kebijakan yang menahan laju masuknya barang impor dan memberikan suntikan ’vitamin’ pada produk negeri sendiri.
Tiga pasangan dengan tiga konsep. Jika saja semua pasangan sepakat mengadopsi masing-masing konsep jika nanti tampil menjadi pemenang, barangkali semua terwakili. Bukankah ujung-ujungnya dari semua konsep itu adalah kemakmuran dan kesejahteraan rakyat?
Tetapi faktanya, para pemimpin negeri ini tak semua mau menerima ’konsep-konsep’ dari luar - apalagi bersumber dari musuh politiknya -- ketika telah menjadi pemenang dan berkuasa. Lebih celaka lagi kalau para calon pemimpin yang bertanding ini saling bermusuhan, tidak mau bersalaman dan menerima kekalahan sepanjang era kepemimpinan. Semoga pemimpin kita yang akan datang tidak lagi bermental seperti itu. **

Tidak ada komentar: