Sabtu, 15 Agustus 2009

Merdeka

SAYA terkejut ketika pagi-pagi sekali membaca sebuah artikel bahwa ada sekitar 64 persen rakyat negeri ini masih berpenghasilan 2 Dolar AS per hari. Itu artinya, diusia Indonesia merdeka yang ke-64 tahun, telah menghasilkan sekitar 132 juta jiwa rakyat di bawah garis kemiskinan versi Bank Dunia.
Tentu saya tidak ikut mempersoalkan tingkat akurasi data itu sebagaimana sering dipertontonkan pemerintah yang berkuasa. Sebab itu tidak terlalu penting lagi kalau melihat realita bahwa masih banyak rakyat yang tidak punya tempat tinggal dan tidur di bawah kolong jembatan. Anak-anak bayi digendong orang dewasa sambil mengemis di simpang lampu merah. Dan ribuan rakyat yang antre tiap kali dibukanya loket untuk menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Angka-angka kemiskinan ini masih terus menghiasi dokumen negara. Pemerintah terus berusaha menekan mengarah perbaikan, tapi realitanya sepanjang tahun perbaikan yang telah dibuat terlalu rentan terpuruk kembali. Warga tergolong miskin terlalu sulit bangkit.
Pemerintah saat ini, sebenarnya sangat menyadari keterpurukan yang berkepanjangan ini disebabkan kecilnya perolehan negara dari sumber daya alam yang mengalami penghisapan dari konglomerasi asing. Tak mudah mewujudkan harapan sejumlah tokoh dan pakar ekonomi agar pemerintah merubah sistim kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing yang mendapat konsesi mengelola minyak dan gas serta hasil tambang lainnya.
Sebab yang terjadi saat ini, termasuk kemiskinan yang semakin besar itu, adalah buah dari sebuah ‘karya’ 64 tahun kemerdekaan itu. Para penguasa masa lalu telah terjebak dalam jargon kemerdekaan untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga terseret dengan irama politik barter, yakni meraih kemerdekaan dari penjajahan asing, dengan menyerahkan ‘kedaulatan’ sumber daya alam Indonesia yang melimpah kepada asing yang lain pula
Sumur-sumur minyak dan gas Indonesia, mengalir sangat jauh sampai ke negeri Paman Sam, tapi kita masih kekurangan bahan bakar untuk pembangkit listrik. Begitu pula batubara yang eksploitasinya terus makin ‘menggila’ kuantitasnya, setelah di era sebelumnya sumber daya hutan terkuras ke mancanegara.
Tak patut mencari kambing hitam lagi, karena kondisinya memang telah begitu. Yang ada sekarang adalah berpikir positif menyelamatkan kembali yang tersisa. Meraih kembali kedaulatan sumber daya alam Indonesia untuk kemakmuran anak negeri. Merdeka!!

Tidak ada komentar: