Sabtu, 18 Mei 2013

Tanah Kita; Bologen

Pulau Sipadan dan Ligitan sudah lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Tepatnya hari Selasa, 17 Desember 2002, International Court Of Justice (IKJ yang biasa kita sebut Mahkamah Internasional, mengeluarkan keputusan itu. Dari 17 hakim, `16 memihak Malaysia dan hanya 1 hakim yang mendukung Indonesia.

Kawasan utara Kalimantan Timur yang telah disetujui oleh Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi provinsi baru bernama Kalimantan Utara, sampai kini menyisakan banyak persoalan tentang sejarah dan batas-batas daerahnya. Termasuk terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan itu, masih ada banyak kawasan yang terus menerus menjadi sumber konflik kedua negara.

Simak, misalnya, kawasan Ambalat di perairan Karang Unarang yang kaya minyak dan gas. Malaysia masih terus memprovokasi bahwa kawasan tersebut adalah milik mereka.

Menarik jauh sejarah Kesultanan Bulungan, banyak tokoh-tokoh tua yang meyakini bahwa sebenarnya sebagian daerah yang sekarang masuk menjadi teritori Malaysia adalah daerah kekuasaan Sultan Bulungan. Mulai dari Tawau sampai dengan Lahat Datu yang sekarang menjadi daerah negara bagian Malaysia Timur.

Nah, disebuah daerah di Lahat Datu itu, menurut peminat sejarah Bulungan, Wahab Kiak, ada perjanjian antara Sultan Sulu dengan Sultan Bulungan yang dulu bernama Bologen. Dokumen usang, stablat 1891, kata Wahab Kiak, ada tiga sultan yang tumbuh di “bagian kepala” Pulau Borneo, yaitu Kesultanan Brunai Darussalam, Kesultanan Sulu yang wilayahnya sampai ke Filipina Selatan dan Sultan Bologen (Bulungan). Tertera pengakuan dalam perjanjian Inggris itu kata “People Bologen” yang mengartikan Bulungan adalah sebuah negara sendiri.

  “Sayangnya negara kita tidak memberikan perhatian kepada fakta-fakta keberadaan kesultanan Bulungan ini,” ucap Wahab Kiak.

Fakta-fakta sejarah, sepertinya selalu menjadi sisi lemah di negeri ini. Hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya, karena Indonesia tidak mampu menguatkan bukti-bukti sejarah – terutama tentang Kesultanan Bulungan yang telah muncul berabad-berbad dan akhirnya bergabung dengan Indonesia.

Pemerintah Indonesia malah tidak respon dengan Kesultanan Bulungan itu. Simak kejadian  24 Juli 1964. Tentara Indonesia waktu itu malah membumi hanguskan keraton dan juga keluarga Kesultanan Bulungan. Peristiwa pahit ini sampai saat ini malah ditutup-tutupi. Tidak ada niat pemerintah untuk memulihkan atau meminta maaf atas kejadian berdarah itu. Catatan dari kerabat kesultanan yang tersisa menyebutkan ada 87 orang jadi korban dan 37 di antaranya meninggal.

Akhirnya kita memang harus membayar mahal atas perbuatan melanggar HAM (Hak Azasi Manusia) yang dilakuan tentara Indonesia terhadap keluarga Kesultanan Bulungan. Pewaris tahta kesultanan misalnya, Datu Maulana Muhammad Al Ma'mun bin Muhammad Djalaludin, sejak peristwa tragis itu meminta suaka ke Malaysia dan sampai kini menjadi Warga Negara Malaysia.

Indonesia kehilangan jejak sejarah dan itu pula sebabnya Sipadan dan Ligitan hilang. Jika sikap pemerintah tidak segera diperbaiki, saya kuatir masih ada daerah bakal menjadi milik negara tetangga itu lagi.

Salam integritas. #

=======================================================================

 Sabah Punya Siapa?


 Desa Tanduao, Lahat Dato, Malaysia, yang biasanya tenang, dalam sekejap jadi perhatian dunia. Tanggal 9 Pebruari 2013, sebuah kelompok yang menamakan diri tentara Kesultanan Sulu dari Filipina Selatan dengan agresif mendarat disebuah pantai desa itu. Jumlahnya lebih 200 orang dipimpin oleh Raja Muda Azzimudie Kiram. Mereka disebut-sebut membawa senjata api laras panjang.

Raja Muda Azzimudie Kiram adalah saudara dari Sultan Sulu Jamalul Kiram III yang disebut-sebut sebagai ahli waris dari Kesultanan Sulu. Sejarah mencatat wilayah Kesultanan Sulu terletak mulai dari Filipina Selatan dan pulau-pulau kecil, sampai ke Sabah Malaysia.

Letak posisi geografis desa yang ‘diklaim’ kepunyaan Kesultanan Sulu itu masih satu daratan Pulau Kalimantan. Tepatnya di ‘bagian kepala’ yang batas pantainya berhadapan dengan Selat Makassar dan pulau-pulau di Filipina Selatan. Itu sebab tokoh-tokoh tua di Bulungan, Nunukan dan Malinau seolah tidak asing dengan daerah Lahat Dato atau yang kerap juga ditulis Lahat Datu maupun Kesultanan Sulu. Seperti ada ikatan emosional karena di antara keluarga mereka telah berbaur dalam keluarga serumpun melayu.

Kelompok milisi Kesultanan Sulu datang menumpang kapal feri dari Pulau Tawi Tawi Filipina Selatan. Mereka membawa data-data yang menyatakan daerah sekitar Sabah adalah daerah kekuasaan Sultan Sulu.

Salah satu bukti itu, Malaysia telah membayar sewa Sabah pada Sultan Sulu. Ada selembar cek yang membuktikan hal itu. Yaitu cek senilai 69.700 peso atau sekitar Rp16,6 juta untuk sewa wilayah seluas 77.699 kilometer persegi. Pembayaran dilakukan Kedutaan Besar Malaysia di Filipina.

Dokumen yang beredar menyebut, wilayah Sabah dulu dikuasai oleh Kesultanan Sulu setelah dihibahkan oleh Sultan Brunei sebagai balas jasa atas bantuan Sulu mengatasi pemberontak. Pada tahun 1878, Sulu menyewakan wilayah Sabah pada perusahaan British North Company milik Inggris yang saat itu menjajah Malaysia.

Tapi kisah sejarah Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu, tak bisa terpisahkan dengan Kesultanan Bulungan yang memiliki wilayah kekuasaan di kawasan “kepala Borneo” itu. Menurut pengakuan Wahab Kiak, pemerhati masalah sejarah Kesultanan Bulungan, ada batas-batas daerah kekuasaan antara ketiga kesultanan tersebut.

“Kalau mengikuti alur sejarah, provinsi Sabah itu dikuasai ketiga kesultanan ini. Ada Sultan Brunei, Sultan Sulu dan Sultan Bulungan,” ujar Wahab Kiak yang pernah jadi anggota DPRD Nunukan tersebut.

Penggalan sejarah yang dipegang Kesultanan Sulu menyebutkan, tahun 1963 Malaysia merdeka. Kemudian hak membayar sewa Sabah dialihkan dari pemerintah Inggris ke Pemerintah Kerajaan Malaysia. Sebelumnya, pada tahun 1962, Kesultanan Sulu memberikan mandat pada Presiden Filipina Diosdado Macapagal untuk melakukan negosiasi terkait wilayah Sabah yang mereka miliki.

Sejak saat itu disepakati, pemerintahan Malaysia di Kuala Lumpur harus membayar sewa tahunan sebesar 5.300 ringgit atau setara 69.700 peso kepada pewaris tahta Kesultanan Sulu. Baru pada tahun 1989, peran Filipina untuk bernegosiasi atas nama Sulu dicabut oleh Sultan Jamalul Kiram III.

Bagi pemerintah Indonesia, mestinya menjadi kesempatan untuk membuka lembaran sejarah yang mungkin sudah ‘terhapus’. Perundingan itu bisa menjadi panduan dan alat diplomasi bagi Indonesia tentang daerah kekuasaan Sultan Bulungan di Pulau Borneo. Rakyat di perbatasan berharap semoga Kementerian Luar Negeri Indonesia tidak berdiam diri saja, bahkan kalau mungkin tampil menjadi penengah agar bisa membuka sejarah. #
======================================================================


‘Agresi’ di Kepala Borneo

Lebih 200 orang loyalis Kesultanan Sulu Filipina bersenjata api mendarat di Desa Tanduao, Lahat Dato, Sabah, Malaysia Timur. Mereka menuntut Malaysia mengembalikan wilayah yang sedang mereka duduki itu ke Kesultanan Sulu.


 ‘Agresi’ gerombolan Kesultanan Sulu dipimpin adik Sultan Karim, Raja Muda Agbimuddin Kiram mengagetkan pemerintah kerajaan Malaysia. Kawasan Desa Tanduao segera diperketat penjagaannya sejak 9 Pebruari 2013 lalu. Selain menyiapkan pasukan, tentara Malaysia juga memblokade akses distribusi makanan.

Sementara Kesultanan Sulu, Filipina, menyatakan siap menghadapi risiko apapun atas pendudukan wilayah Lahad Dato, Sabah. Mereka tidak akan menarik pasukan dari wilayah yang disengketakan dengan Malaysia itu.

"Apapun yang terjadi, Kesultanan siap menghadapi konsekuensinya," kata Sekretaris Jenderal Kesultanan Sulu, Abraham Idjirani, sebagaimana dikutip Philstar, Selasa 26 Februari 2013.

Sebelumnya, Presiden Filipina Benigno Aquino III mendesak pasukan Sulu segera meninggalkan Lahad Dato. Namun, Idijrani mengatakan, Kesultanan Sulu tidak akan meninggalkan klaimnya atas warisan leluhurnya itu. Kesultanan Sulu telah memberi tahu kepada Presiden Aquino, bahwa aksi pendudukan ini bisa diselesaikan dengan damai melalui negosiasi.

Menurut Idjirani, jika kesepakatan dengan Malaysia telah dicapai, pasukan Sulu akan menyerahkan senjata mereka ke pemerintah Filipina. Bagaimana pun juga, dia menambahkan, sekitar 200 pasukan Kesultanan Sulu tidak akan meninggalkan Lahad Dato.

Sebelumnya, laman The Star, memberitakan bahwa tentara Malaysia siap menyerbu pasukan Sulu. Langkah ini dinilai sebagai cara paling tepat untuk mengusir orang-orang Kesultanan Sulu itu dari wilayah mereka.

Kepala polisi Sabah, Komandan Datuk Hamza, mengatakan mereka akan menyerbu masuk dan melucuti orang-orang Sulu yang diduga bersenjata. "Kami tinggal menunggu waktu yang tepat untuk bertindak," kata dia setelah melakukan rapat dua jam bersama jenderal angkatan darat, laut, dan kepolisian Malaysia.

Kesultanan Sulu mengklaim  wilayah Sabah yang dulu disebut Borneo Utara merupakan milik Kesultanan Brunei. Namun, Sultan Brunei memberikan wilayah ini kepada Sultan Sulu. Pemberian ini merupakan balas jasa bagi Sultan Sulu yang telah membantu meredam perang sipil di Kesultanan Brunei.

Kesultanan Sulu bersikeras bahwa wilayah Sabah di Malaysia adalah milik mereka, berdasarkan data historis dan berbagai dokumen. Pihak Sulu bahkan mengatakan bahwa Malaysia telah membayar sewa Sabah pada mereka, dibuktikan dengan selembar cek.

Abraham Idjirani mengatakan bahwa sikap Malaysia yang berusaha mengusir orang-orang mereka dari Lahad Dato, Sabah, itu salah besar. Menurutnya, Sabah adalah milik mereka dan Malaysia tidak berhak atasnya.

Diberitakan ABC CBN News, Kamis 21 Februari 2013, Idjirani menunjukkan beberapa dokumen yang menunjukkan klaim Sulu atas Sabah. Dia juga menyertakan selembar cek senilai 69.700 peso atau hanya sekitar Rp16,6 juta, sebagai pembayaran sewa Sabah dari Malaysia.

"Ini adalah cek yang dibayarkan oleh Kedutaan Besar Malaysia di Filipina. Nilainya setara 69.700 peso, untuk wilayah seluas 77.699 kilometer persegi," kata Idjirani.

Beberapa analisa menyebutkan, agresi para loyalis Kesultanan Sulu di kawasan ‘Kepala Borneo’, sebagai dampak semakin  tersisihnya Kesultanan Sulu dalam penguasaan daerah di Filipina Selatan. Setelah ada kesepakatan damai antara pemerintah Filipina dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Kepulauan Mindanao,  daerah Mindanao--termasuk Sulu--merupakan wilayah otonomi Bangsamoro dan memberikan sebagian besar wilayah untuk dikelola secara independen.

Kesepakatan tersebut menyebabkan Kesultanan Sulu merasa tidak mendapat lahan lagi dan akhirnya berniat merebut wilayah mereka di tempat yang lain, yaitu Sabah, Malaysia.#

=====================================================================


Bulungan - Sulu Berbagi Daerah


 Klaim Kesultanan Sulu dari Filipina atas daerah Sabah Malaysia Timur diakui kebenarannya. Di kawasan ‘kepala Borneo’ sebelumnya ada tiga kesultanan, Brunei, Sulu dan Bulungan.


Wahab Kiak masih bersemangat jika membicarakan Kesultanan Bulungan yang pernah berjaya tahun 1.800-an. “Dulu kesultanan bulungan itu pernah bertempur dengan kesultanan sulu. Ya, sekitar tahun 1800-an begitu,” cerita Wahab, pemerhati sejarah Kesultanan Bulungan kepada Bmagazine.

Dari pertempuran itu kemudian terjalin hubungan saling menguntungkan. Masing-masing memiliki daerah kekuasaan. Batas wilayah Kesultanan Bulungan sampai ke Kinabalu sekarang, Tawau dan Lahat Dato. “Di Lahat Dato itu ada batas daerah Kesultanan Sulu dan Kesultanan Bulungan. Kerabat kesultanan berbaur, begitu juga masyarakatnya,” cerita Wahab. Tapi menurut catatan sejarah yang bisa diperoleh di Wikipedia, daerah Kesultanan Bulungan pernah berada dalam kekuasaan Kesultanan Sulu.

Menurutnya, ia pernah diutus untuk mencari buku-buku dan bukti otentik mengenai jejak kekuasaan Kesultanan Bulungan. Ia pernah ke Manila Filipina untuk menemui tokoh-tokoh Kesultanan Sulu, juga pemerintahan Filipina. “Waktu itu kita harus mempunya bukti kepemilihan Pulau Sipadan dan Ligitan. Bayangkan, kita baru melacak jejak sejarah ketika diperlukan untuk bersidang di Mahkamah Internasional,” kata Wahab.

Dari dokumen-dokumen yang diterimanya menunjukkan bahwa Bulungan yang dulu dikenal dengan nama Bologen adalah sebuah negara. Dalam sebuah buku stablat tahun 1891, Inggris dan Belanda mengakui adanya ‘people Bulungan’. Pengakuan itu menunjukkan bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka sudah ada negara dalam kepemimpinan Kesultanan Bulungan.

Pergaulan antar negeri yang terjadi di tanah Borneo Utara adalah dengan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu. Hubungan akrab itu masih terbina sampai kini, walaupun Kesultanan Bulungan sendiri masih belum utuh karena keraton sudah dibumihanguskan tentara Indonesia tahun 1964. Sampai kini pemerintah Provinsi Kaltim maupun Pemkab Bulungan belum juga merespon berdirinya keraton bernilai sejarah itu.

Kisah Kesultanan Bulungan memang diwarnai kejadian pahit yang memilukan hati. Tepatnya 24 Juli 1964, tentara Indonesia membumi hanguskan keraton dan juga keluarga Kesultanan Bulungan. Peristiwa pahit ini sampai saat ini malah ditutup-tutupi. Tidak ada niat pemerintah untuk memulihkan atau meminta maaf atas kejadian berdarah itu. Padahal, catatan dari kerabat kesultanan yang tersisa menyebutkan ada 87 orang jadi korban dan 37 di antaranya meninggal.

Bahkan akibat peristiwa kejahatan HAM itu, pewaris tahta kesultanan, Datu Maulana Muhammad Al Ma'mun bin Muhammad Djalaludin, harus lari meminta suaka politik kepada pemerintahan Kerajaan Malaysia. Sampai kini, sang pewaris menjadi warga negara Malaysia.

“Saya masih sering kontak dengan Datu Mamun (pewaris tahta Kesultanan Bulungan-red). Mereka tidak dapat fasilitas istimewa di sana. Ya seperti warga biasa saja. Padahal, kalau mau ditarik ke belakang sejarahnya, Tawau itu termasuk daerah kekuasaan Kesultanan Bulungan,” ujar Wahab.

Ia mengingatkan bahwa dengan peristiwa Kesultanan Bulungan itu, Indonesia kehilangan identitas sejarah yang sangat berharga. Bahkan sampai kehilangan dua pulau, yakni Sipadan dan Ligitan. “Saya berharap ada upaya pemerintah memulihkan Kesultanan Bulungan ini,” kata dia. @charlessiahaan

 ======================================================================


Siap Perang di Lahat Dato


Pemerintah Filipina menurunkan kapal perangnya ke perairan dekat Lahad Dato, Sabah, untuk menjemput orang-orang Sulu yang menduduki daerah itu.


Agresi yang dilakukan para loyalis Kesultanan Sulu di Lahat Dato Sabah, membuat tegang hubungan pemerintahan Filipina dengan Malaysia. Pihak militer masing-masing bersiaga, namun tidak berbuat apa-apa kecuali menunggu perintah dari atasan mereka.

Berita dari portal The Star Malaysia 25 Pebruari 2013 menyebutkan, kapal perang Filipina sudah tiba mendekat perairan Lahat Dato untuk mengevakuasi warga sipil dari kelompok Sulu di Sabah. Namun pihak loyalis tidak berniat meninggalkan daerah tersebut.

Menurut Kementerian Luar Negeri Filipina, kapal perang angkatan laut mereka berangkat dari Bongao, Tawi-tawi sekitar Minggu tengah malam. Kapal ini akan bersiaga di dekat Lahad Datu sementara pemerintah Malaysia melakukan negosiasi dengan para keluarga Sultan Sulu, Jamalul Kiram III.

Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario mengatakan, kapal tersebut membawa bantuan kemanusiaan untuk orang-orang Sulu di Lahad Datu. Dia mendesak lima wanita dalam gerombolan Sulu segera pulang. "Kami mendesak mereka segera naik ke kapal tanpa menunda untuk pulang," kata dia.

Menanggapi pernyataan tersebut, pihak Kesultanan mengaku berterima kasih atas bantuan kemanusiaan tersebut. Namun mereka menegaskan wanita-wanita di kelompok itu tidak berniat untuk pulang dan akan menemani suami mereka di situ.

"Mereka tidak akan pergi," kata Abraham Iridjani, juru bicara kesultanan, diberitakan Inquirer.

Pihak Kesultanan sebelumnya mengklaim mereka mendapat tambahan bantuan ribuan orang untuk menduduki Sabah. Namun Kemlu Filipina mengatakan mereka hanya terdiri dari 180 orang, sebanyak 30 di antaranya bersenjata. Hal ini belum bisa dikonfirmasi kebenarannya.

Mereka diduga mulai kehabisan makanan dan obat-obatan karena blokade total oleh militer Malaysia. Bersenjatakan lengkap dengan kesiagaan penuh, tentara Malaysia berada sekitar 500 meter dari gerombolan Sulu.

Namun, pihak Sultan memastikan tidak akan ada orang-orangnya yang pergi dari wilayah yang mereka klaim tersebut.

Presiden Filipina Benigno Aquino juga mendesak Sultan Sulu, Jamalul Kiram III, untuk memerintahkan pengikutnya segera hengkang dari Sabah. Aquino menghendaki sengketa Sabah diselesaikan dengan dialog antara kedua pihak yang bertikai.

Diberitakan Philippine Star, Aquino mengatakan bahwa saat ini pemerintahnya tengah melakukan penyelidikan mengenai dugaan adanya pelanggaran hukum atas pengiriman orang-orang Sulu ke Lahad Datu, Sabah. Diduga, orang-orang ini bersenjata dan berbahaya.

"Opsi dialog damai dan terbuka masih tersedia. Marilah kita duduk sebagai saudara untuk mengatasi permasalahan dengan cara yang damai, tenang, berdasarkan hukum dan proses yang benar ketika para pengikut anda pulang ke rumah," kata Aquino.

"Perlu diketahui, sekelompok kecil pengikut anda di sana tidak akan berhasil memperoleh apa yang mereka inginkan, tidak ada cara kekerasan yang bisa mencapai keberhasilan," lanjutnya lagi.

Dia mengatakan, akibat pendudukan Lahad Datu oleh ratusan pengikut Kiram, kehidupan warga Filipina bagian selatan, terutama di Provinsi Basilan, Sulu dan Tawi-Tawi terancam. Pasalnya, warga di wilayah ini mengandalkan pemasukannya dari berdagang dengan warga Sabah.

"Ini situasi yang tidak bisa dibiarkan. Jika anda memang benar pemimpin dari rakyat anda, anda harus memerintahkan mereka pulang," kata Aquino.

Menanggapi permintaan ini, pemimpin komplotan Sulu di Sabah,  Azzimudie Kiram, mengatakan bahwa mereka tidak melanggar peraturan apapun karena wilayah Sulu sejatinya adalah milik mereka.

"Kami tidak menduduki daerah ini, karena ini milik kami. Jika polisi Malaysia datang dengan senjata, maka kami akan mempertahankan diri," kata dia, dikutip dari BBC.  #



======================================================================

Aquino Ragu Silsilah


Pemerintah Filipina mempertanyakan keabsahan klaim Sulu atas Sabah di Malaysia. Pasalnya pemimpin Sulu saat ini, Jamalul Kiram III, diragukan nasabnya sebagai pewaris tahta kesultanan tersebut.



Demikian disampaikan oleh Presiden Filipina Benigno Aquino lengkap dengan presentasi powerpoint. Menurutnya, pemimpin Sulu saat ini bukanlah keturunan langsung Sultan Sulu yang diakui Filipina pada 1974, yaitu Esmail Kiram I.

Ismael tidak memiliki keturunan sehingga setelah kematiannya tahta diturunkan kepada orang lain. Pemerintah Filipina tidak mengakui kepemimpinan Sultan Jamalul sebagai pewaris Sulu dan mengatakan seharusnya yang memimpin saat ini adalah Esmail Kiram II, adik dari Esmail Kiram I.

Namun Esmail II mengatakan bahwa dia bukanlah pewaris, melainkan putra mahkota atau dalam bahasa Sulu disebut "sultan bantilan". Ismael II juga mengatakan bahwa Jamalul adalah sultan Sulu dan penguasa Palawan dan Sabah sejak saat itu. "Sejauh yang keluarga kami ketahui, Jamalul adalah pewaris sultan," kata Esmail.

Menghadirkan gambar riwayat nasab Kesultanan Sulu, Aquino menegaskan bahwa sultan Sulu saat ini, Jamalul Kiram III, memiliki nasab yang sangat jauh dari posisi pemimpin. Riset pemerintah Filipina menunjukkan, Jamalul Kiram III adalah keponakan jauh dari Sultan Mawallil Wasit, adik Esmail II.

"Inilah pertanyaan yang pertama kali muncul, siapa yang seharusnya mewakili Kesultanan Sulu?" kata Aquino.

Pemerintah Filipina juga tengah mempelajari dua dokumen mengenai sewa Sabah dari Kesultanan Sulu oleh perusahaan British North Borneo Co. tahun 1878 yang kemudian diambil alih Malaysia tahun 1960an. #

Tidak ada komentar: