Sabtu, 18 Mei 2013

Keadilan Itu

Sampai kini saya masih selalu begitu hormat dengan para hakim. Dulu, pernah membayangkan saya yang duduk di kursi hakim dan kemudian menyidangkan orang-orang yang berbuat jahat. Tegakkan keadilan tanpa ada diskriminasi.

Tiba-tiba anak perempuan saya yang segera lulus Sekolah Dasar pada tahun 2013 ini mengutarakan minatnya untuk kuliah hukum. Entah kenapa, saya senang sekali mendengarnya. Sebab sebelumnya hanya ada satu cita-cita yang diutarakannya; yaitu menjadi dokter.

Barangkali karena saya tidak kesampaian jadi pengacara maupun hakim, membuat saya sungguh antusias menyambut keinginan anak kuliah di fakultas hukum. Dalam hati berdoa semoga tidak berubah lagi dan sebagai orangtua pasti memperjuangkan cita-cita anaknya.

Salah satu masalah bangsa ini memang adalah keadilan. Bayangkan, kata “Keadilan” yang berasal dari kata “Adil” sampai dua kali disebut dalam naskah Pancasila. Sila kedua; “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, serta sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Jadi, keadilan bukan semata-mata di depan meja pengadilan, tetapi lebih jauh sampai urusan kerakyatan dan kenegaraan. Pemerintah sebagai pelaksana amanat rakyat, apa sudah menerapkan ‘keadilan’ yang sesungguhnya?

Kalau pertanyaaan itu saya lontarkan pastilah jawabannya ‘Keadilan” jauh panggang dari api. Dalam keseharian kita menyaksikan masih terlalu dominannya si kaya menekan si lemah. Masih berbedanya perlakuan tersangka korupsi dan maling ayam di pengadilan. Termasuk juga dalam pemberian hukuman.

Kita seolah-olah menjadi terbiasa mendengar kata-kata begini; “maling ayam divonis 6 bulan dan dipenjara, pelaku korupsi satu milyar dihukum 6 bulan juga”.

Terdengar seperti kalimat biasa. Tapi sesungguhnya sudah muncul keputusasaan dari masyarakat karena keadilan yang ditunggu-tunggu, yang selalu digaungkan, berlalu begitu saja. Masyarakat sudah kehilangan kepercayaan. Bukan hanya kepada aparat hukum yang dalam triaspolitika disebut yudikatif, tetapi juga merambat kepada eksekutif dan legislative.

Itu barangkali menjadi salah satu sumber penyebab mengapa di negeri kita ini masih selalu gaduh menghadapi persoalan apapun. Karena semua dilandasi kecurigaan-kecurigaan. Saat KPK menangani kasus-kasus korupsi seperti Bank Century, begitu banyak politisi yang curiga lembaga itu tidak independen. Begitu juga saat Anas Urbaningrum mundur dari jabatan Ketua Partai Demokrat, seolah-olah peristiwa internal itu menjadi milik publik.

Masyarakat yang hidup di pinggir hutan, di perbatasan terus digiring opini media massa agar mengikuti kasus-kasus yang meledak secara nasional. Memang ada yang patut, tapi lebih banyak hal-hal yang tidak perlu dan melelahkan pikiran sendiri.

Ini juga salah bentuk ketidakadilan itu. Semua masih serba Jakarta, sehingga potensi daerah yang pantas ditampilkan terus terabaikan. Entah sampai kapan? #

Tidak ada komentar: