Sabtu, 18 Mei 2013

Pembunuh Rakyat

Negara jangan sampai menjadi pembunuh rakyatnya. Itulah pertanggungjawaban yang mestinya dipegang teguh oleh para pelaku kebijakan, apakah itu pemerintah dan legislator.

Manakala ada kebijakan publik yang berefek pada jatuhnya korban, apalagi sampai menghilangkan nyawa, negara ikut bertanggungjawab. Itu yang ideal.

Faktanya, seringkali negara mengabaikan soal keamanan warganegaranya. Contoh peristiwa yang terjadi di Sambutan Samarinda tahun lalu, yaitu tenggelamnya 3 bocah di kolam eks tambang batubara yang letaknya berada dekat pemukiman warga.

Pemerintah memberikan izin kepada perusahaan tambang. Bahkan ada aturan lain yang ditabrak. Misalnya larangan membuat kolam dekat pemukiman dan kewajiban perusahaan menutup kawasan operasinya agar tidak dimasuki oleh warga yang tidak berkepentingan.

Apa hasilnya?  Ternyata rakyat yang harus menanggung derita. Seperti anak-anak itu, yang tidak mengerti ada bahaya di kolam-kolam di sekitar rumah dan sewaktu-waktu mengancam nyawa mereka.

Begitu dahsyatnya dampak sebuah kebijakan publik, mengharuskan para pembuatnya – terutama anggota DPR/DPRD dan juga pelaksananya, pemerintah, harus menghitung matang. Terutama menyangkut apakah kebijakan itu benar-benar untuk kepentingan rakyat, ataukah ternyata terbukti hanya menguntungkan kelompok dan diri sendiri.

Kalkulasi seperti ini yang kian langka. Di mana-mana masyarakat mengeluh, karena banyak kebijakan ternyata untuk mempertebal pundi-pundi sendiri dan kelompoknya. Pemberian izin yang masih bernuansa KKN, penggiringan proyek-proyek konstruksi dan jasa maupun sistim cashback, di mana pihak ketiga yang berhubungan dengan pemerintah wajib memberikan jumlah tertentu pada pejabat pemerintah.

Memang rumit. Karena siapa saja mencoba mengubah sistim yang tengah berlaku, ia akan menerima risiko sendiri. Biasanya ia akan diasingkan. Bagi pengusaha, situasi seperti itu sama saja membunuh bisnisnya sendiri. Apalagi bagi yang bisnisnya bergantung dengan proyek pemerintah.

Jadi, ibarat simalakama. Ikut dalam sistim korup dia akan berisiko masuk perangkap hukum alias penjara, tidak ikut sistim dia diasingkan dan berisiko dapur keluarga mati.

Situasi pemerintahan yang tengah terjadi saat itu jauh dari akal sehat. Ia telah melahirkan kebijakan-kebijakan yang menjelma menjadi “mesin pembunuh” dan siap melibas siapa saja yang menentangnya.

Apalagi ada kekuatan lain yang mengikutinya seperti legislative dan yudikatif. Seperti yang terjadi dalam penanganan kasus hukum tewasnya bocah di kolam eks tambang batubara milik perusahaan itu. Siapa lagi yang bisa memvonis itu kesalahan pemerintah dan kesalahan pemerintahan. Semua ikut tenggelam.

Salam integritas!

Tidak ada komentar: