Sabtu, 18 Mei 2013

Ksatria yang Punah

Tiba-tiba, Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Mayor Jenderal TNI Agus Sutomo mengeluarkan statemen; siap bertanggung jawab atas terjadinya penyerangan dan pembunuhan empat tahanan di LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Sebelas orang yang menyerang itu diketahui adalah anggota Kopassus.

Spontan kalimat yang terdengar dalam berita televisi itu membuat saya lega. Juga mungkin puluhan juta rakyat Indonesia lainnya. “Masih ada sikap kesatria pemimoin seperti itu di negeri ini”. Kita merindukan sosok-sosok seperti Agus Sutomo.

Di balik rasa lega itu, saya berusaha menelusuri lagi mengapa ada Agus dan mengapa ada SBY (Susilo Bambang Yudhoyno), Presiden kita. Keduanya sama-sama berlatar belakang militer. Apakah ini ada kaitannya; untuk menaikkan lagi branding militer demi Pemilu 2014 nanti? Apakah ada skenario besar untuk menuntun opini publik bahwa dalam Pilpres 2014 nanti, masih figur militer yang terbaik?

Berlebihan barangkali untuk curiga hal seperti itu. Tapi tak bisa dipungkiri, zaman pemerintahan Presiden SBY ini – menurut hasil survey LSI (Lingkaran Survei Indonesia), 41,3 persen responden menilai sama saja dibanding pemerintah sebelumnya. So, yang menyatakan SBY lebih baik 22,6 persen dan yang menyatakan lebih buruk 26,5%. Sisanya, 9,6 persen menjawab tidak tahu.

Apa artinya?

Publik merasa pemerintahan SBY tidak berhasil. Tapi, beda dengan sikap ksatria yang masih berlaku di lingkungan militer, setelah menjadi sipil ternyata sikap-sikap ksatria itu padam. Ujian Nasional (UN) yang gagal, masih dicari kambing hitam bahwa masalahnya adalah pada perusahaan percetakan, bukan kegagalan pada manajemen pemerintah mengelola sistim ujian nasional itu.

Jadi, wajar saja kalau akhirnya sikap-sikap ksatria juga punah di pemerintahan level bawahnya. Sebutlah seorang gubernur, bupati, wali kota. Semakin jauh levelnya, maka semakin langka jiwa ksatria itu.

Suatu kali saya datang melihat GOR Palaran yang dibangun dengan uang rakyat triliunan rupiah. Bangunan-bangunan untuk pertandingan olahraga berkelas internasional itu adalah karya Gubernur Kaltim era Suwarna AF yang kemudian lengser masuk penjara karena korupsi. Dulu, GOR dibangun karena Kaltim menjadi tuan rumah PON tahun 2008.

Usai itu, tak ada lagi kegiatan di GOR Palaran. Tidak ada even olahraga besar yang rutin bisa diagendakan terlaksana di daerah ini. Gubernur Kaltim sekarang Awang Faroek Ishak, kata orang-orang dekatnya, sudah menginstruksikan semua venue boleh dipakai masyarakat dan gratis. Alhasil, meski gratis tak ada berminat juga.

Kalau saja ada sikap ksatria kalangan sipil seperti Komandan Kopassus Mayjen TNI Agus Sutomo, maka sesungguhnya kegagalan pengelolaan GOR Palaran itu jelas ada di tangan Gubernur Kaltim. Mengapa? Karena dia yang punya otoritas tertinggi di daerah yang mampu mengeluarkan kebijakan atas pemanfaatan asset daerah. Jika seorang gubernur punya kemampuan, saya kira dia tak sekedar menggratiskan, tapi mampu memobilisir semua elemen untuk berkonsentrasi di GOR Palaran. #

Tidak ada komentar: