Minggu, 31 Mei 2009

Neolib


SEORANG teman yang tinggal di Bogor datang ke Samarinda. Di tengah perjalanan Balikpapan – Samarinda ia merasa heran sekaligus takjub dengan sebuah tempat persinggahan bernama ”Tahu Sumedang”. Tepatnya di dekat areal Tahura Bukit Soeharto.
Ia takjub karena ’di tempat nun jauh’ ini bisa merasakan makanan yang berasal dari daerah yang satu bahasa dengannya, Sunda. Tapi sekaligus heran, sebab ia tidak menemukan makanan lokal. Kalau terus menerus dibiarkan, makanan asli orang Kaltim bakal semakin langka dan mungkin hilang.
Tak hanya makanan dari Sumedang yang intervensi ke lidah orang-orang yang berada di Kaltim. Bahkan berbagai franchise, sebut saja Kentucky Fried Chicken (KFC), Mac Donald, Pizza Hut, sampai Wong Solo, ”Ayam Cianjur”, dlsb.
Saya jadi ingat isu neoliberal alias neolib yang santer dihembuskan para pemerhati politik di negeri ini. Adakah kaitan isu neoliberal dengan masuknya ’Tahu Sumedang’ di Kaltim?
Waktu mencari jawabnya, saya berusaha mencari berbagai artikel mengenai bersatunya Jerman Timur dan Jerman Barat pada 3 Oktober 1990. Ternyata perkiraan saya sungguh tepat, yakni penyatuan dua negeri itu ditandai pula dengan dimulainya sejarah masuknya produk-produk Amerika Serikat ke Berlin yang menjadi ibukota Jerman Timur. Warganya sampai mengantre panjang di restoran KFC dan Mac Donald. Penyatuan itu membuka kesempatan masuknya Coca Cola, Marlboro bahkan kartu kredit Amec.
Jerman Timur menjadi gambaran jelas bagaimana ia berusaha mempertahankan nilai-nilai lokal karena pengaruh faham yang dianut negeri itu, sosialis-komunis. Perbedaan itu ternyata menghasilkan dua kemajuan berbeda, yakni Jerman Barat yang pro pasar sangat maju dan Jerman Timur yang sosialis-komunis sangat tertinggal.
Masuknya ’Tahu Sumedang’ juga akibat pengaruh pro pasar. Sistim yang menjadi ciri-ciri neoliberal. Karena pemerintah lokal tak punya akses untuk membatasi masuknya produk-produk dari luar daerah, maka sesuai hukum pasar bahwa yang kuat akan menindas yang lemah.
Produk-produk lokal Kaltim juga sudah menerima dampaknya. Dengan susah payah pemerintah lokal mengangkat karya-karya orang daerah, toh hasilnya kalah laris dengan produk-produk dari luar daerah dan negara. Saya tidak pernah melihat warga kita antre untuk membeli ”gangan ikan patin pais”. Tapi coba tengok di KFC nyaris tiap sore dipenuhi pembeli.
Bagaimana pemerintah Kaltim melihat masalah ini? Membiarkan nilai-nilai lokal terus tergerus dan menghilang, atau masih berniat mempertahankan? *

Tidak ada komentar: