Minggu, 31 Mei 2009

Batubara

KETIKA PT Kaltim Prima Coal (KPC) mengumumkan rencana peningkatan produksi batubara dari 48 Juta ke 70 Juta Metrik Ton (MT) per tahun, sejumlah kalangan bereaksi. Dan seperti biasanya, para aktivis lingkungan menolak.
Kalau rencana PT KPC direalisasikan, maka Kaltim bakal menembus angka spektakuler dalam eksploitasi batubara. Yakni 125 Juta MT dari produksi saat ini yang sudah mendekati angka 100 Juta MT per tahun. Dan itu berarti ada uang dari pembeli batubara yang (mestinya) masuk ke Kaltim sekitar Rp8.750.000.000.000 (dengan asumsi harga batubara Rp70.000 per ton).
Hebatnya, dari angka Rp8,75 Triliun itu lebih 50 persen ada di PT Kaltim Prima Coal yang menambang di kawasan Sengata dan Bengalon Kutai Timur. Inilah perusahaan raksasa batubara kelas dunia yang sahamnya pernah dikuasai Grup Bakrie. Perusahaan yang juga punya track record tertinggi dalam tingkat konflik antara pemilik, penguasa dan rakyat.
Tambang memang sumber konflik. Bahkan di negeri manapun, sumber energi selalu menjadi biang perselisihan antarnegara. Para penambang, biasanya, berlomba-lomba untuk mencari pengaruh di tubuh kekuasaan. Dengan ‘uang’-nya pengusaha tambang umumnya berniat menguasai oknum-oknum pemerintahan.
Tidak heran kalau ada konflik perusahaan – masyarakat, maka suara pemerintah lebih condong kepada pengusaha. Bahkan para pengusaha itu bisa ‘mengatur’ pemerintahan seperti yang diinginkannya.
Bagaimana dengan ulah pengusaha tambang dalam upaya mempengaruhi pemerintahan di Kaltim?
Bukan lagi cerita baru bahwa di zaman sulit korupsi ini, banyak pejabat-pejabat pemerintahan bersandar pada pengusaha batubara. Mulai dari tingkat lokal sampai nasional. “Kalau pejabat Kaltim ke Jakarta, sekarang yang kasih servis itu para pengusaha batubara,” begitu ceritanya.
Tiap kali Pilkada, para calon kandidat berusaha mencari sponsor dari kalangan pengusaha. Dan yang sekarang sedang trend - karena dianggap paling banyak uang - adalah pengusaha batubara. Alhasil sejumlah pemenang Pilkada saat inipun terindikasi punya hubungan spesial dengan beberapa pengusaha batubara kelas kakap. Sudah menjadi rahasia umum.
Perilaku hubungan pengusaha – penguasa ini sebenarnya hanya bentuk ’migrasi’. Kalau dulu antara pengusaha kayu dengan oknum pemerintah, tapi sekarang antara pengusaha tambang dengan oknum pemerintah.
Masa kejayaan kayu sudah nyaris berakhir seiring dengan semakin langkanya kayu tegakan di hutan yang tersisa. Sekarang adalah kejayaan batubara yang oleh Dinas Pertambangan Kaltim diprediksi tidak bakal habis dieksploitasi sampai 90 tahun ke depan.
Sangat jelas, ini adalah masa-masa menguatirkan karena pengusaha pertambangan bakal semakin merajalela di pemerintahan. Harus ada solusi. **

Tidak ada komentar: