Minggu, 31 Mei 2009

Banjir

TOPIK obrolan publik di Kota Samarinda, pekan ini, adalah banjir. Mulai di warung kopi, media massa sampai jaringan facebook obrolannya lebih ’meluap-luap’ dari pada air yang naik perlahan menuju pinggang di kawasan simpang Lembuswana, Jalan Pemuda, Cendrawasih, Remaja, Bengkuring dan sekitarnya.
Pendek cerita, rakyat yang kena banjir sedang marah. Mahasiswa pun demonstrasi dan menuntut Walikota dan Wawali Samarinda Achmad Amins – Syaharie Jaang mundur dari jabatannya. ”Pokoknya ini dosa walikota”. Mengapa daerah bukit diratakan? Mengapa rawa-rawa penampung air diurug? Mengapa eksploitasi tambang batubara diberi izin?
Banjir bulan April 2009 ini diistilahkan sebagai ”yang terburuk” dalam 10 tahun belakangan. Dua bulan lalu, juga ada istilah bahwa banjir besar yang terjadi kala itu adalah siklus delapan tahunan, karena pada delapan tahun silam juga terjadi banjir hebat. Entah istilah apa lagi yang muncul kalau pada bulan Mei 2009 – seperti diperkirakan BMG (Badan Meterologi dan Geofisika) – terjadi banjir susulan.
Pemerintah Kota Samarinda juga seperti kehabisan kata-kata menghadapi ’kemarahan’ warga. Semua kebijakan jadi serba salah, karena toh hasilnya puluhan ribu jiwa warga kota menderita.
Saya jadi terusik; apa sudah tepat masyarakat menumpahkan kemarahannya kepada walikota?
Lucunya, ketika mencoba mencari jawaban, yang didapat adalah ’tampiasan’ dari orang-orang yang sedang marah pula. Pikiran rasional, pencerahan menjadi tak berlaku di sini.
Dan anehnya, para pemerhati lingkungan di daerah itu sama sekali tidak berusaha menjernihkan suasana. Mereka yang paham dengan lingkungan justru cenderung membiarkan opini masyarakat bergerilya di tempat yang mungkin sesat.
Bahwa pemerintah dengan berbagai kebijakannya menambah beban kerusakan lingkungan, itu memang benar. Bahwa pemerintah pemberi ’sumbangan’ hancurnya hutan, rusaknya lapisan tanah, terjadinya erosi, pencemaran, tidak bisa disangkal. Tapi menumpahkan kemarahan hanya kepada walikota, saya kira itu juga salah.
Banjir Kota Samarinda, dari sudut pandang saya, adalah konsekwensi geografis karena kota itu letaknya di muara Sungai Mahakam yang panjangnya 920 Kilometer. Ada ribuan anak sungai yang mengalirkan air dan lumpur ke Sungai Mahakam dan ujungnya adalah Kota Samarinda.
Pendek cerita, air hujan dari Kutai Barat, Kutai Kartanegara bahkan dari wilayah perbatasan Kalimantan Tengah tumpah ke sungai yang menjadi kebanggaan orang Kaltim ini. Sebagian air itu tertampung di ’folder-folder’ alam Danau Semayang, Danau Melintang dan lainnya, sebagian lagi memasuki daerah rendah yang mengakibatkan banjir besar di Kutai Barat dan Kutai Kartanegara. Dari cerita orang-orang tua di kota Samarinda bahwa sejak jaman baheula banjir memang sudah biasa terjadi.
Persoalannya adalah mengapa perubahan iklim ini terlalu cepat dahsyat?

Tidak ada komentar: