Selasa, 12 Februari 2013

Pemerintahan Tebal Kuping





Eksploitasi tambang batubara mengancam keselamatan sekitar 700 ribu jiwa penduduk Samarinda. Sejumlah warga bersama aktivis mendorong dilakukan gugatan kepada wali kota.
Tidak ada jalan lain, ketika kritik sudah tidak lagi didengar. Demonstrasi hanya dianggap angin, suara protes di media-media cuma jadi bahan obrolan, maka saatnya warga negara, khususnya warga Kota Samarinda melakukan gugatan hukum ke pengadilan.
Pekan tadi, wacana melancarkan gugatan itu bergulir di publik. Wali kota Syaharie Jaang sempat terhenyak. Bisakah soal kebijakan pertambangan yang izinnya dari pemerintah digugat? “Ini era kebebasan, silakan saja,” jawab Syaharie yang baru sekitar 9 bulan menjabat ini.
Izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah, bisa jadi memang bermasalah. Karena dikeluarkan secara sembrono, tanpa didukung oleh dokumen pendahuluan laik tidaknya menambang di tengah pemukiman penduduk. Izin juga diduga bertentangan dengan ‘kitab’  Renstra (Rencana Strategis) yang berisi visi dan misi Kota Samarinda sebagai kota jasa dan perdagangan. Bukan kota eksploitasi pertambangan.
Tapi pemerintah nekat, bahkan ‘tebal kuping’. Sebelum ‘mengamandemen’  Renstra tahun 2000-2005 yang telah disetujui oleh DPRD, izin-izin pertambangan batubara mengalir sejak tahun 2001 silam. Menurut catatan dari Distamben Samarinda, di kota yang luasnya 71 ribu hektar itu ada 63 perusahaan tambang yang mengantongi IUP. Ditambah 5 izin yang diterbitkan pemerintah pusat, maka total 43 ribu hektar atau 60 persen luas kota itu dikepung pertambangan.
Umumnya, pertambangan skala kecil. Tapi justru dianggap kecil-kecilan itu ancaman keselamatan warga jadi kian besar. Bayangkan, cara perusahaan kecil itu menambang. Mereka menggunakan peralatan semi mekanik seadanya. Main gali dan begitu ditemukan batubara langsung dikumpulkan. Sebagian perusahaan lagi memasukkan batubara ke dalam karung. Setelah habis batubara di lokasi itu, pindah lagi. Lubang galian lama dibiarkan menganga.
Akibatnya, pemandangan kerusakan lingkungan mencolok di depan mata. Kawasan eks tambang yang berantakan. Bekas galian jadi danau, lokasi tambang juga tidak dipagar. Masyarakat umum bisa seenaknya memasuki areal tambang. Sudah ada beberapa kali terjadi kolam eks tambang memakan korban jiwa.
Baru-baru ini, tiga bocah SD, Ruh Zunaidi, Rahmadhani dan Miftahul Zanah, tenggelam di kolam milik  PT Himko Coal di Jalan Pelita Sambutan, Samarinda. Setahun sebelumnya, bocah 13 tahun bernama Nabila terpesorok di kolam batubara PT Bintang Mahakam Energi yang berada dekat rumahnya di Jalan Kemakmuran I Samarinda.
Belum lagi pengendara motor dan mobil yang jadi korban. Karena jalan umum dipakai penambang mengangkut hasil galiannya, jalan jadi tambah rusak. Hampir tiap hari ada saja pengendara motor terperosok karena banyak lubang di jalan raya. Sedang pemilik mobil mengeluh karena onderdil mobil lebih cepat rusak karena kondisi jalan yang tidak laik.
Di runut jauh ke belakang, dampak paling mengerikan adalah kerusakan lingkungan. Di tengah upaya penanggulangan banjir di Samarinda, justru ada pembukaan lahan baru, pemotongan bukit, yang menambah kontribusi banjir jadi luar biasa. Warga Samarinda seperti berhadapan dengan horor, satu jam saja turun hujan, bersiaplah didatangi ‘hantu banyu’ alias banjir.
Berapa kerugian warga akibat izin tambang batubara yang dikeluarkan pemerintah? Korban nyawa pasti tidak bisa dinilai dengan uang, sedangkan kerugian ekonomi akibat kerusakan lingkungan, masih dicoba hitung oleh ahlinya. “Kami masih mencari pengacara yang bersedia melakukan gugatan. Prinsipnya yang gratis,” kata Kahar Al-Bahri, dari Jatam (Jaringan Tambang). #
==
Yuk! Gugat Wali Kota
Pemerintah Kota Samarinda masih juga “tebal kuping” dengan kemarahan warga akibat menggilanya operasi eksploitasi pertambangan.
Ch Siahaan, M Idris
Tanah kuburan tiga bocah SD (Sekolah Dasar), Ruh Zunaidi, Rahmadhani dan Miftahul Zanah, yang tewas di kolam eks tambang PT Himko Coal, Kelurahan Sambutan Samarinda Ilir, belum lagi kering benar. Publik pun belum melupakan peristiwa tragis di bulan Juli 2011 silam.
Tapi, apakah ada pemerintah tergerak mengubah kebijakan tambangnya? Jangankan untuk mencabut izin pertambangan, menginstruksikan perusahaan menutup areal konsesi saja tidak dilakukan?
Sampai Agustus 2011, kawasan konsesi pertambangan umumnya masih terbuka. Di depan Komplek Perumahan Bengkuring Sempaja Samarinda Utara misalnya, kawasan yang terlihat hancur dan berlobang-lobang dipenuhi air, hanya dipasangi police line, berwarna kuning hitam. Entah apa maksud si pengelola tambang dengan memasang tanda dari kepolisian yang biasanya untuk mengisolasi TKP (tempat kejadian perkara) itu.
Kawasan ‘Sempaja’ termasuk menjadi kawasan terparah pertambangan batubara. Pemerintah memberikan izin beberapa perusahaan, walaupun lokasinya mengepung kawasan pemukiman. Di daerah ini, umumnya batubara digali menggunakan peralatan sederhana dan hasil galian dimasukkan dalam karung untuk dijual ke Surabaya.
Warga di sekitar kawasan Bengkuring sudah mulai marah. Jalan-jalan yang baru setahun lalu diperbaiki pakai uang rakyat (APBD), sudah rusak lagi. Berlubang-lubang dan banjir semakin sering datang.
Puncaknya, demonstrasi pada 1 Desember 2010 silam. Selama lebih 5 jam Jalan Padat Karya menuju komplek Perumahan Bengkuring ditutup. Ada tiga perusahaan yang dituding menjadi biang kerusakan jalan dan penyebab banjir lingkungan mereka. Ketiga perusahaan itu, CV Graha Benua Etam (GBE) seluas 492 hektare, Prima Coal Mining (PCM) 155 hektare dan CV Piawai Bumi Alam Sejahtera.
Warga yang marah minta pemerintah mencabut izin perusahaan, tapi pemerintahan ‘tebal kuping’ ini cuek saja, hanya meminta perusahaan menyumbang memperbaiki jalan-jalan rusak. Perusahaan di sana akhirnya tetap beroperasi dengan mengubah jam kerja operasionalnya. Kalau siang, mereka hanya menggali batubara dan malamnya mengangkut menggunakan truk.
“Tidak ada niat baik perusahaan batubara pada lingkungan. Kita warga Padat Karya dan Bengkuring bertahun-tahun menjadi korbannya, mulai dari banjir, jalanan menjadi rusak dan licin. Karena itulah kami minta kepada Pemkot agar serius dalam mendengar aspirasi kami dengan langkah menutup seluruh pertambangan batu bara yang beroperasi disekitar permukiman kami,” kata Ahmad Yani, Ketua RT 78 Perumahan Bengkuring.
Lain lagi yang terjadi menimpa warga di kawasan Sambutan. Pekan tadi puluhan warga dan petani Desa Makroman Kecamatan Sambutan Samarinda Ilir menutup jalan tambang CV Arjuna. Warga marah karena aktifitas tambang merusak lahan pertanian yang menjadi lahan nafkah mereka.
Narsim, salah seorang warga menghitung, setidaknya 100 hektar lahan pertanian rusak. Ada 96 KK (Kepala Keluarga) yang tertimpa masalah sepakat menuntut perusahaan mengganti rugi. “Galian tambang perusahaan membuat lumpur mereka masuk ke pertanian dan kolam-kolam ikan,” ujar Narsim. Mereka menutup jalan, agar perusahaan stop produksi.
Di daerah Kelurahan Bukuan Palaran, para petani buah di RT 16 dilanda kemarahan karena tanaman buah mereka yang tercemar lumpur dan limbah tambang. "Kami sudah lama menderita kelaparan karena tanaman buah kami gagal panen akibat tercemar lumpur dan limbah tambang. Karena itu kami hanya meminta perhatian dan kepedulian pemerintah atas nasib kami ini," kata Supianur, salahseorang pemilik kebun buah.
Jauh hari sebelumnya ratusan warga yang diduga suruhan dari CV Putra Palaran, memblokir areal tambang milik PT. NCI (Nuansacipta Coal Investment) di daerah mereka.Warga menuntut ganti rugi Rp2,5 miliar atas kerusakan lahan seluas 350 hektare dan pencemaran lingkungan akibat aktivitas penambangan batubara perusahaan itu.
Diurut ke belakang lagi, masih ada puluhan bahkan mungkin ratusan kelompok warga yang marah dengan kebijakan memberikan izin tambang ini. Hanya saja, karena pemerintahan sudah ‘kebal kuping’, warga hanya bisa menggerutu.
“Kami sedang pelajari bagaimana warga negara menggugat pemerintahan lokal,” kata Kahar Al-Bahri, Koordinator Jatam (Jaringan Tambang) Kaltim.
Ternyata, sambutan luar biasa berdatangan. Sejumlah aktivis di kota itu dengan sukarela menyatakan bersedia membantu segala keperluan untuk melancarkan gugatan. Misalnya, untuk memobilisir para penggugat yang terdiri dari warga Samarinda. “Saya siap membantu mengumpulkan KTP (Kartu Tanda Penduduk),” kata Niel Makinuddin, pegiat lingkungan.
Bernalus Saragih, anggota Tim Judicial Review dari Unmul juga tidak keberatan ‘menyumbang’ hitung-hitungan kerugian masyarakat akibat pertambangan batubara yang terjadi di wilayah itu. “Saya siap nyumbang kerugian akibat tambang dan valuasinya,” ujar Bernalus dalam akun facebook.
Tidak hanya kalangan aktivis lingkungan yang siap menjadi relawan, tapi juga aktivis politik seperti Muhammad Amir. “Saya dukung penuh. Untuk pengacaranya sebaiknya menggunakan LBH Kaltim,” ujar Amir. LBH adalah lembaga bantuan hukum.
Kahar Al-Bahri alias Ocha mengatakan, dia sedang berkonsultasi dengan pengacara yang siap melancarkan gugatan itu. Bagaimana modelnya, masih dibahas. “Dan yang terpenting juga, ini gratis. Kita tidak punya uang untuk bayar jasa pengacara,” ujar Ocha. #

Tidak ada komentar: