Selasa, 12 Februari 2013

Jalan Tolol



Banyak yang gregetan dengan ulah Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak yang sangat ngotot membangun jalan tol Balikpapan – Samarinda sejauh 99 kilometer. Alasannya, karena terlalu banyak uang pembangunan yang dikuras. Pada tahap awal saja sudah disiapkan APBD Kaltim Rp2 dari Rp6,2 Triliun.
Keluhan para penentang kebijakan itu, karena banyak jalan kota dan antar kabupaten / provinsi belum juga selesai. Sementara jalan tol, hanya untuk pengendara mobil. Pengendara motor yang jumlahnya jauh lebih besar dari pemilik mobil, tetap saja pakai jalan Soekarno – Hatta yang sekarang digunakan ini.
Faroek punya alasan mengapa ngotot jalan tol harus direalisasi. Berkali-kali ia sampaikan bahwa jalan tol merupakan kebutuhan rakyat, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan terakhir bahwa jalan itu telah disetujui oleh pemerintah pusat. Terintegrasi dengan MP3EI (Master Plan Percepatan dan pertumbuhan Ekonomi Indonesia).
Saya tahu, banyak warga yang terkesima dengan manuver Faroek di jalan tol itu. Sebab masih segar diingat ketika pertamakali menyampaikan gagasan tahun 2009, ia meyakinkan publik bahwa ada investor yang tertarik membangun jalan tersebut. Toh, yang disebut investor tidak  pernah muncul. Sampai akhirnya dengan berat hati rakyat Kaltim merelakan APBD-nya disedot sebesar Rp2 triliun.
Di media-media sosial, banyak warga yang geram. Sampai memplesetkan kata jalan tol menjadi “Jalan Tolol”. Apalagi ketika Faroek dengan suka cita menyampaikan kalau ia berhasil menjerat pemerintah pusat agar manambah utang LN (luar negeri) untuk membiayai proyek yang mengabadikan namanya tersebut.
Kata Faroek, dana asing (kemungkinan dari ADB – Asian Development Bank) bakal masuk Rp2,4 triliun untuk jalan bergengsi tersebut. Pengembaliannya; tanggungjawab APBN. Dengan demikian, sudah tersedia Rp4,4 triliun dan diperkirakan sisanya tinggal Rp1,8 triliun.
Jerat utang di depan mata. Gubernur Faroek justru sedang girang menyambut utang. Hanya kalangan aktivis dan sebagian warga yang memahami skema utang menaruh sikap prihatin. Mereka berdoa semoga sang gubernur  tidak meneruskan ‘tariannya’ yang kini merasa jadi pemenang.
Saya sempat merenung; kenapa mereka menyebut “jalan tolol”? Padahal, Gubernur Faroek termasuk tokoh lokal yang selalu punya gagasan pintar.
Pertama, saya memahami  bahwa ungkapan itu sekedar umpat kemarahan. Kekecewaan warga yang berpikir jalan tol belum perlu, menghabiskan anggaran dan beraroma mengejar prestise. Kedua, ada yang berpikir bahwa membangun infrastruktur seperti itu justru bakal mempercepat eksploitasi sumber daya alam, pembukaan lahan untuk perkebunan secara besar-besaran dan tambang batubara.  Kemudian juga merusak hutan lindung Manggar dan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto.
Tapi belakangan saya baru mengerti, bahwa ternyata sejumlah masalah menghadang pembangunan jalan tol. Mulai tidak ada izin penggunaan lain (IPL) dari Menteri Kehutanan terhadap hutan lindung dan Tahura Bukit Soeharto, juga ada benturan dengan sekitar 25 pemegang konsesi pertambangan karena lintasan jalan tol melewati lahan tambang.
Oh, itu rupanya yang dimaksud ‘Jalan Tolol”. Karena dari awal tidak melalui perencanaan matang. Bahkan tidak ada feasibility studi (FS). #

Tidak ada komentar: