Selasa, 12 Februari 2013

Ketidakadilan Itu



Catatan tahun 2011
 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berada di konferensi tingkat tinggi (KTT) APEC 2011 di Honolulu, Hawaii, pekan ini. Di balik agenda perdagangan Asia Pasifik, rakyat Indonesia berharap SBY menyampaikan rencana renegosiasi kontrak karya dengan Presiden Amerika Barack Obama. Tentu yang dimaksud adalah renegosiasi PT Freport Mc Moran di Papua. Karena Amerika sangat berkepentingan di perusahaan itu.
Kabar baik dari Amerika tentang Freeport, ditunggu-tunggu juga oleh rakyat  di tanah bekas kerajaan Kutai Kartanegara. Karena ada 32 perusahaan berstatus PKP2B (Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara) di Kaltim. Kalau semua direnegosiasi, mestinya bakal menjadi rejeki nomplok bagi  rakyat daerah ini.
Mengapa penting melakukan renegosiasi?
Tahun 2011, Kaltim diprediksi memproduksi batubara mendekati angka 140 juta metrik ton. Dengan harga batubara FOB rata-rata Rp900 ribu per metrik ton saja, itu berarti omzet penjualan keruk batubara mencapai Rp126 triliun.
Jika digabungkan dengan penjualan Migas dari Kaltim, bisa jadi tahun ini PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) mendekati Rp400 triliun.
Tapi simak ongkos pembangunan yang ditransfer pemerintah pusat ke daerah dalam bentuk APBD? Anggaran yang selalu dikejar-kejar pejabat dan rakyat itu, baik untuk mengisi kas provinsi bersama 14 kabupaten dan kota, total jenderal hanya sekitar Rp30 triliun. Ditambah proyek-proyek pusat yang total nilainya tak melebihi Rp5 triliun. Ya, total yang kembali ke daerah ini cuma Rp35 triliun dari PDRB sekitar Rp400 triliun.
Jumlah terbesar jatuh kepada pemilik modal. Mereka yang punya saham di perusahaan. Tahun 2011 adalah masa emas alias booming para penambang. Mereka sedang berlomba menjadi orang nomor satu terkaya di Indonesia. Ada nama Aburizal Bakrie, Kiki Barki, Edwin Soeryadjaya, yang dompetnya menebal secara otomatis dari mesin-mesin pengeruk batubara.
Selama ini, mata publik hanya berontak melihat angka-angka 'kecil' APBD. Bukan berontak pada terjadinya ketidakadilan dalam bisnis tambang. Bisnis yang mentahbiskan pengusaha menjadi konglomerat, walau tidak banyak berkeringat.
Para konglomerat itu sedang menciptakan surga di rumahnya, sekaligus juga menciptakan "neraka" di tanah-tanah yang telah digalinya. Simak air-air sungai di seluruh daerah ini, masih adakah yang tak tercemar limbah batubara?
Lebih celaka lagi, karena posisi pemerintah di Kaltim tidak berdaya menghadapi raksasa-raksasa bisnis ini. Pemimpin di daerah yang umumnya berasal dari partai politik, ketakutan juga berhadapan dengan para ‘raksasa’ yang umumnya juga terkoneksi dengan para pimpinan partai di tingkat pusat.
 Mereka (pemimpin di Kaltim) adalah bidak-bidak catur yang langkahnya mudah dihentikan. Mereka bukan saja mudah kehilangan singgasana kekuasaan, tapi juga bisa terjerambab masuk penjara. #

Tidak ada komentar: