Selasa, 12 Februari 2013

Kaltim Siaga Satu


Bumi Kaltim sedang memikul beban berat. Pasca zaman banjir kap yang menghancurkan hutan-hutan alam nan besar itu, kini lahan-lahan subur dikeruk untuk dieksploitasi tambang batubaranya. Tidak hanya itu, sejumlah program raksasa berbungkus ‘untuk kesejahteraan rakyat’ mengintai lagi.
Simak program MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia) yang telah dilaunching Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bulan Mei 2011. Kaltim bakal diguyur investasi ratusan triliun, untuk menambah produksi minyak dan gas, batubara, serta investasi bidang transportasi rel kereta api untuk mengangkut hasil bumi.
Belum lagi rencana-rencana besar daerah yang  menjadikan klutser ekonomi dan mewujudkan visi Kaltim sebagai pusat agroindustri dan energi terkemuka di dunia. Sejumlah rencana digulirkan, pembangunan jalan tol Balikpapan – Samarinda yang bakal bersambung ke Bontang dan Sangatta dan pelabuhan Maloy di Kutai Timur yang diproyeksikan jadi pelabuhan internasional.
Belakangan muncul lagi program Food Estate. Kalimantan Timur ditawarkan mengambilalih program Menteri Pertanian Suswono yang sebelumnya diproyeksikan di Papua bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Ancer-ancernya, lahan untuk food estate di Kaltim seluas 200 ribu hektar.
Para pembuat program raksasa itu berusaha meyakinkan para pihak inilah jalan kemajuan ekonomi di Kaltim. Tapi para pemerhati lingkungan justru melihat inilah sumber masalah yang menimbulkan kesengsaraan panjang rakyat daerah ini.
“Kerusakan lingkungan di Kaltim sudah parah sekali. Masyarakat harus membayar mahal. Contoh saja, tidak ada lagi masyarakat bisa mengambil air minum secara gratis di sungai, karena airnya sudah tercemar. Masyarakat harus mengeluarkan uang membeli air minum,” ujar Bernaulus Saragih, Kepala Puslit Sumber Daya Alam Universitas Mulawarman,
Pemerintah bukan tidak menyadari adanya kerusakan lingkungan yang kian parah ini. Gubernur Awang Faroek Ishak misalnya, selalu mengemukakan angka lahan kritis seluas 6,4 juta hektar.  Tapi tetap saja mengeluarkan kebikan-kebijakan seperti pembukaan lahan untuk kebun sawit yang diprogram pemerintah menuju 3 juta hektar. Kemudian izin usaha batubara seperti di Kota Samarinda dan Kutai Kartanegara  yang jumlah perusahaannya mencapai ratusan dan memakan areal mencapai 50 persen dari total luas daerah itu.
Produksi batubara dari Kalimantan Timur sedang menuju 130 juta Metrik Ton per tahun. Sebanyak 70 Juta Metrik Ton adalah produksi PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Sangatta. Ada sekitar 20-an perusahaan berstatus izin PKP2B (Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara) alias izin dari Menteri ESDM, dan ada ratusan lagi izin KP (Kuasa Pertambangan) oleh bupati dan wali kota. Padahal, tahun 2004 silam, angka produksi batubara Kaltim hanya sekitar 70 juta Metrik Ton.
Sektor minyak dan gas bumi, pertama kali digarap sejak 10 Februari 1897 oleh Belanda yang mendapat izin konsesi dari Kesultanan Kutai. Bayangkan, sudah berapa besar produksi migas dari daerah ini, tapi hasilnya tak juga mampu memakmurkan rakyat lokal.
Air sungai yang tercemar, hutan yang porak-poranda, lahan eks batubara yang menjelma jadi danau-danau, banjir  dan hujan yang tak lagi taat siklus, kian mengkuaitirkan masyarakat Kaltim. Sebab diyakini kerusakan alam itu juga berpengaruh pada iklim yang ekstrim. Jika hujan warga kuatir banjir, jika kemarau kuatir hutan terbakar.  Jadi, apa bahasa paling tepat menggambarkan situasi ini? “Kaltim Siaga Satu,” kata Bernaulus. Wah. #


Iklim Tak Menentu

Sebanyak 27 titik api mengancam kebakaran hutan di musim kemarau bulan Agustus – Oktober 2011. Tapi warga sudah terbiasa, malah nyaris tidak berpatokan pada siklus musim hujan dan musim kemarau.

Muhammad Idris

Barangkali, sudah lebih sepuluh tahun warga Kota Samarinda tak lagi begitu yakin dengan ramalan cuaca. Sebab, meski di media-media memuat kondisi cuaca di kota itu, seringkali lebih banyak  tidak cocok , malah membuat hati kesal karena mengira hari akan hujan, ternyata cerah oleh terik matahari.
Para pemerhati lingkungan mengakui memang ada pengaruh akibat rusaknya hutan pada siklus musim panas dan musim hujan di Indonesia. Bayangkan dengan kondisi lahan kritis sekitar 6,4 juta hektar di Kaltim, ditambah lagi pembukaan tambang batubara yang mencemarkan air sungai, pembukaan kebun sawit menuju 3 juta hektar, semua itu sudah cukup  mengubah fenomena alam tidak lagi taat pada siklus hujan dan panas yang semestinya.
“Ya, sebenarnya ini peringatan bagi kita semua. Kerusakan lingkungan menyebabkan tidak menentunya pola perubahan iklim,” ujar Isal Wardhana, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kaltim.
Pada bulan Agustus 2011 ini misalnya, BMG (Badan Metereoligi dan Geofisika) Kota Samarinda menurunkan perkiraan bahwa Agustus sampai Oktober  di bagian Kaltim Tengah dan Selatan sudah memasuki masa kemarau. Dalam bulan Agustus itu sudah sekitar 10 hari tidak turun hujan.
Kepala  BMG Samarinda Raden Ishak mengatakan, angin yang berhembus sudah masuk angin Selatan dan itu pastinya akan menimbulkan gelombang mencapai sekitar 3 meter  tepatnya di Selat Makassar atau di perairan Balikpapan.
Hujan yang turun saat ini masih di bawah normal sekitar 80 sampai 140, namun saat ini masih bisa dikatakan belum terlalu kering karena hujan akan tetap turun walaupun hanya sesaat dan itu pun bisa dikatakan hanya hujan shower atau lokal saja.
Cuaca pada saat ini masih batas cerah berawan angin sepoi  dan bisa juga terjadi hujan di siang hari, panas yang terjadi saat bulan Agustus sampai Oktober nantinya tidak menutup akan terjadinya kekeringan lahan pertanian serta meningkatnya kebakaran hutan yang ada di Kalimantan Timur.
Pendek cerita, ini adalah masa siklus musim kemarau. Ancaman kebakaran hutan sedang menanti. Tapi faktanya di Tarakan, Bulungan, Malinau, di bulan Agustus hampir tiap hari turun hujan. Walaupun cuma sebentar. Di Kota Samarinda yang kondisi lingkungannya sudah mengerikan, musim kemarau memang mulai terasa. Tapi, dalam sepekan biasanya ada saja turun hujan, walau tidak lebat dan mengakibatkan banjir.
Meski iklim tidak menentu lagi, jajaran Departemen Kehutanan tidak tinggal diam. Mereka tetap patuh pada siklus yang menyajikan data-data telah tiba waktunya musim kemarau.  Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Tukimin HR mengatakan, pihaknya telah mengantisipasi kemarau Agustus – Oktober ini dengan menurunkan anggota ke lahan-lahan rawan kebakaran hutan.
Menurut Tukimin,  titik –titik api yang  sudah terdeteksi saat ini ada 27 titik api. Dengan cuaca yang sangat panas pastinya akan tidak menutup kemungkinan juga akan terjadinya kebakaran. Namun kondisi saat ini masih dalam keadaan aman dalam pantauan yang berada di lapangan.
Satelit yang digunakan untuk melakukanpemantauan adaah satelit NOAA Indonesia 18 yang melintasi daerah Kalimantan Timur sebanyak  empat kali dalam sehari , satelit tersebut mencakup permukaan bumi sebesar 2700 km  dari ketinggian  860 km.
Daerah yang saat ini memiliki titik Hot Spot  di  bulan Agustus ada sembilan daerah yang terletak di Kalimantan Timur. Perubahan titik api akan terjadi setiap harinya sesuai dengan tingkat panas yang terjadi bisa menambah atau malah berkurang tergantung dengan cuaca yang ada.
Sejauh ini lahan yang menimbulkan asap, kata Tukimin,  dikarenakan oleh banyaknya para petani lahan yang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan banyaknya petani yang lahannya  berpindah – pindah.
Selain lahan yang berpindah –pindah, kata Tukimin, ada juga yang disebabkan oleh banyaknya lahan tambang batubara yang ada, sehingga lebih cepat prosenya untuk bisa terbakar dengan cuaca yang sangat panas. #


Sembilan Daerah Titik Api

  1. Berau dengan titik api ada 6
  2. Bulungan belum ada titik apai
  3. Kutai Barat ada 3 titik api
  4. Kukar  3 titik api
  5. Kutim 6 titik api
  6. Malinau tidak ada titik api
  7.  Nunukan 2 titik api
  8. Paser 6 titik api
  9.  PPU 1 titik api



Masyarakat Bayar Kerusakan

Program investasi yang dilancarkan pemerintah di Kalimantan Timur bukan untuk mensejahterakan rakyat, tapi sebagai upaya perencanaan kerusakan lingkungan secara sistimik. Sekarang masyarakat sudah membayar terjadinya kerusakan itu, karena tidak lagi bisa memanfaatkan air sungai untuk minum dan keperluan memasak. Hampir semua sungai, sampai di daerah pedalaman mengalami pencemaran air luar biasa. Akibat penambangan batubara dan perambahan hutan.
“Air Sungai Mahakam saja sudah tidak ada yang berani meminum, apalagi air Sungai Karang Mumus,” kata Bernaulus Saragih, Kepala Puslit Sumber Daya Alam Unmul.
Akibat kegiatan pencucian batubara misalnya, air sungai di sekitar mengalami pencemaran mengandung belerang ( b), Merkuri (Hg), Asam Slarida (Hcn), Mangan Asam sulfat (H2sO4), dan Pb. Hg dan Pb merupakan logam berat menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti kanker kulit.
Padahal, semua perusahaan mengandalkan air sungai untuk mencuci batubara agar mendapatkan kualitas tertentu. “Sumber air bersih PDAM untuk minum warga Samarinda juga dari sungai-sungai yang telah tercemar batubara,” ujar Bernaulus.
Akhirnya memang kerusakan lingkungan mengakibatkan meningkatnya biaya hidup. Tingkat konsumerisme, karena soal air yang sebenarnya dianugerahi oleh Tuhan dengan berlimpah, tidak bisa lagi ‘dijamah’ dan menimbulkan penyakit kalau terkena kulit.
Belum lagi terjadinya perubahan bentang alam, karena pemotong bukit bahkan penutupan sungai-sungai kecil untuk keperluan eksploitasi tambang. Banjir semakin tidak terkendali dan ketika musim panas terjadi kebakaran batubara dan hutan.
“Jadi, banyaknya investor bertaraf internasional maupun lokal melakukan eksploitasi terhadap lahan yang ada di Kalimantan Timur tidak sepenuhnya benar menambah kesejahteraan seperti yang diharapkan. Yang terjadi malah menambah beban biaya hidup rakyat Kalimantan Timur serta menjadikan rakyat miskin yang absolute,” ungkapnya.
Sejumlah data tentang kerusakan lingkungan itu kini tengah digodok olehnya untuk diberikan sebagai lampiran gugatan judicial review atas Undang-undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat – Daerah. Berikut wawancara Muhammad Idris dari Bmagazine dengan Bernaulus Saragih;

Tingkat kerusakan lingkungan di Kaltim sudah sejauh apa?

Kalau ditanya tentang kerusakan lingkungan yang ada di Kaltim sudah sejauh apa? Ya, saya katakan sudah sangat parah sekali. Contohnya, sungai yang dulunya bisa langsung digunakan oleh masyarakat sebelum adanya tambang, selalu dalam keadaan jernih dan baik kualitas airnya. Tapi setelah ada tambang yang beroperasi maka air tersebut menjadi keruh dan tidak bisa lagi digunakan oleh masyarakat.
Nah, kerusakan lingkungan itu kan diakibatkan oleh ekspolitasi. Jadi bisa kita lihat berapa biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat di sepanjang bantaran sungai untuk menjernihkan air yang dulunya bisa di konsumsi langsung. Saat ini mereka harus mengeluarkan biaya sebesar 3500 rupiah tiap harinya untuk  bisa dikonsumsi dan dikalikan dengan jumlah penduduk yang ada di bantaran Sungai Sangatta  ada 38.000 orang, dikalikan dengan jumlah kebutuhan air per orang sebesar 0,75 meter kubik per hari. Nah coba kita hitung semua sungai yang ada di Kalimantan Timur dan jumlah warga yang menggunakan air sungai tersebut untuk menjernihkan air tersebut, seperti di Kandilo, Muara Wahau, Berau, Samarinda. Saya dapatkan data kerugian tidak kurang dari 1,5 trilliun rupiah hanya untuk kasus air saja.  

Apakah ini yang dimaksud upaya memiskinan rakyat secara sistimik?

Saya telah berkeliling ke daerah Kaltim, dari sana saya menyadari bahwa negara ini telah sengaja atau tidak mengundang investor asing atau lokal untuk melakukan pembunuhan atau genocide terhadap masyarakat di pedalaman dan sekitar wilayah tambang, yaitu dengan meracuni semua sungai dan perairan dengan logam berat dan lumpur agar mereka tidak punya sumber air minum. Bagaimana ini? Mengapa tidak ada gerakan dari penduduk asli?

Ternyata parah sekali. Apa kesimpulan Anda?

Sudah waktunya Kaltim menyatakan siaga satu atas dampak tambang. Tidak ada lagi sungai yang jernih, masyarakat miskin semakin dimiskinkan dengan semakin mahalnya kebutuhan dasar, air yang layak konsumsi. Adakah ini dipikirkan oleh Gubernur dan Bupati walikota sebelum mereka beri izin/rekom tambang????
Setiap produksi 1000 ton batubara menghasilkan limbah berbahaya 3 - 6 ton material yang mengandung logam berat yang masuk ke sungai, jadi kalau Kaltim memproduksi 120 juta ton kita terperangah betapa besar bahan pencemar masuk ke sungai di Kaltim pertahun? Bagaimana kalau terus menerus, sampai 15 tahun, ini adalah genocide!!!
Saya sudah dari utara, di sana ada satu sungai lagi bakal tidak bisa dijadikan bahan baku air minum. Sungai Malinau. Tambang mulai mengamuk, berapa lagi kerugian yang harus dipikul rakyat Kaltim untuk memenuhi kebutuhan dasar, air.

Menurut Anda, kehancuran ekologi saat ini apa masih bisa dilakuklan perbaikan? Misalnya reklamasi?

Berbicara masalah reklamasi seharusnya tahu dulu apa yang dinamakan dengan reklamasi tersebut. Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai kegiatan usaha pertambangan umum agar dapat berfungsi dan berdaya guna sebagai peruntukannya. Jaminan reklamasi sendiri adalah dana yang disediakan oleh perusahaan pertambangan sebagai jaminan untuk melakukan reklamasi di pertambangan umum. Jadi, reklamasi tidak mungkin bisa memulihkan.
Apalagi, sejauh ini yang namanya reklamasi belum ada yang menata siapa yang melakukan pengontrolan terhadap  perusahaan pertambangan, malah kalau kita lihat banyaknya peninggalan lubang raksasa yang ada saat ini, tanpa dilakukan reklamasi oleh perusahaan tersebut. Siapa yang menerima dana reklamasi dari perusahaan dan siapa yang melakukan kontrolnya; Apakah BLH  atau Distamben? Saya belum pernah melihat hasil dari reklamasi itu. Tidak mudah mengembalikan fungsi hutan tersebut, butuh waktu yang lama pastinya. Karena sampai saat ini belum ada berapa jaminan reklamasi semestinya yang diberikan setiap perusahaan untuk mengembalikan fungsi hutan dan ekosistem yang ada di dalamnya sebelum terjadinya eksploitasi.

Jadi, sebenarnya semakin besar investasi masuk ke Kaltim, kian mengancam kerusakan lingkungan yang lebih parah?

Nah, ini menarik. Menurut saya sesungguhnya kita tidak memerlukan investasi untuk mengekstrak sumber daya alam tidak terbaharukan. Ini harus direview atau ditata kembali sebelum semuanya menjadi lebih parah. Sebab investasi yang terjadi seperti batubara justru menimbulkan kerusakan lingkungan. Saya menghitung angka kerugian dari kerusakan lingkungan sekitar 8, 34 triliun rupiah. Dan ternyata itu terlalu kecil.
Kita ini kan berada di titik ironi. Saya ke Bontang dapat data bahwa setiap tahun PT Badak NGL menghasilkan uang dari ekspor LNG tak kurang dari 15,3 trilliun rupiah. Tapi tengok, ada sekitar 33 ribu warga sangat miskin disekitar pabrik.
Kemudian produksi KPC mencapai 70 juta ton, artinya menghasilkan uang sekitar 23 trilliun rupiah setahun. Dengan biaya produksi yang murah, masa jalan Sangata - Bontang tidak bisa mulus, alokasikan Rp500  milyar sudah lebih dari cukup. Kutim hanya dapat tidak lebih dari 1 triliun rupiah per tahun, Nah, 22 trilliun rupiah lagi punya siapa?
Waktu saya presense di Bappeda Kukar, saya katakan rakyat Kukar miskin 26,9%, walaupun APBD-nya hampir 5 trilliun. Ada ratusan tambang batubara di sana. Bagaimana bisa Kukar mencapai MDGs 2015? Tidak ada yang bisa menjawab.
Begitu juga Samarinda. Banyak tambang dekat pemukiman, jalan-jalan rusak, APBD tak sanggup memperbaiki jalan. Malah defisit. Dan ada peristiwa yang memilukan tenggelamnya tiga anak-anak di kolam tambang perusahaan batubara di Sambutan. Mestinya, keluarga yang anaknya tenggelam menjadi pintu masuk bagi perbaikan kinerja tambang. Bisa kita bayangkan kolam-kolam tambang yang dalam dekat pemukiman, tidak memiliki rambu-rambu bagi masyarakat sekitar terutama anak-anak untuk berhati-hati. Jelas tambang harus dipidanakan karena tidak respek terhadap masyarakat bahkan menganggap enteng dan murah nyawa.

Dalam gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, Anda memasukkan unsure kerusakan lingkungan yang harus dikompensasikan ke mata anggaran?

Kalau untuk mensejahterakan rakyat Kaltim sebanyak 3,33 juta orang, kita memang perlu solusi memasukkan komponen kerusakan SDA ke dalam faktor pembagi. Nah itu yang sedang kami lakukan. Dalam istilahnya economic extrality, karena selama ini belum pernah dilakukan. Di berbagai negara kerugian yang ditimbulkan oleh eksploitasi produksi SDA dimasukkan ke dalam faktor pembagi. Misalnya kita ini mendapatkan Rp9,2 triliun, ini harus dimasukkan dalam faktor pembagi, bagi hasil migas dan pertambangan atau nilai beban ekonomi yang timbul terhadap rumah tangga akibat ekploitasi, harus dijadikan salah satu faktor dalam untuk pembagian bagi hasil antar pusat dan daerah.
Salah satu aspek yang kita perjuangkan, agar pemerintah pusat memasukkan komponen penelitian ke dalam formula pembagian keuangan daerah ini. Karena selama ini setoran yang kita berikan ke pusat antara 100 sampai dengan 120 trilliun rupiah, namun yang kembali hanya sebesar 5 persen saja. Nah,  itulah yang harus kita perjuangkan, kalau perlu kita kelola sendiri dapur kita masa kita tidak mampu.
Dengan yang 5 persen itu hanya untuk mengganti kerugian saja, akibat yang ditimbulkan oleh eksploitasi, bukan untuk mensejahtrakan, belum sampai di situ, hanya sebatas pengganti agar investor yang ada lebih bisa mengembangkan sayapnya. Sudah seharusnya kita melakukan moratorium, kita hentikan semua tambang yang ada sebelum hal yang lebih buruk akan terjadi, karena dengan banyaknya tambang yang melakukan eksploitasi malah meningkat jumlah kemiskinan. Bukan kesejahteraan yang dicapai.*
-
Biodata:
Nama: Bernaulus Saragih
Lahir: 1 Juli 1968
S1.Fak kehutanan UNMUL
S2. Univ. Gottingen, Jerman
S3.univ Leiden Belanda
Jabatan: Kepala Puslit sumber daya alam UNMUL
                Ketua Tim Ahli Lingkungan JR MRKTB Kaltim
Editor in chief Journal naturakl life seience UNMUL
Staff pengajar Fak Kehutanan UNMUL
Berkeluarga 1 anak
Istri: Celiyani Spd
Pekerjaan: Guru SMK 5 SMD

Tidak ada komentar: