Selasa, 12 Februari 2013

Mencurigai Skenario Jakarta


 
Jakarta meluncurkan MP3EI (Master Plann Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memastikan paper yang berisi setumpuk rencana tersebut bukan kertas kosong. 

Begitu dilaunching bulan Mei 2011 silam, langsung digelontorkan 17 proyek infrastruktur senilai Rp 190 triliun. Provinsi Kalimantan Timur cuma kebagian proyek PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Pulau Sebatik sebesar 200 kwp.
 Tapi di luar 17 proyek tersebut, Kaltim disebut-sebut sudah diplot masuk dalam rencana investasi yang diproyeksi secara nasional senilai Rp4.000 triliun sampai tahun 2014. Angkanya belum jelas benar. Tapi untuk Pulau Kalimantan yang di antaranya bakal memiliki rel kereta api yang menghubungkan Kalteng – Kaltim, penanaman modal minyak dan gas, dan banyak lagi, ditaksir mencapai Rp945 triliun.
Data MP3EI menyebut, ada tujuh bidang investasi di Kalimantan. Selain untuk Migas mencapai Rp344 triliun dan menjadi penanaman modal terbesar, juga infrastruktur Rp167 triliun untuk pembangunan jalan Trans Kalimantan, rel kereta api, pelabuhan internasional dan jalan tol. Sektor investasi batubara juga punya perhatian, yakni Rp181 triliun.
Jelas saja rencana induk pemerintah pusat itu mendapat reaksi beragam di daerah. Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang malah sudah melakukan penolakan. Skenario Jakarta itu dianggapnya tidak pro terhadap masyarakat di daerah dan kelak hanya menguntungkan pengusaha. Pembangunan rel kereta api untuk mengangkut hasil kebun sawit dan batubara, hanya mempercepat eksploitasi sumber daya alam di daerah, sedangan masyarakat tidak begitu menikmati. Malah masyarakat akan disisakan persoalan lingkungan.
Agustin Teras Narang yang berasal dari PDI Perjuangan, bukanlah seorang gubernur tanpa visi. Ia seorang advokat dan pernah menjadi Ketua Komisi II DPR RI, sehingga tak perlu diragukan menguasai persoalan nasional. Kalau ia menolak proposal Jakarta, berarti memang ada alasan ilmiah yang menyertainya. Ia tidak mau serta merta menyambut masuknya investasi, apalagi kalau dianggapnya akan memberikan dampak buruk bagi daerah.
Bagaimana dengan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak?
Belum ada pernyataan resminya memang. Faroek mengaku belum tahu tentang rute rel kereta api yang disebut-sebut menghubungkan Kalteng-Kaltim itu. “Kita cari tahu dulu dengan Jakarta,” kata Faroek.
Sejak dilantik bulan Desember 2008 silam, Faroek termasuk gubernur yang bernafsu hadirnya proyek-proyek raksasa. Ia ingin menorehkan prestasi fenomenal semasa menjabat. Simak kekerasan hatinya membangun jalan tol Balikpapan – Samarinda yang konon bakal diteruskan terkoneksi ke Bontang sampai pelabuhan Maloy di Kutai Timur. Untuk jalan tol Balikpapan – Samarinda saja, diprediksi menelan anggaran Rp6,2 triliun.
Warga Kaltim sudah terbiasa mendengar obsesi Faroek tentang pelabuhan Maloy yang dihayalkannya bakal menjadi pelabuhan ekspor CPO (crude palm oil) yang diproduksi Kutai Timur dan sekitarnya, serta ekspor batubara. Pelabuhan Maloy ini yang dipetakan bakal tersambung dengan infrastruktur trans Kalimantan dan juga rel kereta api.
Sekilas, rencana besar Awang Faroek Ishak, pastilah membuat masyarakat terkagum-kagum. Jika ‘mimpi’ itu terwujud, sejarah mencatat dimulainya ada jalan tol, ada kereta api di seluruh Kalimantan.
Padahal, seperti kata ahli-ahli lingkungan, inilah juga mimpi buruk masyarakat Kalimantan. Investasi bidang infrastruktur dan rel kereta api adalah skenario untuk mempercepat pengurasan sumber daya alam. Batubara yang diprediksi memiliki deposit digali sampai 150 tahun, bakal habis hanya dalam waktu 30 tahun. #
 
Sinyal Wisdom Teras Narang

Penolakan Agustin Teras Narang terhadap proposal Jakarta yang ingin membangun rel kereta api menghubungkan Kalteng – Kaltim jadi hits positif di media massa dan media sosial.
Di negeri ini jarang sekali muncul penolakan orang-orang daerah atas program yang dicanangkan pemerintah pusat di Jakarta. Tapi Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, memulai tradisi yang tidak lagi manut-manut saja menerima apa adanya. Pekan lalu, Teras yang mantan advokat itu mengirim ‘memori kontra’ atas proposal yang diajukan Jakarta.
“Kalau pusat tetap maksa membangun rel kereta api antarprovinsi itu, saya akan mengundurkan diri,” ucap Agustin Teras Narang kepada wartawan, pekan tadi. Wakilnya, Ahmad Diran, juga menyampaikan hal serupa.
Pernyataan itu tidak sekedar gertak sambal. Ia adalah Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). Pernyataan mundur bisa menjadi ancaman bahwa suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan menolak juga pemerintah pusat. Penolakan terhadap pemerintah pusat, kian menjadi preseden bahwa saatnya orang-orang daerah berdaulat atas daerahnya sendiri.
Hubungan pusat – daerah belakangan kian merenggang. Setelah Papua yang memunculkan keinginan disintregrasi, di Sumatera baru-baru ini, sejumlah gubernur tidak mau menghadiri Rakor (Rapat Koordinasi) di Palembang. Padahal rakor itu dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tiga provinsi mengirim wakil gubernur dan dua provinsi lain diwakili pejabat gubernur.
Di Kalteng, Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah berdiri di belakang Teras Narang. "Rakyat Kalimantan Tengah tidak dipandang apa-apa oleh pihak yang merencanakan rel kereta api antarprovinsi," kata Sabran Achmad, Ketua Dewan Adat Dayak.
Padahal, di depan mata, sudah ada investor dari Rusia memboyong uang tidak kurang dari USD2,5 miliar atau sekitar Rp21 triliun. Perusahaan asing itu setuju membangun rel kereta api menghubungkan Puruk Cahu Kalteng – Kubar Kaltim lebih 135 kilometer. Malah, kata Rizal Affandi Lukman,  Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembiayaan Internasional, pemerintah pusat sudah menyiapkan nota kesepahaman (MoU) dan diteken saat kunjungan Presiden Rusia Dimitry Medvedev ke Bali untuk menghadiri East Asia Summit pada November 2011.
Alasan Agustin Teras Narang, keberadaan rel kereta api tidak untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, tapi untuk mengangkut hasil tambang batubara dan hasil kebun sawit milik para pengusaha. Ia menyadari, selama ini kedua komoditi itu hanya member keuntungan pengusaha. Keberadaan rel kereta api otomatis pula mempercepat pengurasan sumber daya alam di Kalteng dan mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan. Apalagi, Teras Narang mendapat kabar kalau pembangunan rel kereta api  itu membelah kawasan hutan kawasan hutan lindung Pegunungan Muller-Schwanner.
Kalteng termasuk punya pengalaman buruk dengan pemerintah pusat. Di zaman Presiden Soeharto di daerah itu dijadikan ‘percobaan’ proyek sejuta lahan gambut menjadi lahan pertanian. Proyek itu akhirnya terbengkalai dan kini malah menjadi sumber bencana kebakaran, karena lahan gambut yang kering jadi mudah terbakar.
Pengalaman buruk itu membuat segenap komponen warga di Kalteng tak lagi menelan mentah-mentah program dari Jakarta. Mereka bertekad ingin menjadi daerah mandiri, yang mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal (wisdom).
Di media-media muncul dukungan terhadap langkah tegas Teras Narang. Kalangan kampus juga banyak memuji memang itu yang harus dilakukan para pemimpin di daerah. Di media sosial facebook, langkah sang Gubernur juga mendapat respon positif.
“Ancaman Gubernur Teras Narang, yang adalah presiden majelis adat dayak nasional, harus dianggap sebagai ancaman serius oleh pemerintah pusat, jangan sampai sikap tersebut dianggap sebagai gertakan apalagi sekedar isapan jempol. Jika pemerintah pusat memaksakan kehendak, dan Gubernur Teras Narang menyatakan mundur, maka sejatinya, pernyataan mundur tersebut adalah ‘maklumat perang’ bangsa Kalimantan atas kekuasaan NKRI yang ternyata tidak mau mendengar dan mengakomodir aspirasi dan kepentingan rakyat tidak saja Kalteng, tetapi sejatinya Kalimantan secara keseluruhan,” komentar Rendi S Ismail di akun Facebook Bmagazine Group. @

Tidak ada komentar: