Rabu, 12 November 2008

Bukit Soeharto


Keserakahan telah menutup mata. Saat ini, setidaknya ada 20 perusahaan tambang mengepung Bukit Soeharto yang statusnya adalah Tahura alias Taman Hutan Raya.

Istilah Tahura untuk memberi gambaran bahwa di sana ada zona-zona yang dilindungi, seperti konservasi, pendidikan dan wisata alam. Kawasan itu juga sebagai bagian memberikan keseimbangan lingkungan, agar tidak semua kawasan sebuah daerah diolah terbuka.

Apa yang diharapkan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dengan memberikan izin Kuasa Pertambangan (KP) terhadap 20 perusahaan itu? Bukankah Kukar adalah daerah yang kaya raya dengan APBD di atas Rp6 Triliun per tahun?

Kalau yang diharapkan adalah PAD (Pendapatan Asli Daerah), maka itu hanya alasan yang dibuat-buat. Sebab jika dibuat kalkulasi mengenai berapa besar pendapatan Kukar dari sektor batubara berijin KP, maka sebenarnya tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang dibuatnya.

Sudah bukan rahasia bahwa tidak ada satupun perusahaan pemegang KP di daerah itu yang memenuhi standard lingkungan dalam menjalankan usahanya. Lobang-lobang eks tambang lebih banyak dibiarkan menganga, dari pada ditimbun kembali dan kemudian disuburkan. Lahan-lahan itu ditinggalkan dalam kondisi rusak parah.

Yang terjadi kemudian adalah pemerintah menggelontorkan uang untuk membenahi lingkungan yang rusak tersebut. Uang dari bagi hasil seperti royalti, tidaklah cukup untuk memulihkan lahan-lahan yang semula subur untuk tanaman tersebut.

Puluhan bahkan mungkin lebih seratus perusahaan tambang batubara di Kutai Kartanegara terbukti tak membuat masyarakat di daerah itu menjadi lebih meningkat taraf hidupnya. Sebab umumnya pengelola tambang adalah pengusaha dari luar daerah yang setelah mendapat untung berlimpah, membelanjakan uangnya di daerah mereka sendiri.

Kok, pemerintah memberi izin usaha yang didominasi untuk kepentingan pengusaha saja? Hal itu bisa terjadi karena adanya kongsi antara penguasa dan pengusaha. Kongsi ini adalah bentuk korupsi karena menguntungkan diri sendiri atau menguntungkan kelompok lainnya.

Pada gilirannya rakyat di sekitar tambang juga yang akhirnya menderita. Mereka tidak lagi bisa memanfaatkan lahan yang rusak untuk bercocok tanam, sementara setiap hari bermandi debu ketika musim panas dan becek pada musim hujan.

Kondisi memprihatinkan ini mestinya disadari oleh kalangan pejabat pemerintahan Kukar. Dengan APBD yang luar biasa besar, sudah cukup untuk mengelola sumber daya yang ada agar lebih arif terhadap lingkungan. Sumber daya mineral yang tersisa mestinya dibiarkan disimpan untuk generasi berikutnya. Jangan sampai generasi mendatang hanya disisakan bencana. *

Tidak ada komentar: