Rabu, 12 November 2008

Politik Idul Fitri


TIDAK dapat dipungkiri momentum Idul Fitri pada 1 dan 2 Oktober 2008 tak hanya menjadi ajang bermaaf-maafan. Ini juga bisa dimanfaatkan kalangan politisi untuk ‘tebar pesona’ kepada masyarakat di sekitar. Bersalam-salaman sambil mengabarkan; “Eh, saya maju sebagai calon legislatif nich. Mohon doanya”.

Sejak memasuki bulan ramadhan, nuansa politik sudah mulai semakin gencar. Di sudut-sudut kota bermunculan berbagai spanduk, baliho dalam ukuran besar serta poster-poster ucapan ‘selamat menjalankan ibadah puasa’. Terpampang pula foto pembuat baliho di sana dengan kapasitasnya sebagai calon anggota legislatif.

Tidak cukup itu, calon kandidat juga semakin sering melakukan acara buka puasa bersama di rumahnya. Secara bergiliran beberapa kelompok, kolega termasuk tetangga diundang, yang sebenarnya tidak pernah menjadi agenda tahunan pada waktu sebelumnya.

Tentu tidak ada yang salah. Idul Fitri adalah misi ‘kembali suci’ dan politik juga punya misi suci. Simak sejarah kelahiran politik (negara/state), yakni mengelola kehidupan publik melalui institusi negara. Idealnya; para politisi berlomba-lomba untuk misi suci itu.

Perjalanan sejarah pula yang merubah imej politik menjadi begitu keras dan bahkan berdarah. Ingat kata-kata ”politik itu kotor”. Menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan, sehingga pentas politik dihuni oleh politisi yang sebagian bermental rusak.

Ini jauh dari keinginan Plato yang mengidamkan orang yang berhak memegang kekuasaan negara adalah filsuf.

Silaturahmi politik pada Idul Fitri tentu juga membawa pesan-pesan pembaruan, karena kondisi negeri ini masih terseok-seok, rakyat miskin yang jumlahnya membesar dan kondisi lingkungan yang rusak karena para pemegang kekuasaan salah mengelola negara. Janji politik bakal ’berhamburan’ kembali seperti yang pernah terjadi pada tiap kali menjelang Pemilu.

Politisi ’tajir’ alias banyak uang pastilah akan merajai pentas-pentas silaturahmi selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Sedangkan yang tipis ’modal’ cukup berkeliling kampung sambil ’mendendangkan’ perubahan jika ia masuk dalam kelompok pengelola negeri.

Forum silaturahmi tentu merupakan ujian bagi publik untuk melihat, menyimak, seberapa kuat kemampuan, talenta para politisi itu untuk masuk menjadi kandidat pengelola negeri. Apakah cukup pantas dan mampu memperbaiki negeri ini?

Saran saya; jangan mudah tertipu dengan janji-janji para pengobral janji. *

Tidak ada komentar: