Rabu, 12 November 2008

Gubernurku


SEORANG pegawai Dinas Pertanian sebuah kabupaten di utara Kaltim mengeluh. “Kaltim itu tidak punya cetak biru pembangunan,” ujarnya. Cetak biru yang dimaksudkan adalah landasan, program perencanaan, agar kabupaten dan kota diseluruh Kaltim bisa menyesuaikan.

Akibat tidak adanya cetak biru itu, pembangunan di kabupaten dan kota menjadi amburadul. Terkesan sporadis, sehingga anggaran yang digelontorkan tidak membawa dampak pada perubahan ekonomi masyarakatnya. Pegawai tadi mencontohkan di sektor pertanian. Masing-masing daerah berlomba mengejar sektor unggulan pertanian atau perkebunan, tetapi ternyata di kabupaten dan kota lain juga sama unggulannya. Misalnya tanaman buah jeruk, kalau semua daerah memprogramnya malah membuat produksi booming dan akibatnya harga menjadi jatuh.

Keluhan pegawai tadi merupakan gambaran kondisi pemerintahan di Kaltim. Sepertinya ada jarak yang besar antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota. Masing-masing tingkatan pemerintah berjalan sendiri-sendiri dengan programnya.

Sejak otonomi daerah bergulir di Kalimantan Timur tahun 2001 silam, nampaknya memang ada yang salah dalam tata kelola pemerintahan itu. Kalau diurut awal kesalahan tersebut, dimulai ketika masa ’pancaroba’ kewenangan dari yang semula sentralisasi ke desentralisasi. Sebagian besar (ada 13) kewenangan pemerintah pusat diserahkan ke daerah.

Pada saat kewenangan sudah berada di daerah itulah kemudian mulai menjadi malapetaka di Kaltim. Gubernur yang waktu itu dijabat Suwarna Abdul Fatah ’berkelahi’ urat syaraf dengan bupati – khususnya Bupati Kukar Syaukani HR.

Masing-masing menunjukkan sikap arogansinya. Suwarna merasa sebagai gubernur punya lebih kewenangan dari pada bupati / walikota atau masih merasa sebagai atasan mereka, sementara para bupati dan walikota merasa telah berada di otonomi sendiri. Bukankah titik pelaksanaan otonomi daerah berada di kabupaten dan kota? Bukan lagi di provinsi.

Sikap pertentangan itu yang berpengaruh besar. Pemerintah provinsi melaksanakan sendiri programnya dan kabupaten / kota juga asyik dengan mengatur daerahnya sendiri. Mereka seperti berkompetisi memajukan daerah masing-masing, tapi akhirnya kompetisi bukan lagi dimainkan secara sportif.

Masing-masing daerah melupakan koordinasi antar kabupaten/kota atau dengan pemerintah provinsi. Sengketa perbatasan akhirnya banyak tidak bisa diselesaikan. Padahal, daerah – waktu itu – memerlukan gubernur yang bisa menjadi pengayom. Seperti seorang ayah yang menjaga anak-anaknya agar tidak saling berkompetisi secara tidak sehat. Membutuhkan seorang CEO (chief executive official) agar sumber daya alam bisa dikelola dengan berdaya guna.

Sayang, itu semua hanya menjadi impian. Ditambah oleh kasus sang gubernur yang terlibat korupsi sehingga tak bisa melaksanakan tugasnya, maka lengkap sudah Kaltim mengalami mimpi buruk itu selama lebih 7 tahun. Untuk itu, kita berdoa pada 23 Oktober 2008 ini rakyat Kaltim sudah punya gubernur lagi. Gubernur yang bisa menjadi ayah bagi rakyat Kaltim. **

Tidak ada komentar: