Selasa, 03 Maret 2009

Perang

ISRAEL sepertinya memang betul ’ditakdirkan’ untuk selalu berperang. Penghujung 2008 lalu, serangan tentara Israel di Jalur Gaza yang dikuasai Palestina, telah membumihanguskan benteng para pejuang Palestina dan juga rumah-rumah sipil. Sampai tanggal 6 Desember 2009, menurut data sebuah koran harian, serangan Israel mengakibatkan 375 tewas dan 1.400 luka-luka.
So, masyarakat dunia pun mengecam Israel. Solidaritas bermunculan dengan berbagai bentuk dan gaya. Ada yang hanya mampu memberikan rasa solidaritas dengan menitikkan air mata ketika menyaksikan mortir menewaskan anak-anak kecil dan menghanguskan Mesjid. Ada juga yang rela menyumbang uang untuk membantu para korban sipil.
Di Indonesia, aksi solidaritas terhadap Palestina berbuah “kemarahan“ yang memuncak. Ada yang rela menjadi ’pejuang’ dadakan untuk membalas kekejaman Israel.
Sepanjang hari, nyaris tak ada opini yang mencitrakan Israel sebagai negara yang bermartabat. Semua orang mengeluarkan ’kemarahan’ pula dengan mengutuk Israel sebagai zionis, laknat, biadab.
Saya jadi ikut terkesima menyaksikan kemarahan orang Indonesia yang tereksploitasi di media-media massa. Mereka beraksi demonstrasi, membakar bendera Israel dan juga Amerika Serikat yang selalu dituduh berada di belakang Yahudi Israel.
Mengapa di awal tahun 2009 ini otak kepala kita dicekoki oleh informasi yang mengundang ’kemarahan’ yang luar biasa? Sampai membuat segelintir orang menjadi nekat untuk membalas dendam serangan Israel?
Waktu kecil saya sering mendapat kalimat bijak dari orangtua yang mengutip ajaran religi; “..jika ada yang menampar pipi kananmu, berikan pula pipi kirimu”.
Tapi kenapa kekejaman Israel disambut dengan aksi balas dendam? Bukankah itu berarti bahwa sebenarnya kita lebih kejam dari tentara Israel itu sendiri? Mengapa mengatasi pelanggar hukum dengan cara melanggar hukum pula? Mengapa kita ingin membunuh tentara Israel hanya gara-gara mereka lebih dulu menjadi pembunuh?
Bangsa Indonesia yang pluralis, sering kali terjebak dalam arus simbol-simbol yang dimainkan para pelaku politik. Kekejaman, kebaikan adalah ’instrumen’ yang selalu menjadi lahan politik, termasuk juga kekejaman Israel di Jalur Gaza. Simak saja bagaimana kelompok politik tertentu di Indonesia berusaha mengeksploitasi kekejaman Israel itu menjadi jalan menuju simpati warga terhadap mereka.
Kita sedih, menangis menyaksikan anak-anak di Jalur Gaza terbunuh. Tapi itu sebenarnya risiko dari perang. Yang bisa kita lakukan sekarang dan sampai kapanpun, janganlah kita munculkan kata perang untuk membalas sebuah perang. *

Tidak ada komentar: