Rabu, 18 Maret 2009

Kriminalisasi Pers

TANGGAL 9 Februari 2009 benar-benar dimanfaatkan tokoh-tokoh pers untuk mereview kembali perjalanan semua infrastruktur dunia pers. Mulai soal undang-undang Pers, kode etik sampai dengan benturan yang muncul karena adanya undang-undang lain (Kitab Undang-undang Hukum Pidana- KUHP) yang bisa lebih unggul dari pada UU Pers No 40 tahun 1999.

Kalau wartawan memeras, menipu, memakai narkoba, silakan polisi menangkap dan gunakan pasal-pasal KUHP. Tapi kalau ia menulis sebuah berita dan telah melewati prosedural, tapi kemudian menimbulkan sengketa, maka mestinya itu menjadi wilayah Undang-undang Pers.

Seminar tentang kriminalisasi pers dalam rangka Hari Pers Nasional di Hotel Atlet Century Jakarta (8 Februari 2009), muncul juga pernyataan masih tingginya ego dari penyidik yang tidak mempedulikan adanya UU Pers. Lebih ironis lagi sikap ego itu makin menguat karena pihak yang diberitakan adalah konglomerat atau penguasa yang ‘ringan tangan’ memberikan bantuan dana. Maka, semakin terpojoklah wartawan yang menulis berita karena disamakan dengan pelaku kriminal.

Keinginan para wartawan, penyidik wajib menyarankan kepada pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan untuk menempuh mekanisme penyelesaian sengketa berita seperti tercantum dalam UU Pers. Salah satunya penggunaan hak jawab. Kata dibalas dengan kata, tulisan dibalas dengan tulisan.

Sebenarnya sudah ada keseragaman pemikiran di kalangan elit, yakni antara Dewan Pers, Kapolri, Kejagung dan pemerintah untuk menggunakan UU Pers saja dalam hal sengketa berita. Itu sebabnya Aburizal Bakrie yang juga Menko Kesra, memilih mengadukan majalah Tempo yang memberitakannya ke Dewan Pers dari pada ke polisi.

Yang dicari Ical – panggilan akrab Aburizal Bakrie – adalah bahwa tulisan, artikel, berita yang disampaikan majalah itu tidak benar, sekaligus membersihkan dirinya dari semua tuduhan. Kalau pada akhirnya Dewan Pers menyatakan Tempo bersalah, maka itu adalah pukulan telak bagi brand media yang berjuang keras menjadi kepercayaan pembaca.

Lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun pernah memilih menggunakan hak jawab di dua surat kabar nasional, karena ada pemberitaan yang dinilai tidak tepat dan berpotensi memunculkan opini publik yang keliru.

Di negeri yang demokratis, kemerdekaan pers sangat diperlukan untuk mengawasi jalannya pemerintahan, penyelenggaraan negara. Karena Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sendiri telah memberikan ruang pada hak rakyat akan informasi dan kemerdekaan pers. Jadi, sebaiknya kita tolak kriminalisasi pers. **

Tidak ada komentar: