Selasa, 03 Maret 2009

Ngatijan-Hafid

DUA tokoh ini punya peranan penting membangun Kabupaten Nunukan. Ngatijan Ahmadi sebagai Ketua DPRD dan Hafid (HA Hafid Achmad) menjadi bupatinya. Dalam Undang-undang tentang Pemerintah Daerah keduanya menyandang predikat pejabat politik pemerintahan. Sedangkan dalam istilah trias politika, Ngatijan adalah agen legislatif dan Hafid agen eksekutif.
Begitu pentingnya peranan kedua tokoh ini, sampai-sampai (mestinya) tidak satupun item anggaran pembangunan bisa terlaksanakan tanpa melalui persetujuan kedua tokoh ini. Hafid yang mengusulkan, Ngatijan yang menggolkan – tentu setelah berunding dengan komisi-komisi di DPRD.
Dengan pertautan jabatan yang amat penting itu, logisnya keduanya saling bahu membahu membangun daerah. Menyingkirkan kepentingan pribadi dan golongan, serta menjadi panutan rakyat yang memberikan amanat.
Sayangnya tidak semua yang ideal itu bisa terwujudkan. Hubungan eksekutif – legislatif yang mestinya saling menghormati, justru kerap memunculkan ego kekuasaan. Saling bersikap sebagai penguasa, bukan berbagi dalam kesetaraan kekuasaan.
Implementasi terjadinya ’ego kekuasaan’ itu tercermin dalam pembangunan Kabupaten Nunukan. Seperti yang saya baca dalam pemberitaan media massa, misalnya anggota dewan yang terkejut dengan proyek ’siluman’ karena secara tiba-tiba muncul tanpa pernah dibahas anggarannya oleh dewan.
Lalu, kegiatan proyek di lahan hutan yang belum mendapat ijin alih fungsi, serta lemahnya dewan atau ’tidak bergiginya’ legislatif melakukan fungsi pengawasan.
Fungsi pengawasan hanya dianggap menjadi bagian ritual kegiatan belaka, tanpa ada konsekwensi yang diberikan legislatif terhadap pemerintah.
Padahal, DPRD bisa saja memberikan ganjaran konsekwensi dengan cara ’memainkan’ instrumen APBD, bahkan mencoret berbagai item proyek dan kegiatan pemerintah kalau dalam analisanya hanya menjadi kegiatan mubajir.
Dalam kepemimpinan Ngatijan-Hafid sebenarnya adalah kesempatan untuk memulai memberikan dinamika itu. ’Dwi politika’ ini harus membuktikan berbeda dengan masa sebelumnya di mana waktu itu peran DPRD hanya sebatas ’tukang’ leges APBD saja.
DPRD saat ini punya kesempatan untuk memainkan isu tertangkapnya sejumlah pejabat sebagai bagian kelemahan pemerintahan. Kelemahan pemerintahan itu membuat kebocoran anggaran dan akhirnya rakyat yang dirugikan. Sementara eksekutif juga patut bercermin diri, tidak perlu lagi mengedepankan ego kekuasaan. **

Tidak ada komentar: