Jumat, 22 Februari 2008

Nunukan

Oleh: Charles Siahaan

TAHUN 2000 ke bawah, Nunukan masih mendapat julukan sebagai kota Texas. Ini lantaran kehidupan masyarakat yang cenderung ‘liar’. Mabuk-mabukan di tepi jalan, naik motor dalam keadaan mabuk dan kebut-kebutan yang memekakan telinga di tengah malam. Belum lagi keributan perkelahian di tempat keramaian yang terbiasa selalu diwarnai dengan senjata tajam.

Nyaris hukum tak berhasil menertibkan tingkah laku sebagian warga. Polisi bertindak, kantor polisinya diserang. Bea Cukai menangkap penyelundup, kantor Bea Cukai yang dirusak. Begitu terus, sehingga kejahatan merajalela dan bahkan oknum aparat hukum ikut terlibat di dalamnya.

Tapi masa itu perlahan berlalu. Sejak definitive menjadi kabupaten pada tahun 1999, yang dibarengi dengan konsentrasi pemerintahan bersama jajaran lain seperti polisi, TNI, berhasil mengatur kembali warga di sana dalam aturan hukum positif maupun peraturan daerah. Ketegasan kepolisian dan aparat hukum lain merupakan bagian penting apakah keadilan telah ada dan berdiri di daerah yang dulu Texas itu.

Secara geografis Kabupaten Nunukan berhadapan langsung dengan garis batas negara dan Kota Tawau Malaysia yang sudah berubah menjadi metropolitan. Batas lautnya juga berdekatan dengan daerah di Filipina, sehingga itu sebenarnya adalah bagian potensi luar biasa bagi perkembangan daerah-daerah di Nunukan di masa depan.

Ketika pemerintahan dipegang HA HAfid Acmad strategi kebijakan sudah dalam kerangka yang benar. Yakni dengan mengalokasikan nyaris separuh APBD untuk pembangunan fisik, infrastruktur. Konsepnya adalah bagaimana membuat masyarakat lokal menjadi lebih betah tinggal di Nunukan, sehingga kemudian bangkit bersama-sama menarik investor berkantor di Nunukan.

Tapi persoalan muncul seiring konsentrasi pembangunan fisik itu. Sebab elemen lokal ternyata memang belum siap menerima beban tanggungjawab untuk membangun kota itu. Ratusan proyek fisik dikabarkan hancur berantakan. Jalan rusak sebelum diresmikan, jembatan tidak selesai dan banyak lagi. Yang mengejutkan, ada dugaan lebih 50 persen anggaran fisik itu bocor ke tangan pengusaha yang tidak punya tanggungjawab terhadap proyek yang dikerjakannya.

Kebocoran anggaran adalah bagian kerugian negara yang patut diselesaikan secara hukum. Akan tetapi – lagi-lagi – aparat hukum di sana tidak mampu berbuat menegakkan hukum sebagaimana tugas dan tanggungjawabnya. Kasus-kasus proyek yang muncul hanya lewat berseliweran di depan mereka, namun tidak ada upaya mengejar pelakunya.

Kini, warga Nunukan kembali dibayangi persepsi bahwa hukum memang belum menyentuh para pelaku yang menggerogoti keuangan negara. Kehidupan liar semasa mendapat julukan Kota Texas, masih ada dan bahkan berubah menjadi lebih intelek karena yang digerogoti sekarang adalah uang negara. Kalau dulu kejahatan sebatas kriminal biasa, sekarang telah meningkat menjadi kejahatan kerah putih (white collar crime) dan melibatkan pengusaha – penguasa.

Perlu keberanian untuk melakukan perubahan di Nunukan. Langkah yang paling tepat harus dimulai dari bupatinya. Orang nomor satu ini yang patut menggedor seluruh unsur Muspida untuk menangkapi tikus-tikus penggerogot uang negara. Ayo! Kita turut berdoa. **

Tidak ada komentar: