Jumat, 22 Februari 2008

Kutai Kartanegara

Oleh: Charles Siahaan

LIMA tahun silam kita seakan takjub dengan rencana besar Syaukani HR. Pulau Kumala yang terletak di depan Kota Tenggarong dan hanya berbentuk gumpalan tanah belukar, ‘disulap’ menjadi kawasan wisata yang megah. Ada taman-taman, permainan, kereta gantung, kereta api mini dan cottage lengkap dengan kolam renang.

Belum lagi pembangunan penunjang lainnya seperti Kedaton yang megah, planetarium dan jalan beton menuju perbatasan Tenggarong Seberang – Samarinda. Semua ditampilkan untuk mendapatkan sebuah kesan; Hebat Syaukani.

Ia pun menjadi orang termasyur di seantero negeri. Pergaulannya pun semakin luas dengan tokoh-tokoh nasional dan bahkan beberapa calon Presiden RI seakan wajib menyampaikan kulonuwun dengan datang menemui Syaukani di Kota Tenggarong. Dari sisi penampilan pun, belum ada di seluruh negeri Bupati menggunakan helikopter dalam berbagai kepentingan dinasnya.

Kehebatan dan kemasyuran kerap menutup mata hati. Barangakali itu pula yang menimpa Syaukani. Kekuasaan yang sangat besar membuatnya meremehkan hal-hal kecil seperti soal penggunaan anggaran. Pergaulannya yang sudah menasional cenderung membuatnya menyepelekan orang-orang lokal, bahkan sekelas Gubernur Kaltim Suwarna AF sekalipun.

Akibatnya adalah bencana. Perseteruan Syaukani dengan Suwarna AF dan sebelumnya dengan Awang Faroek Ishak soal dana lifting Migas dan kemudian dengan Achmad Amins soal rencana pembangunan bandara, telah membuat pencitraan bahwa seorang Syaukani termasuk tokoh yang tidak menerima kekalahan.

Publik Kaltim masih mengingat bagaimana perseteruan Syaukani dengan Suwarna AF. Perseteruan itu yang membuat perjalanan pemerintahan di Kaltim menjadi tidak sehat. Akhir dari ’pertempuran dua gajah’ yang diwarnai saling melaporkan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) membuat keduanya ’masuk kandang’ pula di sel penjara.

Kutai Kartanegara kini masih masyur. Ia telah menjadi sumber pembicaraan publik Indonesia sebagai daerah kaya raya. Hanya saja selalu ada sisi negatif yang selalu muncul, yakni Kutai Kartanagara yang bupatinya terkena kasus korupsi.

Nampaknya pencitraan buruk itu belum berakhir. Sebab KPK ternyata masih menyimpan banyak kasus di Kutai Kartanegara. Sejumlah pejabat teras – termasuk Wakil Bupati Samsuri Aspar – juga menjalani pemeriksaan kasus korupsi. Pertanyaannya; bagaimana nasib pelayanan publik di sana kalau masih bertambah pejabat yang masuk penjara?

Kutai Kartanegara memerlukan tampilnya tokoh-tokoh baru. Kondisi yang ada saat ini boleh disebut sebagai status quo, karena arah pembangunan semakin tidak jelas. Program Gerbang Dayaku yang dulu menjadi kebanggaan, ternyata hanya berputar pada kerangka berpikir seorang Syaukani. Dan ketika sang pilot tidak lagi berada di sana, maka pesawat pun tak karuan lagi arahnya.

Pasca kepemimpinan Syaukani, yang tersisa memang adalah aroma keinginan memperbaiki semua sistim yang pernah terbangun salah. Pemerintahan merintis kembali mana yang patut dan benar. Jika pada akhirnya muncul sistim anggaran ketat, karena kini semua pejabat semakin takut tertimpa nasib seperti yang dialami bos mereka. *

Tidak ada komentar: