Jumat, 22 Februari 2008

Burhanuddin Abdullah

Oleh: Charles Siahaan

SUATU hari di tahun 2005, saya mendapat kabar tak lazim dari seorang teman yang juga seorang wartawan. Isi kabar itu menyebutkan bahwa Burhanudin Abdullah datang ke Kaltim dan bermaksud bertemu dengan Syaukani HR di Tenggarong.

Ada apa dengan pertemuan itu? Sebab Burhanudin cukup dikenal sebagai mantan Menteri Keuangan dan bankir, sedangkan Syaukani HR adalah seorang bupati.

Dengan polos teman tadi mengatakan bahwa Burhanudin bermaksud maju sebagai kandidat Gubernur Bank Indonesia (BI) menggantikan Syahril Sabirin. Ia butuh dukungan dari kalangan anggota DPR RI yang akan voting memilih Gubernur Bank Indonesia. Selain menganggap Syaukani punya banyak teman di DPR RI, kata temen tadi, Burhanuddin juga membutuhkan penasehat spiritual yang kerap dipercaya oleh Syaukani.

Di tengah kekaguman saya kepada Syaukani HR yang ‘didatangi’ tokoh-tokoh nasional itu, beberapa waktu kemudian tersiar berita surat kabar bahwa Burhanudin Abdullah yang datang ke Tenggarong itu berhasil menang dalam voting Komisi IX DPR RI yang membidangi perbankan. Ia mengalahkan pesaingnya Miranda Goeltom.

Adakah hubungan kemenangan itu dengan turut campurnya Syaukani? Wallauham.

Tetapi tentu saja kita tak boleh memberikan penafsiran seperti itu karena dapat menyesatkan. Tapi ketika ada berita lagi bahwa Burhanuddin Abdullah menjadi tersangka kasus aliran dana Bank Indonesia senilai Rp 31,5 miliar kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003, yakni untuk penyelesaian masalah BLBI dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI, maka mau tidak mau kabar dari teman itu terhubung lagi.

Sebab, ini adalah soal yang banyak orang Indonesia sudah tahu. Bahwa seseorang yang ingin mendapatkan jabatan dan memerlukan justifikasi DPR RI, maka perlu mengalokasikan sejumlah anggaran. Begitu pula ketika bermaksud meloloskan sebuah undang-undang di DPR.

Itu sebabnya Transfarency Internasional Indonesia dalam penelitian mengenai indeks prestasi korupsi (IPK) masih menempatkan lembaga politik termasuk legislatif sebagai kawasan rawan korupsi alias paling korup. Mau meloloskan anggaran (APBN) di suatu daerah, ingin memekarkan kabupaten / kota atau provinsi, semua perlu uang sogokan agar tujuan yang diinginkan berjalan lancar. Publik telah berkali-kali mendapat cerita tak sedap dari DPR RI, terutama menyangkut skandal suap.

Tidak hanya di tingkat DPR RI, di daerah juga peristiwa serupa kerap terjadi. Anggota-anggota DPRD kabupaten / kota serta provinsi berusaha ’ngamen’ di luar parlemen untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Ada yang sampai ketahuan karena meminta uang secara illegal ke badan usaha swasta. Ada juga yang bermain dengan para bupati dan walikota untuk menggolkan proyek-proyek di daerah.

Bagaimana untuk membuka berbagai skandal ini? Tentu tak cukup dengan kemampuan aparat polisi dan jaksa sekarang ini. Diperlukan komponen masyarakat yang fokus dalam memerangi korupsi, sehingga memuncul komunitas antikorupsi. Jaksa atau polisi juga patut bertindak sebagai pemegang supervisi di daerah. *

Tidak ada komentar: