Selasa, 20 November 2007

Solidaritas Myanmar

Oleh: Charles Siahaan

TAYANGAN berita televisi dan surat kabar memunculkan kisah tragis di Myanmar. Demonstrasi besar oleh para rohaniawan (biksu) berujung pada pembantaian oleh tentara negeri itu dan mengakibatkan 13 orang tewas.
Ini mirip dengan kasus tragedi Trisakti dan Semanggi di Jakarta tahun 1997 silam. Gerakan pro demokrasi dibalas oleh senjata otomatis yang diduga sengaja dilakukan kelompok militer atau polisi. Tujuannya, meredam gelombang demonstrasi yang mengancam kelanggengan kekuasaan.
Di Myanmar, pemerintah junta militer telah begitu lama berkuasa. Sejak 1962 dan ini merupakan catatan buruk demokrasi di seluruh negeri. Di negeri ini pula berlangsung penahanan tokoh oposisi sekaligus pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi. Perempuan yang tak pernah menyerah melawan penguasa ini telah menjadi simbol perlawanan rakyat Myanmar.
Hati kita ikut tergerak ketika menyaksikan tubuh-tubuh bergelimpangan meregang nyawa setelah dibantai senjata pihak junta militer. Hati kita tidak bisa menerima kekerasan menghambat perjuangan penegakkan demokrasi yang terjadi di negeri manapun. Emosi kemarahan tak lagi tertahankan dan tangan ikut mengepal sambil meneriakkan kata; “lawan”.
Rakyat Myanmar sedang membutuhkan pertolongan. Mereka tidak mungkin mampu keluar dari masalah selama junta militer yang berkuasa semakin menunjukkan kediktatorannya. Merekayasa dukungan rakyat bahwa pemerintahan itu dilegitimasi dan memutus jaringan informasi ke mancanegara untuk menutup-nutupi kebobrokan di negeri tersebut.
Dominasi pemerintahan junta militer telah pula membuat rakyat di sana tidak berdaya dan hidup dalam tekanan. Sementara Aung San Suu Kyi – teman pejuang rakyat - masih berada di penjara sehingga tidak bisa bersama mereka. Pertanyaannya kini; Siapa bersama perjuangan rakyat Myanmar?
Solidaritas Indonesia telah ditunjukkan para pegiat demokrasi di negeri ini melalui demonstrasi di Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta. Bahkan jajaran Departemen Luar Negeri RI di Pejambon juga tidak seperti biasanya, pada hari Jumat (29/9) pekan lalu mengenakan kemeja warna merah untuk menunjukkan rasa solidaritas terhadap perjuangan para biksu. Warna merah maron adalah warna pakaian yang dikenakan para biksu.
Rakyat Indonesia termasuk yang punya empati terhadap rakyat Myanmar. Sama halnya ketika rakyat Indonesia juga prihatin dengan masalah Palestina. Kalau untuk rakyat Palestina, gelombang demonstrasi cukup besar sampai ke daerah – daerah, tapi mengapa untuk kasus demokrasi Myanmar hanya terasa sedikit yang peduli?
Untuk tragedi Myanmar, Indonesia tidak cukup kalau hanya menunjukkan rasa prihatin dan peduli. Sebagai negara di Asia yang cukup berpengaruh, saatnya pula Indonesia menunjukkan sikap menolak pemerintahan junta militer di negeri itu. *

Tidak ada komentar: