Selasa, 20 November 2007

Desentralisasi Politik

Oleh: Charles Siahaan

BERSIAPLAH menyambut kehadiran partai lokal. Walau belum ada aturannya, namun sinyal frekuensi yang menandakan hadirnya partai lokal telah nyata. Contohnya adalah calon independen yang direstui oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengikuti Pilgub dan Pilkada. Jika calon independen ini sudah boleh ikut bertarung, maka itu pertanda dimulainya partai lokal.

Bentuk partai lokal tentunya tidak mesti diikat oleh aturan hukum yang berlaku. Ia bisa seperti kumpulan komunitas tertentu yang ditarik oleh sebuah lokomotif sebagai kendaraan tokoh tertentu. Konstituen partai lokal bisa juga dari kalangan Golput alias golongan putih. Jumlahnya tentu sangat besar, karena setiap kali ada Pilkada di kabupaten dan kota, jumlah Golput selalu di atas 30 persen jumlah pemilih.

Di Samarinda, semangat mendirikan partai lokal juga sudah muncul. Namanya Partai Rembug Rakyat Kaltim (PRRK). Belum ada deklarasi, namun ini diyakini oleh para pencetusnya bisa menjadi pioner untuk membangun kesadaran publik bahwa keinginan desentralisasi politik sudah sangat kuat.

Pemerintah memang tidak boleh buta atau menutup mata dengan aspirasi politik yang berkembang di daerah. Format sentralisasi politik yang dilaksanakan sejak jaman Orde Baru, hanya menghasilkan ketidakharmonisan dan sikap saling curiga antara para pengurus partai politik di pusat dan daerah. Apalagi di saat pemilihan kepala daerah, pengurus pusat tiap Parpol seakan-akan paling berkuasa untuk menentukan siapa calon yang didukungnya dan menyepelekan aspirasi daerah.

Sentralisasi politik itu mengakibatkan pula tidak utuhnya aspirasi daerah untuk dibawa menjadi bahasan para politikus mewakili partai di parlemen. Akibatnya adalah kesenjangan pembangunan bagi daerah timur Indonesia dengan barat, termasuk provinsi Kalimantan Timur. Timur menjadi ketinggalan karena selalu kalah suara dan argumentasi ketika berdebat di parlemen. Sekuat-kuatnya rakyat di daerah bersuara, yang menentukan adalah jumlah suara dukungan di parlemen.

Kondisi ini merugikan daerah, tapi tetap saja tidak mampu melawan kekuatan pusat karena di sana sumbu kekuasaan. Padahal, daerah adalah basis massa yang membuat para pengurus pusat itu memperoleh kejayaan kekuasaan.

Para politikus lokal menyadari ketidakberdayaan ini, tetapi sejauh itu tidak bisa ikut mengusulkan adanya perubahan-perubahan peraturan partai politik yang menitikberatkan pada adanya desentralisasi politik. Untuk pemilihan calon bupati, gubernur misalnya, mestinya daerah perlu menjaring calonnya berdasarkan mekanisme Pemilu internal yang melibatkan konstituen partai. Setiap kader partai yang memiliki kartu anggota, wajib menyalurkan aspirasinya untuk mendapatkan calon pilihan mereka.

Mekanisme seperti itu tidak sulit karena semua partai sudah punya cabang dan anak cabang serta ranting di desa-desa. Hanya saja memang memerlukan biaya yang besar, tapi hasilnya tentu itu adalah calon yang benar-benar diinginkan konstituen. Mekanisme ini juga menjauhkan politik suap calon kandidat kepada oknum pengurus di tingkat lokal maupun pusat.*

Tidak ada komentar: