Kamis, 05 Juli 2007

Program Ilusi

Program Ilusi

Oleh: Charles Siahaan

KADANG, hati kecil kita ikut tertawa manakala muncul janji para politikus kepada rakyat. Untuk sebuah kekuasaan, seorang politikus mengumbar janji agar datang simpati dan rakyat tertarik memilihnya. Persis seorang sales yang mati-matian mempromosikan produk jualannya.
Ada yang menjual program bernama ”Kalima”, yakni singkatan dari (peningkatan) Keimanan, (pengentasan) Kemiskinan, (pemberantasan) Kebodohan, (perluasan) Kesempatan kerja, dan (peningkatan pelayanan) Kesehatan. Serta kemudian muncul pula barang jualan bernama ”SENYUM” yang merupakan singkatan program Sejahtera, Ekonomi, Nyaman, Yakin Usaha dan Madani.
Semua itu, sebenarnya hanya program ilusi. Dia hanya berupa konsep di atas kertas yang bisa sekadar menjadi sumber diskusi kalangan akademisi. Buat rakyat, program seperti itu hanya pepesan kosong. Tidak menarik karena siapapun pemimpin di negeri ini pasti terjerat dengan program retorika akademis seperti itu. Program ”Kalima” dan ”SENYUM” tidak lebih hanya permainan keindahkan kata-kata.
Rakyat Kaltim tidak membutuhkan keindahan kata-kata lagi. Rakyat tidak mau ikut dalam perdebatan kalangan akademisi, karena toh sudah begitu besar kesempatan tapi hasilnya adalah kemiskinan yang semakin besar juga jumlahnya.Harga sembako yang makin mahal, jalur darat yang tidak juga tuntas, transportasi udara ke pedalaman yang mogok dan lingkungan yang tidak sehat.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang punya jalan pintas mengubur angka kemiskinan itu. Seringkali pemimpin mendengung-dengungkan investasi asing untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, namun kenyataannya itu bukan solusi mengangkat rakyat dari garis kemiskinan.
Sebaliknya, pintu investasi asing yang dibuka lebar justru semakin menguatkan hegemoni asing dalam perekenomian dalam negeri. Sebagian besar sumber daya alam di Kaltim justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan dan orang-orang asing, bukan mayoritas rakyat Kaltim. Buktinya sumber energi Migas dan batubara yang melimpah tak juga bisa menyelesaikan byarpet listrik di daerah ini, karena kita mengutamakan kebutuhan pasar asing dari pada domestik.
Seringkali pula pemimpin berpikir tentang pemberdayaan masyarakat (civil society) sebagai jalan paling ampuh mengentaskan kemiskinan, tetapi itupun tak terbukti. Penguatan kapasitas individual dan kelompok di masyarakat agar pintar dalam memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di sekitar, seperti melatih nelayan mengolah ikan dan membangun industri hilir perkayuan, belum mampu juga membuat semua rakyat Kaltim hidup sejahtera.
Membuka kebijakan investasi asing sama dengan melimpahkan pengelolaan sumber daya alam Kaltim kepada pihak luar, sehingga kita semakin tergantung dengan mereka. Pada akhirnya rakyat Kaltim kehilangan ”keperkasaan” jatidiri sebagai masyarakat yang tinggal di daerah kaya, hanya saja kekayaan itu bukan lagi menjadi milik kita.
Sedangkan sivil society memang tak bisa diraih seketika. Sebab sudah terlalu lama pemerintah jaman Orde Baru menciptakan sistim yang korup dan berbuah kemiskinan. Melupakan pentingnya kemandirian individual.
Membangun kekuatan lokal juga memerlukan waktu lama, walau banyak kalangan NGO (non government organitations) meyakini lebih baik tidak berlari terlalu cepat, dari pada menjual SDA kepada pihak asing, tapi nantinya membuat kita tergelincir lebih cepat. **


(Telah diterbitkan di Majalah BONGKAR!, edisi 27)

Tidak ada komentar: