Kamis, 05 Juli 2007

Penghianatan

Penghianatan
Oleh: Charles Siahaan

HATI kita boleh miris kalau membicarakan soal divestasi 51 persen saham PT Kaltim Prima Coal (KPC). Bayangkan, sudah lebih empat belas tahun divestasi saham diperjuangkan, tapi ada pihak kelompok tertentu yang notabene tokoh-tokoh Kalimantan Timur berusaha menghalang-halangi.
Divestasi saham adalah kewajiban perusahaan pertambangan batubara yang mengantongi izin PKP2B (Perjanjian Kontrak Pertambangan Batubara). Dalam surat perjanjian yang telah disepakati pemerintah dan pengusaha pertambangan itu diatur kewajiban perusahaan melepas sahamnya secara bertahap mulai dari 15 persen, 30 sampai dengan 51 persen.
Semangat divestasi ini agar putra-putri Indonesia bisa menjadi petambang batubara juga. Jika dulu tambang batubara hanya diolah oleh perusahaan asing, maka dengan perjanjian itu ada kesempatan orang Indonesia mengelola sumber daya alamnya sendiri. Divestasi saham diprioritaskan dijual kepada pemerintah (pusat atau daerah) – tentunya boleh menggandeng pengusaha lokal juga.
Tapi rupanya, angka divestasi 51 persen saham PT KPC sangatlah besar. Sekitar US$ 419 juta atau Rp3,77 Triliun (kurs Rp9.000 dengan harga 100 persen PT KPC US$ 822, sesuai dengan perhitungan pemerintah dengan PT KPC sebelum akuisisi ke PT Bumi Resources tbk). Ini angka yang fantastis, menggiurkan, sehingga mengundang imajinasi jahat beberapa pihak. Persengkongkolan pengusaha dengan politikus serta oknum pemerintah sendiri.
Terbukti sudah. Kewajiban divestasi mulai diakali oleh para pemegang saham PT KPC, agar tidak pernah terjadi lagi. Hak Pemerintah Daerah dikaburkan agar menjadi hak kelompok tertentu. Kekuatan politik ikut masuk untuk membuat sebuah restu palsu.
Skenario persengkongkolan pengusaha – politikus – pemerintah itu terbaca dengan gamblang ketika ada kesempatan pemerintah provinsi Kaltim melakukan gugatan lewat arbitrase internasional kepada para pemegam saham PT KPC, baik yang lama Rio Tinto dan Beyond Petroleum maupun pemegang saham baru PT Bumi Resources tbk.
Semua organ yang bersengkongkol memainkan peranan masing-masing mengikuti selera dari para pemegang saham agar gugatan itu batal. Mulai dari mengulur-ulur jadwal pembicaraan soal pembiayaan persidangan, membuat opini bahwa jalur arbitrase tidak lebih baik dari negosiasi langsung, sampai dengan pencarian dukungan publik bahwa uang APBD tidak boleh digunakan untuk biaya berperkara di pengadilan.
Luar biasa. Demi membela sebuah korporasi yang menguras sumber daya alam Kalimantan Timur, tokoh-tokoh politik dan pemerintah daerah ini berani menyampingkan hak daerah dalam soal divestasi. Untuk sebuah persengkongkolan mereka berani merampok hak-hak daerah agar menjadi hak mereka. ***

Tidak ada komentar: